• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Alun-Alun Taliwang Di Kabupaten Sumbawa Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Alun-Alun Taliwang Di Kabupaten Sumbawa Barat."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL

PEDAGANG KAKI LIMA

DI KAWASAN ALUN-ALUN TALIWANG

WIHARTI MEIRIANA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informai yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhira tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

(4)

RINGKASAN

WIHARTI MEIRIANA SARI. Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang di Kabupaten Sumbawa Barat. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan SARWITITI S. AGUNG

Timbulnya sektor informal di perkotaan tidak lain sebagai akibat adanya ketimpangan dalam pasar tenaga kerja. Jumlah angkatan kerja yang terus bertambah sebagai akibat adanya urbanisasi dan ketidakmampuan memenuhi tuntutan pekerjaan sektor formal yang mengharuskan memiliki kualifikasi pendidikan dan keterampilan memadai, akhirnya mendorong angkatan kerja harus masuk ke sektor informal untuk bisa terus bertahan hidup di perkotaan. Sektor informal memiliki berbagai wujud, namun wajah utama sektor informal perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Aktivitas perdagangan dikalangan PKL merupakan „arena‟ dimana relasi antarmanusia berlangsung intensif. Dalam relasi atau proses sosial tersebut dapat dikatakan senantiasa terlibat aspek modal sosial (social capital) Syahyuti (2008). Bahkan menurut Schiff (2000) di era modern ini, dimana terjadi perdagagan bebas (free trade) dan migrasi bebas (free migration), modal sosial justru semakin dibutuhkan kehadirannya.

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kuang Kecamatan Taliwang. Sebagian besar fasilitas umum dan perkantoran berada di Kelurahan Kuang dan sekitarnya. Salah satunya adalah Alun-Alun Kota Taliwang. PKL di Taliwang dapat dikatakan belum sebanyak di kota-kota besar lain, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa jika keberadaan PKL di Taliwang tidak ditata dari awal maka PKL di Taliwang akan berkembang tidak beraturan dan mengundang masalah-masalah sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk, pertama, menganalisis modal sosial, kegiatan produksi dan tingkat pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Kedua, merumuskan strategi pemberdayaan PKL berdasarkan kondisi modal sosial, kegiatan produksi, dan tingkat pendapatan PKL dimaksud. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (metode survey dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur), dan didukung dengan pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif (wawancara mendalam dan observasi). Populasi penelitian ini adalah seluruh PKL yang berjualan di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang yang pada saat penelitian ini dilakukan berjumlah 11 orang.

Hasil penelitian menujukkan bahwa, Pertama, seluruh PKL di Kawasan Alun-Alun Taliwang ini menjual makanan cepat saji dan minuman ringan mulai pukul 08.00 – 24.00. Modal sosial PKL yang diukur dalam lima variabel yakni jaringan, aksi bersama, solidaritas, kepercayaan dan kerjasama, serta resolusi konflik; masih tergolong rendah. Pendapatan PKL rata-rata per bulan mencapai antara Rp.2.5 juta sampai 3 juta, tergantung pada waktu usaha (siang/malam) dan hari kerja/libur. Kedua, berdasarkan hasil penelitian yang pertama dan analisis SWOT yang telah dilakukan, dirumuskan strategi penguatan modal sosial PKL yang dipandang tepat yaitu: (1) peningkatan kapasitas modal sosial PKL, (2) pengembangan kelembagaan PKL, dan (3) penguatan jaringan PKL.

(5)

SUMMARY

Wiharti Meiriana Sari, Strengthening the Social Capital Strategy of Street Vendors in TaliwangTown Square. Supervised by Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS and Dr Ir Sarwititi S. Agung, MS

The emergence of the informal sector in urban areas is as a result of the imbalance in the labor market . The amount of the labor force continues to grow as a result of urbanization and the inability to meet the demands of jobin formal sector that requires having adequate educational qualifications and skills , eventually pushing the labor force should go into the informal sector to be able to survive in urban areas. The informal sector has many forms , but the main face of the urban informal sector are street vendors ( PKL ). Trading activity among street vendors is the ' arena ' in which human relations intensified . In relation or social processes can be said to be constantly involved in aspects of social capital Syahyuti (2008). In fact, according to Schiff (2000) in this modern era , where there is free trade in (free trade ) and migration -free ( free migration ), social capital is even more needed presence .

The aims of this study are, first, to analyze the social capital of the street vendors (Pedagang Kaki Lima, PKL). Second, to analyse production activities and income level of those mentioned street vendors in Taliwang Town Square. This study applied a qualiitative approach (method with interviews using a structured questionnaire), and supported by quantitative and qualitative data collections as well (in-depth interviews and observations). During the study, the amount of the street vendors reached as much as 11 vendors.

The results showed that, first, all street vendors began their daily activities from 8.00 am to 24.00 pm by selling fast food and soft drinks. The level of the social capital of the vendors that measured in terms of networks, collective actions, solidarity, trust and cooperation, and conflict resolution; are regarded as low. The average revenue of vendor reaches around Rp.2.5million to 3 million per month. Secondly, based on the profile of the social capital mentioned above and the SWOT analysis done, such empowerment strategyare formulatedas follows, (1) increase the social capital capacity of the street vendors;(2) develop the street vendor institution; and(3) strengthening the network of street vendors.

(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

STRATEGI PENGUATAN MODAL SOSIAL

PEDAGANG KAKI LIMA

DI KAWASAN ALUN-ALUN TALIWANG

WIHARTI MEIRIANA SARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Kajian : Stategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang

Nama : Wiharti Meiriana Sari NIM : I354120275

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua

Dr. Ir. Sarwititi. S.Agung, MS Anggota

Diketahui oleh Koordinator Program Studi

Pengembangan Masyarakat

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan kajian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian ini ialah Strategi Penguatan Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Taliwang. Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS dan Ibu Dr Ir Sarwititi S. Agung, MS. selaku Komisi Pembimbing;

2. Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS dan Bapak Ir. Fredian Toni Nasdian selaku Koordinator Program Studi Pengembangan Masyarakat;

3. Pengelola Program Studi MPM SPs IPB serta para staf PS MPM SPs IPB. 4. Bupati Sumbawa Barat Bapak Dr Zulkifli Muhadli, SH MH atas kesempatan

tugas belajar yang telah diberikan kepada penulis,

5. Kepala Bappeda Kabupaten Sumbawa Barat Bapak Dr Ir H. Amry Rahman selaku pembimbing lapangan;

6. Kedua orang tua, bapak Kartono dan ibu Khoriyatun Sari, bapak Hery Susanto, S.Pd dan ibu Nurintan, S,Pd serta seluruh keluarga besar, atas segala do‟a dan kasih sayangnya;

7. Suami, Hendra Perdana Surya S.IP serta anak-anakku Favian Afkar Lauda dan Fayyola Arsyfa Mallika atas do‟a, dukungan dan semangatnya kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini;

8. Rekan-rekan MPM IPB kelas Kabupaten Sumbawa Barat. Semoga tesis yang penulis selesaikan ini bermanfaat.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Metode Pemilihan Populasi, Sampel dan Informan 22

Pengumpulan Data 22

4 PROFIL KOMUNITAS KELURAHAN KUANG 25

Letak Geografis 25

Aksessibilitas terhadap Kebijakan dan Sumberdaya 28

Jaringan Bisnis 30

Tokoh Bisnis 30

Pola-Pola Kebudayaan 30

(14)

Orientasi Nilai Budaya 31

Pola Bersikap, Bertindak, dan Sarana 31

Pola-Pola Adaptasi Ekologi 32

Basis Ekologi dan Perubahannya 32

Matapencaharian Utama 32

Strategi Penghidupan 33

Masalah-masalah Sosial 33

Deskripsi Masalah Sosial 33

Dampak Masalah Sosial 34

Faktor-faktor Penyebab 34

Solusi yang Pernah Dilakukan 34

5 EVALUASI PROGRAM DAN KEBIJAKAN 35

Evaluasi Kebijakan Pemberdayaan 35

Evaluasi Program Pemberdayaan 36

6 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 39

Profil PKL 39

Aktivitas Produksi dan Ekonomi PKL 43

Modal Sosial PKL 44

Jaringan dan Dukungan Organisasi 44

Aksi Bersama (Collective Actions) 46

Solidaritas 48

Kepercayaan dan Kerjasama 48

Resolusi Konflik 49

7 PERANCANGAN STRATEGI 51

Strategi Penguatan Modal Sosial 51

Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal 51

Menentukan Strategi Alternatif 52

Strategi Prioritas 53

8 SIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Saran 59

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Sex Ratio

Tahun 26

Tabel 2 Kepadatan Penduduk Kelurahan Kuang Tahun 2009-2011 26 Tabel 3 Jumlah penduduk pindah datang Kelurahan Kuang Tahun

2009-2011 27

Tabel 4 Jumlah Kelahiran dan Kematian Kelurahan Kuang Tahun

2009-2011 27

Tabel 5 Jumlah lembaga ekonomi di Kelurahan Kuang Tahun 2011 29 Tabel 6 Jumlah Anggota Menurut Jenis Koperasi Lingkungan Kuang

Tahun 2012 30

Tabel 7 Jumlah Kepala Keluarga Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 32

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kajian 19

Gambar 2 Grafik persentase jenis dagangan PKL 40

Gambar 3 Grafik persentase rata-rata usia PKL 41

Gambar 4 Diagram jumlah tenaga kerja PKL 42

Gambar 5 Jawaban PKL tentang pengganti koordinator jika tidak ada di

tempat 44

Gambar 6 Jawaban PKL tentang penyelasaian masalah di Alun-Alun

Taliwang 45

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis SWOT Pedagang Kaki Lima 63

Lampiran 2 Perancangan strategi (program aksi) Penguatan Modal Sosial

Pedagang Kaki Lima 65

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan jumlah angkatan kerja di Indonesia terjadi setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Isu penting dari peningkatan jumlah angkatan kerja ini adalah penciptaan lapangan kerja, Upaya penciptaan lapangan kerja telah dilakukan melalui berbagai sektor pembangunan namun masih belum mencukupi. Terbatasnya daya serap usaha sektor formal menjadi penyebab terjadinya pengangguran. Alternatif usaha yang ditempuh oleh tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal adalah membuka usaha kecil-kecilan dengan modal, keterampilan dan keuntungan yang terbatas. Usaha ini kemudian dikenal dengan istilah usaha sektor informal. Jumlah pekerja sektor informal ini di Indonesia mencapai lebih dari 60 persen (BPS 2012) dan sebagian besar berada di perkotaan.

Timbulnya sektor informal di perkotaan tidak lain sebagai akibat adanya ketimpangan dalam pasar tenaga kerja. Jumlah angkatan kerja yang terus bertambah sebagai akibat adanya urbanisasi dan ketidakmampuan memenuhi tuntutan pekerjaan sektor formal yang mengharuskan memiliki kualifikasi pendidikan dan keterampilan memadai, akhirnya mendorong angkatan kerja harus masuk ke sektor informal untuk bisa terus bertahan hidup di perkotaan. Pada kondisi ini, sektor informal memiliki peran strategis sebagai katup pengaman pengangguran dan mendorong pertumbuhan ekonomi perkotaan.

Pada umumnya sektor informal didefinisikan sebagai segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tidak memiliki keamanan tempat bekerja dan berusaha (no job security), tempat bekerja dan berusaha tidak memiliki status tetap/permanen dan tidak berbadan hukum, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Selain itu, kegiatan sektor informal memiliki ciri-ciri mengarah ke persaingan sempurna seperti setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis usaha informal ini, memanfaatkan sumber daya lokal, biasanya usaha milik keluarga, berskala kecil, pekerja kasar, padat karya, kemampuan manajerial rendah, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal sekolah dan tidak diatur. Wujud kegiatan sektor informal antara lain pedagang kaki lima (PKL), ojeg, penata parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya.

(18)

Aktivitas perdagangan dikalangan PKL merupakan „arena‟ dimana relasi antarmanusia berlangsung intensif. Dalam relasi atau proses sosial tersebut dapat dikatakan senantiasa terlibat aspek modal sosial (social capital) Syahyuti (2008). Bahkan menurut Schiff (2000) di era modern ini, dimana terjadi perdagagan bebas (free trade) dan migrasi bebas (free migration), modal sosial justru semakin dibutuhkan kehadirannya. Lebih jauh Brata (2004) mengungkapkan bahwa belakangan ini modal sosial merupakan isu menarik yang banyak dibicarakan dan dikaji. Bank Dunia dalam laporan tahunannya yang berjudul Entering the 21st Century,mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap proses-proses pembangunan (World Bank 2000). Kegiatan pembangunan akan lebih mudah dicapai dan biayanya akan lebih kecil jika terdapat modal sosial yang besar (Narayan dan Prittchett 1997; Grootaert dan Van Bastelaer 2001)

Menurut Tonkiss (2000), modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber keuangan, memperoleh informasi, pekerjaan, merintis usaha, dan meminimilkan biaya transaksi. Pada kenyataannya jaringan sosial, sebagai bagian dari modal sosial, tidaklah cukup karena belum mampu menciptakan modal fisik dan modal finansial yang juga dibutuhkan.

Kecamatan Taliwang adalah kecamatan yang menjadi letak ibukota dari Kabupaten Sumbawa Barat sehingga orang menyebutnya Taliwang adalah “Kota”nya Kabupaten Sumbawa Barat. Sedangkan Ibukota Kecamatan Taliwang itu sendiri berada di Kelurahan Kuang. Sebagian besar fasilitas umum dan perkantoran berada di Kelurahan Kuang dan sekitarnya. Salah satunya adalah fasilitas umum Alun-Alun Kota Taliwang. Taliwang yang memiliki ciri ekonomi perkotaan yang sedang tumbuh dan berkembang juga menghadapi persoalan-persoalan serupa sebagaimana dikemukakan di atas khususnya keberadaan PKL yang menempati ruang publik. Keberadaan PKL disini memang belum sebanyak di kota-kota besar lainnya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa jika keberadaan PKL di Taliwang tidak ditata dari awal maka PKL di Taliwang akan berkembang semaunya sendiri. Keberadaan PKL ini memerlukan penataan dan pemberdayaan untuk meningkatkan dan mengembangkan usahaanya sebagaimana amanah dari Perpres No. 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Bagaimana dapat mensinergikan sumber daya stakeholder yang ada dan modal sosial yang dimiliki oleh para PKL menjadi sebuah tatanan PKL yang banyak memiliki fungsi, seperti fungsi konsumsi (pemenuhan kebutuhan makan dan minum), fungsi rekreasi, fungsi hiburan, dan tentunya fungsi pemberdayaan masyarakat.

Perumusan Masalah

(19)

3

perputaran roda ekonomi di sekitar kawasan Alun-Alun, sehingga diharapkan adanya peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Data World Bank dalam Thee (2004) dalam Vipriyanti (2011) bahwa kesenjangan distribusi pendapatan tetap konstan. Kesenjangan tersebut dirasakan sebagai ketidakadilan yang kemudian akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Padahal kepercayaan, sebagai salah satu komponen modal sosial, merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan lagi dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi wilayah. Rasa saling percaya berperan penting untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang sehat dan menekan biaya transaksi (Rao 2001) sedangkan komponen lain dari modal sosial yaitu kerapatan organisasi dan partisipasi masyarakat akan meningkatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber kesejahteraan seperti akses untuk memperoleh modal usaha, lapangan pekerjaan dan lainnya (Grootaert 2001).

Determinasi modal sosial sesungguhnya tidak terbatas pada dimensi kognitif saja seperti rasa percaya dan norma lokal, tetapi juga faktor struktural yang meliputi jaringan kerja dan institusional (Grootaert dan Van Bastelaer 2002). Sehingga dalam penelitian kali ini diharapkan dapat menganalisis kedua dimensi modal sosial tersebut secara komprehensif. Dimensi struktural yaitu yang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanyaan utama yang telah dibahas di atas, maka dapat ditarik beberapa pertanyaan spesifik dalam penelitian ini. Pertama, adalah bagaimana kondisi modal sosial PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang ?

. Pemberdayan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang merupakan salah satu langkah pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat Sumbawa Barat khususnya masyarakat kaum marjinal. Hayami (2000) dalam Vipriyanti (2011) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat direalisasikan tanpa perubahan dalam organisasi sosial dan sistem nilai karena produktivitas dari suatu sistem ekonomi dikondisikan oleh budaya dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat tersebut dimana akumulasi rasa percaya (trust) yang terjadi melalui interaksi personal dalam suatu komunitas akan meningkatkan efisiensi dan menekan biaya. Oleh karena itu, pengukuran pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya melalui peningkatan produk regional bruto maupun pendapatan perkapita saja.

Dalam penelitiannya di Indonesia (Grootaer 2001) menemukan fakta bahwa kontribusi modal sosial dalam peningkatan pendapatan rumah tangga di Jambi, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur sebanding dengan kontribusi modal manusia. Selain itu, modal sosial juga membantu rumah tangga mengatasi resiko akibat fluktuasi pendapatan atau dengan kata lain, modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan spesifik selanjutnya adalah bagaimana kondisi kegiatan ekonomi perdagangan PKL di Alun-Alun Kota Taliwang dapat meningkatkan pendapatan PKL?

(20)

masyarakat secara berkelanjutan. Keberadaan PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, di sisi lain PKL menjalankan peran sebagai “Shadow Economy”. Kontribusi yang diberikan PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu. Oleh karena itu, pemberdayaan PKL mungkin menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Masalah pokok yang sering dialami oleh para PKL adalah terjadi penggusuran terhadap keberadaan PKL. Tempat atau lokasi PKL yang selalu berpindah-pindah dan tidak menetap mengancam keberlangsungan usaha para PKL. Pertanyaan spesifik selanjutnya adalah, bagaimana strategi penguatan modal sosial PKL yang ada dapat diterapkan di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang?

Tujuan Kajian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas. Maka tujuan diadakan kajian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan utama dan tujuan spesifik. Tujuan utama kajian ini adalah merumuskan strategi penguatan modal sosial berdasarkan kondisi modal sosial dan kegiatan ekonomi perdagangan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang.

Berdasarkan tujuan utama tersebut di atas, maka tujuan spesifik penelitian ini adalah:

1. Menganalisis modal sosial PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang;

2. Menganalisis kegiatan ekonomi perdagangan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang;

3. Merumuskan strategi penguatan modal sosial PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang.

Kegunaan Kajian

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun yang terkait dengan masalah Keberadaan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang, khususnya kepada:

1. Peneliti yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai PKL.

2. Kalangan akademisi, dapat menambah literatur dalam mengkaji PKL

3. Kalangan non-akademisi, pemerintah dan swasta dapat bermanfaat sebagai sebuah bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan tentang PKL.

Ruang Lingkup Kajian

(21)

5

(22)
(23)

2 PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini akan membahas memaparkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran. Tinjauan pustaka berisi tentang strategi, pemberdayaan, modal sosial, pendapatan, dan pedagang kaki lima (PKL) yang dituangkan dalam bentuk kerangka pemikiran kajian. Kerangka pemikiran konseptual akan dibahas tentang kerangka (frame) yang menjadi alur pikir dan prosedur serta alat analisis yang digunakan. Dari kerangka pemikiran konseptual akan dihasilkan suatu bagan alir dari penelitian.

Tinjauan Pustaka

Strategi

Menurut wikipedia strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif. Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali mencampuradukkan ke dua kata tersebut.

Selanjutnya Siagian (2004) menyatakan bahwa strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut. Pengertian strategi lainnya seperti yang diutarakan Craig & Grant (1996) adalah strategi merupakan penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang sebuah perusahaan dan arah tindakan serta alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan.

Menurut Stephanie K. Marrus, pengertian strategi adalah suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. Selain definisi-definisi strategi yang sifatnya umum tersebut, ada juga pengertian strategi yang lebih khusus, seperti yang diungkapkan oleh dua pakar strategi, Hamel dan Prahalad strategi adalah tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan.

Pemberdayaan

Proses pemberdayaan masyarakat diyakini dapat mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Mardikanto, T dan Poerwoko Soebiato (2013) mengutip pendapat Robbins, Chatterjee, & Canda, 1998 yang mengemukakan bahwa :

(24)

so, they gain the ability to achieve their highest personal and

collective aspirations and goals “

Menurut definisinya, pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat (Mas‟oed, 1990). Keberdayaan masyarakat oleh Sumodiningrat (1997) diartikan sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, pemberdayaan dapat disamakan dengan perolehan kekuatan dan akses terhadap sumberdaya untuk mencari nafkah (Pranaka, 1996 dalam Mardikanto, T dan Poerwoko Soebiato, 2013).

The empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis an autonomy in the decision marking of territorially organized communities, local self-relience (bt not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiential

social learning”.

Hal tersebut sejalan dengan definisi makna pemberdayaan yang disampaikan oleh (Dharmawan,2000 dalam Mardikanto, T dan Poerwoko Subiato, 2013) yaitu sebagai :

“ A process of having enough energy enabling people to expand their

capabilities, to have greater bargaining power, to make their own

decisions, and to more easily access to a source of better living”.

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk :

a. memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan;

b. berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987)

Istilah pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok dan masyarakat luas agar mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya agar dapat memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksesibilitasnya terhadap sumberdaya yang terkait dengan pekerjaannya, aktivitas sosialnya, dll.

Karena itu, World Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) suatu (konsep, metoda, produk, tindakan, dll.) yang terbaik bagi pribadi, keluarga, dan masyarakatnya. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian masyarakat.

(25)

9

community”. Pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka demi mewujudkan masa depan mereka dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi komunitas mereka.

Pemberdayaan adalah sebuah proses agar setiap orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan, dan mempengaruhi, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson, et.al., 1994).

Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu : Pertama, mencipatakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlakukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan, serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tdak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).

Subejo dan Narimo (2004) dalam Mardikanto, T dan Poerwoko (2013) mengartikan proses pemberdayaan masyarakt merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melelui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemmpuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.

Dalam dunia bisnis, pengertian power dikaitkan dengan kemampuan atau produktivitas. Karena itu, pemberdayaan atau empowerment diartikan sebagai proses peningkatan optimasi kempuan atau produktivitas, individu, organisasi ataupun sistem. Di pihak lain, power juga dapat diartikansebagai keunggulan bersaing atau posisi-tawar (bargaining position). Karena itu, pemberdayaan juga dapat diartikansebagai penguatan atau peningkatan keunggulan bersaing atau posisi tawar.

(26)

sumberdaya, yang berupa : modal, teknologi, informasi, jaminan pemasaran, dll. Agar mereka mampu memajukan dan mengembangkan usahanya, sehingga memperoleh perbaikan pendapatan serta perluasan kesempatan kerja demi perbaikan kehidupan dan kesejahteraannya (Sumodiningrat 2003)

Menurut Sumodiningrat dalam Mardikanto dan Poerwoko (2013), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Sehingga memungkinkan terjadinya inisiasi berasal dari luar komunitas.

Menurut Mardikanto, T dan Poerwoko (2013) pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut :

a. Upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan, upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya;

b. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Tujuannya, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan uaya peningkatan diri dan ekonominya;

c. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan maslah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.

Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. (Kartasasmita dalam Mardikanto dan Poerwoko, 2013) sedangkan menurut Suharto dalam Anwas (2013) Indikator pemberdayaan paling tidak memiliki empat hal, yaitu : merupakan kegiatan yang terencana dan kolektif, memperbaiki kehidupan masyarakat, prioritas bagi kelompok lemah atau kurang beruntung, serta dilakukan melalui program peningkatan kapasitas.

Dalam rangka pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, penyempurnaan mekanisme pembangunan perlu dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian, dengan tahapan sebagai berikut :

(27)

11

b. Kelancaran dan kecepatan dalam penyalurann dana serta pembangunan prasarana dan sarana sehingga dapat segera digunakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan jangka waktu yang disediakan;

c. Membangun kesiapan masyarakat dalam menerima dan mendayagunakan dana, prasarana, dan sarana;

d. Masyarakat harus diberi kepercayaan untuk memilih kegiatan usahanya dan diberi bimbingan berupa pendampingan supaya berhasil. Misalnya, dalam rangka pembangunan prasarana di perdesaan, harus juga sejauh mungkin dilaksankan oleh masyarakat, sekurang-kurangnya masyarakat ikut serta didalamnya;

e. Kemampuan masyarakat bersama aparat untuk meningkatkan nilai tambah dari investasi tersebut dan menciptakan akumulasi modal;

f. Kelengkapan pencatatan sebagai dasar pengendalian dan penyusunan informasi dasar yang lengkap, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi dan penyempurnaan program yang akan datang.

Karena pembangunan di tingkat perdesaan dan pemberdayaan masyarakat menyangkut banyak sektor, maka koordinasi amat penting untuk menyatukan berbagai upaya agar menghasilkan sinergi, serta untuk menghindari tumpang tindih sehingga dapat dijamin efisiensi dalam upaya mencapai hasil yang optimal. Pemberdayaan sebagai proses

Pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat dan atau mengoptimalkan keberdayaan. Pemberdayaan sebagai proses perubahan, mensyaratkan fasilitator yang kompeten dan memiliki integritas tinggi terhadap perbaikan mutu-hidup masyarakat yang akan difasilitasi. Fasilitator ini, dapat terdiri dari aparat pemerintah (PNS), aktivis LSM, atau tokoh masyarakat/warga setempat.

Untuk itu, pemberdayaan juga memerlukan fasilitator yang akan berperan atau bertindak sebagai agen perubahan (agen of change) yang berkewajiban untuk memotivasi, memfasilitasi, dan melakukan advokasi demi mewujudkan perubahan-perubahan yang diperlukan. Pemberdayaan sebagai proses adalah sebagai berikut :

1. Pemberdayaan sebagai proses pembelajaran 2. Pemberdayaan sebagai proses pengutan kapasitas 3. Pemberdayaan sebagai proses perubahan sosial

4. Pemberdayaan sebagai proses pembangunan masyarakat

5. Pemberdayaan sebagai proses pengembangan partisipasi masyarakat. Modal Sosial

(28)

dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok (Rahmawati, 2011).

Modal sosial (social capital) seringkali diartikan secara berbeda. Beberapa periset menyatakan modal sosial merupakan community-level attribute, meskipun periset lain memperlakukan modal sosial sebagai pendekatan yang berorientasi pada individu. Keberagaman definisi modal sosial muncul dari perbedaan tingkat analisis yang menjadi fokus para periset. Narayan dan Cassidy (2001) yang memiliki fokus pada tingkat analisis makro, membagi modal sosial menjadi beberapa dimensi yang meliputi: 1) Karakteristik kelompok (group characteristics); 2) Norma yang mengikat (generalized norms); 3) Kebersamaan (togetherness); 4) Pergaulan sehari-hari (everyday sociability); 5) Hubungan dalam network (network connections); 6) Kesukarelaan (volunteerism), dan kepercayaan (trust).

Secara lebih komperehensif Burt (1992) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Sedangkan Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial adalah sejenis perekat sosial yang memfasilitasi tindakan di tingkat masyarakat yang pada gilirannya, memungkinkan berbagai manfaat bagi kegiatan sosial kemasyarakatan.

Fukuyama (1995) dalam Rahmawati (2011) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Modal sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Adler dan Kwon (2002) dalam Rahmawati (2011) melakukan sintesis atas konsep modal sosial yang berasal dari berbagai perspektif dan memberikan tiga hal yang ditekankan dalam definisi modal sosial, yaitu:

1. Modal sosial melekat pada individu ataupun kelompok.

2. Sumber modal sosial terletak pada hubungan sosial yang dimiliki oleh individu maupun kelompok.

3. Efek modal sosial berkaitan dengan informasi, pengaruh, dan solidaritas yang dimiliki individu atau kelompok yang memungkinkan individu atau kelompok tersebut mendapat keunggulan tertentu dan dapat berkinerja dengan baik.

(29)

13

Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre tahun 1916 mengatakan, modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003) dalam Maulana (2009). Sekalipun Hanifan telah menggunakan istilah modal sosial hampir seabad yang lalu, istilah tersebut baru mulai dikenal di dunia akademis sejak akhir tahun 1980-an. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul "The Forms of Capital" tahun 1986. Sehingga dapat dipahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial, perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi, karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padahal sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.

Syabra (2003) dalam Maulana (2009) menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa modal sosial (social capital) merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial di masa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu memperkuat efektivitas pembangunan. Tjondronegoro (2005) dalam Maulana (2009) menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Sehingga dalam menjalankan program pembangunan, khususnya pertanian dan pedesaan bentuk-bentuk modal sosial tersebut sebaiknya di perhatikan dan dimanfaatkan. Modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi.

(30)

Pendapatan

Menurut wikipedia pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan dari aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau jasa kepada pelanggan. Bagi investor, pendapatan kurang penting dibanding keuntungan, yang merupakan jumlah uang yang diterima setelah dikurangi pengeluaran.

Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004), kata “income diartikan sebagai penghasilan dan kata revenue sebagai pendapatan, penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain”). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa.” Definisi tersebut memberikan pengertian yang berbeda dimana income memberikan pengertian pendapatan yang lebih luas, income meliputi pendapatan yang berasal dari kegiatan operasi normal perusahaan maupun yang berasal dari luar operasi normalnya. Sedangkan revenue merupakan penghasil dari penjualan produk, barang dagangan, jasa dan perolehan dari setiap transaksi yang terjadi.

Pedagang Kaki Lima

Pengertian Pedagang Kaki Lima sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha per-dagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.

Menurut Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik, pola penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan. Karakteritrik dari PKL dijabarkan oleh Simanjuntak (1989) sebagai berikut :

1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.

2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan yang umumnya relatif kecil.

3. Aktivitas yang tidak memilik izin usaha.

Sedangkan menurut McGee dan Yeung dalam (Surya, 2006) Karakteristik PKL dilihat dari sarana fisik dan pola pelayanan.

1. Sarana Fisik

Umumnya PKL di Asia Tenggara mempunyai bentuk dan sarana fisik yang sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Jenis sarana yang digunakan PKL sesuai dengan jenis dagangan yang dijajakan. Sarana fisik PKL dijabarkan menjadi jenis dagangan dan sarana usaha.

a. Jenis Dagangan

(31)

15

1. Bahan mentah makanan dan makanan setengah jadi (unprocessed and semiprocessed food). Termasuk pada jenis dagangan ini adalah bahan mentah makanan seperti daging, buah dan sayuran. Selain itu juga dapat berupa barang-barang setengah jadi seperti beras;

2. Makanan siap saji (prepared food). Termasuk dalam jenis barang dagangan ini berupa makanan dan minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa pulang. Penyebaran fisik PKL ini biasanya cenderung mengelompok dan homogen dengan kelompok mereka;

3. Bukan makanan (non food). Termasuk jenis barang dagangan yang tidak berupa makanan contohnya adalah mulai dari tekstil sampai dengan obat-obatan;

4. Jasa pelayanan (services). Jasa pelayanan yang diperdagangkan adalah jasa perorangan, seperti tukang membuat kunci, tukang membuat pigura, reparasi jam dan lain-lain. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan dan pola pengelompokannya membaur dengan jenis lainnya.

b. Sarana Usaha

Sesuai dengan pengertian PKL bahwa sarana yang digunakan PKL adalah mudah dibongkar pasang/dipindahkan. Berdasarkan pengertian tersebut berarti bentuk fisik dagangan bagi PKL bukan merupakan bangunan permanen tetapi bangunan yang mudah untuk dibongkar pasang dan dipindahkan. Menurut Waworoentoe dalam (Widjajanti, 2000), sarana fisik pedagang PKL dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kios

Pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.

2. Warung semi permanen

Terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan bentuk sarana ini dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.

3. Gerobak/Kereta dorong

Bentuk sarana berdagang ini ada 2 jenis, yaitu gerobak/kereta dorong yang beratap sebagai perlindungan untuk barang dagangan dari pengaruh panas, debu, hujan dan sebagainya serta gerobak/kereta dorong yag tidak beratap. Biasanya untuk menjajakan makanan, minuman serta rokok;

4. Jongkok/Meja

Bentuk sarana berdagang seperti ini dapat beratap atau tidak beratap. Sarana seperti ini dikategorikan jenis PKL yang menetap;

5. Gelaran/Alas

(32)

dikategorikan PKL yang semi menetap dan umumnya sering dijumpai pada jenis barang kelontong;

6. Pikulan/Keranjang

Sarana ini digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers) atau semi menetap dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang dengan cara dipikul. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawa berpindah-pindah tempat.

2. Pola Pelayanan.

Pola pelayanan PKL erat kaitannya dengan sarana fisik dengan PKL yang digunakan dan jenis usahanya. Hanarti, 1999 mengelompokkan aktivitas perdagangan sektor informal berdasarkan pola pelayanan kegiatannya dikategorikan atas fungsi pelayanan, golongan pengguna jasa, skala pelayanan, waktu pelayanan dan sifat layanan.

a. Fungsi Pelayanan

Penentuan jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang sektor informal (PKL) dapat ditetukan dari dominasi kuantitatifjenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Suatu lokasi aktivitas PKL dapat memiliki lebih dari satu fungsi secara sekaligus. Peran dan fungsi yang dimiliki oleh aktivitas PKL dalam kehidupan perkotaan secara umum dibagi menjadi tiga fungsi yaitu:

1. Fungsi Pelayanan Perdagangan dan Jasa

PKL dalam hal ini berfungsi memasarkan hasil produksi suatu barang dan jasa dari produsen sampai konsumen akhir;

2. Fungsi Pelayanan Rekreasi

Aktivitas PKL memilik fungsi sebagai hiburan yang bersifat rekreatif yaitu hiburan sebagai selingan dari kesibukan dan rutinitas kegiatan perkotaan. Fungsi rekreatif ini didapatkan dari suasana pelayanan yang diberikan misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipakai sebagai tempat santai, jalan-jalan dan sebagainya;

3. Fungsi pelayanan Sosial Ekonomi

Aktivitas PKL memiliki fungsi sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan pandangan masing-masing pelaku yang terlibat didalamnya.

Berdasarkan pandangan penjaja maka aktivitasnya merupakan sumber pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Bagi para pengguna maka aktivitas PKL sangat membantu dalam penyediaan barang dan jasa yang harganya relatif lebih murah daripada di toko atau supermarket. Sedangkan bagi pemerintah kota maka aktivitas jasa sektor informal inisedikit banyak dapat membantu pemecahan masalah penyerapan tenaga kerja dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. b. Golongan Pengguna Jasa

(33)

17

rendah, kemungkinan adanya penipuan dalam keaslian barang, dan sebagainya sehingga mereka lebih memilih berbelanja di toko-toko atau supermarket walaupun tingkat harganya lebih tinggi. Pertimbangan lainnya adalah faktor psikologis yaitu gaya hidup masyarakat kota yang ingin menjaga “gengsi” sehingga mereka merasa lebih percaya diri apabila berbelanja di tempat-tempat yang dapat dianggap sebagai simbol status mereka. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga berbelanja ke lokasi aktivitas pedagang sektor informal, tetapi hal ini hanya terjadi sekali waktu jadi sifatnya insidentil sehingga masih terlihat jelas adanya pembatasan bahwa pedagang sektor informal lebih diperuntukkan bagi golongan pendapatan menengah ke bawah.

c. Skala Pelayanan

Skala pelayanan aktivitas PKL dapat diketahui dari asal pengguna aktivitasnya. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal penggunanya. Semakin dekat asal penggunanya maka skala pelayanan semakin kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya semakin besar.

d. Waktu Pelayanan

Pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL disesuaikan dengan perilaku kegiatan formal atau kondisi yang ada. Terdapat juga perbedaan pada setiap periode waktu pelayanan, baik dari segi umlah PKL maupun jumlah pengguna jasanya McGee dan Yeung dalam (Surya, 2006)

Saat-saat teramai pada suatu waktu pelayanandipengaruhi oleh orientasi aktivitas jasa tersebut terhadap pusat-pusat kegiatan disekitarnya. Saat-saat teramai tersebut bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat-pusat perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat kawasan rekreasi, kawasan permukiman, kawasan perkantoran dan sebagainya. Bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat kawasan perbelanjaan seperti pasar, maka saat-saat teramai adalah pada waktu pagi hari sampai siang hari mengingat kegiatan masyarakat pergi ke pasar cenderung dilakukan pada pagi sampai siang hari. Demikian pula bagi aktivitas pedagang sektor informal di suatu kawasan pusat kota maka sata-saat teramai adalah pada jam istirahat kanyor dan sebagainya Bromley dalam (Manning dan Noer Efendi, 1996).

e. Sifat Layanan

Berdasarkan sifat pelayanannya McGee dan Yeung dalam (Surya, 2006), pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap (static), pedagang semi menetap (semi static), dan pedagang keliling (mobile). Pengertian tentang ketiga sifat tersebut adalah :

1. Pedagang Menetap (static hawkers unit)

(34)

2. Pedagang Semi Menetap (semistatic hawkers unit)

Merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja dengan jangka waktu lama (ada batas waktu tertentu). Dalam hal ini dia akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat bubaran bioskop, pada saat para pegawai mau masuk/pulang kantor, atau pada saat-saat ramainya pengunjung ke pusat kota. Apabila kemungkinan pembeli yang cukup besar tersebut tidak dijumpai, maka pedagang tersebut akan berkeliling, demikian seterusnya

3. Pedagang Keliling (mobile hawkers unit)

Pedagang keliling adalah suatu bentuk layanan pedagang yang dalam melayani konsumennya mempunyai sifat untuk selalu berusaha mendatangi atau” mengejar” konsumen dengan bergerak atau berpindah-pindah tempat. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang mempunyai volume dagangan kecil.

Pemberdayaan PKL

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 7 bahwa koordinasi pemberdayaan PKL yang dapat dilakukan di lingkup kabupaten/kota adalah dilaksanakan melalui :

1. Penyuluhan, pelatihan dan/atau bimbingan sosial; 2. Peningkatan kemampuan berusaha;

3. Pembinaan dan bimbingan teknis; 4. Fasilitasi akses permodalan;

5. Pemberian bantuan sarana dan prasarana;

6. Penguatan kelembagaan melalui koperasi dan kelompok usaha bersama; 7. Fasilitasi peningkatan produksi;

8. Pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; 9. Fasilitasi kerjasama antar daerah;

10. Mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha

Adapun sesuai dengan pasal 10 ayat 2 bahwa pemberdayaan PKL yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu melalui :

a. Penetapan kebijakan pelaksanaan pemberdayaan PKL; dan b. Penetapan ke dalam dokumen rencana pembangunan daerah.

Kerangka pemikiran

(35)

19

terdiri dari jaringan dan aksi bersama, dan Kognitif Modal Sosial yang terdiri dari Solidaritas, kepercayaan dan resolusi konflik.

Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa.” Definisi tersebut memberikan pengertian yang berbeda dimana income memberikan pengertian pendapatan yang lebih luas, income meliputi pendapatan yang berasal dari kegiatan operasi normal perusahaan maupun yang berasal dari luar operasi normalnya. Sehingga, Tingkat pendapatan PKL sangat ditentukan oleh kegiatan operasional dari PKL. Di dalam proses sosial atau relasi sosial sangat dipengaruhi oleh modal sosial. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan pendapatan PKL dilakukan upaya penguatan modal sosial PKL dengan menyusun strategi penguatan modal sosial pedagang kaki lima di kawasan Alun-alun Taliwang.

Mengikuti alur tersebut, maka kerangka pemikiran dari kajian strategi penguatan modal sosial PKL adalah seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kajian Keterangan :

: Mempengaruhi : Saling berhubungan Modal Sosial PKL

Putnam (1993) Grootaert dan Van Bastelaer (2001)

(i) Jaringan (ii) Aksi Bersama (iii) Solidaritas

(iv) Kepercayaan dan Kerjasama

(v) Resolusi Konflik

Aktivitas Ekonomi dan Perdagangan

PKL Simanjuntak (1989)

Pendapatan PKL Standar Akuntansi Keuangan

(2004)

Strategi Penguatan Modal Sosial

(36)
(37)

3 METODE KAJIAN

Pada bab ini memuat tentang lokasi dan waktu kajian, metode kajian dan perancangan strategi. Metode kajian yang digunakan adalah menggunakan pendekatan gabungan atau multimetodologi, yaitu pendekatan penelitian yang memadukan penjaringan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif, Ikbar (2012). Perancangan strategi dibuat sebagai gambaran rekomendasi dari kajian.

Populasi dalam kajian ini adalah Pedagang Kaki Lima yang berjualan antara pukul 08.00 - 24.00 di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Adapun jumlah populasi Pedagang Kaki Lima yang ada di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Data Dinas Koperindagkop Sumbawa Barat adalah sebanyak 17 PKL, sedangkan yang ada pada saat penelitian dilaksanakan adalah sebanyak 11 PKL. 6 PKL lainnya sudah lama tidak berjualan sehingga peneliti tidak menyertakan dalam penelitian. Penyebab 6 PKL tersebut tidak berjualan adalah masalah permodalan.

Maka, peneliti memutuskan akan menggunakan seluruh PKL sebagai populasi kajian.

Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian dilaksanakan di lingkup Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat, yaitu di Kelurahan Kuang. Waktu pelaksanaan kajian pada bulan Juni 2014 sampai dengan Januari 2015.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Lokasi dipilih karena merupakan salah satu kelurahan tempat ibukota Kecamatan Taliwang di Sumbawa Barat yang paling banyak memiliki ruang terbuka hijau untuk fasilitas umum salah satunya adalah Alun-Alun Kota Taliwang. Sselain itu kuang juga memiliki lembaga ekonomi cukup banyak.

Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualilatif yaitu dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Selain itu metode ini didukung dengan pengumpulan data baik secara kualitatif maupun kuantitatif dari kuesioner dan wawancara mendalam (indepth interview dan observasi atau pengamatan lapangan.

Data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner terhadap seluruh anggota komunitas PKL Alun-Alun Taliwang. Variabel yang digali melalui kuesioner meliputi : (1)Variabel Modal Sosial yang terdiri; (a) Struktural Modal Sosial, dengan indikator variabel ; (1) Karakteristik dan Kepadatan Organisasi (Organizational Density and Characteristics), (2) Jaringan dan dukungan organisasi menguntungkan (Network and Mutual Support Organization); dan (3) Aksi bersama (Collective Action); (b) Kognitif Modal Sosial yang terdiri dari indikator; (1) Solidaritas (Solidarity), (2) Kepercayaan dan Kerjasama (Trust and Cooperation), (3) Resolusi Konflik (Conflict Resolution);yang disadur dari Krishna dan Shrader, (1999) dan (2) Variabel Profil PKL meliputi kegiatan ekonomi (produksi dan konsumsi).

(38)

keterlibatan beberapa pihak serta data sekunder dari litertur-litertur yang ada kemudian dianalisis menggunakan analisis SWOT.

Metode Pemilihan Populasi, Sampel dan Informan

Populasi dalam penelitian ini adalah Pedagang Kaki Lima yang berjualan antara pukul 08.00 - 24.00 di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Data Dinas Koperindagkop Sumbawa Barat adalah sebanyak 17 PKL. Akan tetapi, pada saat penelitian hanya 11 PKL yang ada. Maka, peneliti memutuskan untuk menggunakan seluruh populasi sebagai sampel penelitian karena jumlahnya yang sedikit.

Pemilihan informan menggunakan teknik purposive dan snowballing. Teknik purposive dilakukan dengan alasan mereka yang terpilih sebagai informan memiliki kompetensi dan memahami maksud dan tujuan dari penelitian. Sedangkan teknik snowballing dilakukan untuk memilih informan yang sebelumnya belum ditentukan peneliti, tapi mendapatkan rekomendasi dari informan yang dipilih secara purposive. Adapun informan yang dimaksud terdiri dari : (1) Kepala Bappeda KSB, (2) Kepala Koperindagkop KSB, (3) Kepala Seksi Perdagangan dan UMKM, (4) Camat Taliwang, (5) Koordinator PKL, (6) Tokoh Masyarakat, (7) dan PKL di Kawasan Alun Alun Taliwang.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat atau stakeholder lainnya (PKL, Pemerintah, dan lain sebagainya) sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan pihak terkait. Pengumpulan data dilakukan dengan metode :

a. Wawancara mendalam;

Wawancara dilakukan terhadap pengelola program yaitu terhadap seluruh stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan program dan pemanfaat program dengan mengguakan panduan wawancara.

b. Observasi / pengamatan; dan

Kegiatan ini dilakukan dengan kunjungan langsung di lapangan untuk mengetahui kondisi Perdagangan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang.

c. Pengisian daftar pertanyaan (wawancara dengan kuesioner terstruktur) 2. Data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi

untuk melengkapi data primer. Dalam hal ini data sekunder yang digunakan adalah arsip atau dokumen yang relevan dengan judul penelitian.

Pengolahan dan Analisis Data

Sugiyono (2013) mengatakan analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematis sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data primer dan sekunder yang diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna.

(39)

23

berlangsung secara terus-menerus. Analisis data dalam kajian ini akan dilakukan melalui tahapan berikut :

1. Reduksi Data, yaitu mengumpulkan, memilah dan meringkas data hasil studi dokumen, obsevasi dan wawancara mendalam. Kemudian mengkategorikan data yang memiliki arti dan berkaitan dengan variabel modal sosial yaitu jaringan, aksi bersama, solidaritas, kepercayaan dan kerjasama, serta resolusi konflik. Termasuk data terkait aktivitas produksi dan ekonomi PKL;

2. Penyajian Data, yaitu mengkonstruksikan data dalm bentuk narasi sehingga mempermudah dalam analisis masalah;

3. Menarik kesimpulan dan verifikaksi, yaitu proses yang dilakukan secara terus menerus sejak awal memasuki kajian dan selama proses pengumpulan data.

Perancangan Strategi

Metode Perancangan

Metode perancangan strategi yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, dan Threats), Sugiyono (2013).

Partisipan Perancangan

Partisipan perancangan strategi pemberdayaan terdiri dari : 1. Pelaku PKL;

2. Pihak pemerintah; 3. Pihak swasta; dan 4. Pendamping/Fasilitator. Proses Perancangan

Proses perancangan strategi penguatan modal sosial pedagang kaki lima di kawasan Alun-Alun Taliwang dilakukan dengan langkah sebagai berikut :

1. Menganalisis kegiatan pemberdayaan yang sudah dilakukan untuk PKL di Kawasan Alun-Alun Taliwang. Tahap ini dilakukan mulai dari mengidentifikasi jenis kegiatan pemberdayaan PKL yang sudah pernah dilakukan maupun yang belum pernah dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa sering kegiatan itu sudah dilakukan dan seberapa besar manfaat yang sudah diterima terhadap kegiatan yang sudah dilakukan tersebut. 2. Menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan modal sosial PKL yang ada di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. Tahap ini dilakukan melaui wawancara mendalam, diskusi kelompok (PKL) dan pengamatan lapangan. Dengan cara ini maka akan diperoleh masalah modal sosial yang ada pada PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang dan dirumuskan secara bersama-sama. Tujuan dari identifikasi masalah modal sosial ini adalah untuk menunjukkan bahwa modal sosial sangatlah berguna untuk menunjang kondusivitas kegiatan perdagangan di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang. 3. Menganalisis keterlibatan masing-masing pihak (stakeholder), pemerintah,

(40)

stakeholder dalam rangka penataan dan pemberdayaan PKL . Akses melihat ruang dan kapasitas untuk dapat berpastisipasi, yakni kesempatan untuk mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat dalam penataan dan pemberdayaan PKL di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang.

4. Menguraikan potensi modal sosial yang dapat mendukung pemberdayaan PKL dalam meningkatkan kesejahteraan /peningkatan pendapatan. Pada tahap ini untuk mengetahui potensi modal sosial seperti karakteristik kelompok (PKL), jaringan hubungan sosial, aksi bersama, kepercayaan dan kerjasama, solidaritas dan resolusi konflik.

(41)

4 PROFIL KOMUNITAS KELURAHAN KUANG

Alun-Alun Kota Taliwang terletak di Kelurahan Kuang Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat. Oleh karena itu profil komunitas yang akan peneliti bahas adalah profil komunitas kelurahan Kuang.

Letak Geografis

Wilayah Kelurahan Kuang terletak di Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat dengan luas 24,84 km2 atau 6,61 persen dari luas wilayah Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat, sedangkan Kecamatan Taliwang sendiri memiliki luas wilayah 375,93 km2. Kecamatan Taliwang terdiri dari 7 kelurahan dan 8 desa, yaitu ; Kelurahan Kuang; Kelurahan Dalam; Kelurahan Bugis; Kelurahan Menala; Kelurahan Sampir; Kelurahan Telaga Bertong; dan Kelurahan Arab Kenangan. Sedangkan desa terdiri dari Desa Lalar Liang; Desa Labuhan Lalar; Desa Kertasari; Desa Banjar; Desa Batu Putih; Desa Seloto; Desa Sermong; dan Desa Tamekan. Batas wilayah Kelurahan Kuang sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kelurahan Dalam, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Menala dan Kelurahan Telaga Bertong, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Sampir dan Kelurahan Menala, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Dalam dan Telaga Bertong.

Kelurahan Kuang sebagian besar bentangan wilayahnya adalah berupa dataran rendah. Menurut penggunaan wilayahnya sebagian besar digunakan sebagai area persawahan, perkantoran dan pemukiman.Kelurahan Kuang sebesar 248,4 ha, luas area persawahan sebesar 132,59 ha, luas area perkantoran sebesar 39,11 ha, luas area pemukiman sebesar 34,89 ha, sisanya adalah digunakan untuk perkebunan, pekarangan, kuburan, dan sarana umum lainnya. Dari total luas wilayah Kelurahan Kuang sebesar 2484 ha, luas area persawahan sebesar 132,59 ha, luas area bukan sawah sebesar 84,04ha, luas area non pertanian sebesar 31,77 ha. Secara administratif Kelurahan Kuang terdiri dari 6 (enam) lingkungan yaitu : Lingkungan Kuang; Lingkungan Semoan; Lingkungan Pesanggrahan; Lingkungan Motong; Lingkungan Tiang Enam; Lingkungan Sebubuk.

Kependudukan

Jumlah dan Komposisi Penduduk

(42)

Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Sex Ratio Tahun

Sumber : BPS Sumbawa Barat (data diolah)

Kepadatan Geografis dan Agraris

Jumlah penduduk Kelurahan Kuang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dengan kepadatan penduduk dapat dilihat perkembangannya dari tahun 2009 sampai dengan 2011 pada Tabel 2. Pada Tahun 2011 kepadatan penduduk Kelurahan Kuang telah mencapai 237 jiwa/kilometer persegi.

Tabel 2 Kepadatan Penduduk Kelurahan Kuang Tahun 2009-2011

No Tahun Luas (km2)

Sumber : BPS Sumbawa Barat ( data diolah)

Kepadatan penduduk di wilayah Kelurahan Kuang terhitung cukup tinggi dibandingkan dengan kelurahan atau desa lain yang ada di Kecamatan Taliwang, karena Kelurahan Kuang merupakan pusat sebagaian aktivitas perekonomian kabupaten dan letaknya yang tidak jauh dari ibukota kecamatan maupun kabupaten. Pada tahun 2010 menunjukkan bahwa setiap 1 km2 di Kelurahan Kuang ada 235 jiwa penduduk. Pengguanaan lahan Kelurahan Kuang pada tahun 2010 sebagian besar masih dipergunakan untuk lahan persawahan yaitu sebesar 13,26 ha, lahan bukan sawah sebesar 8,4 ha, lahan non pertanian sebesar 3,18 ha. Meskipun Kelurahan Kuang merupakan kelurahan yang paling dekat dengan ibukota kecamatan, akan tetapi lahan persawahan masih cukup luas. Lahan persawahan di Kelurahan Kuang sebagian besar menggunakan irigasi teknis. Lahan bukan sawah sebagian besar dipergunakan untuk tegalan, kebun atau ladang. Sedangkan lahan non pertanian sebagaian besar digunakan untuk rumah bangunan dan lainnya.

Pertumbuhan Penduduk

Gambar

Tabel 3 Jumlah penduduk pindah datang Kelurahan Kuang Tahun 2009-2011
Tabel 5 Jumlah lembaga ekonomi di Kelurahan Kuang Tahun 2011
grafik jenis dagangan PKL pada Gambar 2.
Gambar 3 Grafik persentase rata-rata usia PKL
+3

Referensi

Dokumen terkait

dapat dilihat hubungan laju aliran gas HHO dengan volume gas HHO yang dihasilkan dari 50 ml sampai dengan 300 ml dengan variasi jarak antar elektroda menggunakan katalis KOH

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan persentase responden yang mendapatkan pengaruh susu formula dari media massa sebanyak 74,7%. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

Aplikasi ini juga dibuat untuk memudahkan dalam proses komunikasi dengan konsumen karena di dalamnya terdapat halaman hubungi kami untuk menghubungi kami secara on line.Dan aplikasi

Tittle : Sleep Quality and Sleep Distrubances Factors of Patients with Hypertension at the Work Area of Teladan Medan Community Health Center.. Name : Dwi Putriana Lubis

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan..

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah

karena itu, diperlukan sebuah sistem baru dengan tingkat ketelitian yang melebihi sistem yang ada sekarang ini, yang bisa menawarkan kemudahan dan keakuratan dalam pendataanya

BERAGAM CARA// SALAH SATUNYA SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA UNY// MEREKA. MENGGELAR PAMERAN SENI RUPA DAN FOTOGRAFI DI