• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisis data merupakan langkah terakhir dalam suatu kegiatan penulisan. Analisis data dilakukan secara kwalitatif artinya menggunakan data secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtun logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.

Data yang diperoleh melalui pengumpulan data sekunder akan dikumpulkan dan kemudian dianalisis dengan cara kualitatif untuk mendapatkan kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Semua data yang terkumpul diedit, diolah dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya disimpulkan dengan menggunakan metode deduktif.28

28Zainudin Ali, Metode Penelitian Induktif dan Deduktif dalam Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 18.

BAB II

PROSEDUR PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA SECARA ONLINE

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Fidusia 1. Pengertian Jaminan Fidusia

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur kepada kreditornya. Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan/atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.29 Thomas Suyanto, ahli Perbankan menyatakan bahwa jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang.30Adapun sifat dari jaminan tersebut adalah :31

a. Jaminan berfokus pada pemenuhan prestasi dari debitur pada kreditur

b. Jaminan yang dipergunakan jenisnya adalah benda yang memiliki mutu dan kualitas sehingga dapat dinilai dengan uang

c. Jaminan muncul akibat adanya suatu perjanjian kesepakatan yang terjadinya antara pihak debitur dengan pihak kreditur.

d. Dengan adanya jaminan dapat menumbuhkan rasa percaya kreditur bahwa

29 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman I), hlm. 66.

30Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta : PT. Gramedia, 1989) hlm.70.

31Boedi Harsono, Masalah Hipotik dan Credietverband, Seminar tentang Hipotik dan Lembaga-Lembaga Jaminan Lainnya, (BPHN : Binacipta,1981) hlm. 78.

debitur yang diberikan kredit mampu memenuhi prestasinya sesuai perjanjian.

Di Indonesia, jaminan diklasifikasikan berdasarkan 4 (empat) hal, antara lain :32

1) Berdasarkan Cara Terjadinya :

a) Jaminan yang lahir karena undang-undang, adalah jaminan yang eksistensinya berpedoman atau patuh terhadap peraturan undangan, karena telah dikodifikasikan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Contohnya: Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah mengatur mengenai segala harta kekayaan seorang debitur baik yang sudah ada ataupun yang akan ada, tetap menjadi penanggungan pelunasan hutang debitur kepada kreditur, serta mengatur pula mengenai kedudukan harta para kreditur baik yang preferen maupun tidak, tetap sama-sama harus mendapat pelunasan hutang dari debitur sesuai kedudukan yang mana didahulukan dan sesuai piutang masing-masing.

b) Jaminan yang lahir karena diperjanjikan ini adalah, merupakan jaminan yang diatur dalam perjanjian jaminan antara debitur dan kreditur yang mengulas hal-hal jumlah kredit serta jenis objek jaminan secara lengkap.

Perjanjian jaminan ini adalah perjanjian accesoir yang mengikuti perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit. Contohnya : perjanjian jaminan fidusia, hak tanggungan, gadai ataupun perjanjian penanggungan

32 Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 28

(borghtocht).

2) Berdasarkan Objeknya :

a) Jaminan yang Objeknya Benda Bergerak

b) Jaminan yang Objeknya Benda tidak Bergerak atau Benda Tetap c) Jaminan yang Objeknya Benda berupa Tanah

3) Berdasarkan Sifatnya :

a) Jaminan yang termasuk Jaminan Umum adalah jaminan yang digunakan dalam hal untuk pelunasan hutang para kreditur dengan seluruh harta kekayaan debitur sesuai dengan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Jaminan yang termasuk Jaminan Khusus adalah jaminan yang dalam penyerahannya adalah suatu jenis benda tertentu, sesuai yang diinginkan oleh kreditur dalam rangka pelunasan hutang debitur, yang mana berdasarkan adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur.

c) Jaminan yang Bersifat Kebendaan adalah jaminan kebendaan yang harus selalu diadakan pencatatan dan tunduk pada asas publisitas, dengan demikian tercipta hak yang mutlak terhadap kebendaan yang dijadikan penanggungan hutang tersebut. Lembaga yang digunakan biasanya adalah fidusia, hak tanggungan, gadai, hipotek.

d) Jaminan yang Bersifat Perorangan adalah jaminan yang berupa orang, dalam arti orang yang dimaksud tersebut adalah orang yang bersedia sepenuhnya untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur dalam debitur tersebut wanprestasi.

4) Berdasarkan Kewenangan menguasai Benda Jaminannya :

a) Dalam hal jaminan yang menguasai jaminannya adalah pada lembaga gadai dan hak retensi, karena dianggap akan lebih aman bagi kreditur bila objek jaminan dikuasai.

b) Dalam hal jaminan tidak menguasai jaminannya adalah pada lembaga fidusia, dan hak tanggungan, yang dikuasai hanyalah surat-suratnya saja, dengan demikian debitur tetap dapat menggunakan benda jaminan untuk mengoperasionalkan bisnisnya.

Dalam seminar badan pembinaan hukum nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum, oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda. Kontruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari sutu perikatan. M. Bahsan berpendapat bahwa jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.33

Sistem hukum Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan hukum Belanda karena adanya pertautan sejarah yang didasarkan kepada asas konkordasi

33Salim. HS, Op.Cit, hlm. 22

(concordantie beginsel).34 Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia juga diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerrecht Hof (HGG).

Fidusia berasal dari kata “fiduciair” yang berarti ‘secara kepercayaan’, ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara timbal balik oleh suatu pihak kepada pihak yang lain bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya ke dalam (intern) hanya suatu jaminan saja untuk utang.35

Pengertian ini mengandung arti bahwa yang terjadi adalah hanya pengalihan kepemilikan atas benda yang didasari oleh kepercayaan mengingat benda itu tidak diserahkan kepada kreditur melainkan tetap dipegang debitur.

Namun demikian dengan adanya pengalihan ini, status benda itu hak miliknya adalah berada di tangan kreditur, bukan lagi ditangan debitur meskipun debitur menguasai benda itu. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka posisi benda menjadi benda dengan jaminan fidusia.

Selanjutnya dibahas mengenai proses kemunculan jaminan fidusia di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada kondisi suatu kasus yang memperoleh suatu putusan pengadilan yang tetap berdasarkan yurisprudensi. Kasus tersebut diuraikan sebagai berikut :

Awal mula lahirnya dan diakuinya fidusia di Indonesia adalah sejak dikeluarkannya keputusan oleh Hooggerechtschof (Hgh) dalam kasus Bataafsche Petroleum Maatschappij melawan Pedro Clignett, yaitu tanggal 18 Agustus 1932, yang menghasilkan solusi dari permasalahan gadai pada

34 C.S.T Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2010), hlm. 198.

35Bambang Riswanto, Sejarah dan Pengertian Fidusia,( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 15.

Pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam kasus ini Pedro Clignett adalah sebagai debitur peminjam uang kepada Bataafsche Petroleoum sebagai kreditur dengan agunannya adalah mobil dari Pedro Clignett yang berada dibawah penguasaannya. Pedro Clignett mengalami wanprestasi, dan tidak mau menyerahkan mobil agunan tersebut kepada kreditur. Pedro berdalih bahwa perjanjian yang dilakukannya dengan kreditur adalah gadai yang tidak sah. Namun HgH memberikan keputusan bahwa perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak tersebut adalah perjanjian dengan penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan yang disebut juga dengan fidusia.36

Setelah pengakuan fidusia melalui yurisprudensi tersebut, fidusia dapat berkembang secara berdampingan dengan lembaga gadai dan hipotek pada masing-masing bidang, tanpa adanya percampuran persepsi lagi khususnya antara gadai dan fidusia. Pada kehidupan masyarakat Romawi, konsep fidusia tersebut adalah kreditur sebagai pemilik dari barang yang dijaminkan tersebut, namun semenjak yurisprudensi ini, kreditur hanya dianggap sebagai “pemegang” hak milik benda yang dijaminkan. Ini artinya pemilik asli dari benda jaminan masih tetap debitur.37

Semakin mengikuti perkembangan zaman dan hukum, muncul pula aturan mengenai hubungan debitur dengan pihak ketiga dalam perjanjian serta objek apa saja yang dapat dibebankan dengan jaminan fidusia. Pengertian jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap

36Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta,1980) hlm. 48.

37Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hlm. 49.

kreditur lainnya (Pasal 1 butir 1 dan 2 UU Nomor 42 Tahun 1999).

Pengertian jaminan fidusia pada Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia, secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Dengan demikian jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.

2. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok.

3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.38

Perjanjian pemberian jaminan fidusia sama seperti perjanjian penjaminan lain yang merupakan perjanjian yang bersifat accesoir, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, berbunyi: Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian accesoir mempunyai ciri-ciri yaitu tidak bisa berdiri sendiri, ada/lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya bergantung dari perjanjian pokoknya.

Mengenai fidusia sebagai perjanjian assessoir, dijelaskan Munir Fuady

38 Henny Tanuwidjaja, 2012, Pranata Hukum Jaminan Utang & Sejarah Lembaga Hukum Notariat, Refika Aditama, (Bandung : Refika Aditama, 2012) hlm. 59.

lebih lanjut sebagai berikut:

Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotek atau hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian yang assessoir (perjanjian buntutan). Maksudnya adalah perjanjian assecoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini yang merupakan perjanjian pokok adalah hutang piutang. Karena itu konsekuensi dari perjanjian assesoir ini adalah jika perjanjikan pokok tidak sah, atau karena sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian assessoir juga ikut menjadi batal.39

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Fidusia dikatakan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu benda atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Jaminan fidusia sebagai lembaga penjaminan hutang memiliki asas-asas yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan aturan-aturannya. Asas-asas-asas tersebut antara lain:40

1. Asas Droit dePreference

Asas ini artinya hak mendahului yang dimiliki kreditur atas benda-benda tertentu yang dijaminkan pada kreditur tersebut. Atas hasil penjualan benda-benda tersebut, kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang debitur terlebih dahulu. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia.

2. Asas Droit de Suite

Asas ini artinya adalah prinsip mengenai objek jaminan fidusia yang selalu diikuti oleh jaminan fidusia dimana pun objek tersebut berada. Asas ini memiliki ketentuan bahwa kreditur mana yang mendaftarkan lebih dahulu

39Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 19.

40Tan Kamelo, Op. Cit, hlm. 157.

jaminan tersebut, maka kreditur tersebutlah yang berhak memperoleh pelunasan piutang paling pertama. Dalam asas ini juga memberikan perlindungan serta kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan fidusia terhadap kemungkinan adanya perpindahan tangan benda jaminan ke pihak ketiga, karena dengan prinsip droit de suite ini, pemegang hak utama tetap berada pada kreditur.

3. Asas Assesoritas

Asas ini artinya adalah prinsip mengenai sifat jaminan fidusia yang merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok. Dalam hal ini perjanjian jaminan fidusia dibuat berdasarkan isi yang tertuang dalam perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit yang mengulas tentang perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur.

4. Asas yang memiliki prinsip bahwa jaminan dengan lembaga fidusia ini dapat dipergunakan untuk menjamin kontinjen atau yang disebut juga hutang yang akan ada di kemudian hari.

5. Asas yang memiliki prinsip bahwa jaminan dengan lembaga fidusia ini dapat dipergunakan untuk pembebanan benda jaminan milik debitur, yang akan ada di kemudian hari.

6. Asas yang berpedoman pada asas pemisahan horizontal, dimana jaminan dengan lembaga fidusia dapat dipergunakan dalam pembebanan bangunan ataupun rumah yang berada diatas tanah hak milik orang lain, misalnya rumah sewa.

7. Asas yang berpedoman pada asas spesialitas, yang mana menelaah seluruh

informasi penting yang berkaitan dengan benda yang dijaminkan fidusia tersebut, antara lain : pemberi dan penerima fidusia, data perjanjian pokok jaminan fidusia, uraian tentang benda yang dijaminkan dengan fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda yang dijadikan objek jaminan fidusia.

8. Asas yang berprinsip bahwa subyek yang berstatus sebagai pemberi fidusia diharuskan adalah subyek yang memiliki kewenangan hukum terhadap benda jaminan yang akan diberikan sebagai agunan hutangnya.

9. Asas yang berpedoman pada asas publikasi dengan menganut pandangan bahwa benda jaminan fidusia yang dijadikan agunan pada suatu perjanjian hutang harus selalu didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia, sehingga memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

10. Asas yang berpedoman pada asas pendakuan yang mana selalu berprinsip bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan fidusia saja, bukan sebagai pemegang hak milik dari jaminan fidusia.

11. Asas yang memiliki prinsip bagi kreditur para pemegang jaminan fidusia yang mendaftarkan benda jaminannya paling awal, memperoleh hak istimewa untuk diprioritaskan terlebih dahulu daripada kreditur lainnya yang mendaftar setelah kreditur pendaftar pertama.

12. Asas yang berprinsip bahwa para pemberi fidusia yang menguasai objek jaminan fidusia yang telah berstatus agunan dari suatu hutang harus beritikad baik dengan menjaga kepercayaan kreditur untuk tidak menyewakan, menggadaikan ataupun mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain.

13. Asas yang memiliki prinsip bahwa dengan menggunakan lembaga jaminan fidusia, maka dijamin adanya kemudahan dalam eksekusi benda jaminan fidusia yaitu dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia, yang mana kekuatannya dipersamakan dengan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

2. Ruang Lingkup, Subjek dan Objek Jaminan Fidusia

Ruang lingkup Jaminan Fidusia adalah jaminan terhadap benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan kepemilikannya secara hukum baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar yang tidak termasuk dalam lingkup jaminan Hak Tanggungan, Hipotik, atau Gadai.41

Ruang lingkup berlakunya undang-undang jaminan fidusia menurut Pasal 2 UU Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian fidusia yang bertujuan untuk membebani jaminan fidusia, sedangkan yang dapat menjadi subyek atau para pihak dari jaminan fidusia adalah orang perorangan atau korporasi.42

Pembebanan benda dengan jaminan fidusia didasarkan pada kesepakatan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia, artinya harus terdapat kesepakatan di antara kedua belah pihak untuk terjadinya pemfidusiaan, dengan sendirinya pula pemberian jaminan fidusia tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak pemberi fidusia atau penerima fidusia. Namun demikian pemberi fidusia

41Bernadette Waluyo, ”Jaminan Fidusia UU No.42/1999”, Pro Justitia, Th XVIII No.3, 2000, hlm. 87.

42 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, (Bandung : CV.Nuansa Aulia, 2007) hlm. 67.

dan penerima fidusia tidak dapat sekehendak hati menjanjikan pemberian jaminan fidusia tersebut, artinya perjanjian yang bertujuan untuk membebani suatu benda dengan jaminan fidusia harus mengikuti ketentuan dalam pasal-pasal UU Jaminan Fidusia.

Prosedur yang biasa dilakukan dalam pembebanan jaminan fidusia melalui fidusia, dilakukan dengan bentuk perjanjian penyerahan jaminan dan pemberian kuasa yang didasarkan atas perjanjian kredit yang telah dibuatnya.

Secara jelasnya proses terjadinya fidusia menempuh beberapa fase, yaitu:43 1. Fase pertama berupa perjanjian obligatoir

Diantara pihak pemberi dan penerima fidusia dibedakan perjanjian, dimana ditentukan bahwa debitur meminjam sejumlah uang dengan janji akan menyerahkan hak miliknya secara fidusia sebagai jaminan kepada pemberi kredit. Perjanjian ini bersifat konsensual, obligatoir.

2. Fase Perjanjian Kebendaan

Apabila perjanjian obligatoir telah dilakukan, kemudian diikuti dengan perjanjian kebendaan. Perjanjian kebendaan ini adalah penyerahan hak milik yang dilakukan dari debitur kepada kreditur secara constitutum possessorium, yaitu menyerahkan hak milik tanpa penyerahan fisik benda.

3. Fase Perjanjian Pinjam Pakai

Pada tahap ini yang dilakukan adalah benda jaminan fidusia yang telah beralih tersebut dilakukan perjanjian pinjam pakai. Maksudnya yaitu benda yang dibebani jaminan fidusia tersebut penguasaannya tetap berada pada

43J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan.(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 59.

debitur. Dalam hal ini, diatur dalam suatu aturan dalam hukum acara yang menyatakan bahwa bagi pihak yang kalah dalam persidangan adalah pihak yang membayar biaya perkara.

Pendaftaran jaminan fidusia adalah suatu keadaan dimana data-data mengenai surat kepemilikan objek yang dijadikan benda jaminan dalam suatu perjanjian hutang, dimasukkan kepada Kantor Pendaftaran fidusia untuk dicek dan disimpan datanya, dan memenuhi asas publisitas sehingga masyarakat umum mengetahui bahwa suatu benda tersebut merupakan jaminan dari suatu perjanjian hutang. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka suatu objek yang dijadikan benda jaminan fidusia adalah wajib untuk didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.44

Sebelum UU Jaminan Fidusia, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia itu benda bergerak yang terdiri atas benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Dengan kata lain objek jaminan fidusia terbatas pada kebendaan bergerak, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, menurut UU Jaminan Fidusia objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang lebih luas antara lain:

1. benda bergerak yang berwujud

2. benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan 3. benda bergerak yang tidak berwujud45

Pasal 1 angka 4 UU Jaminan Fidusia diberikan batasan yang menjadi

44 Maria S.W Sumardjono, Hak Tanggungan dan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, (Jakarta,1997), hlm. 59.

45Rachmadi Usman I, Op.Cit, hlm. 176.

objek jaminan fidusia antara lain:

a. benda tersebut harus dapat dialihkan dan dimiliki secara hukum b. benda berwujud dan benda tidak berwujud

c. benda tidak bergerak yang tidak dijaminkan dengan Hak Tanggungan (HT) d. benda yang sudah ada dan benda yang akan ada

e. hasil benda yang menjadi objek fidusia f. klaim asuransi dari objek fidusia

g. benda persediaan (Inventory Stock Perdagangan)

Dalam ketentuan Pasal 3 UU Jaminan Fidusia menegaskan mengenai Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap:

a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar.

b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20M atau lebih c. Hipotek atas pesawat terbang dan

d. Gadai.

Dalam penjelasan Pasal 3 huruf a dalam UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan ini maka bangunan diatas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa sejarah perkembangan fidusia, pada awalnya yaitu zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi barang

bergerak maupun barang tidak bergerak, hal ini dapat dimaklumi karena pada waktu itu tidak dikenal hak-hak jaminan yang lain. Pemisahan mulai diadakan ketika kemudian orang-orang Romawi mengenal gadai dan hipotek, ketentuan ini juga diikuti oleh negara Belanda dalam Burgerlijke Wetboek-nya. Pada saat fidusia muncul kembali di negara Belanda maka pemisahan antara barang bergerak yang berlaku untuk gadai dan barang tidak bergerak untuk hipotek juga diberlakukan. Objek fidusia disamakan dengan gadai yaitu barang bergerak karena pada waktu itu dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan yang terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda dan Indonesia.46

Perkembangan selanjutnya adalah dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah. Bangunan-bangunan yang terletak diatas tanah tidak dapat dijamin akan terlepas dari tanahnya, jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa misalnya tidak

Perkembangan selanjutnya adalah dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah. Bangunan-bangunan yang terletak diatas tanah tidak dapat dijamin akan terlepas dari tanahnya, jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa misalnya tidak

Dokumen terkait