TESIS
Oleh
SALAHUDDIN 137011154/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SALAHUDDIN 137011154/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
Program Studi : KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Dr.T. Keizerina Devi Azwar,SH,CN,M.Hum) (Dr.Rosnidar Sembiring,SH,M.Hum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)
Tanggal lulus : 27 Juli 2017
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum 2. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum 4. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum
Nim : 137011154
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ANAK ANGKAT UNTUK MEMELIHARA ORANG TUA ANGKATNYA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : SALAHUDDIN Nim : 137011154
terjadinya pengangkatan anak maka terputuslah hubungan keperdataan dengan orang tua kandung dengan beralihlah segala hak dan kewajibannya kepada orang tua angkatnya. Salah satu akibat hukum pengangkatan anak timbulnya kewajiban anak angkat untuk menghormati dan mentaati kehendak orang tua angkatnya.
Adapun permasalahan yang diangkat adalah Bagaimana kedudukan anak angkat berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia? Bagaimana bentuk-bentuk tanggung jawab anak angkat sebagai jaminan perlindungan hukum di Indonesia? Bagaimana akibat hukum atas pengangkatan anak oleh orang tua angkatnya?
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengungkapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan teori hukum yang menjadi objek penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan library research (penelitian kepustakaan) melalui penelitian kepustakaan dengan mengkaji ketentuan hokum anak angkat yang terdapat di kitab undang-undang hukum perdata, hukum Islam serta ketentuan di hokum adat.
Berdasarkan hasil penelitian, kedudukan anak angkat menurut hukum perdata sama dengan anak kandung, berkedudukan sebagai anak sah, putus segala hubungan perdatanya dengan orang tua asalnya. Menurut hukum adat, kedudukan seorang anak angkat dipengaruhi pada syarat dan tata cara pengangkatan anak yaitu pengangkatan anak secara tunai dan terang dan pengangkatan anak tidak secara terang dan tunai, sedangkan hukum Islam kedudukan anak angkat tidak membawa akibat hukum apapun. Bentuk-bentuk tanggung jawab anak angkat sebagai jaminan perlindungan hukum dalam memelihara orang tua angkatnya sesuai dengan hak alimentasi hubungan timbal balik antara orang tua angkat dan anak angkat sebagaimana di atur pasal 46 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat hukum pengangkatan anak oleh orang tua angkatnya berdasarkan hukum perdata peranan orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat, anak angkat tidak lagi menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya beralih ke orang tua angkatnya, anak angkat tidak boleh dinikahi oleh orang tua angkatnya dan anak-anak kandung dari orang tua angkatnya. Menurut hukum adat, dengan dilakukan pengangkatan anak memiliki akibat hukum tergantung pada syarat dan tata cara pengangkatan anak berpengaruh pada hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkat dan penentuan warisan anak angkat tergantung pada hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah.
Pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak memiliki akibat hukum dengan orang tua angkat baik itu hubungan darah menjadi ahli waris. Terjadinya pengangkatan anak yang beralih hanyalah tanggung jawab, kewajiban pendidikan, pemeliharaan, nafkah, pendidikan dan lain-lain.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Kewajiban Anak Angkat
his biological parents, and all rights and obligations are transferred to his adoptive parents. One of the legal consequences of adopting a child is that the child has to respect and obey what his adoptive parents tell him to do. The research problems were as follows: how about the position of an adopted child according to legal provisions in Indonesia, how about an adopted child’s responsibility as the guarantee for legal protection in Indonesia, and how about the legal consequences of adopting a child by his adoptive parents.
The research used juridical normative and descriptive analytic method which revealed any regulations related to legal theories which became the research objects. The data were gathered by conducting library research and studying legal provisions related to adopted children found in the Civil Code, in the Islamic Law, and in the adat (customary) law.
The result of the research shows that according to the civil law, the position of an adopted child is the same as that of biological child, a legitimate child, and had no relationship with his biological parents. According to the adat law, his position is influenced by requirements and procedures of adopting a child whether it is legal or illegal, while according to the Islamic law the position of an adopted child does not have any legal consequence. The responsibility of an adopted child as the guarantee for legal protection in taking care of his adoptive parents is in accordance with the alimentation of interaction between adoptive parents and their adopted child as it is stipulated in Article 46, paragraph 1 of Law No. 1/1974 on Marriage. Legal consequence of adopting a child, according to the civil law, adoptive parents become the guardian of their adopted child, an adopted child is not the heir of his biological parents (it is shifted to his adoptive parents), and an adopted child is prohibited to be married with both his adoptive parents and with their biological children. According to the adat law, adopting a child has legal consequences in its requirements and procedures which influence the relationship between adoptive parents and their adopted child, and his inheritance depends on the adat law in each region. In the Islamic law, adopting a child does not have any legal consequence with adoptive parents of blood relationship in inheritance. It is only the shift in responsibility to provide education, raising, livelihood, etc.
Keywords: Adopting a Child, Responsibility of Adopted Child
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “ANALISIS YURIDIS KEWAJIBAN ANAK ANGKAT UNTUK MEMELIHARA ORANG TUA ANGKATNYA”.
Shalawat beserta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Tesis ini selesai berkat dukungan materil dan inmateril, bimbingan, dan motivasi serta doa dari segala pihak yang telah bersedia untuk meluangkan dan mencurahkan waktunya untuk membantu dalam penyusunan tesis ini, tanpa itu semua penulis tidak akan mampu untuk menyelesaikannya. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum. Ibu Dr.
Rosnidar Sembiring SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.Selanjutnya di dalam penelitian tesisi ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyamaikan rasa terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada :
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut ilmu pengetahuan dan penyelesaian tesis ini di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak dan Ibu dosen serta segenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ayahanda Fakhran, dan Ibunda Almh Ramiaty yang telah membesarkan, mendidik, memberikan dorongan, dan tak henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan penulis, serta bangda Syamsuddin, S.Ag, M.Si dan Adinda
memberikan semangat, motivasi dalam menyelesaian tesis kepada penulis.
8. Secara khusus penulis haturkan terima kasih yang tiada terhingga dan kasih sayang penulis persembahkan kepada istri tercinta Prastuti Sari, M.Pd dan Anak saya Raisa Syauqiyah Almira.
9. Terima kasih kepada semua sabahat, rekan-rekan seperjuangan Grup A MKN 2013, atas dukungan morilnya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Akhir kata, penulis sangat menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, maka dari itu penulis dengan tulus hati, lapang dada dan tangan terbuka menerima segara kritikan yang bermanfaat untuk melengkapi segala kekurangan yang ada. Bagaimanapun juga besar harapan penulis agar kiranya penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi pembaca serta penulisan-penulisan selanjutnya. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin
Medan, Juli 2017
(SALAHUDDIN)
NIM : 137011154
Tempat/Tanggal Lahir : Gebang, 23 April1980
Alamat : Perumahan Graha Anggrek Jl. Bunga Rinte No.
B18 Kelurahan Simpang Selayang Medan Tuntungan
Status : Kawin
Agama : Islam
Nomor HP : 081284325810
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri 2 Gebang Langkat Tamat Tahun 1993 2. MTsN Tanjung Pura Langkat Tamat Tahun 1996
3. SMA Negeri 1 Tanjung Pura Langkat Tamat Tahun 1993
4. Politeknik Negeri Medan Jurusan Akuntansi Perbankan Tamat 2002 5. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat 2005
6. Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU Tamat 2017
vii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR ISTILAH ASING... ix
DAFTAR SINGKATAN... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Keaslian Penelitian... 8
F. Kerangka Teori dan Konsep... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Kerangka Konsep ... 15
G. Metode Penelitian... 16
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 17
2. Sumber Data... 18
3. Teknik Pengumpulan Data... 19
4. Alat Pengumpulan Data ... 19
5. Analisis Data ... 20
BAB II KEDUDUKAN ANAK ANGKAT BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA... 21
A. Pengertian Pengangkatan Anak Angkat... 21
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ... 23
C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak... 25
viii
dan Pengadilan Agama... 41
H. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tuanya ... 44
1. Pembagian Warisan Menurut Hukum Perdata (BW).... 44
2. Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat ... 47
3. Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam ... 48
BAB III BENTUK-BENTUK TANGGUNG JAWAB ANAK ANGKAT SEBAGAI JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM MEMELIHARA ORANG TUA ANGKATNYA... 50
A. Berbakti Kepada Orang Tua... 50
B. Hak dan Kewajiban Anak Angkat Memelihara Orang Tua Angkat ... 53
C. Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Anak Angkat Terhadap Orang Tua Angkat ... 56
D. Hak Alimentasi... 67
BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PENGANGKATAN ANAK OLEH ORANG TUA ANGKATNYA... 72
A. Prosedur Pengangkatan Anak Oleh Orang Tua Angkat... 72
B. Akibat Hukum Atas Pengangkatan Anak ... 77
C. Hubungan Hukum Perdata Anak Yang di Adopsi ... 80
1. Tinjauan dari Sudut Hukum Perdata... 80
2. Tinjauan dari Sudut Hukum Islam ... 84
3. Tinjauan dari Sudut Hukum Adat ... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
ix
Tabbani = anak angkat
Mahram = semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena disebabkan keturunan, persusunan dan pernikahan dalam syariat Islam
Nasab = memiliki ciri dan memberikan karakter keturunan (hubungan darah)
Parental = susunan kekerabatan dengan orang tua
Hadhanah = hak asuh anak
Wasiat wajibah = suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang meninggal karena halangan syara’
Portie = bahagian masing-masing ahli waris Ab intestate = ahli waris berdasarkan keturunan atau
hubungan darah
Tirkah = harta peninggalan pewaris
Legalisasi = pengesahan tanda tangan
x
KUHPerdata = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KHI = Kompilasi Hukum Islam
Staatsblad = Dipersamakan dengan Undang-Undang BW = Burgelijk Wetboek (Hukum Perdata Barat)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lain. Setiap keluarga pasti sangat mengharapkan kehadiran seorang anak sebagai penerus keturunan dan penerus harta kekayaan orang tua.1
Bagi keluarga yang tidak mempunyai anak, mereka akan berusaha untuk memperoleh anak meskipun anak tersebut bukan hasil dari perkawinannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengangkat anak orang lain (adopsi) dengan maksud memelihara dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Pengangkatan anak merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, pertama yaitu pengangkatan anak dalam arti luas, ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak terhadap orang tua sendiri. Kedua yaitu pengangkatan anak dalam arti terbatas, yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.2
Pengangkatan anak di Indonesia telah menjadi kebudayaan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan karena menyangkut kepentingan orang per-orang dalam keluarga. Oleh karena itu, lembaga
1Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,(Jakarta, Kencana, 2008), hal.1
2R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4, (Jakarta, Sinar Grafika, 2001), hal.176
pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia, masyarakat Indonesia sudah lazim melakukan pengangkatan anak. Namun setiap masyarakat memiliki cara dan motivasi yang berbeda-beda menurut sistem hukum yang dianut daerah bersangkutan. Keanekaragaman hukum yang mengatur tentang pengangkatan anak di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan anak dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik dari hukum Barat (burgerlijk wetboek) yang selanjutnya disebut BW, hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, maupun hukum Islam yang banyak dianut oleh masyarakat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kepada unifikasi hukum.
Pada awalnya tujuan dari pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri.3
Perkembangan masyarakat telah terjadi maka tujuan pengangkatan anak berubah menjadi untuk kesejahteraan anak, hal ini tercantum pula dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan “Pengangkatan anak (adopsi) menurut adat
3Mundaris Zain, Adopsi Suatu Tinjauan Hukum dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 1999), hal. 85
dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik, dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Berdasarkan Pasal 45 dan 46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hubungan hukum antara orang tua dengan anak menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, antara lain dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban orang tua ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Sebaliknya, anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya, yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, yakni anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik, dan jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya, yaitu memelihara orang tua.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak pada tanggal 3 Oktober 2007 merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengatur pula mengenai prosedur/syarat pengangkatan anak dan ancaman pidana bagi orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Kitab undang-undang hukum perdata dan kompilasi hukum Islam, diterangkan sebagai anak angkat mempunyai ketentuan sendiri dalam pembagian hak waris dari orang tua angkat. Karena pada prinsipnya hak waris timbul karena hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Misalkan di dalam pembagian hak waris di dalam hukum Islam bahwa anak angkat dapat menerima hibah wasiat dari orangtua angkatnya. Jika anak angkat tidak menerima hibah wasiat, yang bersangkutan diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya sebagaimana disebut dalam Pasal 209 ayat 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, Pasal 1676 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menyatakan bahwa setiap orang diperbolehkan memberi atau menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu.
Selanjutnya, karena anak angkat bukan ahli waris maka secara hukum anak angkat tidak mempunyai kewajiban untuk membayar hutang-hutang dari pewaris. Pihak yang wajib membayar hutang, hibah wasiat, serta kewajiban lain dari seseorang yang meninggal (pewaris) adalah ahli warisnya (Pasal 1100 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata). Selain itu, Pasal 175 Ayat (1) huruf b Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam juga mengatur
bahwa ahli waris wajib menyelesaikan hutang-hutang pewaris berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.
Menurut Wirjono Prodjodikoro berpendapat, pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.4 Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut:5
- Hubungan darah, mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
- Hubungan waris, dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orang tua angkat.
- Hubungan perwalian, dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat.
Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan.
Segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat.
- Hubungan marga, gelar, kedudukan adat, dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.
Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan :6 1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.
4B. TerHaar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh Soebakti Poesponot, (Jakarta,Pradnya Paramita, 1985), hal.247
5R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia,(Bandung, Sumur, 1976), hal. 29
6Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional , (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 299
Kewajiban anak untuk menghormati dan mentaati kehendak orang tua yang baik terhadap anak sebagaimana yang dimaksud dalam memang sudah sepantasnya dilakukan seorang anak. Setiap anak harus hormat kepada kedua ibu bapaknya baik ditinjau dari segi kemanusiaan dan keagamaan. Hal ini dikarenakan dengan begitu susah payah orang tuanya membesarkan dan memelihara anak menjadi manusia yang baik. Sudah sewajarnya anak-anak berterima kasih kepada orang tua dengan jalan menghormatinya. Demikian juga mentaati maksud-maksud baik dari kedua orang tua adalah hal yang sudah semestinya.
Pengangkatan anak bukan saja menimbulkan permasalahan pembagian harta warisan, juga dapat menimbulkan permasalahan pemeliharaan terhadap orang tua angkatnya, karena belum ada aturan yang mengatur secara spesifik tentang kewajiban anak angkat terhadap kedua orang tua angkatnya. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pengkajian terhadap undang-undang dan aturan yang berlaku tentang persamaan tanggung jawab dan kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkatnya apakah tanggung jawab dan kewajibannya serupa dengan anak kandung terhadap orang tuanya. Namun untuk kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkatnya telah ada pengaturan umumnya dalam undang-undang perlindungan anak.
Berdasarkan uraian diatas dan untuk memberikan pengetahuan hukum yang berguna bagi kepentingan orang banyak dan juga supaya bermanfaat untuk menjadi bahan pembelajaran saat menempuh pendidikan magister kenotariatan serta supaya dapat dikembangkan dan menjadi referensi bagi pendidikan
khususnya ilmu hukum, maka penelitian tesis ini diberi judul “AnalisisYuridis Kewajiban Anak Angkat Untuk Memelihara Orang Tua Angkatnya”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan anak angkat berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk-bentuk tanggung jawab anak angkat sebagai jaminan perlindungan hukum di Indonesia?
3. Bagaimana akibat hukum atas pengangkatan anak oleh orang tua angkatnya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kedudukan anak angkat berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tanggung jawab anak angkat sebagai jaminan perlindungan hukum dalam memelihara orang tua angkatnya.
3. Untuk mengetahui akibat hukum atas pengangkatan anak oleh orang tua angkatnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis dan praktis bagi kehidupan masyarakat.
1. Manfaat Secara Teoritis
Memberikan tambahan wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis serta masyarakat dan memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan
ilmu hukumkhususnya dibidang hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum tentang anak angkat, dan tanggung jawab serta hak dari seorang anak angkat.
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia pendidikan terutama bagi mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum dalam mengetahui perkembangan ketentuan hukum yang mengatur ketentuan hukum atau aturan hukum tentang kedudukan hukum dari anak angkat, yaitu berkaitan dengan hak dan kewajiban serta tanggung jawab anak angkat dari orang tua angkatnya. Selain itu juga memberikan wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat luas supaya mengerti dari kedudukan hukum seorang anak angkat terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban serta tanggung jawab anak angkat dari orang tua angkatnya..
Tujuan khusus buat pemerintah, bahwa tesis ini secara praktis dapat bermanfaat menjadi referensi untuk menindaklanjuti serta untuk membuat aturan hukum yang baru untuk melindungi orang tua yang telah mengangkat seorang anak angkat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara untuk menghindari terjadinya duplikasi terhadap masalah yang sama penulis melakukan pengumpulan data ternyata penelitian dengan judul “AnalisisYuridis Kewajiban Anak Angkat Untuk Memelihara Orang Tua Angkatnya” belum ada
yang membahasnya, sehingga tesis dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis.
Adapun penulis-penulis terdahulu pernah melakukan penelitian mengenai permasalahan perwalian anak dan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya, namun secara subtansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tersebut adalah:
1. Pita Christin Suzanne Aritonang, NIM. 067011065, dengan judul Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Studi di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara).
Rumusan Masalah :
a. Apakah motivasi masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung melakukan pengangkatan anak ?
b. Bagaimanakah syarat-syarat dan proses pengangkatan anak pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung ?
c. Bagaimanakah kedudukan anak angkat dalam hukum adat Batak Toba di Kecamatan Tarutung setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ?
2. Tetty Ruslie Naulibasa, NIM. 067011084, dengan judul Peranan Notaris pada Lembaga Pengangkatan Anak.
Rumusan Masalah:
a. Bagaimanakah sistem hukum pengangkatan anak di Indonesia dalam kaitan dengan perlindungan anak ?
b. Bagaimanakah peranan Notaris pada sistem hukum Perlindungan Anak di Indonesia dan apakah Notaris dapat lebih ditingkatkan peranannya ? c. Bagaimanakah prosedural pengangkatan anak dan penerapan staatsblad
1917 Nomor 129 di Pengadilan Negeri Kelas IA, Medan ?
3. Deddy Setiadi Soeyono, NIM. B4B001107, dengan judul Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Suku Manna di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Hambatan yang Timbul dalam Pelaksanaannya.
Rumusan Masalah:
a. Bagaimanakah faktor-faktor yang menjadi alasan terjadinya pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Suku Manna di Kabupaten Bengkulu Selatan ?
b. Apakah anak yang sudah diangkat anak sebagai anak kandung pada Suku Manna di Kabupaten Bengkulu Selatan dapat dibatalkan, bagaimana proses dan akibat hukumnya ?
c. Kendala-kendala apakah yang terjadi dalam praktek pengangkatan anak pada Suku Manna Kabupaten Bengkulu Selatan ?
4. Malisa, NIM 107011076, dengan judul Problematika Hukum Atas Pernyataan Putus Hubungan Antara Orang Tua Angkat dan Anak Angkat
Rumusan Masalah :
a. Bagaimana pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa di Medan ? b. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya pemutusan hubungan antara
orang tua dan anak angkat ?
c. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam pembagian warisan apabila terjadi pemutusan hubungan orang tua angkat dan anak angkat dikaitkan dengan hak waris anak?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi a. Kerangka Teori
Kerangka teori menjadi landasan yang sangat penting serta teori mengacu sebagai pemberi sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan serta lebih baik.7 Kerangka teori atau landasan teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis atau permasalahan bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujuinya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.8 Didalam penulisan tesis ini sebagai bahan pertimbangan dan pengkajian dalam hal ketentuan hukum berkaitan tanggung jawab anak angkat terhadap orang tua angkatnya.
Teori bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian ini agar tidak salah arah.9 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain
7Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259
8M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju, 1994), hal. 80
9J.J.J.M. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas Asas ,(Jakarta, FE UI, 1996), hal. 203
bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”10
Menurut J.J.H. Bruggink bahwa “teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual, aturan- aturan hukum dan peraturan-peraturan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.”11Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar filsafat yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagian yang sebesar- besarnya dan berkurangnya penderitaan.12Dalam hal ini berkaitan untuk melindungi hak-hak orang tua angkat dari akibat hukum pengangkatan anak yang berupa kewajiban tanggung jawab anak angkat terhadap orang tua angkatnya.
Menurut Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan
“orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak”. Demikian juga dalam Pasal 9 Undang-Undang Kesejahteraan Anak disebutkan “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.” Perlindungan terhadap anak angkat bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai harkat dan martabatnya serta mendapat perlindungan dari
10Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta,UI Press, 1986), hal. 6
11B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, (Bandung,,Citra Aditya Bakti, 2011), hal. 159-160
12Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan perkiraan serta menjelaskan gejala yang diamati, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum yang diarahkan secara khas ilmu hukum. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum. Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek- subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:13
a) Perlindungan hukum preventif, perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan- batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b) Perlindungan hukum represif, merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Menurut Satjipto Rahardjo, “hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang”.14
Menurut Muchsin “perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-
13Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14
14Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hal. 53
kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.”15
Teori perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini yaitu sebagai kajian tentang aturan atas timbulnya suatu hak dari peristiwa hukum berkaitan dengan pengangkatan anak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi orang tua angkat maupun anak yang diangkat atau di adopsi tersebut.
Selain itu dalam penulisan ini juga menggunakan teori kepastian hukum, Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.16Tugas kaedah-kaedah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum.17 Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia, dalam pengertian teori kepastian hukum menurut Roscue Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya
‘Predictability’.18 Selain teori kepastian hukum, dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori perlindungan hukum, hal tersebut sebagai dasar peninjauan dan pembahasan dari suatu hak dan kewajiban yang timbul berkaitan dengan pengangkatan anak, agar dapat dipahami serta mengerti dasar hukum pelaksanaan dari timbulnya hak dan kewajiban dengan adanya pengangkatan anak, dan perihal yang harus dilakukan oleh seorang yang berstastus anak angkat atau anak adopsi.
Teori-teori ini digunakan dalam penulisan tesis ini untuk mengkaji sebuah peristiwa hukum dari kedudukan seorang anak angkat atas kewajibannya dan
15Muchsin, Op. Cit, hal. 14
16J.B. Daliyo, Pengantar ilmu Hukum, (Jakarta, PT. Prennahlindo, 2001), hal. 120
17Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Rineka Cipta, 1995), hal. 49 - 50
18Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 158
tanggung jawabnya terhadap orang tua angkatnya, dan dengan teori-teori ini dapat diketahui pelaksanaan dari hukum yang menyangkut kewajiban anak angkat untuk memelihara orang tua angkatnya.
b. Konsepsi
Konsepsi adalah bagian yang terpenting dalam teori, yang diterjemahkan sebagai usaha membawa dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, dan disebut operasional definition. Peranan konsepsi dalam penelitian ini menghubungkan teori dengan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep mengandung arti sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, atau dengan kata lain definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran yang mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai, dan definisi-definisi operasional menjadi pegangan konkret dalam proses penelitian. Oleh karena itu dalam menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan maka beberapa konsep dasar untuk menyamakan persepsi sebagai berikut:
1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
3. Orang tua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
4. Orang tua angkat adalah orang yang di beri kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang- undangan dan adat kebiasaan.
5. Penetapan pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat yang sah di mata hukum dan berdasarkan keputusan Pengadilan.
6. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.
7. Alimentasi adalah kewajiban timbal balik antara kedua orang tua atau para keluarga sedarah dalam garis ke atas dan anak-anak beserta keturunan mereka untuk saling memberi nafkah.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali, diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.19 1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif (hukum normatif), yang merupakan penelitian kepustakaan, yakni penelitian terhadap data sekunder, dengan maksud untuk mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.20Ronny Hanitijo Sumitro menyatakan bahwa penelitian yuridis normatif terdiri:21
1. Penelitian inventarisasi hukum positif;
2. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
3. Penelitian untuk menemukan hukum In-Konkrito;
4. Penelitian terhadap sistematika hukum;
5. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal horizontal.
Spesifikasi penelitian dalam penulisan bersifat yuridis normatif, dengan menggunakan “pendekatan perundang-undangan (statue approach),22yang memfokuskan pengumpulan semua perundang-undangan yang terkait dengan anak angkat, kemudian menganalisa baik tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia.
19Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta,Rajawali Pers, 1990), hal. 43
20Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998), hal. 11
21Ibid, hal. 12
22Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hal. 102
2. Sumber Data
Sumber data yang utama dalam penelitian yaitu menggunakan data-data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan adalah :
1. Bahan Hukum Primer
Bahwa bahan hukum primer yaitu bahan-bahan utama yang akan dijadikan dasar untuk membuat penelitian ini. Melalui bahan hukum primer ini nantinya akan diolah data-data yang akan dimasukkan menjadi substansi- substansi penelitian.23Adapun bahan-bahan hukum primer yang akan digunakan adalah segenap peraturan perundang-undangan yang ada, dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.11
3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
6. Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 Tentang Pengangkatan Anak Khusus Bagi Orang Tionghoa.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak .
8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
2. Bahan Hukum Sekunder
23 Rony Hanitijio, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988), hal. 106
Bahan hukum sekunder ini adalah hukum pendukung bahan hukum primer yang telah disebutkan diatas yang diperoleh dari berbagai sumber berupa beberapa bahan seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.24 3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ini merupakan bahan tambahan yang juga merupakan pelengkap terhadap data-data yang akan dirangkum dalam mengisi penelitian ini sehingga menjadi karya ilmiah yang nantinya tersusun secara serangkai dan berurutan.25
c. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan (library research), yaitu menghimpun data-data dengan melakukan penelahaan kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian, dan dokumen lainnnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada data studi kepustakaan.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen/kepustakaan berdasarkan sumber di atas, dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil penelitian yang terkait dengan pembahasan pengangkatan anak, hak dan kewajiban anak angkat terhadap orang tua angkatnya.
24Roni Hanitijo Soemitro, Op. Cit, Hal. 24
25Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2009), hal. 155
5. Analisis Data
Analisis data adalah merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Data yang telah terkumpul, kemudian diklarifikasi dan diuraikan secara sistematis, analisis data yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah analisis kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat sistematis untuk memberi gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode induktif, yaitu metode yang digunakan ketika data masih bersifat khusus yang kemudian dianalisis menjadi kesimpulan bersifat umum.26Kemudian hasil analisis tersebut dikomparasikan sehingga diketahui aturan dan ketentuan hukum tentang kewajiban anak angkat untuk memelihara orang tua angkatnya.
Data yang diperoleh baik dari studi perpustakaan maupun wawancara pada dasarnya merupakan data yang di analisis secara kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian di tarik kesimpulan secara deduktif. Penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu metode yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip umum menuju penulis bersifat khusus.27
26 Saifuddin Azwar. Metode Penelitian,Cet. ke-5, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hal. 5
27Ronny Hanitijio, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988), hal.15
BAB II
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT BERDASARKAN KETENTUAN
HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian Pengangkatan Anak Angkat.
Pengertian anak angkat dapat di tinjau dari dua pandangan yaitu secara etimologi serta terminologi. Sudut pandang etimologi yaitu berdasarkan asal usul anak angkat atau dikenal dengan adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda) atau adopt (adoption) dalam bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak, dalam bahasa Arab disebut tabbani yang menurut Mahmud Yunus, diartikan dengan mengambil anak angkat, sedangkan menurut kamus Munjid diartikan menjadikannya sebagai anak, selanjutnya pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.28
Secara terminologi, yaitu berdasarkan istilah anak angkat atau adopsi dapat diartikan dalam kamus bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu anak orang lain diambil dan disamakan dengan anak sendiri, dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.29
Pengertian anak angkat menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah
28R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2004), hal.19
29Dessy Balaati, Prosedur dan Penetapan Anak Angkat di Indonesia, Jurnal Lex Privatum, Vol I/ No.1/Jan-Mrt/2002
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.30
Menurut Soerjono Soekanto, adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah.31 Menurut ING Sugangga anak angkat adalah orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.32 Menurut Tamakiran, anak angkat adalah seseorang bukan turunan suami istri yang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak turunannya sendiri.33
Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing- masing daerah walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum diatur secara khusus dalam undang-undang sendiri.
Beberapa definisi di atas dari beberapa sarjana yang disebut diatas maka ditarik kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunanya untuk dimasukkan ke dalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban anak menjadi beralih kepada pihak
30Lihat Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak
31Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung, Alumni, 1980), hal. 52
32ING Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang, Universitas Diponegoro,1995), hal. 35
33Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris ,(Bandung, Puionir Jaya, 1972), hal. 52
yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Pengangkatan anak di Indonesia telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum keluarga karena menyangkut kepentingan perorangan dalam keluarga.
Oleh karena itu, lembaga pengangkatan anak yang telah menjadi bagian budaya masyarakat akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak
Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang permohonan pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang tua warga negara asing, sehingga tidak terlindunginya hak anak yang merupakan hak asasi manusia, bahkan dapat merendahkan martabat bangsa.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, Mahkamah Agung memandang perlu untuk mengingatkan para hakim pengadilan negeri di seluruh Indonesia agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh:34
a. Ketentuan dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 yang memberi petunjuk mengenai persyaratan, bentuk permohonan, tata cara pemeriksaan dan bentuk putusan dari permohonan pengangkatan anak warga negara Indonesia maupun anak warga negara asing oleh orang tua warga negara Indonesia dan permohonan anak warga negara Indonesia oleh orang tua warga negara asing.
c. Dalam rangka pengawasan oleh Mahkamah Agung, maka setiap orang salinan penetapan dan salinan putusan pengangkatan anak agar juga
34Lihat Isi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005
dikirimkan kepada Mahkamah Agung cq. Panitera Mahkamah Agung, selain kepada Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia cq.
Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus dan berkembang, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.35
3. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Peraturan pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dan pelaksanaan pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan anak dan pelaporan.
Dengan berlakunya ketentuan perundang-undangan ini sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.36
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang ini dari pasal 1 sampai 16 menyebutkan hak-hak, tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak. Hal-hal yang telah
35Isi Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
36Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, penjelasan Umum
disebutkan tidak hanya berlaku untuk anak kandung tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung maupun anak adopsi harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.37
C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak
Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai upaya dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak memiliki tujuan untuk kepentingan anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.
Pengangkatan anak dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak terutama mengenai syarat-syarat pengangkatan anak sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.38
Menurut Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 menjelaskan syarat-syarat pengangkatan anak sebagai berikut :
1. Syarat anak yang diangkat, meliputi : a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.
37Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan, (Jakarta, RajaGrafindo Persada), hal.161
38Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak bagian Penjelasan Umum
d. Memerlukan perlindungan khusus.39 2. Usia anak yang hendak diangkat, meliputi :
a. Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama.
b. Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) sepanjang ada alasan mendesak.
c. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Mengenai syarat-syarat bagi calon orang tua angkat terdapat di pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 sebagai berikut:
a. Sehat jasmani dan rohani.
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat.
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindakan kejahatan.
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.
f. Tidak merupakan pasangan sejenis.
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial.
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.
39Perlindungan khusus adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya dan penelantaran.
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat.
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan.
m. Memperoleh izin menteri dan atau kepala instansi sosial.
Syarat-syarat pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh negara asing tertuang pada pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, harus memenuhi syarat :
a. Memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia.
b. Memperoleh izin tertulis dari menteri.
c. Melalui lembaga pengasuhan anak.
Pengangkatan anak warga negara asing oleh warga negara Indonesia dengan memenuhi syarat dengan memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia dan memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.40Syarat-syarat lain untuk orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia setelah mendapat izin dari menteri dan pemberian izin tersebut dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi.41
D. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat di Indonesia, sistem pengangkatan anak memiliki aturan-aturan yang beragam sesuai dengan adat istiadat setempat. Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan
40Lihat pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
41Lihat pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”. Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu :42
a) Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya.
b) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat. Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat.
Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan
42 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Islam), (Bandung, Mandar Maju, 2003), Hal.149
hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, maka pengangkatan anak pada dasarnya harus memperhatikan kepentingan kesejahteraan anak itu.
Menurut Soepomo, hukum adat Indonesia mempunyai corak tersendiri sebagai berikut:43
1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasanya kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.
2. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan hidup yang konkrit.
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya berhubungan hukum dianggap hanya terjadi, oleh karena itu, ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang kelihatan).
Sifat-sifat hukum adat tersebut, memberikan gambaran bahwa sistem hukum adat yang berlaku di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sistem hukum lainnya, misalnya hukum perdata barat, dan hukum Islam. Menurut hukum adat suatu perbuatan hukum dipandang telah memenuhi sifat-sifat bahwa semua masyarakat adat setempat memiliki keterkaitan kepentingan dengan perbuatan tersebut, telah memenuhi persyaratan religius magis yang dipercayai oleh masyarakat setempat, telah dipandang sebagai sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang dan nyata terjadinya. Demikian halnya dengan
43Mudaris Zain, Op. Cit. Hal. 42.
perbuatan hukum pengangkatan anak, menurut hukum adat haruslah memenuhi keempat sifat-sifat adat tersebut.44
Hukum Adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan adopsi dan batas usianya. Di daerah kecamatan Singaraja Kabupaten Garut seorang perempuan yang belum pernah kawin tidak boleh melakukan adopsi, tetapi janda atau duda diperbolehkan. Sedangkan di Kecamatan Lewidamar (Bandung) baik belum atau sudah kawin boleh saja, begitu pula di Kecamatan Banjarharjo, Brebes (Semarang). Di Lampung Utara adopsi dilakukan dengan upacara pemotongan kerbau yang dihadiri oleh anggota keluarga. Di Lahat (Palembang) pengangkatan dihadiri oleh Kerio, Khotib dan keluarga sedusun.
Adopsi adakalanya dilakukan secara tertulis dan ada yang tidak, asal saja dinyatakan di muka umum. Biasanya diadakan sedekahan. Begitu juga di Kecamatan Lebung Utara dan Selatan, Kepahiyangan dan Curup (Sumatera Selatan) adalah dengan suatu penjamuan dengan mengundang Kutai, yakni tetua adat di marga yang bersangkutan “pasirah” dengan acara memotong kambing dan memasak serawa (beras ketan dicampur ketan dicampur kelapa dan gula merah).45
Menurut Yaswirman, masyarakat Minangkabau juga mengenal istilah anak angkat dalam arti memelihara anak orang lain. Biasanya berasal dari keluarga terdekat atau karena tidak berketurunan. Bisa juga dari orang lain yang tinggal menetap dengan salah satu keluarga dan ia memanggil keluarga itu dengan ayah / ibu angkatnya, tetapi tidakmempunyai akibat-akibat hukum sebagaimana dalam masyarakat adat lainnya. Mengangkat atau tepatnya mengasuh anak di Minangkabau tidak harus dilakukan upacara adat seperti di Bali atau putusan pengadilan.
44Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2008), hal. 38
45Mudaris Zaini, Op. Cit. hal.46
E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Sebagian pakar hukum Islam cenderung menggunakan istilah anak angkat dengan anak asuh/hadhanah yang diperluas, sedangkan anak asuh yang sering disamakan pengertiannya dengan pengangkatan anak dalam hukum Islam diberikan definisi yang menunjukkan substansi yang berbeda, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.46
Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak dalam artian status kekerabatannya tetap di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Anak angkat tetap menjadi anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.47
Berdasarkan keterangan di atas, maka anak angkat tidak mempunyai hubungan saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, karena hubungan orang tua angkat dan anak angkat bukan hubungan kekerabatan, hanya hubungan pemeliharaan oleh orang tua angkat. Dalam hubungan perkawinan, antara anak angkat dengan orang tua angkat, tidak ada larangan perkawinan antar mereka berdua. Jika anak angkat melangsungkan perkawinan, maka yang berhak untuk menjadi wali nikahnya tetaplah orang tua kandung si anak.
Larangan pengangkatan anak tertuang dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab (33) ayat 4-5, yang artinya “ . . . Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
46Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op. Cit. hal. 56-57.
47Ibid, Hal. 112.
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak- bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara- saudaramu seagama dan maula-maulamu . . .”.48
Ayat di atas menunjukkan adanya akibat hukum yang berbeda antara pengangkatan anak dalam perdata barat dengan hukum Islam. Menurut hukum Islam, tidak adanya pemutusan hubungan antara anak angkat dengan orang kandungnya, anak yang telah diangkat tetap memakai nama keluarga orang tua kandungnya. Peran dari orang tua angkat, hanyalah kewajiban untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan hidup si anak. Dalam hal kewarisan, anak angkat tetap saling mewarisi dengan orang tua kandungnya, namun tidak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Hal tersebut terjadi karena tidak pertalian nasab baru antara orang tua angkat dengan anak angkatnya, anak angkat tetap dalam nasab ayah kandungnya.
Hukum Islam tidak dikenal perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dalam arti berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan kawin serta
48Lihat Kitab Suci AL-Qur’an, Surat Al-Ahzab, Ayat 33
kedua belah pihak saling mewarisi.49Majelis Ulama Indonesia dalam Surat Nomor U-355/MUI/VI/82 tanggal 18 Sya’ban 1402 H/10 Juni 1982, menyebutkan mengenai pengangkatan anak
1. Adopsi yang tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud boleh saja menurut hukum Islam;
2. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat (adopsi) oleh ayah/ibu yang beragama Islam pula, agar keislamannya itu ada jaminan tetap terpelihara;
3. Pengangkatan anak angkat (adopsi) tidak akan mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaklah dilakukan pada masa masih sama-sama hidup sebagai hibah biasa;
4. Adapun adopsi yang dilarang, adalah :
a. Adopsi oleh orang yang berbeda agama, misalnya Nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan pemeluk agama Nasrani, bahkan sedapat- dapatnya dijadikan pemimpin agama itu.
b. Pengangkatan anak angkat Indonesia oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lain-lainnya, biasanya berlatar belakang seperti tersebut di atas. Oleh karena itu hal ini ada usaha untuk menutup adopsi.
Mahmud Syaltut menyatakan, untuk mengetahui hukum Islam dalam masalah “Tabbani” perlu dipahami bahwa “Tabbani” itu ada 2 (dua) bentuk.
Salah satu di antaranya bahwa seseorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah, pendidikan dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya, tabbani seperti ini adalah perbuatan yang pantas dikerjakan oleh mereka yang luas rizkinya, namun ia tidak dikaruniai anak. Sangat dianjurkan (baik sekali) jika seseorang mengambil anak orang lain yang memang keadaannya perlu mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya, karena orang tua kandung anak yang
49Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op. Cit. hal. 101.