BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PENGANGKATAN ANAK
C. Hubungan Hukum Perdata Anak Yang di Adopsi
3. Tinjauan dari Sudut Hukum Adat
Dalam hukum adat sebagaimana juga dalam stelsel hukum lainnya dikenal adanya 2 (dua) macam dasar keturunan, yaitu:
1. Keturunan asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak kandung
2. Keturunan tidak asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak angkatnya.
119Lihat AL-Qur’an Surat al-Ahzab Ayat 4
120lihat Al-Qur’an Surat al-Ahzab Ayat 5
Hukum adat memperbolehkan dilakukannya pengangkatan anak atau adopsi karena faktor keturunan dalam masyarakat hukum adat (terutama dalam masyarakat-masyarakat yang bersistem unilateral) unsur penerus marga ayah atau marga ibu dapat dikatakan sangat dipentingkan atau diutamakan, demi terhindarnya marga yang bersangkutan dari kepunahan karena ketiadaan penerus generasi marga yang bersangkutan.
Suatu pengangkatan anak atau adopsi akan menimbulkan hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua yang mengangkatnya yang sama dengan hubungan antara orang tua dan anak kandung. Akibatnya dengan pengangkatan anak tersebut akan timbullah hak dan kewajiban timbal balik antara anak angkat dan orang tua angkat tersebut. Orang tua angkat berhak untuk menyuruh anaknya untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dan ia pun berkewajiban untuk memelihara anak sampai ia besar. Sebaliknya, si anak itu pun disamping berhak atas pemeliharaan yang ditanggung oleh orang tua angkatnya, ia pun kelak berhak atas warisan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Tetapi sebagai imbangannya, ia pun berkewajiban pula untuk menurut kepada orang tua angkatnya dan berbalik memelihara orang tua tersebut pada hari tuanya sampai yang bersangkutan meninggal dunia serta pengurusan pemakaman serta kremasi jenazah.
Perihal hak dan kewajiban timbal balik antara anak angkat dan orang tua angkat terdapat bentuk adopsi yang merupakan “perjanjian pemeliharaan”, yang menurut Van Vollenhoven dikatakan sebagai “Verzorgingskontrakt” antara orang tua angkat dan anak angkat, yang disebabkan karena dalam bentuk adopsi ini anak
angkat yang bersangkutan seakan-akan saling mengikatkan diri untuk saling bertimbal balik memelihara satu sama lain pada masa semampu mereka. Hal ini pada umumnya terjadi antara anak angkat yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, sedangkan orang tua angkatnya adalah orang yang lebih mampu. Melalui adopsi ini, segala keperluan si anak yang mungkin tidak mampu terpenuhi oleh orang tua kandungnya, (misalnya keperluan pemeliharaan kehidupan yang memadai sebagai seorang anak, keperluan akan sekolah berikut berbagai keperluan lainnya), semuanya bisa dipenuhi oleh orang tua angkatnya. Pada haritua, orang tua angkat dan anak angkat juga memiliki kewajiban memelihara dan menjaga kehidupan orang tua angkat dengan sebaik-baiknya sampai tiba ajalnya dan bahkan anak angkat itu pula yang wajib mengurus pemakaman atau pembakaran (kremasi) jenazahnya serta menyelesaikan segala urusan utang/piutang bekas orang angkatnya itu.121
Pada bentuk adopsi ini, hubungan kekeluargaan antara anak dengan orang tua kandungnya tetap ada atau tidak terputus, mengingat hubungan antara anak dengan orang tua angkatnya itu lebih bersumbu pada ikatan pemeliharaan timbal balik saja. Anak angkat sebenarnya tidak berhak mewaris dari orang tua angkatnya, namun ia masih diberi hak untuk mewaris mengingat atas pertimbangan bahwa dialah orang yang terlama dan cukup banyak telah mengurus/ memelihara orang tua angkatnya tersebut, termasuk juga menjaga dan memelihara harta bendanya dan bahkan sampai pada pengurusan utang atau/dan piutang yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Antara anak dengan
121A. Ridwan Halim. Pengantar Hukum dan Pengetahuan Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta, Angky Pelita Studyways, 2001), hal. 71-75
orang tua kandungnya tetap ada hubungan kekeluargaan, hal ini tidak berbeda dengan adopsi lainnya (kecuali adopsi di Bali), namun pada adopsi ini hubungan tersebut masih lebih erat dibandingkan dengan adopsi lainnya. Disamping itu, perbedaan lainnya ialah bahwa adopsi lainnya baru dapat dilaksanakan oleh orang tua yang telah melakukan perkawinan, sedangkan khusus pada adopsi ini orang tua yang belum pernah kawinpun boleh saja mengangkat anak atas dasar
“perjanjian pemeliharaan“ ini.122
Masyarakat dengan susunan kekerabatan yang patrilineal yang cenderung melakukan perkawinan bentuk jujur, dimana isteri pada umumnya masuk dalam kelompok kekerabatan suami, maka kedudukan anak dikaitkan tujuan penerusan keturunan menurut garis lelaki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak wanita berkedudukan seperti anak lelaki atau mengangkat anak lelaki orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar dengan anak sendiri.
Keluarga ataupun rumah tangga yang bersifat patrilineal, terdapat bermacam-macam anak, seperti anak sah yang tidak sama kedudukannya dengan anak tidak sah, anak kandung yang berbeda kedudukannya karena kedudukan ibunya berbeda, anak tiri yang diangkat menjadi anak penerus keturunan bapak tiri seperti di Rejang Bengkulu, anak angkat penerus keturunan bapak angkat (Lampung:tegak tengik).
Masyarakat yang matrilineal, yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk semanda, dimana suami masuk dalam kerabat istri (matrilokal) atau
122Ibid.
di bawah kekuasaan kerabat isteri, maka kedudukan anak dikaitkan dengan penerusan keturunan menurut garis wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak perempuan atau tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak wanita orang lain untuk menjadi penerus keturunan yang berkedudukan sejajar dengan anak sendiri, seperti di Minangkabau kedudukan anak lebih menghormati ibu dan mamaknya daripada terhadap ayahnya sendiri.
Tanggung jawab pihak ibu lebih besar dari tanggung jawab pihak ayah terhadap kemenakannya.
Masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (ibu-bapak) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di daerah satu berbeda dari daerah lain.
Di Aceh yang kuat keagamaan Islamnya, anak di luar perkawinan tidak berhak mewaris. Di lingkungan masyarakat Melayu tidak banyak pengaruh tentang adanya anak angkat, tetapi di Jawa anak wong ora nggenah, anak pungut, anak pupon, dapat berperan melebihi anak sendiri. Di samping itu, dipedesaan orang Jawa sudah terbiasa anak cucu diurus oleh embah-kakeknya, apakah anak itu anak sah atau tidak sah, sedangkan di daerah lain bukan suatu kebiasaan123
Kedudukan hukum anak angkat di dalam hukum adat, ada beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, mengenai status dan kedudukannya hukumnya di dalam hal mewaris dari kedua orang tua yang mengangkatnya. Yurispudensi Mahkamah Agung No. 182 K/Sip/1959 tanggal 15 Juli 1959 menyebutkan “anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.”Yurispudensi
123Hilman Hadikusuma, Op. Cit, Hal. 135-136.
Mahkamah Agung No. 27K/Sip/1959 menyebutkan“menurut hukum yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.”
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 516 K/Sip/1968 tanggal 4 Januari 1969, menurut hukum adat yang berlaku di Sumatra Timur, anak angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya.Ia hanya dapat memperoleh suatu hadiah atau hibah dari orangtua angkat selagi hidup. Dari contoh yurisprudensi ini, kedudukan anak angkat dari berbagai daerah mencerminkan bagaimana adat istiadat masyarakat adat setempat memberikan status hukum kepada anak yang diangkat. Seperti di Jawa biasanya anak yang diangkat selaku anak masih kerabat dekat, misalnya keponakan sendiri, dan kebanyakan yang mengangkat anak itu tidak mempunyai anak sendiri.
Maka dengan ini dapat disimpulkan Akibat hukum yang timbul terhadap hubungan perdata anak yang diadopsi dengan orang tua kandungnya dan orang tua adopsi dari an akta kelahiran,memiliki perspektif yang berbeda menurut sistem hukum perdata di Indonesia. Hubungan hukum antara orang tua asal setelah anak tersebut diangkat oleh orang lain menjadi putus. Menurut pandangan Islam, pengangkatan anak tidak memutus hubungan nasab si anak dengan orang tua kandung. Hukum adat memandang hubungan antara si anak dengan orang tua angkatnya merupakan pemeliharaan timbal balik, yakni memelihara satu sama lain pada masa semampu mereka.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk tanggung jawab anak angkat sebagai jaminan perlindungan hukum dalam memelihara orang tua angkatnya, yaitu sesuai hak alimentasi hubungan timbal balik antara orang tua dengan anak kandungnya dan juga anak angkatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan “Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Kedudukan anak angkat berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia itu terbagi tiga, yang pertama berdasarkan hukum adat, yang kedua berdasarkan kompilasi hukum Islam, dan yang ketiga berdasarakan kitab undang-undang hukum perdata (BW), yakni sebagai berikut:
a. Berdasarkan hukum adat tergantung kepada ketentuan adat yang berlaku, biasanya bagi keluarga yang parental, pengangkatan anak tidak memutuskan tali keluarga antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya, dan selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya juga mendapatkan hak waris dari orang tua kandungnya. Untuk keluarga patrilinial dan matrilinial kedudukan anak angkat sama kedudukannya dengan anak kandung.
b. Dalam hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli
waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
c. Menurut kitab-kitab undang-undang perdata, secara hukum memperoleh nama dari bapak angkatnya, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat, dan berputuslah segala hubungan perdata dari anak angkat yang berpangkal pada garis keturunan dan kelahiran dari orang tua anak angkat tersebut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kedudukan anak angkat menurut hukum perdata pengangkatan anak dengan di kenal dengan istilah adopsi. Sumber hukum adopsi adalah staatsblad tahun 1917 Nomor 129, yang merupakan satu-satunya dasar hukum di dalamhukum perdata yang tidak mengatur mengenai adopsi.
Ketentuan tersebut di atur dalam staatblad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 5 sampai 15. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, berkedudukan sebagai anak sah, putus segala hubungan perdatanya dengan orang tua asalnya.
Menurut hukum adat, syarat dan tata cara pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat berpengaruh pada kedudukan seorang anak angkat dari perbuatan pengangkatan anak tersebut, yaitu :
1. Pengangkatan anak secara terang dan tunai 2. Pengangkatan anak tidak secara terang dan tunai.
Sedangkan menurut hukum Islam kedudukan anak angkat dari pengangkatan anak diperbolehkan, tapi hanya didasarkan tujuan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu dan ini tidak ada membawa akibat hukum apapun. Hal ini di dalam hukum Islam ada larangan pengangkatan anak dengan pemberian status anak sama dengan anak kandung.
2. Bentuk-bentuk tanggung jawab anak angkat sebagai jaminan perlindungan hukum dalam memelihara orang tua angkatnya, yaitu sesuai hak alimentasi hubungan timbal balik antara orang tua angkat dengan anak angkatnya. Hak anak memperoleh kasih sayang, hak kesejahteraan, hak perawatan, hak kasih sayang dan hak pendidikan. Kewajiban anak harus menghormati dan mentaati segala perintah dan larangan yang benar, berbakti kepada kedua orang tua angkatnya. Menafkahi dan merawat kedua orang tua angkat yang sudah tidak mampu lagi merawat dirinya sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan “Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
3. Akibat hukum atas pengangkatan anak oleh orang tua angkatnya sebagai berikut :
a. Menurut hukum perdata
- Sejak putusan pengadilan diputuskan, maka hubungan wali akibat pengangkatan anak orang tua angkatnya menjadi wali dari anak angkatnya, maka terputuslah hubungan dengan orang tua kandungnya. Maka perbuatan tersebut menciptakan hak dan kewajiban kepada anak angkat ke orang tua angkat.
- Dalam pembagian harta warisan, anak angkat tidak lagi menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan akan menjadi ahli waris
dari orang tua angkatnya terhadap harta warisan, sebagaimana hak-hak dan kedudukan yang dimiliki anak kandung.
- Nasab anak angkat beralih ke orang tua angkat dan saudara-saudara serta anak-anaknya dengan segala akibat hukumnya.
- Anak angkat tidak boleh dinikahi dengan orang tua angkatnya, juga tidak boleh dengan anak kandung dari orang tua angkat.
b. Menurut Hukum Adat
- Pengangkatan anak dilakukan dengan cara tunai dan terang yang dihadiri oleh pemuka adat maupun keluarga, maka akibat hukumnya, terputuslah hubungan anak angkatnya dengan orang tua kandungnya, maka hak perwalian beralih ke orang tua angkatnya dan memiliki hak mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua kandungnya.
- Pengangkatan anak tidak dilakukan dengan cara tunai dan terang atau secara diam-diam, maka akibat hukumnya tidak memutuskan hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga dapat mewaris 2 sumber yaitu dari orang tua kandungnya dan orang tua angkatnya.
- Penentuan waris bagi anak angkat tergantung hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah.
c. Menurut Hukum Islam
- Pengangkatan anak angkat dalam hukum Islam tidak memiliki akibat hukum dengan orang tua angkat, baik itu hubungan darah dan menjadi ahli waris.
- Nasab anak angkat tidak terputus dengan orang tua kandungnya.
Sehingga anak angkat dapat dinikahi oleh orang tua angkatnya dan juga diboleh dinikahi anak kandung dari orang tua angkatnya.
- Terjadinya pengangkatan anak yang beralih hanyalah tanggung jawab, kewajiban pendidikan, pemeliharaan, nafkah, pendidikan dan lain-lain.
- Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, tapi bias menjadi harta warisan dari orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah.
B. Saran
1. Diharapkan pemerintah bertindak membuat pengaturan tersendiri tentang tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang anak angkat terhadap orang tua kandungnya.
2. Diharapkan orang tua angkat memberi pendidikan yang baik kepada anak angkatanya terutama pendidikan agama agar anak yang diangkatnya tersebut ketika dewasa menjadi orang yang berbakti pada nusa dan bangsa serta berbakti kepada orangtua angkatnya.
3. Diharapkan anak yang tidak mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya tetap ikut merawat orang tua angkatnya, sekalipun tanggung
jawab perawatan orang tua itu adalah tanggung jawab penuh anak kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Affandi, Ali Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata, Yogyakarta, :Yayasan Badan Gajah Mada Yogyakarta, 2000.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta, Kencana, 2008.
Azwar, Saifuddin Metode Penelitian. cet. ke-5, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
2004.
BHurlock, Elizabeth, Perkembangan Anak, Jilid 2, Jakarta, Erlangga. 1978.
Bnz, Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. ng.
Soebakti Poesponot, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985.
Bzn, Ter Haar, Beginselen en Stelsel Van Het Adatrecht, Gronigen, Wolters 1950.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia (menurut: perundangan hukum adat hukum Islam), Bandung, Mandar Maju, 2003.
Halim, A. Ridwan, Pengantar Hukum dan Pengetahuan Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta, Angky Pelita Studyways, 2001.
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2007.
ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Semarang, Universitas Diponegoro, 1995.
J. B. Daliyo, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta, Prennahlindo, 2001.
J.J.J.M. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas Asas, Jakarta, FE UI, 1996.
Kamil Ahmad dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2008.
Krisnawati, Emeliana, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bandung, Utomo, 2005.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994.
Marzuki, Pieter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group , 2009.
M. Buddiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta, AKAPRESS1991.
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003.
Prist, Darwin, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bhakti, 2003.
Prodjodikoro, R. Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur, 1976.
Rahardjo, Sajtipto, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006.
Rasjidi, Lili, & Putra, I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993.
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4, Jakarta, Sinar Grafika,2001.
Sidharta, B. Arief, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2011.
Soekanto, Soerjono, dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Pers, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.
---, Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Alumni 1980.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998.
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat), Jakarta, Sinar Grafika, 2004.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1995.
---, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1991.
Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Bandung, Puionir jaya, 1972.
Tatapangarsa, Humaidi, Akhlak yang Mulia, Surabaya, Bina Ilmu Offset, 1980.
Wignjodipoero, Surojo, Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Alumni 1973.
Yaswirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
Yusuf LN, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001.
Zain, Mudaris Adopsi Suatu Tinjauan Hukum dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1999.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945.
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Perdata.
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Pidana.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
C. Karya Ilmiah, Internet, dan Sumber Lainnya
Hj. Sri Sudaryatmi, SH, Dalam Tesis Berjudul:Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Kota Jambi, Semarang, MKN-UNDIP Semarang, Tahun 2010.
Nadia Nurhardanti, Dalam Skripsi Berjudul: Hak Alimentasi Bagi Orang Tua Lanjut Usia Terlantar (Studi Kasus Di Panti Werdha Majapahit Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto), Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Tahun 2015.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt559f63ab58fbe/kewajiban-anak-memelihara-orang-tua-setelah-dewasa di akses senin 19 Desember 2016.