• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil PKL

Komunitas PKL Alun-Alun Taliwang menurut informasi dari salah satu tokoh masyarakat (mantan Camat Taliwang) yaitu (BM) bahwa awalnya Alun- Alun Taliwang adalah lapangan bola Taliwang, yang selanjutnya setelah beberapa waktu sejak ada pemekaran Kabupaten Sumbawa Barat dirubah statusnya menjadi Alun-Alun Taliwang. Pada saat Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Musabaqoh Tilawatil Qur‟an (MTQ) tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat Alun-Alun Taliwang dirubah menjadi Alun-Alun Undru dengan alasan pada waktu itu adalah agar namanya tidak lingkup kecamatan tetapi menjadi lingkup kabupaten.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas Koperindagkop (AZ)

“....awalnya status Alun-Alun Taliwang adalah lapangan sepak bola Taliwang, kemudian situasinya yang cukup ramai, masyarakat mencoba untuk berusaha membuka tempat berjualan makanan dan minuman ringan. “seperti prinsip semut : dimana ada gula di situlah semut datang, yang datang karena ada

keramaian....”

Menurut AZ bahwa pada saat itu, sebagian masyarakat sekitar Taliwang keberatan karena status lapangan bola tersebut beralih fungsi menjadi Alun-Alun Taliwang. Hal ini dikhawatirkan oleh masyarakat bahwa lapangan sepak bola tersebut beralih fungsi dan tidak bisa digunakan untuk bermain bola dan aktivitas lain seperti sebelumnya. Meskipun pemerintah pada saat itu sudah menyiapkan pengganti lapangan sepak bola Taliwang itu dengan gelanggang olah raga (GOR) Magaparang yang lokasinya terletak di Lingkungan Perjuk Balat – Taliwang. Akan tetapi, sebagian masyarakat Taliwang masih keberatan karena lokasi GOR Magaparang yang jauh dari lingkungan mereka.

Menurut AZ juga, bahwa Lokasi disekitar Alun-Alun Taliwang secara aturan yang tertuang di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) seharusnya tidak boleh berjualan, Oleh karena itu, Dinas Koperindagkop yang menjadi representasi dari pemerintah tidak memberikan ijin berjualan secara resmi di lokasi tersebut (Kompleks Alun- Alun Taliwang), sehingga ketika pemerintah membutuhkan lokasi tersebut, para pedagang dapat digusur atau siap dipindahkan / direlokasi kapan saja. Dan menurut AZ hal ini karena alasan kemanusian saja yang menyebabkan mereka akhirnya mendapatkan ijin berjualan di lokasi Alun-Alun Taliwang.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan salah satu tokoh masyarakat (BMB) bahwa :

“...semangatnya adalah bagaimana menggerakkan roda perekonomian di KSB dan efek domino yang diharapkan adalah pergerakan perekonomian di malam hari, sehingga pemda memberikan ijin untuk berjualan di sekitar Alun-Alun ....”

Meskipun diakuinya, bahwa BM juga belum mengetahui banyak tentang konsep RTRW atau RDTRK untuk Alun-Alun Taliwang, Namun menurut

pengetahuannya bahwa pengelolaan Alun-Alun Taliwang langsung oleh pemerintah daerah (pemerintah kabupaten) bukan melalui kecamatan, meskipun secara geografis lokasi Alun-Alun tersebut berada di lokasi Kecamatan Taliwang. Tugas Kecamatan Taliwang hanya melakukan pengawasan terhadap jalannya ketertiban dan keamanan masyarakat yang ada di sekitarnya. Menurutnya, bahwa Alun-Alun dimana saja tidak boleh ada orang yang berjualan (di dalam lokasi Alun-Alunnya), karena sebagai ruang terbuka (publik), jadi fungsinya untuk kegiatan-kegiatan terbuka, untuk rest-area dimana masyarakat dapat duduk-duduk santai sambil menemukan inspirasi baru.

Permasalahan ini menimbulkan kontradiktif, dimana di satu sisi aturan, bahwa para PKL tidak boleh berjualan di lokasi Alun-Alun Taliwang, akan tetapi di sisi lain mereka sudah mendapat ijin dengan alasan ekonomi dan masalah kemanusian. Meskipun demikian, persoalan ini justru menjadi salah satu ancaman bagi para PKL, karena kegiatan usaha mereka menjadi terancam ketika sewaktu-waktu mereka digusur atau dipindahkan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, kebijakan untuk melindungi para PKL ini hendaknya dapat disusun agar keberadaan mereka menjadi aman, sekaligus untuk melindungi aktivitas usaha mereka dari penggusuran.

Usaha PKL di kawasan Alun-Alun Taliwang adalah menjual makanan cepat saji dan minuman ringan seperti snack, kue kering, aneka kacang, aneka minuman ringan, minuman hangat kopi, susu, mie rebus, mie goreng, telur rebus, nasi bungkus, dan lain-lain. Makanan olahan seperti nasi, sayur dan lauk-pauknya hanya dijual oleh sebagian kecil PKL. Kios kelontong hanya satu orang. Berikut grafik jenis dagangan PKL pada Gambar 2.

Gambar 2 Grafik persentase jenis dagangan PKL

Melihat jenis barang dagangan yang ada di PKL tersebut mayoritas adalah sama yaitu makanan ringan siap saji. Makanan tidak variatif sehingga menimbulkan persaingan sempurna. Ketika masukannya banyak dan permintaan terbatas maka akan terjadi persaingan. Kondisi ini akan berdampak pada kecemburuan antar PKL ketika fasilitas yang diperolehnya tidak sama dengan PKL lainnya. Misalnya saja lokasi lapak, ketika lapak berada di dekat jalan raya dan memiliki halaman luas maka biasanya mendapatkan pelanggan yang cukup banyak, alasannya mereka lebih dekat dengan jalan raya dan rata-rata orang ingin memperoleh dengan cepat dan mudah. Meskipun, pada saat pembagian lokasi

8 2 1 72.7 18.2 9.1 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Makanan Ringan & Soft drink

Makanan Ringan & Soft drink, Makanan

Cepat Saji

Kios Kelontong

Jumlah PKL %

41

lapak dengan sistem undi. Masalah baru yang muncul adalah pembagian halaman di sekitar lapak. Awalnya halaman di sekitar lapak tidak menjadi pengaruh, namun dikemudian hari para PKL memperhatikan bahwa PKL yang memiliki halaman lapak lebih luas, biasanya memperoleh pelanggan yang cukup banyak. Halaman sekitar lapak akan mereka beri karpet atau lembaran alas untuk lesehan. Sehingga jika tempat lesehan lebih luas memiliki potensi lebih banyak menerima konsumen. Jam usaha PKL dimulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 24.00. Seluruh PKL didominasi oleh perempuan dengan usia 41-50 tahun sebanyak 63,6 persen (7 orang), 31- 40 tahun 27,3 persen (3 org) dan 9, 1 persen (1 org) berusia 25 -30 tahun.Tingkat pendidikan para PKL sebagian besar adalah SD (54,5%), menyusul kemudian SMU/SMK/sederajat sebanyak (45,5%).

Gambar 3 Grafik persentase rata-rata usia PKL

Sedangkan SMP tidak ada 0 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar PKL memiliki pendidikan rendah. Informasi dan kemampuan berusaha cukup dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki oleh PKL, hal ini ditunjukan dari apa yang disampaikan oleh salah satu PKL (SWR) ketika peneliti menanyakan keuntungan hariannya :

“... tidak tahu bu, hitung-hitungan begitu... ya..., tiap hari dapat uang, uangnya dibelikan barang lagi, makan tiap hari juga dari uang itu juga, kalau masih ada sisa ya disimpan, kalau ga ya ga bisa nyimpan, kadang juga sehari malah kurang, jadi ga tahu kalau disuruh hitung untung berapa tiap bulan, yang penting bisa makan tiap hari saja sudah cukup...”

Status pernikahan para PKL adalah sebagian besar bercerai, akan tetapi dari yang sudah pernah bercerai 50 persennya sudah menikah kembali. Menurut salah satu PKL (CND) bahwa menurut persepsinya ada pengaruh dengan status pernikahan yang dimilikinya :

“... dulu sebelum saya nikah, rame bu.., tapi setelah saya nikah malah agak sepi..., ya ga tahu ya... mungkin orang-orang mau datang karena saya masih bujang waktu itu.., tapi setelah saya bersuami mungkin tidak berani mau menggoda saya, tapi ya.. rejeki sudah

diatur bu....” 0 10 20 30 40 50 60 70 25 - 30 Thn 31 - 40 Thn 41 - 50 Thn 9.1 27.3 63.6 Jumlah PKL %

Menurut kondisi sosial kemasyarakatan sekitar, bahwa status janda menjadi lebih diminati dibandingkan dengan status lajang. Meskipun belum terbukti dalam sebuah penelitian, namun kasus serupa juga terjadi di luar aktivitas PKL. Menurut penjelasananya bahwa janda telah memiliki pengalaman berumah tangga dibandingkan lajang sehingga mereka beranggapan bahwa janda menjadi lebih siap dan lebih mandiri untuk menikah kembali.

Kondisi komunitas PKL di Alun-Alun Taliwang awalnya memang sering diisukan sebagai tempat “transaksi”perempuan. Seperti yang disampaikan mantan camat Taliwang (BM) :

“... masalah-masalah yang sering terjadi di sekitar PKL Alun-Alun Taliwang adalah masalah ketertiban antara lain masalah ketertiban dalam hal jenis barang dagangan yang diperjualbelikan, misalnya tidak menjual makanan dan minuman yang dilarang (seperti miras)

dan “call girls” alias wanita panggilan....”

Sehingga komunitas PKL Alun-Alun Taliwang sering menjadi perhatian masyarakat. Meskipun upaya pengawasan juga telah dilakukan oleh Dinas Koperasi Perdagangan dan UMKM dan Pemerintah Kecamtan Taliwang. Status kepemilikan lapak adalah pinjaman (hak guna pakai) dari pemerintah daerah, akan tetapi bila tidak berjualan lagi maka lapak tidak boleh diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain tanpa izin dari Dinas Koperindagkop.

PKL umumnya dalam melakukan kegiatannya (72,7%) mereka tidak menggunakan tenaga kerja lain (dilakukan sendiri). Hanya beberapa orang saja yang menggunakan tenaga kerja lain dan biasanya masih memiliki hubungan keluarga dengan PKL tersebut seperti suami/istri, anak, atau anggota keluarga lain yang masih memiliki hubungan kerabat. Diagram penggunaan tenaga kerja pada PKL ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram jumlah tenaga kerja PKL

Sebagian besar para PKL sudah mulai berjualan di kawasan Alun-Alun Taliwang sejak tahun 2006-2008 sebanyak (54,5%). Sebagian besar PKL tidak mengikuti organisasi sosial kemasyarakatan karena waktu digunakan untuk berjualan dari pagi hingga malam hari.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Jumlah PKL % 8 72.7 3 27.3

Tidak ada Tenaga Kerja Tenaga Kerja 1 orang

43

Sarana dan prasarana umum yang ada di sekitar lokasi PKL antara lain meliputi lapangan basket, alun-alun (ruang terbuka hijau), dan sumur. Sarana yang masih belum ada di sekitar kawasan PKL adalah kamar mandi (MCK), dan air bersih (PAM) karena air sumur tidak layak untuk dikonsumsi. Para PKL saat ini membawa air dari rumah masing-masing atau membeli air galon untuk keperluan konsumsi. Sanitasi pembuangan air bekas (limbah) hasil kegiatan produksi juga belum ada sehingga para pedagang membuangnya begitu saja di tanah-tanah lapang yang ada di sekitar.

Tempat parkir tidak memadai karena masih menggunakan badan jalan di sekitar lapak. Fasilitas lain yang saat ini tersedia adalah aliran listrik. Fasilitas listrik diadakan setelah muncul beberapa masalah-masalah sosial di malam hari. Pengelolaan sampah dilakukan oleh masing-masing PKL. Pada malam hari sampah dikumpulkan ke dalam kantong plastik dan diletakkan di pinggir jalan.Keesokan harinya sampah akan diambil oleh petugas kebersihan Pemerintah Kabupaten tanpa dipungut iuran kebersihan. Petugas keamanan belum ada sehingga ketika jam bekerja usai, beberapa PKL menginap di lapak dengan alasan lelah dan menjaga keamanan barang. Berdasar kanaturan yang telah disepakati setelah waktu berjualan berakhir jam 24.00 kios atau lapak tidak boleh dihuni.

Aktivitas Produksi dan Ekonomi PKL

Jenis dagangan yang diperjualbelikan hampir sama dan tidak variatif. Hanya beberapa orang menjual makanan olahan, lainnya makanan ringan, makanan dan minuman cepat saji. Beberapa PKL dapat menyediakan makanan olahan seperti bakso, soto, sate, siomay, nasi padang dan lainnya. Para PKL sebagian besar membeli barang dagangan dari toko bukan dari pasar. Modal usaha para PKL beragam, modal awal berkisar Rp1 juta – 3 juta. Sementara modal harian berkisar antara Rp 30 ribu – 150 ribu. Sumber modal awal sebagian besar adalah dana sendiri. Hanya dua orang yang mempunyai pinjaman di bank atau lembaga keuangan lainnya dengan bunga pinjaman sebesar 10-20 persen dan jangka waktu peminjaman 2 tahun.

Kegiatan produksi yang mereka lakukan adalah bagaimana PKL dapat menyajikan hidangan kepada para konsumennya. Jenis usaha PKL ditentukan oleh jenis barang dagangan yang dijualbelikan. Sebagian besar PKL hanya menjual makanan ringan siap saji dan sebagian kecil saja yang menjual makanan olahan. Menurut permintaan banyak yang membutuhkan makanan olahan misalanya nasi campur, bakso, siomay, mie ayam, dan lain sebagainya. Alasan mereka antara lain adalah mereka belum siap karena modal yang dibutuhkan lebih besar dan jika tidak laku maka makanan akan rusak. Alasan lain adalah meraka tidak memiliki keterampilan dalam membuat jenis makanan olahan tersebut.

Pendapatan PKL

Tingkat pendapatan yang dihitung adalah keuntungan rata-rata per hari yang didapat oleh PKL. Keuntungan yang diperoleh PKL bervariasi tergantung pendapatan masing-masing. Pendapatan PKL sangat tergantung pada waktu berjualan (pagi/siang/malam) dan hari berjualan (hari kerja/hari libur/hari besar). Pagi hari biasanya PKL masih sepi dan siang hari mulai ramai oleh pelanggan dari kantor dan masyarakat di sekitar kantor. Sore hari biasanya agak ramai jika di lapangan sekitar PKL ada aktivitas misalnya orang main sepak bola, basket dan

panjat tebing. Sebaliknya jika lapangan disekitar PKL tidak ada aktivitas maka pelanggan PKL juga menjadi berkurang. Malam hari PKL diramaikan dengan orang-orang yang ingin bersantai dan menikmati waktu malam. Pada hari kerja seperti hari Senin-Jum‟at biasanya mereka memperoleh pendapatan kotor antara Rp.250-Rp.300 ribu per hari, hari libur seperti hari Sabtu-Minggu rata-rata memperoleh pendapatan kotor Rp.100-Rp150 ribu per hari hal ini disebabkan karena pada hari libur tidak ada pegawai yang masuk kantor dan sebagian besar konsumennya adalah pegawai kantor dan masyarakat yang mendapatkan pelayanan dari kantor-kantor tersebut. Sedangkan pada hari-hari libur besar atau ada aktivitas keramaian di sekitar alun-alun misalnya festival, konser musik, tahun baru dan lain-lain biasanya pendapatan kotor mencapai Rp.500 ribu-Rp.1 juta per hari. Diperkirakan pendapatan PKL sebesar Rp2,5 juta – 3 juta per bulan.

Pendapatan yang diperoleh tersebut adalah pendapatan kotor PKL berjualan. Biaya-biaya yang dikeluarkan setiap harinya juga menggunakan perputaran uang modal tersebut karena belum ada pemisahan antara uang modal penjualan dan uang sendiri (yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari). Faktor kemampuan dan keterampilan dalam mengelola keuangan (modal) belum dimiliki oleh setiap PKL akibatnya perputaran modal menjadi tidak terlihat. Dampak lain yang dialami PKL akibat kurangnya pengetahuan tentang manajerial keuangan para PKL sering mengalami defisit setiap bulannya. Hal ini yang menyebabkan PKL sering mengalami gulung tikar.

Modal Sosial PKL Jaringan dan Dukungan Organisasi

Salah satu ukuran modal sosial adalah jaringan dan dukungan organisasi. Variabel ini diukur dari, pertama, adanya pengganti koordinator PKL jika PKL sedang meninggalkan tempat untuk beberapa waktu yang agak lama (misalnya 6 bulan). Hasilnya adalah 63,6 persen menjawab tidak ada, dan sisanya sebesar 36,4 persen menjawab tidak tahu. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 Jawaban PKL tentang pengganti koordinator jika tidak ada di tempat

Kedua, diukur dari segi jika terjadi masalah yang akan mempengaruhi kondisi di PKL Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang, siapa yang akan menyelesaikan masalah tersebut? Jawaban yang diperoleh adalah sebagian besar

7 4

PKL

Tidak ada Tidak tahu

45

masalah akan diselesaikan oleh PKL itu sendiri. Permasalahan yang tidak tuntas akan disampaikan kepada koordinator PKL yang kemudian akan dilanjutkan ke Dinas Koperindagkop apabila dalam penyelesaian masalah tersebut membutuhkan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah (instansi terkait). Jawaban PKL tentang penyelesaian masalah PKL Alun-Alun Taliwang adalah pada Gambar 6

Gambar 6 Jawaban PKL tentang penyelasaian masalah di Alun-Alun Taliwang Beberapa permasalahan yang sering terjadi adalah saling berebut pelanggan. Salah satu penyebabnya adalah karena jenis dagangan yang mereka jajakan rata- rata hampir sama sehingga terkadang lapak dan area di sekitar lapak menjadi penentu ramai atau tidak selain jenis dagangan yang mereka jajakan. Faktor lain adalah jarak dengan jalan raya. Lapak yang lebih dekat ke tepi jalan raya cenderung lebih ramai dibandingkan dengan yang agak jauh. Faktor lainnya,perebutan halaman di sekitar lapak (samping, depan, belakang lapak). Mereka yang memiliki halaman luas, dapat menyediakan gelaran lebih banyak, sehingga dapat memperoleh pelanggan yang lebih banyak.

Sebagian besar PKL tidak memiliki peran sosial tertentu atau kegiatan sosial tertentu di lingkungan rumah kediaman mereka. Hanya satu PKL saja yang diminta membantu mengajar qasidah di tingkat kelurahan. Sementara di tempat usaha mereka juga belum terbentuk kelembagaan kelompok atau paguyuban yang berfungsi sebagai penampung dan penyalur aspirasi. Pemilihan koordinator PKL sudah dilakukan sejak awal berdirinya PKL di kawasan Alun-Alun. Koordinator PKL dijabat oleh suami salah satu PKL yang ada di kawasan itu, yang dianggap sebagai tokoh masyarakat di lingkungan sekitar.

Beberapa jaringan yang dapat diidentifikasi adalah jaringan distribusi barang dagangan menurut salah satu PKL SNR bahwa dalam mendapatkan barang dagangan tidak sulit.

“saya tinggal telpon saja bu... saya pesan ini itu, trus nanti langsung

diantar barangnya.. harganya juga sama dengan harga yang dijual ditoko, jadi lumayan lah kita bisa menjual sama dengan barang- barang di toko..., teman-teman juga banyak yang ngambil disaya kalo

mereka pas kehabisan ...”

0 2 4 6 8 10 12

PKL menyelesaikan sendiri Sesama tetangga PKL Koordinator PKL bergerak bersama Pemerintah (kel/kec/kab) Anggota keluarga PKL 1 2 3 4 5 tidak ya

Dari pengamatan yang dilakukan penulis bahwa SNR adalah salah satu PKL yang barang dagangannya paling lengkap dibanding dengan teman PKLnya yang lain. Lainnya membeli barang di toko langganan masing-masing.

Dalam hal akses permodalan SNR menuturkan

Dulu awalnya, saya ditawari sama Bank NTB untuk dapat pinjaman. Saat itu untuk modal beli barang, lumayan bisa nambah-nambah

modal. Tapi sekarang tidak ada lagi... “ya.. karena dulu pegawai

bank itu sering beli disini jadi kenal... saya orang Bima tapi sudah lama tinggal di Taliwang. Sejak 2006.

Jaringan lainnya dalam mendapatkan bantuan pendanaan salah satu PKL (SHR) menjelaskan bahwa dia mendapatkan pinjaman modal dari bank renteng yang menagih seminggu sekali dengan bunga 20 persen.

“ Kalau untuk tambahan modal saya pernah pinjam bu, lewat orang

(bank rontok) ya ga banyak paling 1 juta nanti tiap minggu dia nagih

kesini “ kalau saya pinjam 1 juta ya nanti saya kembalikan 1 juta dua

ratus ribu) selain itu saya pernah minjam di BRI dapat 20 juta tapi untuk tabungan saya, dan untuk keperluan keluarga saya, sisa

uangnya saya simpan dan bayarnya saya cicil dari hasil jualan....”

Dari fakta atau bukti di atas maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial PKL yang ditunjukkan melalui jaringan dan dukungan organisasi PKL masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jawaban PKL yang mengatakan bahwa sebagian besar menjawab tidak ada dan sisanya tidak tahu pengganti koordinator apabila koordinator sedang berhalangan, disamping itu PKL juga menyelesaikan masalahnya sendiri, jarang melibatkan instansi lain (Dinas Koperindagkop) bahkan koordinator PKL jika memang tidak memerlukan penyelesaian di tingkat atas. Fakta lain di tunjukkan bahwa sebagian besar PKL tidak memiliki peran sosial di rumah kediaman mereka. Akan tetapi jaringan dari distribusi barang dagangan dan pendanaan sudah ada, meskipun belum semua PKL memiliki jaringan seperti itu.

Aksi Bersama (Collective Actions)

Ukuran lain dari modal sosial adalah aksi atau tindakan bersama (collective actions). Dari tujuh pertanyaan yang diajukan diperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, 82 persen PKL mengungkapkan mereka sudah melakukan pertemuan lebih dari 2 kali untuk membahas kesepakatan bersama. Topik yang dibahas sehingga tercapai kesepakatan bersama diantaranya adalah: (i) usaha dimulai jam 08.00 dan berakhir paling lambat jam 24.00; (ii) PKL tidak boleh menginap di lapak; (iii) sampah sisa usaha dari masing-masing lapak dikumpulkan oleh setiap PKL dimasukkan kedalam kantong plasik dan dikumpulkan di tepi jalan untuk diangkut keesokan harinya oleh petugas kebersihan; dan (iv) tidak boleh menjual makanan dan minuman yang beralkohol. Hampir seluruh PKL (90,9 persen) menyatakan tidak seluruh kesepakatan dilaksanakan oleh PKL. Kesepakatan yang sulit direalisasikan adalah tidak menginap di lapak. Hal ini disebabkan karena tidak ada petugas keamanan yang khusus menjaga lapak dan lamanya waktu yang harus dicurahkan untuk menutup, menyimpan, dan membongkar serta menata ulang kembali lapak dikeesokan harinya. Sementara para pengusaha lapak setelah

47

pukul 24.00 umumnya segera ingin istirahat. Bila PKL pulang ke rumah untuk istirahat (sebagaimana kesepakatan bersama), diperkirakan mereka hanya beristirahat maksimum tiga jam di rumah. Sehingga dapat dipahami bila hanya satu persen saja PKL yang memanfaatkan waktu istirahat di rumah.

Menurut penuturan 36,4 persen PKL hanya sekali saja mereka bersama- sama membahas masalah yang dianggap cukup mengganggu kegiatan disekitar PKL. Masalah tersebut antara lain adalah ketidakcocokan antar sesama pedagang; akses sarana dan fasilitas di sekitar PKL yang tidak semuanya dapat dinikmati secara merata; dilanggarnya kesepakatan bersama; sampai dengan masalah konsumen yang datang berkunjung di lapak. Masalah yang dihadapi pada saat itu adalah adanya pedagang yang menjual minuman beralkohol pada malam hari dan menjadi tempat berkumpulnya laki-laki dan perempuan, sehingga masyarakat pada waktu itu berpandangan bahwa PKL Alun-Alun Taliwang merupakan tempat transaksi “perempuan panggilan” seperti yang disampaikan mantan camat Taliwang (BM):

“... masalah-masalah yang sering terjadi di sekitar PKL di Alun- Alun Taliwang saat itu adalah masalah ketertiban masyarakat antara lain masalah ketertiban dalam hal jenis barang dagangan yang diperjualbelikan, misalnya dilarang menjual makanan dan minuman yang beralkohol (seperti miras) dan “call girls” alias wanita

panggilan....”

Sejak awal berdirinya komunitas PKL Alun-Alun Taliwang sampai saat ini tidak pernah dilakukan pemilihan koordinator PKL yang baru. Menurut mereka belum ada sosok yang tepat untuk menggantikan koordinator PKL yang

Dokumen terkait