BAB I PENDAHULUAN
G. Metode Penelitian
5. Analisis Data
Analisis data adalah merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Data yang telah terkumpul, kemudian diklarifikasi dan diuraikan secara sistematis, analisis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah analisis kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat sistematis untuk memberi gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode induktif, yaitu metode yang digunakan ketika data masih bersifat khusus yang kemudian dianalisis menjadi kesimpulan bersifat umum.26Kemudian hasil analisis tersebut dikomparasikan sehingga diketahui aturan dan ketentuan hukum tentang kewajiban anak angkat untuk memelihara orang tua angkatnya.
Data yang diperoleh baik dari studi perpustakaan maupun wawancara pada dasarnya merupakan data yang di analisis secara kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian di tarik kesimpulan secara deduktif. Penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu metode yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip umum menuju penulis bersifat khusus.27
26 Saifuddin Azwar. Metode Penelitian,Cet. ke-5, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal. 5
27Ronny Hanitijio, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988), hal.15
BAB II
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT BERDASARKAN KETENTUAN
HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian Pengangkatan Anak Angkat.
Pengertian anak angkat dapat di tinjau dari dua pandangan yaitu secara etimologi serta terminologi. Sudut pandang etimologi yaitu berdasarkan asal usul anak angkat atau dikenal dengan adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda) atau adopt (adoption) dalam bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak, dalam bahasa Arab disebut tabbani yang menurut Mahmud Yunus, diartikan dengan mengambil anak angkat, sedangkan menurut kamus Munjid diartikan menjadikannya sebagai anak, selanjutnya pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.28
Secara terminologi, yaitu berdasarkan istilah anak angkat atau adopsi dapat diartikan dalam kamus bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu anak orang lain diambil dan disamakan dengan anak sendiri, dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.29
Pengertian anak angkat menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah
28R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2004), hal.19
29Dessy Balaati, Prosedur dan Penetapan Anak Angkat di Indonesia, Jurnal Lex Privatum, Vol I/ No.1/Jan-Mrt/2002
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.30
Menurut Soerjono Soekanto, adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.31 Menurut ING Sugangga anak angkat adalah orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.32 Menurut Tamakiran, anak angkat adalah seseorang bukan turunan suami istri yang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak turunannya sendiri.33
Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang sendiri.
Beberapa definisi di atas dari beberapa sarjana yang disebut diatas maka ditarik kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunanya untuk dimasukkan ke dalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban anak menjadi beralih kepada pihak
30Lihat Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak
31Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung, Alumni, 1980), hal. 52
32ING Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang, Universitas Diponegoro,1995), hal. 35
33Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris ,(Bandung, Puionir Jaya, 1972), hal. 52
yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Pengangkatan anak di Indonesia telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum keluarga karena menyangkut kepentingan perorangan dalam keluarga.
Oleh karena itu, lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian budaya masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak
Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang permohonan pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang tua warga negara asing, sehingga tidak terlindunginya hak anak yang merupakan hak asasi manusia, bahkan dapat merendahkan martabat bangsa.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, Mahkamah Agung memandang perlu untuk mengingatkan para hakim pengadilan negeri di seluruh Indonesia agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh:34
a. Ketentuan dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 yang memberi petunjuk mengenai persyaratan, bentuk permohonan, tata cara pemeriksaan dan bentuk putusan dari permohonan pengangkatan anak warga negara Indonesia maupun anak warga negara asing oleh orang tua warga negara Indonesia dan permohonan anak warga negara Indonesia oleh orang tua warga negara asing.
c. Dalam rangka pengawasan oleh Mahkamah Agung, maka setiap orang salinan penetapan dan salinan putusan pengangkatan anak agar juga
34Lihat Isi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005
dikirimkan kepada Mahkamah Agung cq. Panitera Mahkamah Agung, selain kepada Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia cq.
Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus dan berkembang, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.35
3. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Peraturan pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dan pelaksanaan pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan anak dan pelaporan.
Dengan berlakunya ketentuan perundang-undangan ini sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.36
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang ini dari pasal 1 sampai 16 menyebutkan hak-hak, tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak. Hal-hal yang telah
35Isi Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
36Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, penjelasan Umum
disebutkan tidak hanya berlaku untuk anak kandung tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung maupun anak adopsi harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.37
C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak
Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai upaya dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak memiliki tujuan untuk kepentingan anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.
Pengangkatan anak dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak terutama mengenai syarat-syarat pengangkatan anak sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.38
Menurut Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 menjelaskan syarat-syarat pengangkatan anak sebagai berikut :
1. Syarat anak yang diangkat, meliputi : a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
37Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan, (Jakarta, RajaGrafindo Persada), hal.161
38Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak bagian Penjelasan Umum
d. Memerlukan perlindungan khusus.39 2. Usia anak yang hendak diangkat, meliputi :
a. Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama.
b. Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) sepanjang ada alasan mendesak.
c. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Mengenai syarat-syarat bagi calon orang tua angkat terdapat di pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 sebagai berikut:
a. Sehat jasmani dan rohani.
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindakan kejahatan.
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.
f. Tidak merupakan pasangan sejenis.
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.
39Perlindungan khusus adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya dan penelantaran.
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan.
m. Memperoleh izin menteri dan atau kepala instansi sosial.
Syarat-syarat pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh negara asing tertuang pada pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, harus memenuhi syarat :
a. Memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia.
b. Memperoleh izin tertulis dari menteri.
c. Melalui lembaga pengasuhan anak.
Pengangkatan anak warga negara asing oleh warga negara Indonesia dengan memenuhi syarat dengan memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia dan memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.40Syarat-syarat lain untuk orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia setelah mendapat izin dari menteri dan pemberian izin tersebut dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi.41
D. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat di Indonesia, sistem pengangkatan anak memiliki aturan-aturan yang beragam sesuai dengan adat istiadat setempat. Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan
40Lihat pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
41Lihat pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”. Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu :42
a) Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya.
b) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat. Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat.
Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan
42 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Islam), (Bandung, Mandar Maju, 2003), Hal.149
hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, maka pengangkatan anak pada dasarnya harus memperhatikan kepentingan kesejahteraan anak itu.
Menurut Soepomo, hukum adat Indonesia mempunyai corak tersendiri sebagai berikut:43
1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasanya kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.
2. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan hidup yang konkrit.
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya berhubungan hukum dianggap hanya terjadi, oleh karena itu, ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang kelihatan).
Sifat-sifat hukum adat tersebut, memberikan gambaran bahwa sistem hukum adat yang berlaku di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sistem hukum lainnya, misalnya hukum perdata barat, dan hukum Islam. Menurut hukum adat suatu perbuatan hukum dipandang telah memenuhi sifat-sifat bahwa semua masyarakat adat setempat memiliki keterkaitan kepentingan dengan perbuatan tersebut, telah memenuhi persyaratan religius magis yang dipercayai oleh masyarakat setempat, telah dipandang sebagai sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang dan nyata terjadinya. Demikian halnya dengan
43Mudaris Zain, Op. Cit. Hal. 42.
perbuatan hukum pengangkatan anak, menurut hukum adat haruslah memenuhi keempat sifat-sifat adat tersebut.44
Hukum Adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya. Di daerah kecamatan Singaraja Kabupaten Garut seorang perempuan yang belum pernah kawin tidak boleh melakukan adopsi, tetapi janda atau duda diperbolehkan. Sedangkan di Kecamatan Lewidamar (Bandung) baik belum atau sudah kawin boleh saja, begitu pula di Kecamatan Banjarharjo, Brebes (Semarang). Di Lampung Utara adopsi dilakukan dengan upacara pemotongan kerbau yang dihadiri oleh anggota keluarga. Di Lahat (Palembang) pengangkatan dihadiri oleh Kerio, Khotib dan keluarga sedusun.
Adopsi adakalanya dilakukan secara tertulis dan ada yang tidak, asal saja dinyatakan di muka umum. Biasanya diadakan sedekahan. Begitu juga di Kecamatan Lebung Utara dan Selatan, Kepahiyangan dan Curup (Sumatera Selatan) adalah dengan suatu penjamuan dengan mengundang Kutai, yakni tetua adat di marga yang bersangkutan “pasirah” dengan acara memotong kambing dan memasak serawa (beras ketan dicampur ketan dicampur kelapa dan gula merah).45
Menurut Yaswirman, masyarakat Minangkabau juga mengenal istilah anak angkat dalam arti memelihara anak orang lain. Biasanya berasal dari keluarga terdekat atau karena tidak berketurunan. Bisa juga dari orang lain yang tinggal menetap dengan salah satu keluarga dan ia memanggil keluarga itu dengan ayah / ibu angkatnya, tetapi tidakmempunyai akibat-akibat hukum sebagaimana dalam masyarakat adat lainnya. Mengangkat atau tepatnya mengasuh anak di Minangkabau tidak harus dilakukan upacara adat seperti di Bali atau putusan pengadilan.
44Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2008), hal. 38
45Mudaris Zaini, Op. Cit. hal.46
E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Sebagian pakar hukum Islam cenderung menggunakan istilah anak angkat dengan anak asuh/hadhanah yang diperluas, sedangkan anak asuh yang sering disamakan pengertiannya dengan pengangkatan anak dalam hukum Islam diberikan definisi yang menunjukkan substansi yang berbeda, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.46
Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak dalam artian status kekerabatannya tetap di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Anak angkat tetap menjadi anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.47
Berdasarkan keterangan di atas, maka anak angkat tidak mempunyai hubungan saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, karena hubungan orang tua angkat dan anak angkat bukan hubungan kekerabatan, hanya hubungan pemeliharaan oleh orang tua angkat. Dalam hubungan perkawinan, antara anak angkat dengan orang tua angkat, tidak ada larangan perkawinan antar mereka berdua. Jika anak angkat melangsungkan perkawinan, maka yang berhak untuk menjadi wali nikahnya tetaplah orang tua kandung si anak.
Larangan pengangkatan anak tertuang dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab (33) ayat 4-5, yang artinya “ . . . Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
46Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op. Cit. hal. 56-57.
47Ibid, Hal. 112.
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu . . .”.48
Ayat di atas menunjukkan adanya akibat hukum yang berbeda antara pengangkatan anak dalam perdata barat dengan hukum Islam. Menurut hukum Islam, tidak adanya pemutusan hubungan antara anak angkat dengan orang kandungnya, anak yang telah diangkat tetap memakai nama keluarga orang tua kandungnya. Peran dari orang tua angkat, hanyalah kewajiban untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan hidup si anak. Dalam hal kewarisan, anak angkat tetap saling mewarisi dengan orang tua kandungnya, namun tidak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Hal tersebut terjadi karena tidak pertalian nasab baru antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, anak angkat tetap dalam nasab ayah kandungnya.
Hukum Islam tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dalam arti berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan kawin serta
48Lihat Kitab Suci AL-Qur’an, Surat Al-Ahzab, Ayat 33
kedua belah pihak saling mewarisi.49Majelis Ulama Indonesia dalam Surat Nomor U-355/MUI/VI/82 tanggal 18 Sya’ban 1402 H/10 Juni 1982, menyebutkan mengenai pengangkatan anak
1. Adopsi yang tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud boleh saja menurut hukum Islam;
2. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat (adopsi) oleh ayah/ibu yang beragama Islam pula, agar keislamannya itu ada jaminan tetap terpelihara;
3. Pengangkatan anak angkat (adopsi) tidak akan mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaklah dilakukan pada masa masih sama-sama hidup sebagai hibah biasa;
4. Adapun adopsi yang dilarang, adalah :
a. Adopsi oleh orang yang berbeda agama, misalnya Nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan pemeluk agama Nasrani, bahkan sedapat-dapatnya dijadikan pemimpin agama itu.
b. Pengangkatan anak angkat Indonesia oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lain-lainnya, biasanya berlatar belakang seperti tersebut di atas. Oleh karena itu hal ini ada usaha untuk menutup adopsi.
Mahmud Syaltut menyatakan, untuk mengetahui hukum Islam dalam masalah “Tabbani” perlu dipahami bahwa “Tabbani” itu ada 2 (dua) bentuk.
Salah satu di antaranya bahwa seseorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya, tabbani seperti ini adalah perbuatan yang pantas dikerjakan oleh mereka yang luas rizkinya, namun ia tidak dikaruniai anak. Sangat dianjurkan (baik
Salah satu di antaranya bahwa seseorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya, tabbani seperti ini adalah perbuatan yang pantas dikerjakan oleh mereka yang luas rizkinya, namun ia tidak dikaruniai anak. Sangat dianjurkan (baik