TEKA-TEKI 4:4 = ? dhuh
D. Analisis Makna Religius Geguritan Suwardi Endraswara
Semiotik merupakan salah satu ilmu untuk membedah karya sastra. Semiotik menganalisis karya sastra dengan cara tafsir atau mengungkapkan makna didalam karya sastra. Penelitian kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara ini juga menggunakan analisis semiotik. Analisis semiotik yang digunakan adalah Charles Sanders Peirce yaitu segi tiga semiotic ikon, indeks dan simbol. Ikon (icon), yakni tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah; (2) indeks (index) yakni tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah penanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat; (3) simbol (symbol), yakni tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya arbriter berdasarkan perjanjian (konvensi) masyarakat.
Pembacaan Semiotik Kesepuluh Geguritan Suwardi Endraswara 1. Pembacaan Semiotik Geguritan “Simbah: Ayumu Ing Ngendi” SIMBAH: AYUMU ING NGENDI
Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur
njur, ing ngendi bedane
bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan bayi liwat dalan lan nyolong dalan
Simbah; ayumu biyen kae, kok simpen ing ngendi apa kok dum marang bayi-bayi kiyu
apa wis payu dituku priyayi iki ora guyon, mengko gek: kok slempitke ing selane kriputmu kok ukel ing gelung kondhe
apa wis diusung Dewi Ratih Makayangan apa rontoge untu emas tiron
Simbah; geneya malah gedheg?
apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu
ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi
Geguritan “Simbah: Ayumu Ing Ngendi” merupakan geguritan yang mengundang pembaca untuk merenungkan sejenak perjalanan kehidupan. Geguritan ini menjadi gambaran bahwa keadaan fisik akan mempengaruhi seseorang di dalam berpikir, berpandangan dan berinteraksi sosial. Nenek menunjukkan sebuah indeksikal. Kata ’Nenek’ merupakan sebutan bagi perempuan yang sudah berumur atau sudah tua, dapat ditandai dengan adanya perubahan fisik yang sangat signifikan dari kulit, rambut, sampai kepada keinginan-keinginan tubuh yang dibatasi. Nenek di pandang sebagai seseorang yang telah mengetahui pahit manis kehidupan. Nenek diimplementasikan sebagai seorang guru atau panutan hidup.
Pada bait pertama merupakan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada seorang nenek. Pertanyaan pertama Simbah; wis sirah pira kang kok pande?. Pertanyaan tersebut mempunyai makna yang sangat mendalam. Ada kata-kata sirah ’kepala’ dan pande ’sebutan bagi tukang besi’ yang tidak ada sangkut pautnya. Sirah dalam artian kepala dan pande sebutan bagi tukang besi. Kedua kata tersebut dijadikan sebagai simbol. Sirah ’kepala’ merupakan organ vital dari tubuh manusia. Segala sesuatu yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh sampai yang terkecil berasal dari dalam kepala yaitu otak. Otak sebagai motor dari segala keinginan manusia. Sirah ’kepala’ juga bisa menunjukkan jumlah orang. Sedangkan ’pande’ adalah sebutan bagi orang yang membuat kerajinan dari besi. ’Pande’ juga bisa diartikan memperbaiki atau mengubah dari bentuk asli. Kedua kata ’sirah’ dan ’pande’ merupakan makna konotatif (nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum). Maksudnya bahwa nenek akan selalu mengajarkan dan memberikan nasehat atau petuah-petuah kepada orang lain supaya menuju kedalam kepencerahan hidup yang lebih baik. Bisa dikatakan nenek melakukan pencucian otak dengan nasehat- nasehatnya.
Pertanyaan yang kedua usus pirang ukel sing kok ulur. Bila dicermati pertanyaan kedua ini hampir sama dengan pertanyaan yang pertama. Ada kata usus ’usus’ dan ulur ’di urai’ dijadikan sebagai simbol. Makna harafiahnya (denotatif) Usus merupakan salah satu organ tubuh manusia. Makna konotatifnya usus mengacu kepada sifat sabar. Sedangkan ’ulur’ memberikan pengertian dibuat panjang (di urai). Maksudnya adalah bahwa manusia hidup di dunia ini harus mempunyai rasa sabar untuk menghadapi segala cobaan dari
Tuhan. Ada pepatah Jawa mengatakan dadi uwong sing dawa ususe (jadi orang harus panjang ususnya) artinya manusia harus mempunyai rasa sabar yang tiada batasnya.
Pada pertanyaan ketiga Si Aku lirik mencoba memberikan pertanyaan yang berbeda. Apa perbedaan bayi nduwur dalan lan ngisor dalan / bayi liwat dalan lan nyolong dalan. Kata bayi ’bayi’, ndhuwur ’atas’, ngisor ’bawah’, liwat ’lewat’, nyolong ’mencuri’ dijadikan sebagai simbol. Bayi makna harfiahnya (denotatif) adalah anak yang baru lahir. Bayi juga bisa diasumsikan sebagai sifat manusia yaitu orang yang polos, belum atau tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kata ndhuwur ’atas’ dan liwat ’lewat’ mempunyai makna konotatif sebagai sifat manusia yang dapat mempengaruhi seseorang atau manusia untuk berkelakuan yang baik, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Sedangkan kata ngisor ’bawah’ dan nyolong ’mencuri’ dijadikan sebagai sifat manusia yang buruk, tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Maksudnya adalah manusia memiliki beragam sifat, ada yang baik dan ada yang buruk. Dua sifat tersebut memang sudah menjadi satu kesatuan dan tergantung manusia itu sendiri untuk mengkelolanya. Bila sifat yang baik dikelola dengan sungguh-sungguh tentunya juga akan menghasilkan yang baik atau sebaliknya.
Bait kedua simbah ’nenek’ masih menunjukkan indeksikal. Si Aku lirik mencoba memberikan pertanyaan yang berbeda. Kecantikan ’ayu’ dijadikan sebuah simbol dan menjadikan sebuah polemik yang berkepanjangan. Simbah; ayumu biyen kok simpen ing ing ngendi?. Kata ayu ’cantik’ mengacu kepada fisik seseorang (makna denotatif). Ayu ’cantik’ juga
bisa mengacu kepada hal yang baik. Si Aku lirik mencoba menebak tentang hilangnya ’kecantikan’ nenek, dengan mengajukan pertanyaan apa kok dum marang bayi-bayi kiyu / apa wis payu dituku priyayi. Kata bayi-bayi kiyu ’bayi-bayi raksasa’ dan kata priyayi ’priyayi’ dijadikan sebagai simbol. Bayi-bayi kiyu ’Bayi-bayi-Bayi-bayi raksasa mengacu kepada seorang manusia dewasa. Priyayi diasumsikan sebagai seorang bangsawan, penuh wibawa, mempunyai kedudukan dan disegani.
Si aku lirik mempunyai anggapan bahwa kebaikan-kebaikan nenek seakan-akan disembunyikan ’disimpen’ atau dimiliki oleh orang lain ’dituku’. Ada anggapan lain dari si aku lirik atau malah disembunyikan ing selane kriputmu / kok ukel ing gelung kondhe / apa wis diusung dewi Ratih Makayangan?. Dewi Ratih Makayangan juga dijadikan sebagai simbol, diasumsikan dewi yang memiliki kecantikan yang luar biasa atau dewi kecantikan. Manusia diwajibkan untuk berbuat kebaikan karena hal tersebut yang disukai oleh Tuhan. Dengan kebaikan manusia juga akan mendapatkan ketentraman hidup, tetapi kebaikan ataupun kebenaran di jaman sekarang memang harus dipertanyakan. Hukum bisa dibeli dengan uang. Yang benar dikatakan salah dan yang salah bisa dikatakan benar.
Bait ketiga nenek mencoba membela diri. Simbah ; geneya malah gedheg ?. Gedhek dalam artian menggelengkan kepala yang menandakan tidak adanya persetujuan dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh si aku lirik. Karena tidak mendapatkan persetujuan, si aku lirik membuat kesimpulan apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag / pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu. Wadhag ‘tubuh’, ireng
‘hitam’ dan putih ‘putih’ dijadikan sebuah simbol. Wadhag ‘tubuh’ dikonotasikan sebagai keinginan ragawi. Ireng ‘hitam dan putih ‘putih’ mengacu kepada sifat manusia. Ireng ‘hitam’ mengisyaratkan kejelekan sedangkan putih ‘putih’ mengisyaratkan kebaikan. Manusia akan merubah keinginan bila menjelang usia tua, mereka akan menggunakan sisa umur untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Keinginan-keinginan ragawi sudah mereka tinggalkan. Keinginan batin yang akan mereka asah dan diperdalam supaya mendapatkan ampunan oleh Tuhan dengan segala apa yang telah mereka lakukan di massa lalu.
Akhirnya si aku lirik membuat pertanyaan retoris. Apakah itu menjadi sebuah makna bahwa nenek telah menghilangkan keinginan tubuh (ragawi) seperti rambut yang dulu hitam sekarang menjadi putih. Tetapi masih ada pertanyaan yang mengganjal oleh si aku lirik yaitu hitam rambut nenek pergi kemana?.
Kesimpulan keseluruhan geguritan Simbah; Ayumu Ing Ngendhi yaitu setiap manusia akan mengalami perubahan dari bentuk fisik sampai kepada pandangan hidup. Bentuk fisik merupakan bentuk alamiah yang mesti terjadi kepada setiap manusia yang disertai dengan perubahan keinginan-keinginan atau pandangan hidup. Pengibaratan seperti rambut yang dulu hitam menjadi putih. Hitam yang mewakili dari keinginan yang buruk menjadi putih yang mewakili kebaikan.
2. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Sadurunge Teka; Apa sing Lunga” SADURUNGE TEKA; APA SING LUNGA
Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin?
sadurunge srengenge sesingidan
apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?
:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?
sawise rapal tansaya papal
primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling?
nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas
urip kejujul mati legi ketundhung pait
:sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi?
Geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” akan selalu mengingatkan pembaca bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan kematian dapat datang sewaktu-waktu. Pada bait pertama terdapat banyak sekali petuah-petuah yang disampaikan oleh penyair. Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing / apa wis kok tekem susuhe angin?. hal tersebut akan mustahil bila dilakukan. Angin dijadikan sebagai simbol kehidupan. Angin merupakan udara, sedangkan udara adalah yang kita hirup untuk bernafas. Nafas yang menjadikan kehidupan manusia di dunia. Godhong nglinting mengacu kepada simbol yang bermakna berakhirnya dunia. Sedangkan susuhe angin juga menjadi simbol yaitu tujuan hidup. Dalam artian manusia di tuntut untuk mengerti akan makna dan tujuan hidup sebelum dunia ini berakhir. Ada pengibaratan lain sebelum dunia ini berakhir yaitu sadurunge srengenge
sesingidan (sebelum matahari bersembunyi) maksudnya adalah matahari juga menjadi simbol sebagai sumber kehidupan manusia. Sebelum matahari bersembunyi (dunia berakhir) apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang?( apa sudah kau kejar perginya bayang?). ayang-ayang atau bayang-bayang adalah pantulan dari wujud fisik yang terkena sinar. Bayang-bayang-bayang diartikan sebagai segala tindakan manusia yang berupa kebaikan dan keburukan. Bayang-bayang juga merupakan simbol. Manusia harus selalu menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi yang menjadi larangan Tuhan sebelum bulan tinggal segaris (sadurunge rembulan kari sacliritan).
Pilihan-pilihan akan muncul ketika ada pertanyaan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?( apa yang harus dibawa, buat bawaan?). Gawan ’bawaan’ dalam artian bekal, tentunya amal sholeh kita terhadap Tuhan. Gawan merupakan simbol yakni amal sholeh atau amalan manusia. Kehidupan di dunia silih berganti. Sadurunge teka apa sing bakal lunga?. Teka ’datang’ mengandung makna simbolis yaitu lahir, sedangkan lunga ’pergi’ bisa diartikan sebagai kematian. Kelahiran dan kematian merupakan proses di dalam kehidupan. Setiap manusia tidak dapat menolak untuk tidak melewati hal tersebut.
Manusia akan merasa di dalam kebimbangan ketika dunia ini sudah tidak mau ditempati. Manusia juga memperkarakan bagaimana mencari tentang keadilan, sawise rapal tansaya papal (sesudah kepalan tangan semakin patah). Papal ’kepalan’ mengandung simbol yakni tekad yang kuat. Tekad yang kuat sekarang semakin mengecil karena sudah tidak ada yang menjadi panutan atau tauladan. Bagaimana manusia akan menjalankan
kehidupan dengan baik kalau tidak ada pegangan hidup. Sawise bocah angon, ora keprungu sulinge (sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya). Bocah angon ’penggembala’ simbol dari Tuhan, sedangkan keprungu sulinge ’terdengar suara serulingnya’ diartikan sebagai sabda atau ajaran Tuhan. Apa masih ada yang akan mengingatkan manusia untuk berbuat kebaikan (Apa isih ana gegurit pepeling?).
Pada bait kedua ada rasa kepasrahan yang mendalam. Kehidupan di dunia selalu memberikan misteri yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Durung kesusul uwis ‘sebelum kedahuluan sudah’. Lekas ketinggal wekas ‘mulai tertinggal akhir’. Hidup akan terjemput ajal. Legi ketundhung pait. Legi ‘manis’ mengandung simbol akan kebaikan dan pait ‘pahit’ diartikan sebagai keburukan dimaksudkan bahwa kebaikan akan tertutup oleh keburukan. Manusia tidak boleh menyia-yiakan waktu , harus bekerja, berpikir dan beribadah secara giat. Juga ditonjolkan agar seseorang itu mandiri dalam hidupnya, tidak terlalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain, tak kenal putus asa mengahadapi cobaan dan kegagalan, teguh dalam keyakinan, dan hendaknya segala apa yang dikerjakan oleh individu datang dari kesadaran bukan paksaan dari luar, hingga akhirya manusia milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Kesimpulan dari geguritan Sadurunge Teka ; Apa Sing Lunga yakni manusia tidak akan kekal hidup di Dunia. Ada yang datang yaitu lahir dan ada yang pergi yaitu kematian. Setiap manusia tidak akan mengetahui kapan dunia ini berakhir oleh sebab itu manusia harus selalu bertaqwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk berjaga-jaga bila kematian sewaktu-waktu datang
menjemput. Manusia hanya menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan karena manusia adalah milik Tuhan.
3. Pembacaan Semiotik Geguritan ”1 X 1 = 1” 1 X 1 = 1
Lanang-wadon iku siji, bedane
mung ing chithakan X-Y---dununge ing mripat raga-sukma kuwi siji, bedane
kasar-alus----papane ing kulit kalam pasasran-minggon, ya siji
mung seje ing etungane, dununge ing mangsa kala awan-bengi uga siji, gumantung cahya enom-tuwa dununge ing pengimpen
bumi-langit iku siji, bedane papane gumantung ubenge jantra
titah-kang nitahake siji, bedane penguwasane dununge ing alam pepesthen
pesthi lan pestha, ora beda gumantung pangulahe budi
ubenge kitiran lan donya, nyakramanggilingan mung seje arahe
wit-witan lan kasusastran, siji
padhadene ngoyot, ngepang, lan kembang mung seje rumambate
tumangkare sastra lan astronot, siji mung seje cengkoke
tunggal sedyane, teban
Geguritan ”1 X 1 = 1” adalah geguritan yang mengingatkan manusia bahwa di dunia ini segala mahluk ciptaan Tuhan saling berpasangan dan tidak dapat saling dipisah-pisahkan. Lanang wadon iku siji, bedane / mung ing cethakan X-Y---dununge ing mripat. Lanang ’Laki-laki’ dan wadon ’perempuan’ menunjukkan indeks. Huruf X dan Y merupakan simbol. X mewakili simbol laki-laki dan Y mewakili simbol perempuan. Si Aku lirik mencoba memberikan pengertian bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu pasang dan yang dapat membedakan adalah penglihatan (bentuk fisik). Raga-sukma kuwi siji, bedane / kasar- alus----papane ing kulit kalam. Raga dalam
artian fisik dan sukma (jiwa) adalah satu pasang mengacu kepada indeksikal menyatu. Sedangkan kasar dan halus juga menjadi sebuah simbol. Raga disimbolkan dengan kasar karena sesuatu yang bisa dilihat dengan mata (ragawi) sedangkan sukma (jiwa) merupakan roh yang ada di dalam raga, keduanya tidak dapat dipisahkan kecuali kalau sudah mengalami kematian. Pasaran dan mingguan juga merupakan satu pasang tidak dapat dipisahkan, yang membedakan adalah dalam hitungannya (neptu), tempatnya di mangsakala. Pasaran merupakan rangkapan hari dalam satu minggu. Contohnya ada Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Budaya Jawa menggunakan pasaran untuk melihat weton atau rangkapan hari pada waktu kelahiran.
Siang dan malam berpasangan menunjukkan indeksikal menyatu, tergantung cahaya muda dan tua. Siang disamakan dengan muda sedangkan tua disamakan dengan malam. Muda dan tua mengacu kepada simbol. Mimpi menunjukkan sebagi tempat untuk membedakan antara siang dan malam, muda dan tua. Siang dan malam merupakan rotasi perputaran bumi. Keduanya akan saling berkaitan dan silih berganti mengatur waktu di kehidupan ini. Bumi dan langit berpasangan mengacu kepada indeksikal menyatu, hanya yang membedakan adalah tempatnya, tergantung perputaran kehendaknya. Bumi adalah tempat yang kita pijak, sedangkan langit adalah di atas kita, yang begitu luas dan tak terhingga. Perintah dan yang memerintah adalah satu kesatuan hanya berbeda kekuasannya. Perintah adalah hal yang harus dilaksanakan sedangkan memerintah adalah subjek yang menghasilkan perintah. Tempatnya di dunia ini. Takdir adalah sebuah kepastian, sudah
menjadi kersaning Gusti Allah. Kepastian adalah hal yang pasti terjadi. Pestha ’pesta’ merupakan hura-hura menjadi satu pasang tergantung pengolahan budi (ahlaq) setiap manusia dan individu. Pesta merupakan hal yang dilakukan oleh manusia.
Dunia berputar seperti nyakramanggilingan hanya saja arahnya yang berbeda. Nyakramanggilingan artinya berputar terus, silih berganti, tidak pernah berhenti. Pengibaratan pohon dengan kesusastraan adalah satu, sama-sama memiliki struktur atau tingkat-tingkatan, hanya berbeda jalannya. Sastra dan astronot itu satu hanya berbeda iramanya tetapi sama-sama satu niat pada saatnya.
Kesimpulan geguritan 1 X 1 = 1 adalah setiap ciptaan Tuhan berpasangan dari laki-laki dengan perempuan itu satu pasang, langit dan bumi satu pasang dll. Hanya ada perbedaan yang mendasar dari kesemuanya itu yakni tergantung bagaimana manusia itu memandang dan memahaminya. Setiap pasangan akan mempunyai hal yang bertolak belakang atau berlawanan. Walaupun berlawanan kesemuanya akan saling melengkapi untuk menjadi satu kesatuan yang utuh.
4. Pembacaan Semiotik Geguritan ”Teka; Teki 4: 4 = ?” TEKA-TEKI 4:4 = ?
dhuh landhepe pecahan kaca rasa rosing bumbung wang dakliling endi tumpimu? sing ngaling-alingi lelamunan
sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki
raga lan sukma ing ngendi;
lungane ana-
sir ?
bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejeki-
jodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki la-
gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha durung ning ??
apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat?
Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan
kulon kidul lor! endi kuncine minyak ang-
ka; 4 : 4 iki
?
Geguritan ”Teka; Teki 4:4 = ?” menghadirkan sebuah peristiwa yang harus dijadikan sebagai pelajaran bahwa hidup di dunia ini penuh dengan teka-teki. Sebenarnya geguritan ini juga menjadi keluh kesah dari penyair. Bait pertama menggambarakan bahwa kehidupan ini dipenuhi dengan teka-teki. Dhuh / landhepe pecahan kaca rasa. Pecahan kaca rasa merupakan simbol cobaan dari Tuhan. Landhep ‘tajam’ merupakan kata sifat benda dijadikan sebagai metafora untuk mewakili rasa bahwa cobaan dari Tuhan terasa menyakitkan (landhep). Rosing bumbung wang / dakliling endi tumpimu / sing ngaling-ngalingi lelamunan. Bumbung ‘bambu’ dimaknai sebagai simbol dari keadaan keduniawian. Tumpi adalah penutup ruas yang menghubungkan ruas satu dengan ruas yang lain. Lamunan dimaksudkan sebagai kepasrahan diri
atas nasib yang menimpa. Manusia tidak harus menyerah ketika kegagalan melanda. Walaupun raga dan jiwa menjadi penghalang. Manusia harus mempunyai rasa optimistis menghadapi kenyataan hidup.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya unsur-unsur yang diciptakan oleh Tuhan. Sangkan paraning dumadi yang menjadikan manusia akan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan ini. Bumi adalah tempat yang kita pijak dan kita tinggali. Kosmologi Jawa menggambarkan anasir hidup manusia yaitu angin, air, tanah dan api. Angin, air, tanah, dan api merupakan simbol. Anasir-anasir ini akan membentuk struktur nafsu yang merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan badaniah dan rohaniah. Api yang menjadikan untuk memperoleh cahaya dan kehangatan. Unsur air sebagai sumber kehidupan yang dapat memberikan ketentraman di dalam raga dan jiwa. Angin adalah udara yang manusia hirup. Angin yang menjadikan nafas kehidupan, tetapi kesemuanya unsur tersebut akan terlepas sesudah manusia mengalami kematian. Kehidupan manusia telah diatur oleh Tuhan, dari nasib, rejeki, jodoh, kematian dll. Manusia juga harus melepaskan kesemuanya itu sesudah mati walaupun, hanya sebentar menikmati, nasib, rejeki dan jodoh.
Kematian tidak akan menyertakan apa-apa kecuali hanya amal sholeh manusia terhadap Tuhan. Tingkatan-tingkatan ketaqwaan manusia harus mempunyai tahapan yang berbeda-beda. Agama Islam mengajarkan tingkat ketaqwaan kepada Tuhan ada 4 tingkatan yakni syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Syariat, tarekat, hakikat dan makrifat menunjukkan indeks menyatu. Tingkatan pertama yaitu syariat. Pada tingkat pertama manusia harus
menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan. Menjalankan perintah Tuhan yaitu dengan melaksanakan sholat 5 waktu dengan teratur dan sungguh-sungguh. Kedua menjalankan puasa terutama puasa wajib di bulan Ramadhan. Yang ketiga tidak menjalankan perbuatan yang tercela istilah dalam ungkapan jawa yaitu ma lima (5 M) yaitu mendem, main, medok, maling dan madat (mabuk-mabukan, bermain judi, mencari perempuan nakal, mencuri dan candu). Tingkatan pertama yang menjadi dasar untuk melanjutkan ketahapan atau tingkatan yang kedua yaitu tingkatan terekat. Terekat adalah tingkatan yang kedua yang harus ditempuh oleh umat manusia untuk menuju keridhoan Tuhan. Pada tingkatan tarekat manusia harus melepaskan sedikit demi sedikit keduniawiaan.
Mistik Jawa mengajarkan bahwa dalam tingkatan terekat manusia akan melaksanakan laku. Laku dalam artian menyiksa diri untuk memberikan kepekaan terhadap pancaindera dan batin. Sebagai contoh laku adalah puasa ngebleng 3 hari 3 malam, puasa mutih (tidak makan garam dan lauk pauk kesemuanya serba hambar yakni nasi putih dan air putih), puasa ngrowot, tidak makan nasi hanya makan dari ubi-ubian. Setelah tingkatan tarekat manusia harus melewati tingkatan yang ketiga yaitu hakikat. Tingkatan Hakikat yakni mengenal Tuhan dengan jalan berdoa dengan teratur dan khusuk, meninggalkan kenikmatan dan kesedihan keduniawian.
Tingkatan hakikat membuat manusia untuk selalu mengingat Tuhan setiap waktu dan setiap detik. Manusia akan berdoa terus menerus untuk