• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKA-TEKI 4:4 = ? dhuh

2. Struktur Batin geguritan Suwardi Endraswara a. Tema

Tema merupakan pikiran pokok penyair untuk menciptakan sebuah geuguritan atau karya sastra. Penyair mempunyai bisikan jiwa yang kuat untuk membuat geguritan dengan bertemakan religius. Kesepuluh geguritan yang dipilih peneliti tersebut bertemakan religius.

Tema religius akan terlihat pada kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara. Lebih jelasnya akan dikupas satu persatu sebagai berikut: geguritan pertama berjudul ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi” kutipannya :

Simbah; geneya malah gedheg?

apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepinginan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu

ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g.1, b. 3, l. 1-4) Terjemahan

nenek; kenapa malah menggeleng?

apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti

Pada kutipan geguritan pertama dijelaskan bahwa adanya proses peralihan kehidupan yang dulunya muda menjadi tua atau yang dulu rambutnya hitam menjadi putih. Tetapi, oleh penyair ada pengkaitan yaitu keinginan atau hawa nafsu dengan peralihan yang disimbolkan hitam menjadi putih seiring dengan umur yang bertambah tua. Manusia harus mempunyai perubahan pandangan hidup ketika usia senja telah dirasakan, dan kematian pun semakin mendekati. Geguritan berjudul ”Sadurunge Teka; Apa Sing Lunga” juga bertemakan religius untuk lebih jelasnya sebagai berikut :

Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin?

sadurunge srengenge sesingidan

apa wis kok lari kumleyange ayang-ayang? sadurunge rembulan kari sacliritan

apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?

:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? (g. 2, b.1, l. 1-7) ...

Terjemahan

Sebelum angin membelai daun melipat apa sudah kau genggam sarang angin? sebelum matahari bersembunyi

apa sudah kau kejar perginya bayang-bayang? sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan?

:ya, sebelum sebelum matahari bersembunyi (g. 2, b.1, l. 1-7) ...

Unsur religius yang terdapat pada kutipan di atas adalah kehidupan di dunia merupakan sementara. Penyair membayangkan dunia ini akan segera berakhir dan penyair mencoba mengingatkan kepada pembaca. Manusia harus bisa mengkoreksi dirinya sendiri dengan apa yang telah dilakukannya. Amal sholeh di Dunia dijadikan sebagai bekal di akherat nanti. Sebenarnya

kehidupan di Dunia ini saling silih berganti diperkuat dengan kutipan dibawah ini:

nun, sadurunge; durung kesusul uwis lekas ketinggal wekas

urip kejujul mati legi ketundhung pait :sadurunge seka ngendi?

:sawise menyang ngendi? (g. 2, b. 2, l. 1-6) Terjemahan

ya, sebelumnya; belum kedahuluan sudah mulai tertinggal pesan

hidup terjemput ajal manis tertutup pahit :sebelum dari mana?

:sesudah mau kemana? (g. 2, b. 2, l. 1-6)

Kutipan geguritan di atas memberikan gambaran tentang siklus kehidupan. Manusia diingatkan bahwa hidup ada kelahiran dan ada kematian. Si Aku lirik mempertanyakan sebelum kita darimana dan sesudah kita mau kemana (sebelum lahir dan sesudah mati). Geguritan ketiga berjudul “1 X 1 = 1” yang mengisahkan bahwa setiap ciptaan Tuhan selalu berpasangan.

Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma kuwi siji, bedane

kasar-alus----papane ing kulit kalam (g. 3, b.1, l.1-4) Terjemahan

Laki-perempuan itu satu, perbedaannya hanya di cetakkannya X-Y---letaknya di mata raga-sukma itu satu, perbedaannya

kasar-halus---tempatnya di kulit kalam(g. 3, b.1, l.1-4)

Maksud dari kutipan di atas adalah manusia diciptakan laki-laki dan perempuan yang menjadi satu pasangan dan yang membedakan adalah

kelaminnya (lingga dan yoni) dan tempatnya dimata (penglihatan). Raga dan sukma adlah satu yang membedakan adalah yang berujud dan tidak berujud.

...

titah-kang nitahake siji, bedane penguwasane dununge ing alam pepesthen

pesthi lan pestha, ora beda

gumantung pangulahe budi (g. 3, b.1, l. 11-14) ……

Terjemahan ...

perintah-yang memerintah satu, beda kekuasaannya tempatnya di alam

pasti dan pesta, tidak beda

tergantung pengolahan budi (g. 3, b.1, l. 11-14) ……

Segala yang dilakukan oleh manusia merupakan perintah dari Tuhan. manusia mendapatkan perintah yakni menjauhi larangan Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan, dalam artian lakukanlah hal yang baik dan jangan melakukan kejelekan. Geguritan keempat berjudul “Teka-Teki 4:4 = ?”. Kutipannya sebagai berikut :

bumi-geni-banyu-angin, sawise urip kuruan pati-rejeki-

jodho-jangkah rumpil? Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha durung ning (g. 3, b. 2, l. 1-9) ?? Terjemahan bumi-api-air-angin, sesudah hidup mati-rejeki-

jodoh- langkah lepas? sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang-

rumah- keris dan kuda belum

tapi (g. 3, b. 2, l. 1-9) ??

Kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsur yang diciptakan oleh Tuhan. Kesemuanya akan saling menopang dan melengkapi. Anasir bumi, api, air, angin merupakan satu kesatuan yang ada di dalam kehidupan ini., tetapi unsur-unsur tersebut akan terlepas sesudah kematian, seperti juga dengan hidup, mati, rejeki dan jodoh semuanya telah diatur oleh Tuhan.

…..

apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan

kulon kidul lor! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ...

Terjemahan ...

apa harus memelihara sarengat-tare- kat-hakikat serta makrifat?

Padahal, aku masih bingung melihat batas timur

barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ...

Kutipan di atas memperlihatkan kebingungan seorang penyair tentang apa yang harus diperbuat untuk mengetahui batas-batas antara timur, barat, selatan, dan utara. Apakah harus menjalankan sarekat, tarekat, hakikat dan makrifat untuk mengetahui batas-batas itu. Geguritan yang kelima berjudul ”Kaca Rasa” secara garis pengakuan penyair tentang kedekatannya dengan Tuhan. Kutipannya sebagai berikut:

Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh

:wis suwe lehku nglinthing

:wis sawetara lehku ngudang, sesenggolan (g. 5, b.1, l. 1-4) Terjemahan

Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l. 1-4) : sudah lama saya mendidik

: sudah beberapa lama saya menyanjung, bertegur sapa (g. 5, b.1, l. 1-4) ...

Bila kita membaca kutipan di atas sesungguhnya merupakan penggambaran yang selalu menjadi perbincangan hangat bahwa penyair merasa sudah lama mengenal Tuhan tetapi terasa masih jauh, itu menandakan tingkat ketaqwaan kita terhadap Tuhan masih kurang sempurna atau kita kurang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Tuhan. Maka si penyair merasa heran dengan Tuhan mengapa bisa mengetahui segala tentang kehidupannya. Seperti kutipan di bawah ini :

gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa

bisa nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan

endi napasku? (g. 5, b. 3, l.1-5) Terjemahan

Saya heran, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama

bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan

mana nafasku? (g. 5, b. 3, l.1-5)

Geguritan yang keenam berjudul “Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” merupakan geguritan yang berisi pengharapan kepada Tuhan.

Dalan Ireng

Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngum- petke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan. Kuncinen dalane tikus mbobol dluwang lunges, dalane macan ngi- ngis siyung, lan dalane tlapuk-

an ngumbar mripat angujiwat!! (g. 6, b. 3, l. 1-8) Terjemahan

Jalan Hitam

tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig yang suka memotong jalan, suka menyem- bunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan. Kuncilah jalannya tikus membobol kertas kumal, jalannya harimau

memperlihatkan taringnya, dan jalannya

kelopak mata membiarkan mata mengerling (g. 6, b. 3, l. 1-8)

Jalan Hitam mempunyai arti jalan kejelekan. Pengharapan penyair supaya orang-orang yang melakukan kejelekan segera insyaf dan kembali kejalan yang benar, sesuai dengan kutipan dibawah ini :

Dalan Putih

Tatarana dalane pasu- witan, dalan pasujud- an, lan dalane pangu ripan. Padhangana da- lane pati, dalane ka-

swargan, lan kamulyan (g. 6, b. 4, l.1-6) Terjemahan

Dalan Putih

berilah jalannya mengab- di, jalan pasujud-

an, dan jalan kehi- dupan. Terangkanlah ja- lan kematian, jalan ke

surga, dan kemuliaan (g. 6, b. 4, l.1-6) ...

Kutipan di atas mengisayarakan permohonan kepada Tuhan untuk memberikan jalan kecerahan di dalam kehidupan ini yaitu jalan mengabdi

kepada Tuhan, jalan pasujuttan, dan jalan kehidupan. Geguritan ketujuh berjudul ”Tembang: 3-M” merupakan geguritan yang menceritakan siklus kehidupan manusia di dunia ini yakni lahir, menikah dan mati. Manusia tidak dapat terlepas dari itu semua yaitu lahir, menikah dan mati. Untuk lebih jelasnya kutipannya sebagai berikut:

U rip Mijil cumiprate cahya putih

pupus warna ireng Sinom

pangename rasa trubus

mbabar cepaka mulya (g. 7, b.1-2, l. 1-10) ….. Terjemahan Hi dup Mijil terpantulnya cahaya putih

memupus warna hitam Sinom

terjalinnya rasa tunas

membuka cempaka mulia (g. 7, b.1-2, l. 1-10) …..

Kutipan di atas memberikan penggambaran siklus kehidupan. Bahwa manusia tercipta dari nur (cahaya) yang berwarna putih yang memupus warna hitam.

……

Asmaradana anetepi kodrat

jejere jalu wanita (g. 7, b. 4, l. 1-3) ……

Terjemahan ……

Asmarandana sesuai kodrat

bersandingnya laki-laki dan perempuan (g. 7, b. 4, l. 1-3)

Laki-laki dan perempuan akan mengikat dirinya menjadi satu dalam sebuah prosesi pernikahan. Keduanya akan saling menyerahkan dan saling memberi, sampai akhirnya kematian datang menjemput yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:

Megatroh mupus pisang anepusi pesthi

anetepi janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) Terjemahan

Megatruh pupus pisang mengukur takdir

menepati janji suci (g. 7, b. 10, l. 1-4) ....

Geguritan kedelapan berjudul ”Sasmita; Kiwa-Tengen”. Tema religius dalam geguritan ini sangat kental sekali. Salah satunya kutipan di bawah ini :

dak terak daklari dakpecaki batal haram ireng putih tengen kiwane swarga neraka (g. 8, b.1, l. 1-9) ... Terjemahan saya langgar saya cari saya jalani batal haram

hitam putih kanan kiri

surga neraka (g. 8, b.1, l. 1-9) ...

Kehidupan di dunia setiap orang tidak akan lepas dari segala kesalahan. Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasangan ada hitam, putih, kanan, kiri dll, walaupun manusia kadangkala melakukan semuanya yaitu antara kebaikan dan keburukan. Geguritan kesembilan berjudul “Siklus; Apa-Ana”. Geguritan Siklus Apa-Ana mengingatkan manusia untuk berbuat kebaikan sesuai dengan pepatah jawa sapa nandur bakal ngunduh.

gawe geni-krasa panas gawe bener bisa bener gawe kalam bisa sinulan gawe esem bisa sengsem

gawe wirid apa bisa nyanggit (g. 9, b.1, l. 1-5) ...

Terjemahan

membuat api terasa panas berbuat benar bisa benar

membuat sabda bisa jalan terang membuat senyum bisa jatuh hati

membuat wirid apa bisa menggarang (g. 9, b.1, l. 1-5) ...

Maksud dari kutipan di atas yaitu bila kita berbuat kejelekan kita juga akan menuai kejelekan atau sebaliknnya. Pengibaratan lain bila kita tersenyum mebuat orang laian akan jatuh hati kepada kita atau bersimpatik. Membuat wirid dalam artian menyebut asma Allah, sedangkan apa bisa mengarang mempunyai arti kita tidak boleh menutup-nutupi kesalahan kita. Geguritan yang kesepuluh berjudul ”Sketsa: Endhog Sapetarangan”. Geguritan ini menceritakan perjalanan manusia untuk mencari kesejatian

hidup. Si aku lirik mencoba memilah-milah antara kebaikan dengan keburukan seperti pada kutipan di bawah ini:

Sukmaku nunggal welat sing ketlincut uninga, nalika drijiku natah na- sib; dalan iki katon mengkol lan sisip. Dak bringkali

ayat-ayat, sepi!! (g.10, b.1, l. 1-5) …..

Terjemahan

Sukmaku menyatu yang hilang

perlu diketahui, pada saat jari-jari ini menatah na- sib; jalan ini terlihat membelok

dan tidak beraturan. Saya pilah-pilah ayat-ayat, sunyi!! (g.10, b.1, l. 1-5)

Akhirnya ditemukannya empat hawa nafsu yang terdapat dalam diri manuisa yakni sufiah, mutmainah, aluamah dan amarah. Kutipannya sebagai berikut :

kuning nepsu supiah (pengawak Togog)

putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar)

klamudan loyang kuwi dadi aluamahmu (ragane Saraita)

lan cengkorongane kuwi minangka amarahmu (raga Manikmaya) (g. 10, b. 4, l. 1-8)

…… Terjemahan

kuning nafsu supiah (berbadan Togog)

putih tempatnya nafsu mutmainah (berbadan Semar)

klamudan itu menjadi aluamahmu (badannya Saraita)

dan cangkangnya itu sebagai amarahmu (badan Manikmaya) (g. 10, b. 4, l. 1-8) ...

Berdasarkan uraian di atas dapat di tarik kesimpulan sementara bahwa tema dari kesepuluh geguritan Suwardi Endraswara adalah religius yaitu adanya bermacam-macam aspek persoalan didalam kehidupan yang membuat orang untuk lebih taqwa dan mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.

b. Perasaan (Feeling)

Penyair mengekspresikan karyanya dipengaruhi oleh suasana perasaan dan pembaca perlu menghayati. Geguritan Suwardi Endraswara bertemakan religius dan penyair mengekspresikan suasana perasaan pada waktu itu ada suasana perasaan sedang berkecamuk kutipannya sebagai berikut yaitu pada geguritan berjudul ”Sadurunge Teka-Apa Sing Lunga”:

...

sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?

sawise rapal tansaya papal

primbon apa sing isih kena dicekel? (g. 2, b.1, l. 8-11) ……..

Terjemahan ……

sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil

sesudah kepalan semakin patah

primbon apa yang masih bisa dipegang (g. 2, b.1, l. 8-11) …….

Kutipan di bawah ini juga merupakan ekspresi perasaan penyair yaitu dalam geguritan ”Teka-Teki 4:4=?” . Kutipannya sebagai berikut :

apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan

Terjemahan

apa harus memelihara sarengat-tare- kat-hakikat serta makrifat?

Padahal, aku masih bingung melihat batas timur

barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5)

Perasaan di atas mempunyai kebingungan tentang apa yang harus dilakukan. Apa harus memelihara sarengat ‘syariat’, tarekat ‘tarikat’, hakikat ‘hakikat’ serta makrifat ‘makrifat’ untuk mengetahui batas-batas arah yang masih belum jelas. Geguritan “Kaca Rasa” juga menggambarkan perasaan penyair. Kutipannya sebagai berikut:

gumunku, kena apa kowe bias nggambar tanpa kertas kowe bisa crita tanpa gurit tuwa

bias nglukis alaku, wangiku, ayuku, tanpa kuas yen ngono, kowe ya ngerti wadiku, lan

endi napasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5) Terjemahan

heran saya, mengapa kamu bisa menggambar tanpa kertas kamu bisa bercerita tanpa puisi lama

bisa melukis kejelekkanku, harumku, cantikku, tanpa kuas kalau begitu, kamu juga tahu rahasiaku, dan

mana nafasku? (g. 5, b. 2, l. 1-5)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa di dalam perasaan penyair ada rasa ketidakpercayaan atau merasa takjub dengan sifat Tuhan Yang Maha Tahu, bisa mengetahui segala yang dimiliki oleh penyair.

...

ing ngendi sasmita wantah ing ngendi wahyu keplayu ing ngendi pandom bujel

ing ngendi-gelar siwer (g. 9, b. 1, l.14-17) ...

Terjemahan ...

di mana pertanda tawar di mana wahyu berlari di mana jarum jam tumpul

di mana-gelar sewer (g. 9, b. 1, l.14-17) …..

Kutipan di atas diambil dari geguritan yang berjudul “Silkus; Apa-Ana”. Penyair mempunyai rasa kebingungan kemana harus mengutarakan pertanyaan yang berada di dalam benaknya.

Berdasarkan analisis diatas maka sementara dapat disimpulkan bahwa perasaan penyair mempengaruhi penciptaan geguritan.

c. Nada dan suasana (tone)

Nada bisa diartikan sebagai sikap penyair terhadap pembaca. Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca, ini disebut sebagai nada (tone) (Herman J. Waluyo, 1995 : 125). Nada dan suasana berhubungan puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga salah satu baitnya mengekspresikan nada dan suasana. Kutipannya di bawah ini:

...

sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan? :nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga?

sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun (g. 2, b.1, l. 5-8) ...

Terjemahan ...

sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan? ya, sebelum datang-apa yang akan pergi?

sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya (g. 2, b.1, l. 5-8) ...

Kutipan di atas bila dibaca akan menimbulkan pemikiran dan perenungan bagi para pembaca. Penyair mengingatkan bagi pembaca seandainya kehidupan di dunia ini tinggal sebentar apakah sudah ada yang buat bawaan? dan tanah (dunia) ini sudah tidak mau tertindih oleh kaki (ditempati). Suasana bagi pembaca akan merasa mencekam ketika mengetahui dunia ini akan berakhir. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Teka-Teki 4:4 = ?”

...

Jer tangan iki la- gi ngusap arta- wisma-curiga lan kudha durung ning (g. 4, b. 2, l. 4-9) ?? Terjemahan ...

sesungguhnya tangan ini ba- ru mengusap uang- rumah- keris dan kuda belum tapi (g. 4, b. 2, l. 4-9) ??

Nada dalam kutipan di atas pelan mengisyaratkan orang yang bersedih dan kecewa, karena baru saja kehilangan uang, rumah, keris dan kuda. Kutipan di bawah ini juga masih menimbulkan nada dan suasana bagi

pembaca. Kutipan diambil dari geguritan ”Kaca Rasa”. Kutipannya sebagai berikut :

Satemene wis suwe nggonku cedhak nanging rasane isih adoh (g. 5, b.1, l. 1-2) ……

Terjemahan

Sesungguhnya sudah lama aku dekat tetapi rasanya masih jauh (g. 5, b.1, l. 1-2)

Kutipan di atas mempunyai maksud bahwa ada pengakuan dan keterusterangan dari penyair. Sesungguhnya penyair sudah lama dekat dengan Tuhan tetapi rasanya masih jauh. Penyair memberikan suasana yang gundah gulana dikarenakan masih jauh dengan Tuhan. Kutipan di bawah ini dari geguritan ”Tembang 3-M”. Kutipannya sebagai berikut:

...

Asmaradana anetepi kodrat jejere jalu wanita Kinanthi

kumanthile

ati sajuga kenthel (g. 7, b. 3-4, l. 1-6) ……

Terjemahan ...

Asmarandana sesuai kodrat

bersandingnya laki-laki dan perempuan Kinanthi

tertariknya

sebuah hati kental (g. 7, b. 3-4, l. 1-6) ……

Penyair pada kutipan di atas mencoba menghadirkan suasana yang bahagia, yaitu dengan bersandingnya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.

Uraian di atas menjelaskan tentang nada dan suasana penyair atau pengarang pada waktu penciptaan geguritan. Nada dan suasana mempengaruhi terhadap hasil karya penyair.

d. Amanat (Pesan)

Amanat dalam sebuah karya sastra dapat tersirat dan tersurat, tergantung kepada penyair yang menciptakan karya sastra tersebut. Herman J.Waluyo juga mengatakan bahwa amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun dan juga berada di balik tema yang diungkapkan (1995: 130). Amanat yang terdapat geguritan Simbah Ayumu Ing Ngendhi” adalah sebgai berikut :

...

apa kuwi sasmita simbah wis nyingkirake pepeningan wadhag pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu

ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi (g. 1, b. 3, l. 2-4) Terjemahan

……

apa itu teka-teki nenek sudah menghilangkan keinginan tubuh keinginan hitam berbalik putih, seperti

tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g. 1, b. 3, l. 2-4)

Penyair mengisyaratkan kepada kita bahwa kita harus dapat mengendalikan hawa nafsu kita di dunia. Sesuai dengan perpindahan atau evolusi perubahan fisik yang muda menjadi tua yang semula rambut kita hitam menjadi putih. Kutipan di bawah ini merupakan amanat dari geguritan ”Sadurunge Teka Apa Sing Lunga” :

…..

sadurunge rembulan kari sacliritan apa sing kudu diindhit, kanggo gawan?

:nun, sadurunge teka-apa sing bakal lunga? (g. 2, b.1, l. 5-7) …..

Terjemahan …..

sebelum bulan tinggal segaris

apa yang harus dibawa, buat bawaan?

ya, sebelum datang-apa yang akan pergi? (g. 2, b.1, l. 5-7) …..

Penyair dari kutipan di atas mengajukan sebuah pertanyaan mengumpamakan bahwa dunia ini hanya tinggal sebentar, apakah ada yang sudah kita punya untuk bekal tentunya amalan ibadah kita, lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang sangat menggelitik seperti ketika orang datang silih berganti sebelum datang apa yang akan pergi?.

...

sawise lemah iki emoh ketumpangan sikil, nun kepriye mamah klimah sing adil?

sawise rapal tansaya papal

primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? (g. 2, b.1, l. 8-13) Terjemahan

...

sesudah tanah ini tidak mau tertindih kaki, ya bagaimana mengunyah kata yang adil

sesudah kepalan semakin patah

primbon apa yang masih bisa dipegang

sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya apa masih ada puisi pesan? (g. 2, b.1, l. 8-13)

Amanat dari kutipan di atas adalah manusia harus berusaha untuk bisa mencari pegangan hidup sebagai bekal mengarungi kehidupan. Rasa optimis harus selalu dijunjung untuk memperoleh sesuatu yang berguna sebagai pedoman hidup, walapun sudah tidak yang dijadikan sebagai pedoman. Berikut ini kutipan dari geguritan ”1 X 1 = 1” ;

...

pesthi lan pestha, ora beda gumantung pangulahe budi

ubenge kitiran lan donya, nyakramanggilingan mung seje arahe (g. 3, b.1, l. 13-16)

……. Terjemahan

……

pasti dan pesta, tidak beda tergantung pengolahan budi putaran kincir dan dunia, berputar hanya beda arahnya (g. 3, b.1, l. 13-16) ...

Manusia harus bisa mengolah budi dan mengolah hidup, harus bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Kehidupan di dunia merupakan kepastian dari Tuhan dan segala mahluk yang diciptakan Tuhan adalah berpasang-pasangan. Manusia juga harus percaya bahwa kehidupan ini berputar seperti roda, kadang ada di atas dan kadang bisa juga di bawah.

...

wit-witan lan kasusastran, siji

padhadene ngoyot, ngepang, lan kembang mung seje rumambate

tumangkare sastra lan astronot, siji mung seje cengkoke

tunggal sedyane, tebane (g. 3, b.1, l. 17-22) Terjemahan

……

tumbuh-tumbuhan dan kesusastraan, satu sama saja berakar, bercabang, dan berbunga hanya beda

beranak sastra dan astronot, satu hanya beda iramanya

satu niat, tiba saatnya

Perjalanan kehidupan di Dunia kadang terasa menyenangkan dan kadang menyedihkan. Manusia hanya bisa menjalani dan berserah diri kepada

Tuhan. Setiap orang akan mendapatkan cobaan dari Tuhan dengan tingkat kesukaran yang berbeda-beda, tetapi pada saatnya sama-sama akan kembali kepada Tuhan. Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan “Teka-Teki 4:4 = ?”.

...

sesawanganku kaya-kaya; ketutupan teka-teki

raga lan sukma (g. 4, b.1, l.7-9) …..

Terjemahan ....

penglihatanku seperti terhalangi teka-teki

jiwa dan raga (g. 4, b.1, l.7-9)

Manusia harus mempunyai rasa kepercayaan diri yang kuat supaya tidak ragu-ragu dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam kehidupan memang banyak sekali bayangan-bayangan yang semu dan manusia harus bisa memilah-milah agar tidak tersesat kejalan yang salah.

apa kudu ngramut sarengat-tare- kat-hakikat sarta makrifat? Mangka, aku isih wawang nyawang watese wetan

kulon kidul lor! (g. 4, b. 3, l. 1-5) …..

Terjemahan

apa harus memelihara sarengat-tare- kat-hakikat serta makrifat?

Padahal, aku masih bingung melihat batas timur

barat selatan utara! (g. 4, b. 3, l. 1-5) ...

Amanat dari kutipan di atas adalah manusia harus bersungguh-sungguh menjalankan empat tingkatan ketaqwaan kepada Tuhan, supaya memperoleh

keselamatan dunia dan akherat. Geguritan kelima yaitu ”Kaca Rasa” mengamanatkan seperti kutipan di bawah ini:

Satemene wis suwe nggonku cedhak

Dokumen terkait