• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DERIVASI KATA RĀ‘INĀ DAN UNZHURNĀ

B. Analisis Makna Historis

Tahap selanjutnya dalam melakukan kajian analisis istilah kata kunci adalah dengan melakukan penggalian atau pengkajian terhadap kesejarahan kosa kata dalam al-Qur’ān, hal ini disebut juga dengan semantik historis. Dalam hal ini, peneliti menggunakan analisis sinkronik dan analisis diakronik yang diambil dari teori Toshihiko Izutsu.

Analisis sinkronik ialah aspek kata yang bersifat statis atau tidak mengalami perubahan baik dari segi konsep atau kata. Sedangkan diakronik merupakan aspek kata yang bersifat dinamis atau suatu kata yang mengalami perubahan baik secara konsep atau perubahan kata dari waktu ke waktu. Dalam teori semantiknya, Toshihiko Izutsu membagi kajian makna Historis tersebut kedalam tiga periode, yaitu periode pra-Qur’anik, pra-Qur’anik, dan pasca Qur’anik.134Dalam melakukan kajian historis terhadap kata Rā‘inā disini peneliti menggunakan analisis semantik sinkronik dan diakronik.

1. Analisis Sinkronik

Analisis sinkronik adalah analisis makna kata dengan memperhatikan kurun waktu tertentu, sehingga sistem makna katanya statis atau terbatas pada waktu tersebut.135 Dari analisis sinkronik, peneliti menarik kesimpulan bahwa kata Rā‘inā memiliki makna yang statis atau tidak berubah, dimana pada masa Islam (Qur’anik), makna dasarnya ialah menggembalakan kemudian diartikan dengan merawat, menjaga, memperhatikan. Karena

133Q.S Yusuf [12]: 34 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2019), 239.

134 Arifatul Izzati, “Konsep Al-Qiyamah dalam Al-Qur’ān dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, 2022), hlm. 71.

135YayanRahtikawati dan Dadan Rusmana,Metodologi Tafsir Al-Qur’ān:

Struktural, Semantik, Semiotik, dan Hermeneutik (Bandung: CV Pustaka, 2013), hlm. 231.

61

mengembalakan sama artinya dengan merawat, menjaga ataupun memperhatikan.

2. Analisis Diakronik

Analisis diakronik ialah analisis terhadap kata dalam suatu bahasa yang menitikberatkan analisisnya pada unsur waktu yang tidak terbatas sehinga dengan hal itu makna kata akan menjadi lebih luas.136 Kemudian obek kajian dari analisis ini ialah kosa kata al-Qur’ān. Dalam analisis historis makna kata, Izutsu membaginya menjadi tiga periode masa, yakni sebelum turunya al-Qur’ān (pra-Qur’anik), masa turunnya al-Qur’ān ((pra-Qur’anik), dan masa setelah turunnya al-Qur’ān (Pasca Qur’anik). Berikut adalah analisis historis diakronik pada kata Rā‘inā berdasarkan pembagian waktu tersebut, diantaranya:

a. Periode Pra-Qur’anik

Pada periode pra-Qur’anik atau yang disebut dengan masa sebelum Islam atau masa Jahiliyyah. Dalam hal ini Izutsu melakukan penelusuran makna kosa kata dengan menggunakan berbagai macam sastra Arab yang berupa syair-syair ataupun puisi pada masa sebelum Islam.137

Dalam pembahasan mengenai kosa kata yang digunakan pada periode sebelum Islam ialah bahasa keseharian masyarakat Arab jahiliyyah. Salah satunya yaitu syair-syair Arab pada masa jahiliyyah. Kesusteraan merupakan entitas fundamental. Pada masa jahiliyyah, masyarakat Arab melakukan apapun yang mereka anggap benar walaupun bertolak belakang atau bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku. Kondisi dari masyarakat jahiliyah yang terdiri dari berbagai macam kabilah yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah mempengaruhi kesusteraan di jazirah Arab. Oleh karena itu, bait-bait syair yang lahir pada saat itu merupakan bentuk ungkapan

136 Ibid.

137 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Alquran, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm.

35.

62

yang menggambarkan keadaan dan situasi masyarakatnya pada saat itu.138

Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu kaum muslimin pernah mengatakan kepada Nabi SAW: ‘Rā‘inā ’ dengan nada yang meminta dan mengharapkan. Maknanya ialah, tengok atau perhatikan kami. Sementara dalam bahasa orang-orang Yahudi kalimat tersebut merupakan kalimat yang digunakan untuk mencela. Yakni, dengarkanlah (karena) engkau tidak mendengarkan. Orang Yahudi kemudian menggunakan ungkapan tersebut untuk mencela Rasulullah SAW.

Bentuk berpegang teguh terhadap prinsip ini adalah bahwa orang Yahudi mengatakan perkataan tersebut karena dalam bahasa mereka perkataan itu merupakan celaan. Ketika peristiwa tersebut terjadi, maka Allah SWT menurunkan ayat ini dan melarang orang-orang yang beriman mengucapkan perkataan tersebut. Karena perkataan tersebut akan mengantarkan kaum Yahudi untuk mencela Nabi SAW.139

Muslim meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda”,

ُلَلَ َحْا ِهِنْي ِدِل أَرْبَت ْسا ِتاَهُب ُّشا ى َقَّتا َن َم َف ٌتاَهِ با َشَتُم اَمُهَنْيَبَو ٌن يَب ُماَرَحْلاَو , ٌنِ يَب ُك ِشُي ى ِم َحلا َلْو َح ىَعْرَي ِعاَر َك , ِماَرَحلا يف َعَقَو ِتاَهُب ُّشلا يِف َعَقَو ْنَمَو , ِه ِضْرِعَو

ِهْيِف َع َقَيْ نا

“Sesuatu yang halal jelas dan sesuatu yang haram (juga) jelas. Adapun sesuatu yang ada diantara keduanya adalah hal yangsyubhat. Barang siapa yang menghindari

hal-138Bachrum Bunyamin dan Hamdy Salad, Al Muallaqat Syair-syair Arab Pra Islam terj. Bachrum Bunyamindan Hamdy Salad, (Yogyakarta:Ganding Pustaka, 2017), hlm. 15.

139 Al-Qurthubi, Terjemah Tafsir at-Qurthubi, Jilid. 2, dita’liq oleh Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 137.

63

hal yang syubhat, maka sesungguhnya dia telah memelihara agama serta kehormatan. Barang siapa yang terjerumus ke dalam hal yang syubhat, sungguh ia juga telah terjerumus ke dalam hal yang haram. Seperti pengembala yan mengembala di sekitar tanah yang terlarang dimasuki oleh orang lain, dimana ia hampir memasuki tanah tersebut”.140 Seperti yang kita ketahui bahasa Arab yang dijadikan sebagai sumber kebahasaaan oleh para linguis Arab klasik terbagi menjadi empat kelompok, yaitu bahasa Arab al-Qur’ān, bahasa Arab Hadits Nabi, bahasa Arab Syair, dan bahasa Arab prosa.

Adapun kajian bahasa yang dilakukan oleh para linguis tersebut tidak terbatas hanya pada satu aspek saja, namun bisa dilihat dari semua aspek bahasa salah satunya yaitu ma’na (semantik). Salah satu di antara para linguis tersebut ialah Al- Zamakhsyari yang dalam kajian tentang makna atau semantik di dalam karya-karyanya ia banyak menyebutkan tokoh-tokoh syair dan pujangga Arab.141

Dalam kajiannya berkaitan dengan semantik, Al-Zamakhsyari ia juga sangat memperhatikan kajian makna kata dan kalimat dalam konteks. Kajiannya tersebut banyak ditemui dalam kitabnya yaitu Asas Balaghah, dalam kitab ini akan dtemukan gambaran mengenai makna kata dalam konteks, sehingga yang tertuang bukan saja makna secara mu’jami tetap makna wazhifi juga, di samping itu juga tertera makna majazi lengkap dengan contoh-contohnya.142

Salah satu contohnya yang berkaitan dengan kata

رظن

ialah:143

140H.R Bukhari, Pembahasan tentang jual beli 2/3, Muslim pada pembahasan Pembagian Hasil Kebun 3/1219, dan Abu Daud pada pembahasan tentang Jual Beli 3/342.

141Moh Matsna, Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer, (Jakarta:

Prenadamedia, 2016), hlm.111-115.

142Ibid., hlm. 121-122.

143Ibid., hlm. 123-124.

64

:لاقَ؛هترظنوَهيلاَترظنَ:رظن

َلثمَانوهَنورظنيَلامجلاَتارهاظ

َءابظلاَكارلاارظتام

(Aku memandangnya, seorang mengatakan: “Perempuan-perempuan cantik itu memandang ringan, bagaikan bintang-bintang zhaby melihat pohon arak).

َةولحَةرظنَهيلاَترظن

(aku memandangnya dengan manis)

َراظنلْاَىفَترظنو

(aku bercermin)

َهلو

َنسحَرظنم

(Ia memilki penampilan yang baik)

Itulah di antara makna-makna asa atau hakiki kata

َرظن

dan makna kata yang menjadi turunannya. Adapun makna majazi-nya seperti dibawah ini:

َمهكلهاَ:مهيلارهدلارظن

(masa telah membinasakan mereka)

َ:ورظنمَديسو راصبلأاَهقمرتوَهلضفَىجري

(pemimpin yang ditunggu-tunggu kemurahan hatinya)

َكلضفَعقوتاَهانعمَكيلاَمثَاللهَىلارظناَاناو

(saya berharap pada kemurahan Allah dan kemurahan hati anda)

هبانتقرافَيذلاَهجولاريغبَانيلاَتعجروََ:هجو

65

(kau kembali dengan muka yang berbeda ketika kita berpisah)

Contoh diatas ialah contoh bagaimana al-Zmakhsyari mengkaji masalah makna kosakata sehingga ditemukan makna hakiki dan makna majazi nya dengan contoh-contoh dari syair-syair dalam berbagai tingkatan.144

b. Qur’anik

Yang menjadi titik fokus dalam kajian masa Qur’anik ialah di saat al-Qur’ān di turunkan di tengah situasi dan kondisi masyarakat Arab masa jahiliyyah. Al-Qur’ān datang bersamaan dengan ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan syariat-syariat yang berbeda dengan ajaran yang sudah dipegang teguh dari nenek moyang bangsa Arab pada saat itu.

Sastra pada awal Islam tidak dapat dipisahkan dari kontribusi al-Qur’ān sebagai sastra agung yang tidak ada tandingannya, dan di turunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah maju dalam bidang sastra. Seperti yang kita ketahui al-Qur’ān merupakan mukjizat terbesar Islam yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang sudah terjamin keauntetikannya.145

Asbabun Nuzul surah al-Baqarah ayat 104

Ibnu Abbas berkata dalam Riwayat Atha’ bahwa orang-orang Arab dahulu menggunakan kata-kata ini (Rā‘inā ) dalam percakapan sehari-hari. Ketikak kaum Yahudi mendengar mereka mengucapkan kata tersebut kepada Nabi SAW, mereka merasa senang. Sebab kata Rā‘inā dalam bahasa Yahudi ialah kata caci maki yang keji. Mereka berkata, “Dulu kita memaki Muhammad secara sembunyi-sembunyi, sekarang makilah Muhammad dengan terang-terangan sebab kata makian itu pun diucaokan orang-orang kepadanya”. Maka mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad, Rā‘inā .” Kemudian mereka

144Ibid.

145Wildana Wargadinata, Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang:

UIN Press, 2008), hlm. 176.

66

tertawa. Lalu seorang pria Ansor yaitu Sa ‘ad bin Mu ‘adz, menyadari sikap mereka karena ia mengerti bahasa Yahudi. Maka ia berkata, “musuh-musuh Allah, semoga kalian dilaknat Allah.

Demi Tuhan yang menggenggam jiwa Muhammad, jika aku mendengar kata itu kalian ucapkan, nizcaya kupenggal lehernya!”

Kaum Yahudi itu menjawab, “Bukankah kalian pun mengucapkannya?!” Maka Allah SWT menurunkan firmanNya,

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Rā‘inā .146

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan beberapa bentuk kebodohan lain yang dilakukan oleh orang-oranag Yahudi, dimana tujuannya adalah melarang orang Mukmin agar tidak melakukan kebodohan tersebut.147

Makna Rā‘inā dalam surah al-Baqarah ayat 104

Dalam ayat tersebut mengandung makna bahwa, pertama hendaknya menghindari kata-kata yang ambigu (bermakna ganda) yang mengandung sindiran yang menurunkan dan mengurangi derajat Nabi Muhammad SAW.148 Kedua, berpegang kepada Sadduz-Dza-rā‘i, menurut Imam Maliki dan Ahmad, Dzarī‘ah adalah perkara yang pada dasarnya tidak terlarang, tetapi jika seseorang melakukannya maka dikhawatirkan ia akan terjerumus pada sesuatu yang terlarang. Artinya setiap perantara yang mubah yang mengantarkan kepada perkara yang terlarang adalah haram.

FirmanNya yang berbunyi, “Janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), mengandung makna bahwa kata Rā‘inā ” adalah sebuah larangan, yang berarti bahwa hal tersebut diharamkan demi sadduz-dzaraa‘i (menutup celah), agar kata yang bermakna ganda ini tidak digunakan sebagai perantara untuk sesuatu yang jelek.

Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “tetapi katakanlah:

146Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 1, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 205.

147Al-Qurthubi, Terjemah Tafsir at-Qurthubi, Jilid. 2, dita’liq oleh Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 135.

148 Lihat terjemah Tafsir al-Munir, Jilid 1, karya Wahbah Az- Zuhaili, hlm. 207.

67

Unzhurnā” adalah perintah yang ditujukan kepada kaum Mukminin agar berbicara kepada Nabi Muhammad dengan mengagungkan beliau.149

Arti Rā‘inā adalah gembalakanlah kami, atau bimbinglah kami.

Dari kata Ri‘āyah dan yang digembalakan itu ialah Ra‘iyyah (dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat). Tetapi bisa juga berarti lain yaitu, Ru‘iyā’-na yang berarti tukang gembala kami. Mohon supaya kami digembalakan, bisa ditukar artinya dengan engkau ini adalah tukang gembala kepunyaan kami. Dan bisa pula diambil dari kata Ru‘ūnah, yaitu orang yang tidak baik perangainya. Maka orang-orang lain yang berniat jahat bisa saja dengan sengaja membawa arti kata tersebut kepada yang bukan maknanya. Ada pula arti lainnya yang lebih buruk yaitu “Hai orang bodoh, tunggu sebentar”. Oleh karena itu hendaklah kamu memilih kata yang artinya tidak dapat diselewengkan ke makna yang buruk, seperti kata Unzhurnā yang memilki arti, pandanglah kami.150

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan, ayat tersebut merupakan larangan yang menunjukkan makna pengharaman. Al-Hasan berkata: Maksudnya ialah, hujran min al-Qaūl (pengalihan pembicaraan). Hujran adalah mashdar, dan ia di-nashab-kan oleh lafadz qaul yakni, laa taqūlū ru‘ūnahu (janganlah kamu katakana ruwetnya perkataan).151

Kemudian kalimat “Tetapi katakanlah: Unzhurnā”. Dalam ayat tersebut mengandung perintah untuk berbicara dengan Rasulullah SAW dengan penghormatan, makna kalimat tersebut iala:

menghadaplah kepada kami dan lihatlah kami. Mujahid mengatakan “makna kalimat tersebut ialah, pahamkanlah kepada

149 Ibid.

150Hamka “Tafsir Al-Azhar jilid 1”, (Singapura: Singapore Pustaka Nasional PTE LTD, 1990), hlm. 257.

151Al-Qurthubi, Terjemah Tafsir at-Qurthubi, Jilid. 2, dita’liq oleh Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 142-143.

68

kamidan jelaskanlah kepada kami.” Yang lain berpendapat,

“tungulah kami dan pelan-pelanlah terhadap kami”.152

Melalui ayat di atas, Allah SWT melarang hambaNya agar tidak menyerupai diri seperti orang kafir baik dalam perbuatan ataupun uacapan. Yang dimaksudkan diisni adalah orang Yahudi, mereka mengubah perkataan tidak sesuai tempatnya atau bisa disebut dengan penyelewengan sebuah kata atau ucapan. Seperti contoh, apabila kaum Yahudi mengucapkan salam mereka mengucapkan As-sāmu‘alaikum,sedangkan makna As-sāmu ialah kebinasaan atau kematian. Mereka mengatakan, “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya”. ”Dengarlah”, semoga kamu tidak mendengar apa-apa. Dan (merekapun mengatakan), “Rā‘inā ”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekirannya mereka mengatakan, “Kami mendengar dan menurut dan dengarlah, dan perhatikan kami,” tentulah hal tersebut lebih baik bagi mereka (orang Yahudi). Tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka.153

Ibnu Hatim meriwayatkan, “Ayahku pernah bercerita kepadaku, ada seorang yang mendaangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan menuturkan, ‘Ajarilah aku’. Maka Ibnu Mas’ud berkata, ‘Jika engkau mendengar Allah berfirman, )

اوُن َماء َنْي ِذ َّلا اَهثااَي(

‘Hai

orang-orang yang beriman,’maka pasangah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah suatkebaikan yang diperintakan-Nya atau keburukan yang dilarangNya. Mengenai kata )

انعار

( Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “maksudnya ialah arahkanlah pendengaranmu kepada kami”.154

c. Pasca Qur’anik

Pada masa Qur’anik, kosa kata al-Qur’ān banyak digunakan dalam sistem pemikiran Islam, seperti teologi, hukum, filsafat, dan

152Ibid.

153 Lihat Q.S An-Nisa [4]: 46.

154Abdullah bin Muhammad, “Tafsir Ibnu Katsir”, terj. Abdul Ghoffar, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2005), hlm. 214.

69

tasawuf dengan mengembangkan konseptualnya tersendiri. Hal ini dipengaruhi oleh konseptual al-Qur’ān. 155

Al Hasan mengatakan bahwa ucapan Rā‘inā artinya ialah kata-kata ejekan, berkaitan dengan ar-rā‘inul minal qauli yang memilki arti kata kata yang digunakan untuk tujuan tersebut. Allah SWT, melarang memperolol-olok ucapan Nabi SAW, dan seruan beliau yang mengajak mereka masuk Islam. Hal yang sama pula diriwayatkan oleh Ibnu Juraij bahwa dia mengatakan hal yang semisal.

Apabila seorang dari kalangan kaum Mukmin memiliki hajat atau keperluan terhadap Nabi SAW, sedangkan Nabi telah berlalu dari mereka, maka mereka mengatakan kepada beliau dengan perkataan “Sudilah kiranya engkau memperhatikan kami”. Hal ini dirasa kurang enak oleh Rasulullah SAW bila ditujukan kepada beliau.156

Banyak sekali ayat yang telah menjelaskan berbagai macam perbuatan buruk dari kaum Yahudi. Seperti yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 104 di atas, kata Rā‘inā yang berarti

“perhatikanlah keadaan atau kemampuan kami”, orang Yahudi pun mengenal kata tersebut dan menggunakanya sebagai bentuk penyelewengan yang bermaksud untuk mencaci maki dan mencemooh Nabi SAW. Menghadapi peristiwa tersebut makan turunlah ayat tersebut yang ditujukan untuk menasehati kaum Muslimin agar menganti kata tersebut dengan kata yang memilki makna yang sama. Ayat ini menekankan bahwa pentingnya melaksanakan perintah Allah adan RasulNya, ermasuk perintah yang terkadnung dalam ayat tersebut. Siapapun yang tidak melaksanakan, setelah mengetahui bahwa orang Yahudi

155Toshihiko izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Trehadap Alqur’an, terj. Agus Fahsri Husein, dkk. (Yogyakarta: Tiara Wcana Yogya, 1997), hlm.

42-43.

156Ibid.

70

menggunakannya untk mengejek, maka ia dapat dinilai ikut memperolok-olokkan Nabi.157

Bagi orang muslim beriman yang sudah mengetahui bagaimana sikap kaum Yahudi terhadap Nabi mereka, hendaklah mampu lebih waspada. Karena semua ahli kitab dan kaum musyrikin Arab tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepada manusia, seperti al-Qur’ān dan Rasul. Al-Qur’ān ialah kebaikan yang paling besar, sebab mengandung hidayah yang paling agung.

Dengannya Allah mempersatukan umat manusia, mensucikan akalnya dari kesesatan pemujaan berhala, dan menegakkan umat manusia dari aturan-aturan fitrah. Kedengkian manusia tidak akan mampu menghalangi turunnya nikmat Allah SWT, Karena hanya Allah yang berkehendak menentukan siapa saja yang dikehendaki untuk menerima kenabian, rahmat, dan kebaikan.158 Hanya Allah SWT yang lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.159

Dalam ayat tersebut menyebutkan berbagai keburukan kaum Yahudi. Tujuannya adalah melarang kaum Muslimin melakukan hal-hal yang serupa dengan kaum Yahudi. Tujuan lainnya ialah mengokohkan akidah mereka bahwa segala sumber kebaikan, rahmat dan hak memilih siapa yang pantas mendapatkan tugas kenabian dan kerasulan hanya Allah SWT. Maka dri itu, tidak boleh seseorang merasa dengki kepada orang lain hanya karena Alah SWT memberikan karunia-Nya kepada orang tersebut.

Kalimat “Hai orang-orang yang beriman!”. Menunjukkan betapa Allah SWT sangat memperhatikan kaum Mukminin, seruan tersebut mengingatkan kepada mereka bahwa iman menuntut pemiliknya agar menerima segala perintah dan larangan Allah SWT dengan sepenuh ketaatan dan sebaik-baaiknya

157Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Alqur’an), Vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2022), hlm. 286.

158Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Tafsir Al-Munir, Jilid. 1, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, Dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm. 206.

159Lihat Q.S Al-An’am [6]: 124.

71

pelaksanaan.160 Sehingga inti dari ayat tersebut ialah bagi orang yang beriman dalam berbicara dengan Nabi SAW, hendaknya menghidari kata-kata yang mengesankan penghinaan dan olok-olok, agar musuh tidak mengambil kesempatan dengan memakai suatu kata yang beredaksi mirip, sehingga dengan hal itu akan mudah diselewengkan maknanya.161

Dokumen terkait