TEKA-TEKI 4:4 = ? dhuh
A. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa terdapat dihampir semua karya sastra. Bermacam-macam gaya bahasa yang digunakan oleh penyair untuk memberi warna yang berbeda dalam karyanya. Gaya bahasa ada beberapa macam yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan Nada, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi lagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figurative. Biasanya penyair menggunakan bahasa figurative untuk mengatakan atau mengungkapkan sesuatu.
Geguritan dalam penelitian ini mengandung bahasa figurative seperti yang telah diuraikan diatas. Adapun majas-majas yang terkandung dalam kumpulan geguritan ini adalah:
1. Majas Metafora
Metafora adalah kiasan langsung artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi kiasan itu langsung diungkapkan. Majas metafora dalam geguritan karya Suwardi Endraswara berjudul “Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” yang terdapat pada kutipan sebagai berikut:
Tablegen dalan butulan; dalane wong julig kang dhemen nyidhat dalan, seneng ngum- petke dalan, nyolong dalan, lan dodol dalan (g. 6, b. 3, l. 1-4 )
Terjemahan
tutuplah jalan simpangan: jalannya orang julig yang suka memotong jalan, suka menyem- bunyikan jalan, mencuri jalan, dan menjual jalan (g. 6, b. 3, l. 1-4)
…..
Kata memotong, menyembunyikan, mencuri dan menjual mengisayaratkan hal yang bisa diperbuat oleh manusia, tetapi kata-kata tersebut digunakan penyair untuk mengkiaskan sesuatu. Berikut ini kutipan dari geguritan “Kaca Rasa” yang mengandung majas Metafora.
…..
dongengna, yen donya kari saumure jamur kuping! (g. 5, b. 4, l. 3) …..
Terjemahan …..
dongengkan, kalau dunia tinggal seumur jamur kuping! (g. 5, b. 4, l. 3) …..
Ada sebuah pengkiasan dengan kutipan di atas yaitu bahwa dunia diibaratkan tinggal seumur jamur kuping dalam artian dunia ini akan segera berakhir atau kiamat.
...
primbon apa sing isih kena dicekel? sawise bocah angon, ora keprungu sulinge apa isih ana gurit pepeling? (g. 2, b. 2, l. 11-13) Terjemahan
...
primbon apa yang masih bisa dipegang
sesudah anak kecil mengembala, tidak terdengar sulingnya apa masih ada puisi pesan? (g. 2, b. 2, l. 11-13)
Kutipan di atas diambil dari geguritan ”Sadurunge; Teka Apa Sing Lunga”. Kata primbon, bocah angon, keprungu sulinge, merupakan pengkiasan dari pegangan hidup, Tuhan, sabda atau ajaran untuk kehidupan.
...
Kuncinen dalane tikus mbobol dluwang lunges, dalane macan ngi- ngis siyung, lan dalane tlapuk-
an ngumbar mripat angujiwat! (g. 6, b. 3, l. 4-7) ...
Terjemahan ...
Kuncilah jalannya tikus membobol kertas kumal, jalannya harimau
memperlihatkan taringnya, dan jalannya
kelopak mata membiarkan mata mengerling! (g. 6, b. 3, l. 4-7) …….
Pengkiasan dalam kutipan di atas yaitu sifat manusia yang dikiaskan dengan tikus ‘tikus’ , harimau ‘harimau’, siyung ‘taring’, dan dluwang lunges ‘kertas kumal’.
2. Majas Personifikasi
Personifikasi adalah suatu gaya bahasa yang menganggap benda mati diibaratkan sebagai persona atau manusia, hal ini digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan.
Sadurunge angin ngelus godhong nglinthing apa wis kok tekem susuhe angin? (g. 2, b.1, l. 1-2) …..
Terjemahan
Sebelum angin membelai daun melipat
apa sudah kau genggam sarang angin? (g. 2, b.1, l. 1-2) …..
Kata membelai dan mengenggam adalah perbuatan yang dilakukan oleh tangan. Dalam puisi dikatakan untuk membelai daun melihat dan mengenggam sarang angin untuk memperjelas maksud dari penyair. Kutipan di atas dapat dilihat dalam geguritan ”Sadurunge Teka-Apa Sing Lunga”. Kutipan di bawah ini dari geguritan ”Simbah; Ayumu Lunga Ing Ngendhi”.
…..
pepinginan ireng malih putih, kaya owahe rambutmu
ning ireng rambutmu lunga menyang ngendi. (g.1, b. 3, l. 3-4) Terjemahan
……
keinginan hitam berbalik putih, seperti
tapi hitamnya rambutmu pergi ke mana (g.1, b. 3, l. 3-4)
Maksud dari kutipan di atas adalah keinginan yang simbolkan dengan warna hitam dan warna warna putih. Komposisi warna tersebut untuk mempersonakan keinginan atau kehendak dari seseorang. Lebih jelasnya lihat kutipan di bawah ini dari geguritan “Sketsa Endhog Sapetarangan”.
nalika drijiku natah na- sib; dalan iki katon mengkol lan sisip….(g. 10, b.1, l. 2-4) Terjemahan
…..
pada saat jari-jari ini menatah na- sib; jalan ini terlihat membelok
dan tidak beraturan….(g. 10, b.1, l. 2-4)
‘drijiku natah nasib’ (jari-jariku menatah nasib) kalimat tersebut memberikan pengertian jari adalah bagian dari tangan yang melakukan kegiatan menatah nasib. Nasib adalah rahasia dari sang pencipta. Setiap orang sudah memiliki nasib sendiri-sendiri tinggal orang tersebut mau berusaha atau tidak. Kutipan dibawah ini juga mengandung majas personifikasi untuk lebih
jelasnya sebagai berikut dari geguritan yang berjudul “Sadurunge; Teka Apa Sing Bakal Lunga”
yen nyata kowe awas, jajal wacanen awakku sejati tulung tapakna sikile jaman iki (g. 5, b. 4, l.1-2) …..
Terjemahan
kalau nyata kamu melihat, coba baca badanku sejati tolong, aturlah kaki zaman ini (g. 5, b. 4, l.1-2) …..
Pada kutipan di atas terdapat kata badan dan kaki. Kedua kata tersebut merupakan anggota dari tubuh manusia tetapi oleh penyair digunakan untuk penjelasan penggambaran peristiwa.
3. Majas Hiperbola
Hiperbola adalah suatu kiasan yang berlebih-lebihan dalam melukiskan sesuatu. Penyair dalam proses penciptaan karyanya perlu melakukannya agar mendapat perhatian seksama dari pembaca. Berikut kutipan dari geguritan “Simbah Ayumu Ing Ngendhi”
...
bayi ndhuwur dalan lan ngisor dalan
bayi liwat dalan lan nyolong dalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ...
Terjemahan ...
bayi atas jalan dan bayi bawah jalan
bayi lewat jalan dan mencuri jalan (g. 1, b.1, l. 4-5) ...
Kutipan di atas penyair melebih-lebihkan kata-kata yaitu bayi yang bisa berjalan, padahal bayi adalah anak kecil yang belum bisa apa-apa. Ada pengungkapan lain yaitu bayi yang lewat jalan dan mencuri jalan.
….
aku kepengin ngaca ing pangilonmu kowe ana ngendi?
ing ati, ing jantung, ing sirah
apa ing sadawane otot getih mili (g. 5, b. 2, l. 1-4) Terjemahan
…..
aku ingin bercermin di cerminmu kamu ada di mana?
di hati, di jantung, di kepala
apa di panjangnya otot darah mengalir (g. 5, b. 2, l. 1-4)
Kutipan di atas menerangkan bahwa ada keinginan dari penyair untuk mengetahui letak Tuhan. Si Penyair menebak-nebak dimana letak Tuhan apakah ing ati ’di hati’, ing jantung ’di jantung’, ing sirah ’di kepala’ atau bahkan sak dawane oto getih mili ’disepanjang otot darah mengalir’?. Kutipan tersebut dari geguritan ”Kaca Rasa”. Kutipan berikut ini masih menggunakan majas Hiperbola, yaitu dari geguritan ” Dalan; Abang-Kuning-Ireng-Putih” kutipannya sebagai berikut :
...
leburen para santri- ya sing bali nda- lan! Tuduhna da -lane bayi ko- war, nyasar dalan ke -lir. Ke- giles da- lan? (g. 6, b. 4, l. 7-14)
Terjemahan ...
leburlah para satriya yang pulang ke jalan- Nya! Perlihatkanlah ja- jannya bayi haram, tersesat ke jalan sesat. Tergilas
Jalan (g. 6, b. 4, l. 7-14)
Kutipan di atas mengunakan kata yang dilebih-lebihkan yaitu bayi ’bayi’, satriya ’satria’, bayi kowar ’bayi haram’.
4. Majas Sinekdoke
Sinekdoke adalah suatu istilah penting yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte) (Gorys Keraf, 2004; 142). Kutipan di bawah ini diambil dari geguritan yang berjudul ”Simbah Ayumu Ing Ngendhi”.
Simbah; wis sirah pira kang kok pande? usus pirang ukel sing kok ulur (g.1, b.1, l. 1-2) ...
Terjemahan
Nenek; sudah kepala berapa yang kamu pande?
usus berapa gulung yang sudah kamu ulur (g.1, b.1, l. 1-2) …..
Kutipan di atas adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada seorang ‘nenek’. Ada hal yang menarik dengan pertanyaannya yaitu penyamaan antara benda mati dengan benda hidup. Geguritan ”Dalan;
Abang-Kuning-Ireng-Putih” juga mengandung majas sinekdoke. Kutipannya di bawah ini :
Mara enggal unggalna, lurunge dalanmu sing sesimpangan, cecawangan. tuduhna dalan- mu kang mengangah; dalan kebak gegam- baran, wewayangan. (g. 6, b.1, l. 1-4) …..
Terjemahan
lekas engkau perlihatkan, lorong jalanmu yang bersimpangan, bercabang-cabang. Perlihatkan jalan- mu yang membara: jalan penuh lu-
kisan, bayang-bayang. (g. 6, b.1, l. 1-4) …..
maksud dari kutipan di atas adalah bahwa kehidupan ini banyak sekali jalan yang harus dilalui dan kita harus memilih atau menentukan sikap, tetapi oleh penyair berharap kepada Tuhan untuk menunjukkan jalan yang terbaik. Kata-kata yang mewakili untuk semua yakni jalan yang bersimpangan, jalan yang membara, lukisan dan gambaran.
kuning nepsu supiah (pengawak Togog)
putih dununge nepsu mutmainah (pengawak Semar)
klamudan loyang kuwi dadi aluamahmu (ragane Saraita)
lan cengkorongane kuwi minangka amarahmu (raga Manikmaya) (g.10, b. 4, l. 1-8)
... Terjemahan
kuning nafsu supiah (berbadan Togog)
putih tempatnya nafsu mutmainah (berbadan Semar)
klamudan itu menjadi aluamahmu (badannya Saraita)
dan cangkangnya itu sebagai amarahmu (badan Manikmaya) (g.10, b. 4, l. 1-8) ...
Kutipan di atas dari geguritan ”Sketsa Endhog Sapetarangan”. Penyair berusaha memberikan penjelasan bahwa komposisi telur merupakan simbol dari kehidupan, ada kuning telur yang mewakili nafsu sufiah, putih telur mewakili nafsu mutmainah, kalmudan mewakili nafsu aluamah dan cangkang telur mewakili nafsu amarah manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sementara bahwa gaya bahasa kiasan memang selalu digunakan penyair untuk memberikan nilai keindahan pada hasil karyanya, dan tidak semua gaya bahasa kiasan digunakan oleh penyair.