• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kebijakan Pemberdayaan

Kebijakan tentang pemberdayaan PKL di Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat saat ini belum ada, meskipun secara nasional kebijakan mengenai penataan dan pemberdayaan PKL sudah ada, yaitu: pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Usaha Mikro Kecil dan Menengah yaitu pada pasal 13 ayat (1) memeberi kesempatan berusaha dalam bentuk memberi lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yaitu pada Pasal 22 ayat (2) Pemberdayaan sosial terhadap kelompok diberikan kepada kelompok, salah satunya adalah Pedagang Kaki Lima, ketiga, Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yaitu, dibentuk Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL baik tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota, dan keempat, Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dibentuk Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL baik tingkat Pusat, provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Sayangnya Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM belum menindaklanjuti kebijakan tersebut.

Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Taliwang Sumbawa Barat sudah mulai menjamur dan beberapa menimbulkan masalah-masalah sosial baru seperti PKL mulai menggunakan area yang seharusnya tidak boleh digunakan dan sampah dari aktivitas mereka menyebabkan lingkungan sekitar menjadi kotor, sehingga sudah mulai susah dikendalikan. Sebagai bukti nyata bahwa selama ini pelaksanaan penataan para PKL yang ada di Kecamatan Taliwang belum berhasil maksimal adalah meskipun aparat Satuan Polisi Pamong Praja sudah juga turun ke lapangan untuk melakukan penertiban, akan tetapi sampai saat ini masih saja para PKL masih melakukan kegiatan perdagangan di tempat-tempat yang sudah dilarang untuk berjualan. Hal serupa juga disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat di kelurahan Kuang (BM):

“... Masyarakat susah diberitahu, disuruh pindah ke pasar untuk jualan dipasar atau tempat yang boleh berjualan masih saja berjualan disitu-situ, kalau ada razia pol PP mereka cepat-cepat lari, kalo tidak ada, masih saja kembali berjualan di situ. Ya.. mungkin karena belum ada kesadaran dari masyarakat dan keinginan kerjasama yang baik untuk membuat Taliwang jadi kota yang rapi dan bersih seperti di kota-kota besar...”

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah dalam hal pemerintah tidak dapat memberikan lokasi yang wajar bagi PKL meskipun pemerintah telah menyediakan pasar sebagai tempat jual beli dagangan. Oleh karena itu masyarakat lebih memilih lokasi yang mereka kehendaki sesuai dengan keinginan mereka. Menurut Kepala Seksi Perdagangan Dinas Koperindagkop UMKM (SRMT):

“ ... meskipun para PKL di suruh pindah ke pasar baru, mereka akan

tempat yang layak untuk para pedagang menjual dagangannya. Namun mereka enggan ke pasar. Alasannya biaya ojek ke pasar mahal, dulu 2 ribu sekarang minta 5 ribu kalo bolak balik jadi 10 ribu. Lumayan 10 ribu bisa buat beli cabe tomat sama bawang. Belum lagi harga di pasar kadang sama dengan harga yang di jualdi mereka (PKL gelaran). Belum lagi harga dipasar kadang lebih mahal daripada harga yang ada di toko karena di toko tidak mengeluarkan ongkos buruh, sedangkan di pasar mereka harus mengeluarkan ongkos buruh untuk memindahkan dagangan dari bawah

(ekspedisi/mobil) naik ke atas (tempat mereka berjualan di pasar)”

Pemerintah telah mengatur mereka dengan menyediakan tempat yang layak untuk berdagang. Akan tetapi, mereka enggan menempati aturan tersebut dengan alasan tingginya biaya transportasi dari rumah menuju pasar. Selain itu tidak ada aturan kebijakan yang membuat mereka takut atau jera jika mereka masih melakukan kegitan serupa di tempat mereka berjualan sekarang. Sedangkan yang ada saat ini, hanya diusir dan diancam dibongkar, akan tetapi tindakan itu juga tidak berani dilakukan oleh aparat pemerintah (Polisi Pamong Praja) karena tidak ada peraturan yang kuat untuk menegakkan sanksi tersebut. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan koperasi dan UMKM (AZHR):

“... belum, kita memang belum memiliki perda ataupun perbub yang mengatur khusus tentang PKL di Sumbawa Barat, tapi kemungkinan nanti akan ada, saat ini sedang disusun oleh dinas... karena susah sekali mereka diatur meskipun sudah sering kita

melakukan pembinaan kepada mereka...”

Kebijakan yang digunakan untuk mengatur mereka saat ini adalah atas dasar kebijakan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kabupaten Sumbawa Barat, dimana kebijakan itu hanya menerangkan tempat atau lokasi di mana saja yang boleh untuk kegiatan niaga oleh Pedagang Kaki Lima, sedangkan atauran lain yang mengatur tentang aktivitas PKL belum diatur termasuk sanksi terhadap pelanggar kebijkan tersebut. Kasus Pedagang Kaki Lima di Kawasan Alun-Alun Kota Taliwang secara aturan menurut RDTRK harusnya tidak boleh berjualan di Kawasan itu, karena kawasan itu termasuk kawasan lahan terbuka hijau. Kebijakan lain yang mereka gunakan adalah perda ketertiban umum, sehingga belum ada kebijakan yang secara rinci mengatur tentang penataan dan pemberdayan PKL.

Dari hasil analisa tentang aturan dan kebijakan yang telah ada, terdapat peluang untuk merumuskan kebijakan di tingkat daerah berupa peraturan bupati atau peraturan daerah tentang penataan dan pemberdayaan PKL khususnya di Alun-Alun Taliwang, umumnya PKL di Kota Taliwang Sumbawa Barat.

Evaluasi Program Pemberdayaan

Program pemberdayaan PKL Di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) pernah dilaksanakan pada awal-awal tahun pembentukan KSB yaitu antara tahun 2006- 2007 oleh Dinas Koperindagkop. Namun, semenjak Tahun 2008 kegiatan tersebut sudah tidak pernah dilaksanakan, bahkan pendanaannyapun sudah tidak ada.

37

Menurut informasi yang diperoleh dari Kepala Seksi Perdagangan Dinas Koperindagkop UMKM (SRMT):

Dulu pernah ada kegiatan yang berkaitan dengan PKL, di Dokumen Pelaksanaan Anggaran namanya Program Pembinaan Pedagang Kaki Lima dan Asongan kebetulan sama dengan nama kegiatannya... tapi, sudah lama tidak ada, kalo tidak salah di DPA 2008 itu sudah tidak ada kegiatan tersebut.... yang ada sekarang cuma satu di Bidang Perdagangan yaitu Program Perlindungan Konsumen dan Pengamanan Perdagangan, sedangkan nama kegiatannya Kegiatan

Pengawasan Peredaran Barang dan Operasional Penertiban Pasar.”

Dari informasi tersebut menunjukkan bahwa prioritas kegiatan penataan PKL dan pedagang assongan sudah tidak menjadi prioritas, sehingga dari segi pendanaan tidak direncanakan. Hal ini juga sejalan dengan informasi yang diperoleh dari salah satu PKL (SNR) yang sudah mulai berjualan sejak tahun 2006 bahwa PKL pernah menerima bantuan sarana dan prasarana dagang, yaitu sebagai berikut:

“... ya... dulu kita pernah dikasih payung tenda, tapi sudah lama sekali, kalalu tidak salah ya waktu awal-awal saya jualan... sekarang sudah ga tahu kemana, sudah rusak, robek, kena angin.. ga kuat bu...”

Termasuk kegiatan pembinaan dan pelatihan menurut informasi yang diperoleh bahwa pelatihan pernah dilakukan sekali di Kecamatan Taliwang, tentang pelatihan kewirausahaan. Kata (MRL)

“ ...ya.. dulu pernah dikasih undangan sama kecamatan, tapi kalau tidak salah tidak semuanya, cuma dipilih beberapa..., trus kita

diajari cara jualan.. pulangnya dikasih amplop.... “

Hasil dari data yang diambil melalui kuesioner menerangkan bahwa 10 dari 11 PKL tidak pernah mengikuti pelatihan apapun yang diselenggarakan oleh pemerintah. Peneliti memperoleh, sebagian besar menjawab tidak pernah mengikuti pelatihan dan sejenisnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa program-program yang telah dilaksanakan kurang menyentuh PKL secara utuh. Meskipun kegiatan tentang pembinaan atau pun pemberian bantuan sarana dan prasarana sudah pernah diberikan, tetapi kegiatan tersebut tidak bertahan dalam jangka waktu lama. Hal ini disebabkan kurang adanya pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan program. Pendampingan yang dilakukan dari Dinas Koperindagkop belum optimal. Hal ini disebabkan karena tidak adanya penunjukan khusus tentang pendampingan PKL kepada para pendamping PKL.

Dokumen terkait