• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BENTUK-BENTUK TANGGUNG JAWAB ANAK

D. Hak Alimentasi

Tiap-tiap anak, dalam umur berapa pun juga, berwajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya (Pasal 298 BW), yang penting benar dalam bagian “hubungan orang tua dan anak” ini adalah kewajiban orang tua dalam memberikan penghidupan. Selama anak masih mindarjerig (belum dewasa) maka orang tua wajib memberikan nafkah dan penghidupan kepada anak itu. Akan tetapi di samping itu antara orang tua dan anak, demikian pula antara keluarga sedarah yang lain dalam garis lurus keatas maupun kebawah, ada kewajiban timbal balik untuk pemberian nafkah dan penghidupan. Terhadap kewajiban ini orang tua tidak diwajibkan memberikan suatu kedudukan yang tetap dengan memberikan segala persediaan dalam perkawinan atau dengan cara lain (Pasal 320).

Hak alimentasi pada orang tua terhadap anak tidak diatur secara mendetail pada undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hanya berfokus mengatur tentang pasangan suami-isteri. Hubungan anak dan orang tua tidak terlalu mendetail diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena berbeda dengan hubungan perkawinan suami dan isteri yang merupakan hubungan perdata menurut hukum sehingga perlu diatur mengenai

hal-hal yang berkaitan mengenai kewajiban dan hak-hak suami dan isteri. Hubungan anak dan orang tua merupakan hubungan alamiah yang terjadi karena hubungan darah sehingga tidak dapat diputus, seperti dalam ikatan perkawinan antara suami dan isteri dapat diputus dengan perceraian namun dalam ikatan anak dan orang tua tidak dapat diputus dengan segala macam bentuk hukum.

Kewajiban pemberian nafkah ini dipandang oleh undang-undang demi ketertiban umum dan tidak dapat dihapus dengan suatu perjanjian (Pasal 329 BW).Semua perjanjian yang menyatakan salah satu pihak melepaskan haknya untuk mendapatkan nafkah dianggap batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 329 BW). Suatu syarat mutlak untuk kewajiban alimentatie ini adalah bahwa yang berhak harus betul-betul memerlukan, artinya ia tidak mampu dengan bekerja mencukupi kebutuhan hutangnya.

Definisi hak alimentasi sesuai dengan Indeks (daftar persoalan menunjuk pada Pasal-Pasal yang bersangkutan) pada KUHPer adalah“kewajiban timbal-balik antara kedua orang tua atau para keluarga sedarah dalam garis ke atas dan anak-anak beserta keturunan mereka untuk saling memberi nafkah” sehingga dari definisi diatas timbul perikatan yang bersumber dari undang-undang, mengenai hak alimentasi dalam konteks ini difokuskan kewajiban sang si anak terhadap orang tua kandungnya terdapat beberapa Pasal yang terkait.98

Definisi hak alimentasi dari kalimat timbal balik yang dibahas di sini adalah kewajiban anak. Kewajiban anak untuk memelihara orang tuanya dan keluarga garis lurus ke atas. Kewajiban ini baru timbul bila anak itu bila anak itu sudah dewasa dan memang ia mampu untuk membantunya, serta orang tua serta keluarga dalam garis lurus keatas tersebut benar-benar memerlukan bantuan.

Bahwa orang yang tidak berketiadaan lagi menuntut sekedar kewajiban hukum

98Lihat Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

terhadap anaknya yang sudah dewasa untuk membantu orang tuanya dalam batas-batas kemampuan yang ada padanya. Baik yang menyangkut perbelanjaan dan pemeliharaan kesehatan kepada orang tua yang bersangkutan.99

Hak Alimentasi dalam istilah hukum sederhana kerap dikaitkan dengan penafkahan, dan sering dicantumkan dalam perkara gugatan perceraian antara suami dan istri untuk persoalan penafkahan anak. Sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, hak alimentasi bukan merupakan sekedar penafkahan anak terhadap orang tua namun juga meliputi pemeliharaan dan pemberian bantuan kepada orang tua apabila orang tua memerlukan bantuan. Hak alimentasi yang dimiliki oleh anak kandung dan orang tua kandung tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun baik itu berasal dari orang lain yang merupakan suami atau istri atau pasangan hidup anak yang berarti adalah menantu bagi orang tua hingga oleh pembuat undang-undang atau penguasa, dimana dalam realitasnya tidak boleh ada sewenang-wenang dalam memperlakukan hak alimentasi orang tua.

Hukum kekeluargaan yang erat hubungannya dengan hak alimentasi adalah prinsip perkawinan dalam kehidupan berumah tangga yang harus dipegang teguh dan diamalkan oleh seluruh anggota keluarga, yakni: suami, isteri, dan anak-anak, untuk dapat mencapai tujuan perkawinan dalam hal ini ada 5 prinsip perkawinan, yakni:100

1. Prinsip musyawarah dan demokrasi.

2. Prinsip menciptakan rasa aman, nyaman dan tentram dalam kehidupan

99M Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UU No1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. (Medan, Zahir, 1975), hal. 214

100Khoiruddin Nasution, Hukum perkawinan, (Yogyakarta, Academia & Tazaffa, 2005), hal. 56

berkeluarga.

3. Prinsip menghindari dari kekerasan.

4. Prinsip bahwa hubungan suami dan istri adalah sebagai patner.

5. Prinsip keadilan.

Prinsip yang pertama, adanya kehidupan yang serba musyawarah dan demokrasi dalam segala aspek kehidupan rumah tangga yang berarti bahwa dalam segala aspek dalam kehidupan berumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan.101

Berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri. Lebih dari itu kalau dibutuhkan juga melibatkan anggota seluruh anggota keluarga, yakni suami, isteri dan anak. Sedangkan yang di maksud dengan demokratis adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan. Demikian juga antara orang tua dan anak harus menciptakan suasana saling menghargai dan menerima pandangan dan pendapat anggota keluarga lain. Masih sebagai realisasi dari sikap demokratis, suami dan isteri harus menciptakan suasana yang kondusif untuk munculnya rasa persahabatan diantara anggota keluarga dalam berbagai suka dan duka, dan merasa mempunyai kedudukan yang sejajar dan bermitra, tidak ada pihak yang merasa lebih hebat dan lebih tinggi kedudukannya, tidak ada pihak yang mendominasi dan menguasai. Demikian juga tidak boleh ada pihak yang merasa dikuasai dan didominasi. Dengan prinsip musyawarah dan demokrasi ini diharapkan akan memunculkan kondisi yang saling melengkapi dan saling mengisi antara satu dengan yang lain.102

101Ibid.

102Ibid.

Prinsip – prinsip kehidupan yang baik dapat menciptakan kehidupan keluarga yang aman, nyaman dan tentram berarti, bahwa dalam kehidupan rumah tanga harus tercipta suasana yang merasa saling kasih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang. Setiap anggota keluarga; suami, istri dan anak-anak wajib dan sekaligus berhak mendapatkan kehidupan yang penuh cinta, penuh kasih sayang, dan penuh ketentraman. Dengan adanya keseimbangan antara kewajiban dan hak untuk mendapatkan kehidupan yang aman, nyaman dan tentram, diharapkan semua anggota keluarga saling merindukan satu dengan yang lain. Dengan kehidupan yang demikian diharapkan pula tercipta hubungan yang harmonis.103

103Khoiruddin Nasution,Op. Cit, hal. 61

BAB IV

AKIBAT HUKUM ATAS PENGANGKATAN ANAK OLEH ORANG TUA ANGKATNYA

A. Prosedur Pengangkatan Anak Oleh Orang Tua Angkat

Di dalam pengangkatan anak antar warga negara Indonesia sudah diatur mengenai tata cara proses pelaksanaan pengangkatan anak tersebut. Prosedur pengangkatan anak menjadi 3 (tiga) tahapan yang harus dilaksanakan oleh pemohon dalam melakukan pengangkatan anak, yaitu tahap sebelum dilakukannya pengangkatan anak, tahap pelaksanaan persidangan pengangkatan anak, dan tahap pencatatan pengangkatan anak.

Tahap sebelum dilakukannya pengangkatan anak bahwa pelaksanaan pengangkatan anak pada awalnya harus diketahui terlebih dahulu mengenai tujuan dan motif melakukan pengangkatan anak, kemudian calon orang tua angkat (pemohon) haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, setelah itu calon orang tua angkat (pemohon) membuat dan mengajukan surat permohonan pengesahan pengangkatan anak ke pengadilan negeri yang mewilayahi domisili anak yang akan diangkat, untuk mendapatkan suatu penetapan dari pengadilan tersebut. Penetapan pengadilan sebagai suatu pertanda bahwa anak yang diangkat tersebut sudah sah secara hukum menjadi anak angkat dari orang tua yang mengangkatnya, dengan demikian akan terciptanya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkat, sebagaimana hubungan hukum antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Dengan adanya penetapan pengadilan juga akan lebih menjamin kepastian

hukum terhadap anak yang diangkat tersebut. Selanjutnya tahap pelaksanaan persidangan pengangkatan anak, Setelah syarat-syarat sudah lengkap semua, tahapan selanjutnya yaitu pelaksanaan persidangan pengangkatan anak dengan terlebih dahulu pemohon membuat serta mengajukan surat permohonan pengangkatan anak tersebut ke pengadilan. Apabila surat permohonan sudah didaftarkan dan sudah terima di kepaniteraan pengadilan negeri, kemudian tinggal menunggu jadwal persidangan pengangkatan anak.104

Pertimbangan hakim dalam menentukan pembuktian terhadap pelaksanaan pengangkatan anak setelah pemohon mengajukan surat permohonan pengangkatan anak di pengadilan negeri dan surat permohonan pengangkatan anak sudah diterima dan teregisterasi di pengadilan negeri, maka selanjutnya akan ditentukan jadwal pelaksanaan sidangnya. Pemohon akanmendapat panggilan sidang dari pengadilan. Pada persidangangan pengangkatan anak akan dipimpin oleh seorang hakim tunggal (1 orang Hakim). Setelah sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum oleh hakim, kemudian pemohon dipanggil untuk masuk/maju kemuka persidangan, Pemohon datang menghadap sendiri. Selanjutnya Hakim membacakan permohonan pemohon. Prosedur dan acara pemeriksaan permohonan pengangkatan anak di pengadilan negeri adalah sebagai berikut : (a) Hakim memeriksa dan meneliti alat bukti tertulis, untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Para pemohon telah mengajukan foto copy alat bukti tertulis berupa surat-surat yang bermeterai cukup, dilegalisir, serta telah dicocokan dengan aslinya. (b) Hakim memeriksa dan mendengarkan langsung keterangan

104Sudaryatmi, Dalam Tesis Berjudul: Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Kota Jambi, Semarang, MKN-UNDIP Semarang, Tahun 2010.

dari pihak-pihak yang bersangkutan (saksi-saksi), berdasarkan penetapan pengangkatan anak guna menguatkan dan membuktikan permohonannya, pemohon mengajukan 2 (dua) orang saksi untuk diperiksa hakim dengan memberikan keterangan dibawah sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing.105

Pertimbangan hakim dalam menemukan dan merumuskan pertimbangan hukumnya. Hakim sebelum menjatuhkan/memberikan penetapan terhadap permohonan yang diajukan oleh pemohon, hakim merumuskan pertimbangan-pertimbangan hukumnya untuk dijadikan dasar dalam menentukan dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut. Untuk menentukan/merumuskan suatu putusan, hakim melihat dan memperhatikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Apakah bukti tertulis, maupun saksi-saksi tersebut bersesuaian dengan permohonan yang didalilkan oleh pemohon. Dalam hal ini yang benar-benar harus dipertimbangkan oleh hakim adalah mengenai tujuan dan motivasi pengangkatan anak tersebut memang harus terbukti hanya untuk kepentingan yang terbaik bagi masa depan anak yang diangkat. Bentuk hasil pemeriksaan persidangan permohonan pengangkatan anak berdasarkan pertimbangan hukum pada intinya permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon harus cukup beralasan menurut hukum yang berlaku.106

Permohonan pengangkatan anak yang sudah dikabulkan berdasarkan isi penetapan pengadilan tersebut terdapat perintah atau tahapan selanjutnya yang

105 Risko El Windo Al Jufri, Dalam Tesis Berjudul:Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Kota Jambi, Semarang, MKN-UNDIP, 2010.

106ibid

harus dilakukan oleh pemohon dalam melakukan pengangkatan anak adalah memerintahkan kepada para pemohon untuk melaporkan pengangkatan anak tersebut kepada dinas kependudukan dan catatan sipil paling lambat 30 hari sejak diterimanya penetapan ini. Serta memerintahkan kepada pejabat dinas kependudukan dan catatan sipil kabupaten atau kota untuk membuat catatan pinggir pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran tersebut. Setiap melakukan pengangkatan anak dan sudah memperoleh penetapan dari pengadilan, maka harus dilaporkan kepada dinas kependudukan dan pencatatan sipil guna membuat catatan pinggir pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran anak yang diangkat tersebut. Untuk mengajukan permohonan pembuatan catatan pinggir tersebut terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon dan juga prosedur atau tata cara dalam mencatatkan pengangkatan anak khususnya pencatatan pengangkatan anak di daerah atau di wilayah kota.

Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana yang dimaksud dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: (a) Pemohon mengisi dan menyerahkan formulir pengangkatan anak dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dinas. (b) Dinas mencatat dan merekam ke dalam database kependudukan. (c) Pejabat pencatatan sipil pada dinas memberikan catatan pinggir pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran anak yang diangkat.107

Pernyataan tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 ayat (2), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

107 Risko El Windo Al Jufri, Dalam Tesis Berjudul: Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Di Kota Jambi, Semarang, MKN-UNDIP, 2010.

Kependudukan.Yang berbunyi “Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana yang menerbitkan kutipan akta kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh penduduk”.Selanjutnya pada ayat (3) menyatakan “Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran”.108

Perihal pencatatan pengangkatan anak berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan itu sebagai dasar perlindungan hukum kepastian hukum dari seorang yang berstatus anak angkat, karena dengan penetapan serta adanya pelaporan dan pencatatan anak angkat itu memiliki dampak hukum terhadap hak dan kewajiban seorang anak angkat yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Jika seorang anak angkat memiliki hak mendapatkan kehidupan yang layak dari orang tua angkatnya seperti dipelihara dan dirawat orang tua angkatnya dengan baik, memperoleh pendidikan yang baik, dan memperoleh hak-hak anak dari orang tuanya sebagaimana kewajiban orang tua terhadap anaknya. Selain itu dengan penetapan dan pencatatan resmi seorang anak angkat maka ia kelak memiliki tanggung jawab secara hukum terhadap orang tua angkatnya sebagai mana tanggung jawab dalam memelihara anggota keluarganya.

108Lihat Pasal 47 ayat (2), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

B. Akibat Hukum Atas Pengangkatan Anak

Pengesahan pengangkatan anak yang berupa penetapan pengadilan negeri atau pengadilan agama bagi yang beragama Islam, serta telah melaporkannya pada dinas kependudukan dan pencatatan sipil, maka anak tersebut sudah sah secara hukum menjadi anak angkat dari orang tua yang mengangkatnya. Dengan sahnya pengangkatan anak tersebut secara langsung diikuti dengan segala akibat hukumnya. Yaitu adanya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dalam hubungan rumah tangga orang tua angkat, kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat, kedudukan anak angkat terhadap harta benda dalam rumah tangga orang tua angkat tersebut, kedudukan anak angkat dalam hal kewarisan, dan kedudukan orang tua angkat dalam hal perkawinan anak angkatnya. Pengangkatan anak yang sah secara sendirinya akan menimbulkan suatu hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat, seperti hubungan orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Yang dimaksud dengan seperti hubungan orang tua dengan anak kandungnya sendiri adalah adanya ikatan lahir batin antara orang tua angkat dengan anak angkat dan perlakuan yang adil antara anak kandung dengan anak angkat.109

Dengan terjadinya hubungan hukum tersebut, maka timbulah hak dan kewajiban antara orang tua angkat dengan anak angkat sebagaimana seperti hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak kandungnya. Dalam hal ini berarti orang tua berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak angkat tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang tua angkat tidak boleh membeda-bedakan dalam

109 M Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum,(Jakarta, Akademika Pressindo, 1985), hal 29

segala hal. Misalnya meliputi pemberian kasih sayang, pemberian nafkah, pendidikan, kesehatan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, yang juga meliputi tentang hak warisnya terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya.

Dapat diartikan bahwa kedudukan anak angkat dan anak kandung adalah sama/sejajar. Jadi orang tua angkat sedapat mungkin tidak membedakan status anak angkat dengan anak kandung dalam hal apa saja tanpa perkecualian, karena dengan mengangkat anak orang lain dimaksudkan agar anak angkat tersebut menjadi anak dari orang tua angkatnya. Dengan demikian, uraian pernyataan tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Akibat-akibat hukum yang telah tersebut diatas, bahwa memang pengadilan negeri sudah merumuskan mengenai akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu pengangkatan anak sebagaimana seperti pendapat dari M. Budiarto yaitu antara lain sebagai berikut:110 (1) Terhadap hubungan nasab/hubungan darah, mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandungnya. (2) Terhadap hak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, dalam hal waris telah secara tegas dinyatakan bahwa anak tidak akan mendapatkan waris lagi dari orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapatkan waris dari orang tua angkatnya. (3) Terhadap hubungan perwalian, dalam hubungan perwalian ini semula dengan orang tua kandungnya beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini baru dimulai sewaktu putusan diucapkan

110Ibid.

oleh hakim di pengadilan.Segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkatnya. (4) Terhadap hubungan mahrom, anak angkat mempunyai kedudukan hak danf kewajiban yang sama dan sejajar sebagaimana seperti anak kandungnya sendiri. Dengan demikian anak angkat tidak boleh dinikahi dengan orang tua angkatnya, dan juga tidak boleh dinikahkan dengan anak kandung atau tidak boleh dinikahkan dengan anak angkat yang lain dari orang tua angkatnya.

Berdasarkan uraian diatas dengan ini dapat disimpulkan, bahwa proses pelaksanaan pengangkatan anak. Sebelum dilakukannya pengangkatan anak, mengenai tujuan dan alasan melakukan pengangkatan anak yang didalilkan oleh para pemohon telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, Juncto Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Juncto Pasal 2 PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Mengenai persyaratan telah sesuai dan telah memenuhi ketentuan persyaratan pengangkatan anak dalam Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.

Pelaksanaan persidangan pengangkatan anak dapat dilihat bahwa prosedur menerima, memeriksa dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak yang dilakukan di pengadilan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang pengangkatan anak. Pencatatan pengangkatan anakharus sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 ayat (2) dan (3), Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.Mengenai akibat hukum yang terjadi terhadap anak setelah diangkat, telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 45 ayat (1) dan pasal 46 ayat (1), (2) mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

C. Hubungan Hukum Perdata Anak Yang Di Adopsi 1. Tinjauan Dari Sudut Hukum Perdata

Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia pada pokoknya ada dua buah yaitu hukum perdata Eropa atau BW yang disebut juga hukum barat dan yang kedua adalah hukum perdata adat, hal ini mengakibatkandualisme dalam lapangan hukum perdata, sehingga sampai sekarang di Indonesia belum terdapat satu kesatuan, suatu unifikasi dalam lapangan hukum perdata, selain itu kedudukan hukum Islam dari dua sistem hukum tersebut, hukum Islam dianggap sebagai bagian dari hukum adat di Indonesia atau sebagai subsistem dari hukum adat.

Berdasarkan teori Receptio in Complexu dari Mr. L.W.C Van den Berg, yaitu inti dari teori tersebut adalah selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menurut ajaran ini, hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Teori tersebut jika disimpulkan mengandung makna bahwa suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan juga hukum agama yang dipeluknya. Menurut Statistika jumlah penduduk di Indonesia sekitar 90%

beragama Islam, maka berdasarkan teori diatas, hukum adat yang berlaku pada

masyarakat Indonesia yang lebih besar dipengaruhi oleh hukum Islam. Bagi mereka yang taat dan konsekuen memeluk agama Islam adalah kewajiban untuk melaksanan ajaran-ajaran agamanya, termasuk hukum-hukumnya.111

Penjabaran diatas menggambarkan ada tiga sistem atau stelsel hukum perdata yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum perdata barat (BW), hukum perdata adat dan hukum perdata Islam. Pada ketiga sistem atau stelsel hukum itulah akan disoroti mengenai kedudukan anak angkat.

Menurut pasal 13 staatsblad 1917 Nomor 129, “mewajibkan balai harta peninggalan untuk apabila ada seorang janda yang mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan yang perlu, guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu.” Pada pasal 14 staatsblad 1917 Nomor 129, suatu pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri, kecuali:112

1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas suatu tali kekeluargaan.

2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasar pada tali kekeluargaan.

3. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan.

4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi.

5. Mengenai bertindak sebagai saksi.

Dalam hubungannya dengan masalah pembatalan suatu adopsi hanya ada

Dalam hubungannya dengan masalah pembatalan suatu adopsi hanya ada