• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Pengarang. sejarah saat karya sastra tersebut diciptakan. Lingkungan disekitar pengarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Pengarang. sejarah saat karya sastra tersebut diciptakan. Lingkungan disekitar pengarang"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Pengarang

Karya sastra mempunyai kaitan antara pengarang dan latar belakang sejarah saat karya sastra tersebut diciptakan. Lingkungan disekitar pengarang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra yang diciptakan oleh pengarang. Perenungan-perenungan yang mendalam oleh pengarang akan dituangkan lewat kata yang menghasilkan sebuah karya sastra. Imaji, motivasi dan intelektualitas juga mewarnai hasil penciptaan karya sastra.

1. Riwayat Hidup Suwardi Endraswara

Suwardi Endraswara adalah salah satu pengarang dari sekian banyak pengarang sastra Jawa yang masih aktif sampai sekarang. Beliau lahir pada tanggal 3 April 1964 di Desa Prangkokan, Kulonprogo, Yogyakarta. Beliau lahir dari pasangan Sumarji dan Suminah. Kedua orang tua Suwardi Endraswara bekerja sebagai petani yang mempunyai perkebunan cengkeh dan panili.

Pendidikan yang dienyam oleh Suwardi Endraswara adalah pendidikan formal. Beliau lulus dari SD Negeri Tegalsari, Kulonprogo, Yogyakarta pada tahun 1978. Selepas dari SD Negeri Tegalsari, Suwardi Endraswara melanjutkan pendidikannya ke SMP BOPKRI Samigaluh, Kulonprogo lulus pada tahun 1981. Kemudian, dilanjutkan ke jenjang menengah atas yaitu di SPG BOPKRI yang terletak di Jalan Jendral Sudirman 57 Yogyakarta dan

(2)

lulus pada tahun 1984. Pendidikannya tidak sampai disini, Suwardi Endraswara melanjutkan pendidikan formalnya masuk keperguruan tinggi yaitu di FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni) jurusan sastra Jawa IKIP Yogyakarta yang sekarang menjadi UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Lulus pada tahun 1989, lalu beliau mengajar di SPG 17 Bantul. Beliau juga menjadi redaktur di majalah Mekar Sari selama 2 tahun. Pada tahun 1991 beliau diangkat menjadi dosen di FPBS IKIP Karangmalang, Yogyakarta yang sekarang menjadi FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) Universitas Negeri Yogyakarta. Setelah pendidikan formalnya lama berhenti, beliau melanjutkan jenjang S2 jurusan Antropologi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, kemudian beliau juga mengambil S3 dengan jurusan yang sama dan di Universitas yang sama.

2. Proses Kreatif Suwardi Endraswara

Suwardi Endraswara dalam menciptakan suatu karya sastra tidak secara langsung menulis apa yang ada dalam pikirannya, tetapi beliau melakukan perenungan-perenungan yang berada di sekitarnya. Pengalaman-pengalaman yang telah dialami yang dijadikan sebuah karya sastra terutama geguritan yang dikaitkan dengan situasi jaman sekarang ini.

Unsur religius yang selalu mewarnai setiap karya yang diciptakan oleh Suwardi Endraswara tidak terlepas dari unsur mistik, unsur sufistik yang di dalam agama islam disebut tasawuf. Beliau menciptakan karya sastra terutama geguritan untuk memberikan auto kritik dan self kritik bagi diri sendiri, orang

(3)

lain ataupun bangsa dan negara. Geguritan Suwardi Endraswara mengarah untuk pemahaman hidup untuk mencari selffisem keselamatan hidup.

3. Suwardi Endraswara, Karya dan Prestasinya

Lelaki berperawakan kecil, sederhana, selalu tersenyum dan ramah kepada siapa saja, logat bicaranya lantang dan berapi-api. Beliau adalah Suwardi Endraswara salah satu pengarang yang konsisten menggeluti dunia sastra Jawa. Suwardi Endraswara memiliki istri bernama Sartini dan dikaruniai empat orang putra dan putri. Beliau tinggal di Ngrukem, Rt 06, Rw 12, Krandohan, Pendowoharjo, Sewon Bantul, Yogyakarta.

Suwardi Endraswara sebagai seorang pengarang telah banyak menghasilkan berbagai karya. Karya-karya Suwardi Endraswara sebagian besar berbentuk geguritan dan cerpen, bahkan sudah diterbitkan dalam antologi. Selain geguritan dan cerpen beliau juga menulis dongeng dan certa bersambung. Karya Suwardi Endraswara tidak hanya ditulis dengan bahasa Jawa, namun ada beberapa yang ditulis dengan bahasa Indonesia.

Karya sastra dan esai beliau dimuat diberbagai majalah dan surat kabar seperti Mekar Sari, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Suara Merdeka dan lain sebagainya. Berikut beberapa contoh karya-karaya yang diciptakan oleh Suwardi Endraswara :

a. Cerita Bersambung (cerbung)

1. Kaca-kaca Pengilon, Mekar Sari, Tahun 1991. 2. Kembang Paes, Djaka Lodang, Tahun 1991 3. Kupu-kupu Mabur, Kandha Raharja, tahun 1991

(4)

4. Gelang Kuning Cakar Macan, Jaya Baya, Tahun 1993 5. Layung-layung Jingga, Penyebar Semangat, Tahun 1995 6. Suket Teki, Penyebar semangat, Tahun 1997

b. Cerita Pendek (cerpen)

1. Ambyare Plinten-plinten Lembut, Mekar Sari, Tahun 1992 2. Mlebu Kandhang Macan, Mekar Sari, Tahun 1992

3. Kembang-kembang Tumelung, Penyebar Semangat, Tahun 1992 4. Kaca-kaca Bening, Djaka Lodang, Tahun, 1992

5. Mripat, Djaka Lodang, Tahun 1992

6. Kagubet Klamat Angga-angga, Penyebar Semangat, Tahun 1993 7. Sepet-sepet Sawo Mentah, Penyebar Semangat, Tahun 1993 8. Kucing Endhase Ireng, Mekar Sari, Tahun 1993

9. Ing Selane Tebu Ngrembang, Mekar Sari, Tahun 1993 10. Bayi Saka Planet, Penyebar Semangat, Tahun 1994 11. Ngulu Salak Sepet, Djaka Lodang, Tahun 1994 12. Togog Dadi Ratu, Penyebar Semangat, Tahun 1996 13. Menara Kristal, Penyebar Semangat, Tahun 1996 c. Geguritan

1. Rasa Sejatining Rasa, Djaka Lodang, Tahun 1992 2. Nasibe Kasim Kasimpar, Djaka Lodang, Tahun 1992 3. Sanepane Jagag, Djaka Lodang, Tahun 1992

4. Lilanana Aku, Djaka Lodang, 1992

5. Sada Lanang, Penyebar Semangat, Tahun 1992

(5)

7. Slendang Biru, Jaya Baya, Tahun 1992

8. Lawang Kalong, Penyebar Semangat, Tahun 1993 9. Pahlawan Kodhok Ngorek, Djaka Lodang, Tahun 1993 10. Laron-laron Mabur, Penyebar Semangat, Tahun 1993 11. Pujangga Tiban, Penyebar Semangat, Tahun 1993 12. Mburu Kebo Ucul, Jaya Baya, Tahun 1993

13. Sapi Ompong, Penyebar Semangat, Tahun 1994. d. Dongeng

1. Eling Janjine Dhewe-dhewe, Mekar Sari, Tahun 1989 2. Oh, Ibu Tiriku, Mekar Sari, Tahun 1990

3. Ngundhuh Wohing Pakarti, Mekar Sari, Tahun 1991 4. Sumur Gumulung, Mekar Sari, Tahun 1990

5. Akal Kalah Karo Okol, Mekar Sari, Tahun 1990

e. Antologi (kumpulan dongeng, cerita pendek, esai dan geguritan) 1. Sega Rames (kumpulan dongeng)

2. Kaca-kaca Bening (antologi cerita pendek) 3. Mutiara Segegem (antologi cerita pendek) 4. Niskala (antologi cerita pendek)

5. Jangka (antologi cerita pendek) 6. Senthir (antologi cerita pendek)

7. Kembang Ing Mangsa Ketiga (kumpulan esai sastra) 8. Kristal Emas (antologi geguritan)

(6)

f. Buku –buku

1. Metode Penelitian Sastra, Penerbit FBS UNY, Tahun 2003 2. Mistik Kejawen, Penerbit Narasi, Tahun 2003

3. Falsafah Hidup Jawa, Penerbit Cakrawala, Tahun 2003 4. Mutiara Wicara Jawa, Penerbit Gajah Mada University Press 5. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra, Penerbit Radhita Buana 6. Budi Pekerti Dalam Budaya Jawa, Penerbit Hanindita, Tahun 2003 7. Metode Penelitian Kebudayaan, Penerbit Gajah Mada University Press 8. Membaca, Menulis dan Mengajarkan Sastra : Sastra Berbasis

Kompetensi, Penerbit Kuta Kembang

9. Mutiara Adiluhung Orang Jawa, Penerbit Gelombang Pasang, Tahun 2005.

10. Sampyuh Seks : Jawa Agung, Penerbit Kuntul Press, Tahun 2009 11. Tuntunan Tembang Jawa, Penerbit (masih dirahasiakan), Tahun 2009 12. Metode Penelitian Foklor, Penerbit (masih dirahasiakan), Tahun 2009

Suwardi Endraswara juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan ada salah satu karyanya yang mendapatkan penghargaan yaitu cerita pendek berjudul ”Ke Bukit Klamat Angga-angga” mendapatkan juara II dari sastra Triwida di tahun 1992, ada lagi cerita bersambungnya ”Suket Teki” juga menyabet juara dua dari DKJT tahun 1995. Juara harapan I lomba menulis Esai Sastra Yogyakarta, Juara II lomba menulis Cagar Budaya Yogyakarta, Juara harapan I menulis Artikel Budaya Jaranitra, Juara I lomba artikel koran pusat bahasa Jakarta.

(7)

B. Analisis Struktural Geguritan Suwardi Endraswara

Analisis struktural adalah langkah pertama untuk menelaah suatu karya sastra, yang bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur yang membangun atau membentuk karya sastra itu sendiri.

Unsur-unsur puisi tersebut tidak saling berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu kesatuan dan membentuk totalitas. Berikut ini analisis struktur geguritan Suwardi Endraswara, diawali dengan struktur fisik kemudian dilanjutkan dengan analisis struktur batin.

1. Struktur Fisik Geguritan Suwardi Endraswara

Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur itu meliputi diksi, pengimajian, kata konkret, versifikasi, dan tata wajah puisi. Berikut ini kajian satu per satu unsur-unsur tersebut :

a. Diksi

Diksi adalah pemilihan kata, dalam hal ini pemilihan kata-kata oleh penyair dalam membangun karya (puisi), selanjutnya diksi dalam kesepuluh geguritan ini akan di kaji mengenai perbendaharaan kata, ungkapan kata-kata, dan daya sugesti kata-kata.

(8)

1. Perbendaharaan Kata

Perbendaharaan kata dalam puisi penting untuk kekuatan ekspresi dan hal ini dilakukan erat kaitannya dengan makna yang akan disampaikan. Kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara mengandung tema religius maka kata-kata yang mendominasi adalah Kata-kata yang bermakna religius : syariat ’syariat’, tarekat ’tarekat’, hakikat ’hakikat’, makrifat ’makrifat’, swarga ’surga’, neraka ’neraka’ kodrat ’kodrat’, iroda ’irodat’, haram ’haram’, pati ’mati’, urip ’hidup’, wirid ’wirid’, supiah ’supiah, mutmainah ’mutmainah’, aluamah ’aluamah’ , ayat-ayat ’ayat-ayat’, suci ’suci’, raga ’raga’, sukma ’sukma’, jagad ’dunia’, batal ’batal’, sukma ’sukma’.

Kata-kata tersebut di atas dipergunakan dalam kesepuluh geguritan Suwardi Endrasawara. Penyair sangat cermat dan pandai dalam memilih kata untuk menyampaikan pesan religius. Kata-kata tersebut memang lazim dan sering dipakai dalam ranah wacana Religius sehingga akrab bagi pembaca. 2. Urutan Kata-kata

Urutan-urutan kata yang terdapat dalam kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara disusun dengan baik dan rapi, sehingga menimbulkan harmonisasi kata yang indah. Kutipan di bawah ini terdapat dalam geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga”

Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin?

sadurunge srengenge sesingidan

apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang?(g. 2, b.1, l. 1-4) ….

(9)

Terjemahan ...

Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? sebelum matahari bersembunyi

apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? (g. 2, b.1, l.1-4) ...

Pada kutipan di atas mengandung rima a-b-b-a yang menunjukkan harmonisasi kata-kata pengarang. Kata-kata tersebut susunannya tidak bisa diubah, bila diubah akan berpengaruh kepada makna dan susunan kata geguritan. Kutipan di bawah ini juga menununjukkan susunan kata yang harmonis yakni dalam geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 = ?”

sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki

raga lan sukma

ing ngendi; (g. 4, b.1, l. 7-10) ….. Terjemahan ….. penglihatanku seperti terhalangi teka-teki jiwa dan raga

di mana (g. 4, b.1, l. 7-10) ……

jika kalimat diatas diubah susunannya menjadi ....

kaya-kaya sesawanganku teka-teki ketutupan sukma lan raga ing ngendi;

(10)

Terjemahan ...

seperti penglihatanku teka-teki terhalangi jiwa dan raga dimana;

Susunan kata di atas akan mengurangi keindahan geguritan walaupun masih menggunakan rima yang sama yaitu a-b-a-b tetapi, bila dicermati dengan seksama makna geguritan juga akan berkurang.

dak terak daklari dakpecaki (g. 8, b.1, l. 1-4) …… Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani (g. 8, b.1, l. 1-4) ...

Bentuk rima di atas dikutip dari geguritan yang berjudul ”Sasmita: Kiwa-Tengen” yang mempunyai rima a-a-b-b yang menunjukkan harmonisasi kata-kata pengarang. Susunan katanya sederhana tetapi memiliki pengaruh yang besar dalam geguritan. Kutipan di bawah ini adalah geguritan ”Siklus: Apa-Ana” yang juga mengandung harmonisasi kata pada bait pertama larik ketujuh sampai larik kesepuluh.

...

tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila

tanpa rumus aksara wuta (g. 9, b.1, l. 7-10) ...

(11)

Terjemahan ...

tanpa bersolek indahnya wanita tanpa kaca cerminnya jiwa

tanpa hukum kamusnya kesusilaan tanpa rumus huruf buta (g. 9, b.1, l. 7-10) ...

Bila diceramati kutipan di atas mempunyai rima a-a-a-a yang memberikan nilai keindahan dalan geguritan. Walaupun rimanya bisa diubah tetapi akan berpengaruh dengan makna dan susunan kata.

Geguritan Suwardi Endraswara menggunakan pola rima yang teratur dan saling berkaitan sehingga menimbulkan kepaduan yang harmonis.

3. Daya Sugesti Kata

Ketetapan pemilihan kata-kata dapat menimbulkan sugesti yang mampu membuat pembaca merasakan seperti yang dirasakan penyair. Untuk melukiskan tentang tema religius penyair memberikan gambaran sebagai berikut:

Simbah; geneya malah gedheg?

apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu

ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g. 1, b. 3, l. 1-4) Terjemahan

Nenek; kenapa malah menggeleng?

apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti

tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g. 1, b. 3, l. 1-4)

Kutipan di atas adalah dalam geguritan ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi” yang diindikasi mempunyai daya sugesti kata-kata yakni pengarang memberikan perumpamaan bahwa nafsu manusia ada dua yakni hitam (lambang kejelekan) dan putih (lambang kebaikan). Tetapi nafsu tersebut

(12)

dapat berubah sesuai dengan perjalanan waktu, yang dulu nafsu hitam selalu digunakan akan berubah menjadi nafsu putih yang digunakan karena manusia tersebut telah mendapatkan pengalaman dan pelajaran hidup. Kutipan di bawah ini merupakan geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” yang mempunyai sugesti kata-kata bagi pembaca.

...

sadurunge srengenge sesingidan

apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan

apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?

:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga?(g. 2, b.1, l. 3-7) ...

Terjemahan ...

sebelum matahari bersembunyi

apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan?

:ya, sebelum datang apa yang akan pergi (g. 2, b.1, l.3-7)

Pada kutipan tersebut penyair berusaha mengingatkan pembaca untuk selalu mengingat bahwa dunia ini hanya sementara dan kematian dapat datang sewaktu-waktu. Apakah manusia sudah siap dengan semua itu?. Apakah amal sholeh kita didunia sudah cukup untuk menjadi bekal diakherat nanti?.

bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejeki-

jodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha during ning (g. 4, b. 2, l. 1-9) ??

(13)

Terjemahan

bumi-api-air-angin, sesudah hidup mati-rejeki-

jodoh- langkah lepas? sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang- rumah- keris dan kuda belum tapi (g. 4, b. 2, l.1-9) ??

Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul Teka-Teki 4:4 = ?”. Kehidupan di Dunia tidak terlepas dari beberapa unsur yakni ada bumi (tanah), api, air, angin yang kesemuanya akan menjadi satu dan saling melengkapi. Penyair juga mengingatkan kepada pembaca bahwa hidup, mati, rejeki, jodoh akan terlepas setelah dunia ini berakhir walupun kita hanya menikmatinya sebentar. Kutipan di bawah ini dalam geguritan yang berjudul ”Kaca Rasa”.

gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa

bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan

endi napasku? (g. 5, b. 3, l. 1-5) Terjemahan

Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama

bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan

mana nafasku? (g. 5, b. 3, l. 1-5)

Penyair mencoba memberikan daya sugesti kata-kata kepada pembaca pada kutipan di atas yakni bahwa Tuhan akan mengetahui segalanya manusia miliki termasuk rahasia, walaupun Tuhan tidak bertegur sapa langsung dengan manusia.

(14)

...

Tatarana dalane pasu- witan, dalan pasujud- an, lan dalane pangu ripan. Padhangana da- lane pati, dalane ka-

swargan, lan kamulyan ( g. 6, b. 4, l. 1-6) …..

Terjemahan ...

berilah jalannya mengab- di, jalan pasujud-

an, dan jalan kehi- dupan. Terangkanlah ja- lan kematian, jalan ke

surga, dan kemuliaan ( g. 6, b. 4, l. 1-6) ……

Kutipan di atas merupakan dalam geguritan ”Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” Bila bait di atas dibaca dengan seksama akan menimbulkan perasaan yang haru. Si Aku lirik mempunyai pengharapan kepada Tuhan supaya dibukakan segala jalan untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Daya sugesti kata-kata dalam geguritan Kristal Emas ditampilkan dengan baik untuk mewakili perasaan penyair dan menyampaikan kepada para pembaca. Berdasarkan uraian di atas diksi dari kesepuluh geguritan karya Suwardi Endraswara dipilih dengan cermat dan memperhitungkan makna, perbendaharaan kata, rima dan sugesti kata-kata sehingga menghasilkan komposisi geguritan yang baik.

b. Pengimajian

Herman J.Waluyo mengatakan ”Pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan (1995: 78). Geguritan Suwardi Endraswara mengandung 2 macam pengimajian yakni benda yang nampak

(15)

(imaji visual), dan sesuatu yang dapat diraba atau disentuh (imaji taktil). Berikut ini kutipan benda yang nampak (imaji visual):

Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur

njur, ing ngendi bedane

bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan

bayi liwat dalan lan nyolong dalan (g. 1, b.1, l. 1-5) ....

Terjemahan

Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande? usus berapa gulung yang sudah kamu ulur lalu, dimana bedanya:

bayi atas jalan dan bayi bawah jalan

bayi lewat jalan dan mencuri jalan (g. 1, b.1, l. 1-5) ....

Geguritan ”Simbah; Ayumu Ing Ngendhi” pada bait pertama menunjukkan imaji visual yakni kata sirah ’kepala’, usus ’usus’, bayi ’bayi’, dalan ’jalan’. Kata-kata tersebut mewakili imaji visual.

...

wit-witan lan kasusastran, siji

padhadene ngoyot, ngepang, lan kembang (g. 3, b.1, l.17-18) …..

terjemahan ...

tumbuh-tumbuhan dan kesusastraan, satu

sama saja berakar, bercabang, dan berbunga (g. 3, b.1, l.17-18) …..

Kutipan geguritan di atas diambil dalam geguritan yang berjudul ”1 X 1 = 1”. Kutipan tersebut memberikan imaji visual yang dapat kita lihat. Penyair memberikan sebuah gambaran yang jelas, ada imaji visual berupa struktur pohon yaitu akar, cabang dan bunga. Ada pengibaratan dari si penyair bahwa tumbuhan dan kesusastraan itu sama, berakar, bercabang dan berbunga.

(16)

Geguritan ”Kaca Rasa” dalam bait kedua larik ketiga dan keempat juga mengandung imaji visual.

…..

ing ati, ing jantung, ing sirah

apa ing sadawane otot getih mili (g. 5, b. 2, l. 3-4) Terjemahan

…..

di hati, di jantung, di kepala

apa di panjangnya otot darah mengalir (g. 5, b. 2, l. 3-4)

Kata ati ‘hati’, jantung ‘jantung’, sirah ‘kepala’, otot ‘otot’ dan getih ‘darah’ menunjukkan yang nampak (imaji visual) yang dituangkan penyair kedalam geguritannya. Hati, jantung, kepala, otot dan darah mempunyai makna sesuatu yang bisa dilihat.

….

Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha (g. 4, b. 2, l. 4-7) .... Terjemahan ...

sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang-

rumah- keris

dan kuda (g. 4, b. 2, l. 4-7) ...

Kutipan di atas diambil dari geguritan ”Teka-Teki 4:4 = ?” yakni pada bait kedua larik keempat sampai ketujuh yang memberikan gambaran bahwa kita dapat melihat, meraba apa yang menjadi keinginan kita yaitu uang, rumah, senjata dan kendaraan.

(17)

Sesuatu yang dapat diraba atau disentuh (imaji taktil) ...

kok slempitke ing selane kriputmu

kok ukel ing gelung kondhe (g. 1, b. 2, l. 5-6) ....

Terjemahan ...

kamu sisipkan di sela keriputmu

kamu gulung di gelung kondhe (g. 1, b. 2, l. 5-6) ...

Kutipan di atas terdapat dalam geguritan ”Simbah; Ayumu Ing Ngedhi”. Kata kriput ’keriput’ yang mewakili imaji taktil. Karena keriput merupakan sesuatu yang dapat disentuh ataupun diraba.

....

raga-sukma kuwi siji, bedane

kasar-alus----papane ing kulit kalam (g.3, b.1, l.3-4) ....

Terjemahan ....

raga-sukma itu satu, perbedaannya

kasar-halus---tempatnya di kulit kalam (g.3, b.1, l.3-4) ....

Kutipan di atas diambil dari geguritan ”1 X 1= 1” yakni kata raga ’raga’, sukma ’sukma’, kasar ’kasar’ dan alus ’halus’ yang memberikan perbedaan yang mendasar pada setiap diri mahluk hidup. Ada raga yang berwujud dan sukma yang berarti nyawa atau jiwa. Dan diterangkan selanjutnya dengan sangat jelas yaitu kasar dan halus yang dapat diraba (imaji taktil)

(18)

...

Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha (g. 4, b. 2, l. 4-7) ….. Terjemahan ...

sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang-

rumah- keris

dan kuda (g. 4, b. 2, l. 4-7) …..

Geguritan ”Teka-Teki 4: 4 = ?” pada bait kedua larik keempat sampai ketujuh menunjukkan imaji taktil dan imaji visual. Kata arta ’uang’, wisma ’rumah’, curiga ’keris’ dan kudha ’kuda’ menunujukkan benda yang dapat disentuh ataupun diraba dan dapat dilihat.

... Empuk atose adhem panas laras + blero peret lunyu ( g. 8, b.1, l. 15-18) ….. Terjemahan ... Lunak keras dingin panas laras + blero keset licin ( g. 8, b.1, l. 15-18) ... .

Kutipan di atas dari geguritan ”Sasmita Kiwa-Tengen” yakni pada bait pertama larik kelima belas sampai delapan belas. Imaji taktilnya yaitu empuk ’lunak’, atos ’keras’, peret ’keset’ dan lunyu ’licin’.

(19)

Uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kesepuluh geguritan pilihan karya Suwardi Endraswara mempunyai pengimajian yang baik. Hal ini didukung oleh diksi yang tepat sehingga mampu menghasilkan suatu penghayatan melalui imaji visual, dan imaji taktil. Seperti kita hayati secara konkret melalui penglihatan ataupun citarasa.

c. Kata Konkret

Kata konkret erat sekali hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Penyair seolah-olah mengajak para pembaca untuk ikut merasakan, mendengar dan melihat. Berikut ini analisis kata konkret dalam geguritan Suwardi Endraswara yang berjudul ”Sadurunge Teka’ Apa Sing Lunga”.

nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas

urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi?

:sawise menyang ngendi? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Terjemahan

ya, sebelumnya; belum kedahuluan sudah mulai tertinggal pesan

hidup terjemput ajal manis tertutup pahit :sebelum dari mana?

:sesudah mau kemana? (g. 2, b. 2, l. 1-6)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa penyair memberikan pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya sendiri dan orang lain. Ada rasa kebingungan dalam hati penyair tentang kehidupan ini, dengan mempertegas hidup terjemput ajal sebelum dari mana dan sesudah mau kemana. Ada juga penggambaran kesusahan hidup yang dialami oleh penyair. Geguritan yang berjudul ”Dalan ; Abang-Kuning-Ireng-Putih terdapat kata kongkret yakni

(20)

pada bait pertema, larik kedua sampai kelima, penggambarannya pada kutipan di bawah ini:

...

Mara enggal unggalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalan- mu kang mengangah; dalan kebak gegam- baran, wewayangan (g. 6, b.1, l. 2-5) …..

Terjemahan …..

lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalan- mu yang membara: jalan penuh lu-

kisan, bayang-bayang (g. 6, b.1, l. 2-5) ...

Dijelaskan di atas bahwa penyair memberikan gambaran kesusahan hidup, berbagai macam persoalan yang harus dihadapi. Penyair mengibaratkan dengan jalan yang bersimpangan dan bercabang-cabang. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan dilalui. Kutipan di bawah ini penggambaran permintaan seorang penyair (hamba) kepada Tuhan supaya diberi kemudahan dalam hidup didunia dan akhirat. Lihat kutipan berikut:

...

Tatarana dalane pasu- witan, dalan pasujud- an, lan dalane pangu ripan. Padhangana da- lane pati, dalane ka-

swargan, lan kamulyan (g. 6, b. 4, l. 2-6) ...

Terjemahan ...

berilah jalannya mengab- di, jalan pasujud-

an, dan jalan kehi- dupan. Terangkanlah ja- lan kematian, jalan ke

(21)

...

Kutipan di bawah ini merupakan geguritan yang berjudul ”Siklus Apa-Ana” yaitu bait pertama, larik kesatu sampai keempat yang menunujukkan kata kongkret. Penyair memberikan pengibaran api yang terasa panas, berbuat benar endapatkan kebenaran, dan apabila kita tersenyum alan membuat orang lain jatuh hati.

gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan

gawe esem bisa sengsem (g. 9, b.1, l. 1-4) ...

Terjemahan

membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar

membuat sabda bisa jalan terang

membuat senyum bisa jatuh hati (g. 9, b.1, l. 1-4) ...

Pengkonkretan dimaksudkan agar pembaca membayangkan dengan secara jelas dan lebih hidup peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh Suwardi Endraswara. Dengan demikian pembaca dapat memahami apa yang dimaksud oleh penyair dalam karyanya.

d. Versifikasi Rima

Versifikasi yakni bunyi dalam puisi yang menghasilkan rima dan ritma. Versifikasi rima ada tiga kekhususan purwakanthi ‘persajakan’, yaitu asonansi atau purwaknthi swara ‘persamaan bunyi vokal’, purwakanthi sastra ‘persamaan bunyi konsonan’ dan purwakanthi lumaksita ‘pengulangan kata atau suku kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya’. Contohnya sebagai berikut :

(22)

a. Purwakanthi Swara ’Asonansi’

Purwakanthi swara yaitu persamaan bunyi vokal. Geguritan Suwardi Endrasawara banyak ditemukan purwakanthi swara kutipannya sebagai berikut :

...

sadurunge srengenge sesingidan

apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang (g. 2, b.1, l. 3-4) ....

Terjemahan ....

sebelum matahari bersembunyi

apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang (g. 2, b.1, l. 3-4) ...

Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul ”Sadurunge Teka-Apa sing Lunga” yaitu pada bait pertama, larik ketiga dan keempat. Kutipan di atas menunjukkan vokal /e/ yang dikuti kata /ng/ membentuk kata /nge/ dimaksudkan untuk mempertegas kata-kata. Berbeda dengan kutipan dibawah ini :

...

pasaran-minggon, ya siji

mung seje ing etungane, dununge ing mangsa kala

awan-bengi uga siji, gumantung cahya enom-tuwa (g. 3, b.1, l. 5-7) ...

terjemahan ...

pasaran-mingguan, ya satu

hanya beda di hitungan, tempatnya di mangsa kala

siang-malam juga satu, tergantung cahaya muda-tua (g. 3, b.1, l. 5-7) …..

Pemanfaatan vokal /a/ dan vokal /e/ pada kutipan di atas menunjukkan kejelasan perbedaan antara pasaran ’pasaran’ dan minggon ’mingguan’, awan

(23)

’siang’ dan bengi ’malam’. Kutipan di atas dapat dilihat dalam geguritan ”1 X 1 = 1”. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan ”Teka-Teki 4;4 =?”

...

Mangka, aku isih wawang

nyawang watese wetan (g. 4, b. 3, l. 3-4) ...

Terjemahan ……

Padahal, aku masih bingung

melihat batas timur (g. 4, b. 3, l. 3-4) ...

Purwakanthi swara pada kutipan di atas mampu menimbulkan rasa kebingungan seorang manusia untuk melihat batas-batas antara timur, barat, selatan dan utara. Penyair sangat jeli dalam memilih vokal /a / dan bunyi –ang dari kata wawang dan nyawang. Ada variasi antara asonansi suku tertutup bunyi sengau /ng/ dengan variasai huruf vokal /a/ .

Mara enggal ungalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalan- mu kang mengangah; dalan kebak gegam- baran, wewayangan….. (g. 6, b.1, l. 1-4) Terjemahan

lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalan- mu yang membara: jalan penuh lu-

kisan, bayang-bayang…..(g. 6, b.1, l. 1-4)

Kutipan di atas diambil dari geguitan yang berjudul ”Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih. Vokal /a/ dan vokal /e/ yang mendominasi untuk memberikan gambaran dalam geguritan tersebut.

(24)

b. Purwakanthi Sastra ’Aliterasi’

Purwakanthi Sastra yaitu persamaan bunyi konsonan. Geguritan Suwardi Endraswara juga mengandung purwakanthi sastra kutipannya di bawah ini :

Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur (g.1, b.1, l.1-2) ...

Terjemahan

Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande?

usus berapa gulung yang sudah kamu ulur (g.1, b.1, l.1-2) ...

Purwakanthi sastra di atas ada rentetan huruf konsonan yaitu /s/, /p/, dan /k/ dimaksudkan untuk memberikan rasa ketegasan. Kutipan di atas dapat dilihat dalam geguritan ”Simbah; Ayumu Ing Ngendhi” pada bait pertama. Berbeda dengan kutipan di bawah ini dalam geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga”.

...

:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?

sawise rapal tansaya papal (g. 2, b.1, l. 7-10) ...

Terjemahan ...

ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil

sesudah kepalan semakin patah (g. 2, b.1, l. 7-10)

Pemanfaatan konsonan /s/ dan konsonan /l/ pada kutipan di atas untuk memberikan rasa ketidakpercayaan oleh si aku lirik.

(25)

dak terak daklari dakpecaki ( g. 8, b.1, l. 1-4) ….. Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani ( g. 8, b.1, l. 1-4) …..

Kutipan dari geguritan yang berjudul ”Sasmita; Kiwa-Tengen” pada bait pertama ada pemanfaatan konsonan /d/ dan konsonan /k/ untuk memberikan penekanan kata-kata dan makna. Kutipan di bawah ini dari geguritan “Silkus; Apa-Ana” yaitu sebagai berikut :

……

yen tuntunan dadi tontonan, yen drajat tan- pa marta- bat (g. 9, b.1, l. 18-22) ?. Terjemahan …..

kalau tuntunan menjadi tontonan, kalau

drajat tanpa marta- bat (g. 9, b.1, l. 18-22) ?.

konsonan /n/ dan konsonan /t/ mendominasi dalam kutipan di atas. Pemanfaatannya selain sebagai penekanan huruf konsonan juga sebagai penekanan makna geguritan.

(26)

c. Purwakanthi Lumaksita ’Pengulangan’

Purwakanthi Lumaksita ’pengulangan’ yaitu pengulangan kata atau suku kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya. Berikut ini kutipan dari geguritan ”Kaca Rasa” pada bait kedua dan bait ketiga.

aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi?

ing ati, ing jantung, ing sirah

apa ing sadawane otot getih mili (g. 5, b. 2, l.1-4) Terjemahan

aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi?

di hati, di jantung, di kepala

apa di panjangnya otot darah mengalir (g. 5, b. 2, l.1-4)

Kata ’ing’ menjadi penghubung atau memperjelas maksud kata yang mengikutinya. Pola rima kutipan diatas adalah ab ab. Yang menonjolkan vokal /i/, yang menjadikan satu kesatuan adalah kata ’ing’. Penyair ingin mengetahui letak dimana Tuhan ada sangkaan apakah ing ati ’di hati’, ing jantung ’di jantung’, ing sirah ’di kepala’ atau bahkan ing sadawane otot getih mili ’di sepanjang otot darah mengalir’.

gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa

bisa nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan

endi napasku (g. 5, b. 3, l. 1-5) Terjemahan

Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama

bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan

(27)

Kutipan di atas menunjukkan perulangan suku kata /ku/ yang berulang pada larik-larik berikutnya. Suku kata /ku/ mengandung makna dimiliki oleh sosok pribadi atau individual. Si aku lirik merasa keheranan, mengapa Tuhan bisa mengetahui segala seluk beluk kehidupan dan rahasia si aku lirik. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan ”Sasmita; Kiwa-Tengen”.

dak terak dak lari dak pecaki (g. 8, b.1, l. 1-4) ... Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani (g. 8, b.1, l. 1-4) …..

Kutipan di atas penyair sebagai pelaku atau memposisikan dirinya sebagai aku. Si Aku lirik menjalani sebuah larangan yang dijalani. Ada kata dak ’tak’ yang menjadikan satu kesatuan. Manusia tidak bisa terlepas dari kesalahan dan kekhilafan, ada pantangan yang dilanggar, dilakukan entah dengan sengaja maupun tidak sengaja. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Silkus; Apa-Ana” secara keseluruhan.

gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem

gawe wirid apa bisa nyanggit (g. 9, b.1, l. 1-5) Terjemahan

membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar

membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati

(28)

Kata gawe ’membuat’ dijadikan pengikat antara larik pertama sampai dengan larik kelima. Penyair mencoba ingin mengungkapkan kesederhanaan seseorang itu perlu dilakukan dan keterbukaan menjadi yang utama. Seseorang bila berbuat kejelekan mesti akan menuai dengan kejelekan pula atau sebaliknya. Bila kita tersenyum akan membuat orang lain jatuh hati.

tanpa ilat rasane suruh tanpa paes endahe wanita tanpa kaca pangilone jiwa tanpa ukum-kamuse susila tanpa rumus aksara wuta tanpa godha kandele dhadha tanpa bedil tekad kumendhel

tanpa jeneng ana jejer ngaluhur (g. 9, b.1, l. 6-13) Terjemahan

tanpa lidah rasanya suruh tanpa bersolek indahnya wanita tanpa kaca cerminnya jiwa

tanpa hukum kamusnya kesusilaan tanpa rumus huruf buta

tanpa goda tebalnya dada tanpa senapan tekad berani

tanpa nama ada bersanding keluhuran (g. 9, b.1, l. 6-13)

Pada kutipan di atas, untuk mengikat menjadi satu kesatuan larik pertama dengan larik seterusnya digunakan kata tanpa ’tanpa’. Kutipan di atas dimaksudkan bahwa kita harus hidup dalam keterusterangan alias blaka, karena dengan begitu kita akan menjadi manusia yang unggul.

ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel

(29)

Terjemahan

di mana pertanda tawar di mana wahyu berlari di mana jarum jam tumpul

di mana-gelar siwer (g. 9, b.1, l. 14-17)

Kata ing ngendi ’di mana’ menjadikan keruntutan pada baris di atas. Kata ing ngendi ’dimana’ merupakan kalimat pertanyaan yang diungkapkan oleh si aku lirik tetapi tak perlu mendapatkan jawaban.

Melihat uraian di atas versifikasi rima yang terdiri dari purwakanthi swara, purwakanthi sastra dan purwakanthi lumaksita berperan penting dalam memberikan nilai keindahan dalam puisi atau geguritan.

e. Tata wajah (Tipografi)

Tipografi dalah hal penting untuk membedakan puisi dengan drama walaupun keduanya sama-sama karya sastra. Kumpulan geguritan Suwardi Endraswara banyak sekali variasi dari penyair tentang bentuk-bentuk bait yang didesain sedemikian rupa. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.

Geguritan Suwardi Endraswara banyak sekali menggunakan tipografi. Tipografi Suwardi Endraswara termasuk dalam tipografi yang tidak konvensional artinya tidak sesuai dengan pada umumnya. Baris-baris puisi atau lariknya tidak harus dimulai dari awal atau tepian baris buku. Untuk lebih jelasnya pada Geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga”, geguritan ”Teka-Teki 4:4 = ?”, geguritan ”Sasmita Kiwa-Tengen”.

(30)

SADURUNGE TEKA; APA SING LUNGA Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin?

sadurunge srengenge sesingidan

apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan

apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?

sawise rapal tansaya papal primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling?

nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas

urip kejujul mati legi ketundhung pait

:sadurunge seka ngendi? :sawise menyang ngendi?

Tipografi pada geguritan ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” yaitu penyair memberikan bentuk pada kedua bait yaitu bait pertama dan bait kedua. Pada bait pertama membentuk belah ketupat yang pada tengah-tengah bait yang mengkerucut judul geguritan dijadikan sebagai puncak bait lalu membentuk simetris dengan larik pertama dan seterusnya. Penyair memberikan tipografi dengan sangat fariatif, solah-olah mampu bercerita dengan bentuk tipografi tersebut.

Bait kedua hanya membentuk seperempat belah ketupat, dan penyair memberikan sebuah pertanyaan retoris untuk para pembaca. Bisa juga dimaksudkan pembaca untuk melanjutkan geguritan tersebut menjadi belah ketupat yang utuh. Geguritan Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga juga memberikan isyarat bahwa hidup manusia akan menemui titik puncaknya. :Nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? Kutipan baris tersebut

(31)

menandakan keragu-raguan manusia tentang kehidupan dan kematian. Tragedi-tragedi hidup akan dilalui manusia untuk mengejar akan makna dari kehidupan dan kematian. Setengah dari ketupat juga bisa menandakan manusia menjalankan hidup dengan setengah-setengah dan tidak dengan sepenuhnya menjalankan kehidupan ini, dikarenakan masih ada keragu-raguan tentang kehidupan ataupun kehidupan setelah kematian.

Berbeda dengan bentuk tipografi geguritan yang berjudul ”Sasmita Kiwa-Tengen”. Bentuk tipografinya sebagi berikut:

SASMITA: KIWA-TENGEN ! dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih tengen kiwane swarga neraka butheg - bening kodrat iradat cenges tangis pedhes anyepe kulon wetan pati urip empuk atose adhem panas laras + blero peret lunyu arang kerep sikil sirah enom tuwa pratela nerak ora ? ***

(32)

Pada geguritan Sasmita Kiwa – Tengen di atas terlihat sekali tipografi yang di buat oleh pengarang. Baris pertama geguritan dimulai dari tengah, kemudian berurut-urutan turun kebawah membentuk sebuah perlambangan membentuk ketupat bertingkat dua. Puncak dari penggabungan kedua ketupat tersebut menggunakan kata-kata yang berlawanan yaitu kulon dan wetan. Pembaca bisa merasakan atau memaknai kata-kata kulon dan wetan sebagai arah yang tidak dapat disatukan atau bertolak belakang. Penyair juga memberikan makna yang berbeda. Kanan merupakan simbol kebaikan dan kiri merupakan simbol keburukan, tetapi penyair berusaha membalikkan keadaan tersebut. Kanan dimaknai sebagai keburukan dan kiri dimaknai sebagai kebaikan. Manusia akan memiliki berbagai macam pandangan untuk menjalankan kehidupan ini dan manusia itu kadang akan memberikan penilaian yang bertolak belakang yang diartikan kanan sebagai kiri dan kiri sebagai kanan. Penyair ingin memberikan sindiran kepada para pembaca bahwa kadang-kadang pembaca tahu bahwa itu adalah sebuah keburukan tetapi akan tetap dilakukan untyuk mencapai suatu tujuan. Tipografi dibawah ini juga membrikan makna yang berbeda. Kutipannya sebagai berikut:

TEKA-TEKI 4:4 = ? dhuh

landhepe pecahan kaca rasa rosing bumbung wang dakliling endi tumpimu? sing ngaling-alingi lelamunan

sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki

raga lan sukma ing ngendi;

lungane ana-

(33)

sir ?

bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejeki-

jodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki la-

gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha durung ning ??

apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat?

Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan

kulon kidul lor! endi kuncine minyak ang-

ka; 4 : 4 iki

?

Geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 =?” juga memiliki tipografi yang variatif. Pada bait pertama penyair membentuk susunan larik-larik membentuk ketupat yang utuh. Pada bait kedua penyair membentuk larik-larik menjadi kerucut terbalik diteruskan dengan bait ketiga. Pada puncak kerucut penyair. Dipuncak kerucut penyair memberikan simbol yaitu tanda tanya. Panyair pada geguritan di atas bermaksud ingin mengutarakan kegelisahannya akan menjalani kehidupan. Penggalan-penggalan perbait mengisyaratkan jalannya kehidupan ini. Bait pertama merupakan bentuk ketupat yang utuh artinya bahwa kehidupan ini penuh dengan teka-teki sampai akhir hayat kita belum tentu bisa memecahkan teka-teki tersebut.

Tidak hanya pada ketiga geguritan pada kutipan di atas yang terdapat tipografi, tetapi hampir kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara disusun dengan tipografi yang unik.

(34)

Rangkuman hasil analisis struktur fisik dari kesepuluh geguritan karya Suwardi Endraswara yakni diksi yang dipilih oleh pengarang sangat cermat dan pengarang memperhitungkan makna, perbendaharaan kata dan sugesti kata-kata sehingga dapat menghasilkan komposisi geguritan yang baik. Pengimajian yang dihasilkan oleh pengarang mampu dihayati secara konkret melalui penglihatan ataupun citarasa. Versifikasi rima yang digunakan oleh pengarang mampu memberikan nilai keindahan dalam geguritan. Tata wajah atau tipografi geguritan menambah keberagaman nilai keindahan dalam letak penyususunan kata-kata.

2. Struktur Batin geguritan Suwardi Endraswara a. Tema

Tema merupakan pikiran pokok penyair untuk menciptakan sebuah geuguritan atau karya sastra. Penyair mempunyai bisikan jiwa yang kuat untuk membuat geguritan dengan bertemakan religius. Kesepuluh geguritan yang dipilih peneliti tersebut bertemakan religius.

Tema religius akan terlihat pada kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara. Lebih jelasnya akan dikupas satu persatu sebagai berikut: geguritan pertama berjudul ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi” kutipannya :

Simbah; geneya malah gedheg?

apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu

ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g.1, b. 3, l. 1-4) Terjemahan

nenek; kenapa malah menggeleng?

apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti

(35)

Pada kutipan geguritan pertama dijelaskan bahwa adanya proses peralihan kehidupan yang dulunya muda menjadi tua atau yang dulu rambutnya hitam menjadi putih. Tetapi, oleh penyair ada pengkaitan yaitu keinginan atau hawa nafsu dengan peralihan yang disimbolkan hitam menjadi putih seiring dengan umur yang bertambah tua. Manusia harus mempunyai perubahan pandangan hidup ketika usia senja telah dirasakan, dan kematian pun semakin mendekati. Geguritan berjudul ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” juga bertemakan religius untuk lebih jelasnya sebagai berikut :

Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin?

sadurunge srengenge sesingidan

apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan

apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?

:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? (g. 2, b.1, l. 1-7) ...

Terjemahan

Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? sebelum matahari bersembunyi

apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan?

:ya, sebelum sebelum matahari bersembunyi (g. 2, b.1, l. 1-7) ...

Unsur religius yang terdapat pada kutipan di atas adalah kehidupan di dunia merupakan sementara. Penyair membayangkan dunia ini akan segera berakhir dan penyair mencoba mengingatkan kepada pembaca. Manusia harus bisa mengkoreksi dirinya sendiri dengan apa yang telah dilakukannya. Amal sholeh di Dunia dijadikan sebagai bekal di akherat nanti. Sebenarnya

(36)

kehidupan di Dunia ini saling silih berganti diperkuat dengan kutipan dibawah ini:

nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas

urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi?

:sawise menyang ngendi? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Terjemahan

ya, sebelumnya; belum kedahuluan sudah mulai tertinggal pesan

hidup terjemput ajal manis tertutup pahit :sebelum dari mana?

:sesudah mau kemana? (g. 2, b. 2, l. 1-6)

Kutipan geguritan di atas memberikan gambaran tentang siklus kehidupan. Manusia diingatkan bahwa hidup ada kelahiran dan ada kematian. Si Aku lirik mempertanyakan sebelum kita darimana dan sesudah kita mau kemana (sebelum lahir dan sesudah mati). Geguritan ketiga berjudul “1 X 1 = 1” yang mengisahkan bahwa setiap ciptaan Tuhan selalu berpasangan.

Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma kuwi siji, bedane

kasar-alus----papane ing kulit kalam (g. 3, b.1, l.1-4) Terjemahan

Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma itu satu, perbedaannya

kasar-halus---tempatnya di kulit kalam(g. 3, b.1, l.1-4)

Maksud dari kutipan di atas adalah manusia diciptakan laki-laki dan perempuan yang menjadi satu pasangan dan yang membedakan adalah

(37)

kelaminnya (lingga dan yoni) dan tempatnya dimata (penglihatan). Raga dan sukma adlah satu yang membedakan adalah yang berujud dan tidak berujud.

...

titah-kang nitahake siji, bedane penguwasane dununge ing alam pepesthen

pesthi lan pestha, ora beda

gumantung pangulahe budi (g. 3, b.1, l. 11-14) ……

Terjemahan ...

perintah-yang memerintah satu, beda kekuasaannya tempatnya di alam

pasti dan pesta, tidak beda

tergantung pengolahan budi (g. 3, b.1, l. 11-14) ……

Segala yang dilakukan oleh manusia merupakan perintah dari Tuhan. manusia mendapatkan perintah yakni menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan, dalam artian lakukanlah hal yang baik dan jangan melakukan kejelekan. Geguritan keempat berjudul “Teka-Teki 4:4 = ?”. Kutipannya sebagai berikut :

bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejeki-

jodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha durung ning (g. 3, b. 2, l. 1-9) ?? Terjemahan bumi-api-air-angin, sesudah hidup mati-rejeki-

jodoh- langkah lepas? sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang-

(38)

rumah- keris dan kuda belum

tapi (g. 3, b. 2, l. 1-9) ??

Kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsur yang diciptakan oleh Tuhan. Kesemuanya akan saling menopang dan melengkapi. Anasir bumi, api, air, angin merupakan satu kesatuan yang ada di dalam kehidupan ini., tetapi unsur-unsur tersebut akan terlepas sesudah kematian, seperti juga dengan hidup, mati, rejeki dan jodoh semuanya telah diatur oleh Tuhan.

…..

apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan

kulon kidul lor! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ...

Terjemahan ...

apa harus memelihara sarengat-tare- kat-hakikat serta makrifat?

Padahal, aku masih bingung melihat batas timur

barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ...

Kutipan di atas memperlihatkan kebingungan seorang penyair tentang apa yang harus diperbuat untuk mengetahui batas-batas antara timur, barat, selatan, dan utara. Apakah harus menjalankan sarekat, tarekat, hakikat dan makrifat untuk mengetahui batas-batas itu. Geguritan yang kelima berjudul ”Kaca Rasa” secara garis pengakuan penyair tentang kedekatannya dengan Tuhan. Kutipannya sebagai berikut:

(39)

Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh

:wis suwe lehku nglinthing

:wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan (g. 5, b.1, l. 1-4) Terjemahan

Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l. 1-4) : sudah lama saya mendidik

: sudah beberapa lama saya menyanjung, bertegur sapa (g. 5, b.1, l. 1-4) ...

Bila kita membaca kutipan di atas sesungguhnya merupakan penggambaran yang selalu menjadi perbincangan hangat bahwa penyair merasa sudah lama mengenal Tuhan tetapi terasa masih jauh, itu menandakan tingkat ketaqwaan kita terhadap Tuhan masih kurang sempurna atau kita kurang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Tuhan. Maka si penyair merasa heran dengan Tuhan mengapa bisa mengetahui segala tentang kehidupannya. Seperti kutipan di bawah ini :

gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa

bisa nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan

endi napasku? (g. 5, b. 3, l.1-5) Terjemahan

Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama

bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan

mana nafasku? (g. 5, b. 3, l.1-5)

Geguritan yang keenam berjudul “Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” merupakan geguritan yang berisi pengharapan kepada Tuhan.

(40)

Dalan Ireng

Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngum- petke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan. Kuncinen dalane tikus mbobol dluwang lunges, dalane macan ngi- ngis siyung, lan dalane tlapuk-

an ngumbar mripat angujiwat!! (g. 6, b. 3, l. 1-8) Terjemahan

Jalan Hitam

tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig yang suka memotong jalan, suka menyem- bunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan. Kuncilah jalannya tikus membobol kertas kumal, jalannya harimau

memperlihatkan taringnya, dan jalannya

kelopak mata membiarkan mata mengerling (g. 6, b. 3, l. 1-8)

Jalan Hitam mempunyai arti jalan kejelekan. Pengharapan penyair supaya orang-orang yang melakukan kejelekan segera insyaf dan kembali kejalan yang benar, sesuai dengan kutipan dibawah ini :

Dalan Putih

Tatarana dalane pasu- witan, dalan pasujud- an, lan dalane pangu ripan. Padhangana da- lane pati, dalane ka-

swargan, lan kamulyan (g. 6, b. 4, l.1-6) Terjemahan

Dalan Putih

berilah jalannya mengab- di, jalan pasujud-

an, dan jalan kehi- dupan. Terangkanlah ja- lan kematian, jalan ke

surga, dan kemuliaan (g. 6, b. 4, l.1-6) ...

Kutipan di atas mengisayarakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan jalan kecerahan di dalam kehidupan ini yaitu jalan mengabdi

(41)

kepada Tuhan, jalan pasujuttan, dan jalan kehidupan. Geguritan ketujuh berjudul ”Tembang: 3-M” merupakan geguritan yang menceritakan siklus kehidupan manusia di dunia ini yakni lahir, menikah dan mati. Manusia tidak dapat terlepas dari itu semua yaitu lahir, menikah dan mati. Untuk lebih jelasnya kutipannya sebagai berikut:

U rip Mijil cumiprate cahya putih

pupus warna ireng Sinom

pangename rasa trubus

mbabar cepaka mulya (g. 7, b.1-2, l. 1-10) ….. Terjemahan Hi dup Mijil terpantulnya cahaya putih

memupus warna hitam Sinom

terjalinnya rasa tunas

membuka cempaka mulia (g. 7, b.1-2, l. 1-10) …..

Kutipan di atas memberikan penggambaran siklus kehidupan. Bahwa manusia tercipta dari nur (cahaya) yang berwarna putih yang memupus warna hitam.

……

Asmaradana anetepi kodrat

jejere jalu wanita (g. 7, b. 4, l. 1-3) ……

(42)

Terjemahan ……

Asmarandana sesuai kodrat

bersandingnya laki-laki dan perempuan (g. 7, b. 4, l. 1-3)

Laki-laki dan perempuan akan mengikat dirinya menjadi satu dalam sebuah prosesi pernikahan. Keduanya akan saling menyerahkan dan saling memberi, sampai akhirnya kematian datang menjemput yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:

Megatroh mupus pisang anepusi pesthi

anetepi janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) Terjemahan

Megatruh pupus pisang mengukur takdir

menepati janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) ....

Geguritan kedelapan berjudul ”Sasmita; Kiwa-Tengen”. Tema religius dalam geguritan ini sangat kental sekali. Salah satunya kutipan di bawah ini :

dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih tengen kiwane swarga neraka (g. 8, b.1, l. 1-9) ... Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani batal haram

(43)

hitam putih kanan kiri

surga neraka (g. 8, b.1, l. 1-9) ...

Kehidupan di dunia setiap orang tidak akan lepas dari segala kesalahan. Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasangan ada hitam, putih, kanan, kiri dll, walaupun manusia kadangkala melakukan semuanya yaitu antara kebaikan dan keburukan. Geguritan kesembilan berjudul “Siklus; Apa-Ana”. Geguritan Siklus Apa-Ana mengingatkan manusia untuk berbuat kebaikan sesuai dengan pepatah jawa sapa nandur bakal ngunduh.

gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem

gawe wirid apa bisa nyanggit (g. 9, b.1, l. 1-5) ...

Terjemahan

membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar

membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati

membuat wirid apa bisa menggarang (g. 9, b.1, l. 1-5) ...

Maksud dari kutipan di atas yaitu bila kita berbuat kejelekan kita juga akan menuai kejelekan atau sebaliknnya. Pengibaratan lain bila kita tersenyum mebuat orang laian akan jatuh hati kepada kita atau bersimpatik. Membuat wirid dalam artian menyebut asma Allah, sedangkan apa bisa mengarang mempunyai arti kita tidak boleh menutup-nutupi kesalahan kita. Geguritan yang kesepuluh berjudul ”Sketsa: Endhog Sapetarangan”. Geguritan ini menceritakan perjalanan manusia untuk mencari kesejatian

(44)

hidup. Si aku lirik mencoba memilah-milah antara kebaikan dengan keburukan seperti pada kutipan di bawah ini:

Sukmaku nunggal welat sing ketlincut uninga, nalika drijiku natah na- sib; dalan iki katon mengkol lan sisip. Dak bringkali

ayat-ayat, sepi!! (g.10, b.1, l. 1-5) …..

Terjemahan

Sukmaku menyatu yang hilang

perlu diketahui, pada saat jari-jari ini menatah na- sib; jalan ini terlihat membelok

dan tidak beraturan. Saya pilah-pilah ayat-ayat, sunyi!! (g.10, b.1, l. 1-5)

Akhirnya ditemukannya empat hawa nafsu yang terdapat dalam diri manuisa yakni sufiah, mutmainah, aluamah dan amarah. Kutipannya sebagai berikut :

kuning nepsu supiah (pengawak Togog)

putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar)

klamudan loyang kuwi dadi aluamahmu (ragane Saraita)

lan cengkorongane kuwi minangka amarahmu (raga Manikmaya) (g. 10, b. 4, l. 1-8)

…… Terjemahan

kuning nafsu supiah (berbadan Togog)

putih tempatnya nafsu mutmainah (berbadan Semar)

klamudan itu menjadi aluamahmu (badannya Saraita)

dan cangkangnya itu sebagai amarahmu (badan Manikmaya) (g. 10, b. 4, l. 1-8) ...

(45)

Berdasarkan uraian di atas dapat di tarik kesimpulan sementara bahwa tema dari kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara adalah religius yaitu adanya bermacam-macam aspek persoalan didalam kehidupan yang membuat orang untuk lebih taqwa dan mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.

b. Perasaan (Feeling)

Penyair mengekspresikan karyanya dipengaruhi oleh suasana perasaan dan pembaca perlu menghayati. Geguritan Suwardi Endraswara bertemakan religius dan penyair mengekspresikan suasana perasaan pada waktu itu ada suasana perasaan sedang berkecamuk kutipannya sebagai berikut yaitu pada geguritan berjudul ”Sadurunge Teka-Apa Sing Lunga”:

...

sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?

sawise rapal tansaya papal

primbon apa sing isih kena dicekel? (g. 2, b.1, l. 8-11) ……..

Terjemahan ……

sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil

sesudah kepalan semakin patah

primbon apa yang masih bisa dipegang (g. 2, b.1, l. 8-11) …….

Kutipan di bawah ini juga merupakan ekspresi perasaan penyair yaitu dalam geguritan ”Teka-Teki 4:4=?” . Kutipannya sebagai berikut :

apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan

(46)

Terjemahan

apa harus memelihara sarengat-tare- kat-hakikat serta makrifat?

Padahal, aku masih bingung melihat batas timur

barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5)

Perasaan di atas mempunyai kebingungan tentang apa yang harus dilakukan. Apa harus memelihara sarengat ‘syariat’, tarekat ‘tarikat’, hakikat ‘hakikat’ serta makrifat ‘makrifat’ untuk mengetahui batas-batas arah yang masih belum jelas. Geguritan “Kaca Rasa” juga menggambarkan perasaan penyair. Kutipannya sebagai berikut:

gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa

bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan

endi napasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5) Terjemahan

heran saya, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama

bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan

mana nafasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa di dalam perasaan penyair ada rasa ketidakpercayaan atau merasa takjub dengan sifat Tuhan Yang Maha Tahu, bisa mengetahui segala yang dimiliki oleh penyair.

...

ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel

ing ngendi-gelar siwer (g. 9, b. 1, l.14-17) ...

(47)

Terjemahan ...

di mana pertanda tawar di mana wahyu berlari di mana jarum jam tumpul

di mana-gelar sewer (g. 9, b. 1, l.14-17) …..

Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul “Silkus; Apa-Ana”. Penyair mempunyai rasa kebingungan kemana harus mengutarakan pertanyaan yang berada di dalam benaknya.

Berdasarkan analisis diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa perasaan penyair mempengaruhi penciptaan geguritan.

c. Nada dan suasana (tone)

Nada bisa diartikan sebagai sikap penyair terhadap pembaca. Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca, ini disebut sebagai nada (tone) (Herman J. Waluyo, 1995 : 125). Nada dan suasana berhubungan puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga salah satu baitnya mengekspresikan nada dan suasana. Kutipannya di bawah ini:

...

sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga?

sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun (g. 2, b.1, l. 5-8) ...

(48)

Terjemahan ...

sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan? ya, sebelum datang-apa yang akan pergi?

sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya (g. 2, b.1, l. 5-8) ...

Kutipan di atas bila dibaca akan menimbulkan pemikiran dan perenungan bagi para pembaca. Penyair mengingatkan bagi pembaca seandainya kehidupan di dunia ini tinggal sebentar apakah sudah ada yang buat bawaan? dan tanah (dunia) ini sudah tidak mau tertindih oleh kaki (ditempati). Suasana bagi pembaca akan merasa mencekam ketika mengetahui dunia ini akan berakhir. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 = ?”

...

Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha durung ning (g. 4, b. 2, l. 4-9) ?? Terjemahan ...

sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang- rumah- keris dan kuda belum tapi (g. 4, b. 2, l. 4-9) ??

Nada dalam kutipan di atas pelan mengisyaratkan orang yang bersedih dan kecewa, karena baru saja kehilangan uang, rumah, keris dan kuda. Kutipan di bawah ini juga masih menimbulkan nada dan suasana bagi

(49)

pembaca. Kutipan diambil dari geguritan ”Kaca Rasa”. Kutipannya sebagai berikut :

Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh (g. 5, b.1, l. 1-2) ……

Terjemahan

Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l. 1-2)

Kutipan di atas mempunyai maksud bahwa ada pengakuan dan keterusterangan dari penyair. Sesungguhnya penyair sudah lama dekat dengan Tuhan tetapi rasanya masih jauh. Penyair memberikan suasana yang gundah gulana dikarenakan masih jauh dengan Tuhan. Kutipan di bawah ini dari geguritan ”Tembang 3-M”. Kutipannya sebagai berikut:

...

Asmaradana anetepi kodrat jejere jalu wanita Kinanthi

kumanthile

ati sajuga kenthel (g. 7, b. 3-4, l. 1-6) ……

Terjemahan ...

Asmarandana sesuai kodrat

bersandingnya laki-laki dan perempuan Kinanthi

tertariknya

sebuah hati kental (g. 7, b. 3-4, l. 1-6) ……

Penyair pada kutipan di atas mencoba menghadirkan suasana yang bahagia, yaitu dengan bersandingnya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.

(50)

Uraian di atas menjelaskan tentang nada dan suasana penyair atau pengarang pada waktu penciptaan geguritan. Nada dan suasana mempengaruhi terhadap hasil karya penyair.

d. Amanat (Pesan)

Amanat dalam sebuah karya sastra dapat tersirat dan tersurat, tergantung kepada penyair yang menciptakan karya sastra tersebut. Herman J.Waluyo juga mengatakan bahwa amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan (1995: 130). Amanat yang terdapat geguritan Simbah Ayumu Ing Ngendhi” adalah sebgai berikut :

...

apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepeningan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu

ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g. 1, b. 3, l. 2-4) Terjemahan

……

apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti

tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g. 1, b. 3, l. 2-4)

Penyair mengisyaratkan kepada kita bahwa kita harus dapat mengendalikan hawa nafsu kita di dunia. Sesuai dengan perpindahan atau evolusi perubahan fisik yang muda menjadi tua yang semula rambut kita hitam menjadi putih. Kutipan di bawah ini merupakan amanat dari geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga” :

…..

sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?

:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? (g. 2, b.1, l. 5-7) …..

(51)

Terjemahan …..

sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan?

ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? (g. 2, b.1, l. 5-7) …..

Penyair dari kutipan di atas mengajukan sebuah pertanyaan mengumpamakan bahwa dunia ini hanya tinggal sebentar, apakah ada yang sudah kita punya untuk bekal tentunya amalan ibadah kita, lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang sangat menggelitik seperti ketika orang datang silih berganti sebelum datang apa yang akan pergi?.

...

sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?

sawise rapal tansaya papal

primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? (g. 2, b.1, l. 8-13) Terjemahan

...

sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil

sesudah kepalan semakin patah

primbon apa yang masih bisa dipegang

sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya apa masih ada puisi pesan? (g. 2, b.1, l. 8-13)

Amanat dari kutipan di atas adalah manusia harus berusaha untuk bisa mencari pegangan hidup sebagai bekal mengarungi kehidupan. Rasa optimis harus selalu dijunjung untuk memperoleh sesuatu yang berguna sebagai pedoman hidup, walapun sudah tidak yang dijadikan sebagai pedoman. Berikut ini kutipan dari geguritan ”1 X 1 = 1” ;

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan novel yang berjudul “ Memoirs of a Geisha ” maka tema dalam novel ini adalah berceritakan tentang perjalanan hidup seorang gadis kecil dari desa?. hingga menjadi

digunakan dalam menganalisis karya sastra Indonesia memerlukan waktu yang lama namun tepat sesuai dengan pendekatan manusia, dan sistem ini dibuat untuk membantu menguji

Pada aplikasi PMI, petugas menekan tombol scan QR donor untuk memindai QR dari detail transaksi donor, jika QR sesuai maka status dari transaksi akan berubah menjadi telah

b) Pemeriksaan kepala dan muka: rambut hitam, bersih, tiada benjolan. Muka tidak pucat dan tiada odema, simetris konjungtiva tidak ikterik, sklera putih. Hidung bersih, , dan

Secara umum permasalahan pembangunan di Kabupaten Sleman sesuai dengan urusan dikelompokkan menjadi 6 (enam) bidang yaitu (1) Permasalahan Bidang Sumber Daya Manusia

digunakan dalam menganalisis karya sastra Indonesia memerlukan waktu yang lama namun tepat sesuai dengan pendekatan manusia, dan sistem ini dibuat untuk membantu menguji

Sedangkan perbedaan yang lain adalah dalam agama Islam setelah manusia mengalami kematian maka akan mengalami perjalanan-perjalanan untuk menuju ke alam akhirat seperti; alam

Selagi berkembang melalui waktu yang panjang dan melewati berbagai negara di Eropa yang mana memiliki kemiripan fisik dan kultur, ballet tidak lagi diartikan dan berubah