• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Konvensonal

Keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisondari dilihat dari input yang digunakan, teknik budidaya, dan output yang dihasilkan. Pada teknik budidaya baik buncis organik maupun buncis non-organik memiliki tahapan yang sama namun terdapat perlakuan berbeda pada beberapa tahapannya.

Input

Pada budidaya buncis organik dan non-organik input yang digunakan terdiri dari benih, pupuk, pestisida, ajir dan tali rafia, peralatan pertanian, serta tenaga kerja. Serta input tambahan pada pertanian buncis kovensional adalah kemasan. Masing-masing input dijabarkan sebagai berikut:

1. Benih

Buncis merupakan tanaman yang dikembangbiakan dari bagian biji tanaman, sehingga benih buncis berbentuk biji. Benih yang digunakan pada budidaya buncis organik terdapat dua varietas yaitu Lokal dan varietas Prancis, sedangkan pada budidaya buncis non-organik seluruh petani menggunakan varietas Lokal. Perbedaan varietas Lokal dan varietas Prancis adalah secara fisik buncis Prancis lebih tipis, lebih tegak, dan lebih bulat dibandingkan buncis konvensioanal. Walaupun terdapat dua varietas, sebagian besar petani buncis organik menggunakan varietas Lokal. Hal tersebut karena ketersediaan buncis varietas Lokal lebih banyak, serta harganya lebih terjangkau. Petani membudidayakan varietas Prancis untuk memenuhi permintaan.

Rata-rata penggunaan benih pada budidaya buncis organik dan buncis non- organik tidak jauh berbeda. Pada buncis organik rata-rata jumlah pemakaian benih sebanyak 3.40 kg/1000 m2 sedangkan pada buncis non-organik sebanyak 3.45 kg/1000 m2. Perolehan benih dilakukan dengan membeli pada petani lain baik di dalam ataupun di luar desa, dan kadang-kadang petani memperoleh benih dari hasil panen sendiri. Rata-rata harga yang diperoleh untuk membeli benih adalah sebesar Rp45.818.00 per kg pada budidaya buncis organik Rp38.667 per kg benih pada budidaya buncis non-organik. 2. Pupuk

Pupuk yang digunakan dalam budidaya buncis organik adalah pupuk organik. Pupuk organik dapat berasal dari pupuk kandang, pupuk kompos dedaunan, dan pupuk bokashi. Sedangkan pupuk yang digunakan pada budidaya buncis non-organik adalah pupuk organik dan pupuk kimia. Pada umumnya petani responden buncis organik di Desa Cisondari menggunakan pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang. Namun ada juga responden yang menggunakan pupuk organik lainnya. Pupuk organik yang digunakan pada buncis non-organik hanya pupuk kandang. Pada aplikasi pemupukan ada yang menggunakan satu jenis dan ada yang menggunakan lebih dari satu jenis untuk kombinasi pupuk kandang. Alasan petani yang mengkombinasikan dua jenis pupuk adalah untuk memperkaya hara didalam tanah yang tidak dihasilkan dari salah satu jenis pupuk, sehingga dapat saling melengkapi.

Tabel 21 Jumlah penggunaan pupuk organik pada petani buncis organik a

Jenis Jumlah Pengguna (%) Penggunaan rata-rata (kg/m2) Harga rata-rata (Rp/ kg) PKA Postalb - - - PKA Batre 50.00 0.76 380.20 PKSc 14.29 1.55 300.00 PKKd 0.00 0.00 Pupuk bokasi 7.14 1.07 300.00

PKS & PKA Batre (1:2)e 7.14 2.14 766.67

PKS & PKA Postal (3:5) 14.29 1.25 759.52

PKS & PKK (1:4) 7.14 3.75 733.33

Total 100.00

a

Sumber: Diolah dari data primer. bPKA= pupuk kandang ayam.cPKS=pupuk kandang sapi.dPKK=pupuk kandang kambing.

Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang ayam, pupuk kandang sapi, pupuk kandang kambing, dan pupuk bokasi. Sedangkan pupuk bokasi adalah pupuk kombinasi yang terdiri dari sekam padi, dedaunan kering, campuran cairan gula dan EM 4, tanah dan pupuk kandang. Pada Tabel 21 jumlah petani buncis organik yang menggunakan pupuk satu jenis saja lebih banyak dari pada yang menggunakan lebih dari satu jenis. Begitu juga dengan penggunaan pupuk kandang pada buncis non-organik. Tabel 22 menunjukan penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organik.

Tabel 22 Jumlah penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organika Jenis Jumlah Penggunaan (%) Rata2 penggunaan (kg/m2) Harga Rata- rata (Rp/kg) PKA Batreb 60.87 1.04 401.48 PKA Postal 17.39 1.01 429.17 PKSc & PKKd (2:3) 4.35 0.57 57.14

PKA Batre & PKA Postal (1:1) 17.39 1.95 677.08

Total 100.00

a

Sumber: Diolah dari data primer. bPKA= pupuk kandang ayam.cPKS=pupuk kandang sapi.dPKK=pupuk kandang kambing.

Tabel 21 dan Tabel 22 menunjukan pupuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk kandang ayam. Pupuk kandang ayam padat mengandung unsur N, P, dan K lebih tinggi dan bersifat dingin dari pada pupuk kandang lainnya sehingga baik untuk tanaman dibandingkan pupuk kandang lainnya (Lingga 1992 diacu dalam Setiawan (2007)). Sedangkan pupuk kandang ayam sendiri terdapat dua jenis yaitu pupuk kandang ayam postal (ayam pedaging) dan pupuk kandang ayam baterai (ayam petelur). Keunggulan pupuk kandang baterai adalah pupuknya belum tercampur tanah dan kotoran sisa makanan ayam karena bersumber dari kandang ayam petelur yang alasnya tidak langsung menyentuh tanah. Sedangkan pupuk postal berasal dari kandang ayam pedaging yang kandangnya beralaskan tanah sehingga sudah tercampur sisa makanan ayam dan tanah, sehingga pupuk kandang ayam baterai lebih banyak dipilih.

Pupuk kandang umumnya dijual perkarung dengan isi beragam perkarungnya dari mulai 30 hingga 50 kg perkarung. Harga per karung yang diperoleh responden berkisar 10.000 hingga 15.000 sudah termasuk biaya angkut. Sebagian petani yang menggunakan pupuk kandang sapi dan pupuk kandang kambing memperoleh pupuk dari kotoran ternaknya sendiri sehingga yang diperhitungkan adalah biaya angkutnya.

Selain pupuk kandang, budidaya buncis non-organik juga menggunakan pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan adalah pupuk majemuk NPK, pupuk tunggal urea, ZA, dan TSP serta pupuk daun. Pupuk majemuk yang digunakan ada dua macam yaitu Mutiara dan Phonska, namun sebagian besar petani menggunakan pupuk Phonska karena harga per kg lebih terjangkau yaitu berkisar Rp2.487/kg sedangkan mutiara Rp7.350/kg. Pupuk tunggal urea yang digunakan adalah pupuk Kujang dengan harga rata-rata Rp2.002/kg. Pupuk daun yang digunakan adalah pupuk daun Supergro dengan harga rata-rata Rp19.000/botol. Harga rata-rata pupuk ZA dan TSP yang digunakan adalah Rp2.020/kg dan Rp2.500/kg. Rata-rata penggunaan pupuk kimia masing-masing 40 gram/m2 untuk pupuk NPK dan Urea, 50gram/m2 untuk pupuk ZA dan 10 gram/m2 untuk pupuk TSP, serta 1.67 ml/m2 untuk pupuk daun. Pupuk kimia diperoleh dengan membeli di toko-toko alat pertanian.

Di Desa Cisondari pupuk organik pada budidaya buncis organik diberikan bukan pada saat akan menanam buncis tetapi dua musim tanam sayuran lain

sebelum buncis ditanam. Hal tersebut karena pola tanam sayuran organik adalah tanam gilir yang pemupukannya dilakukan 3 musim tanam sekali, sehingga pada analisis pendapatan usahatani total biaya pupuk organik dibagi tiga untuk setiap musimnya dan termasuk biaya diperhitungkan. Sedangkan pada budidaya buncis non-organik biaya pupuk termasuk biaya tunai karena pemupukan dilakukan satu musim tanam sekali. Karena penggunaan pupuk kandang dan pupuk kimia tergolong input yang heterogen maka penghitungan biaya pupuk dihitung per musim tanam per jenis pupuk dengan menggunakan rata-rata total biaya pupuk yang dikeluarkan oleh petani untuk satu musim tanam. Tabel 23 menunjukan perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan buncis non-organik satu musim tanam dalam luas lahan 1000 m2.

Tabel 23 Perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan non-organika Pupuk

Buncis Organikb Buncis Non-organikc Satuand Biaya

(Rp/ Satuan) Satuan

Biaya (Rp/ Satuan) Pupuk Organik/ Pupuk

Kandang 1 MST 172 252 1 MST 429 554 Pupuk Kimia: Pupuk majemuk NPK 1 MST 0 1 MST 56 174 Urea 1 MST 0 1 MST 46 975 ZA 1 MST 0 1 MST 21 739 TSP 1 MST 0 1 MST 1 358 Pupuk Daun 1 MST 0 1 MST 11 905 a

Sumber : Diolah dari Data Primer.bBiaya diperhitungkan.cBiaya tunai.ddalam 1000 m2

Seluruh pupuk digunakan di awal pengolahan lahan sebagai pupuk dasar karena baik petani buncis organik maupun buncis non-organik di Desa Cisondari tidak melakukan pupuk susulan di pertengahan budidaya.

3. Pestisida

Penanggulangan hama pada budidaya buncis organik dibantu dengan pemberian pestisida alami sedangkan pada budidaya buncis non-organik menggunakan pestisida kimia. Pestisida alami adalah pestisida tanpa bahan kimia sintetis yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti dedaunan, akar- akaran, atau umbi-umbian yang bisa dijadikan sebagai pengganggu hama tanaman. Pembutan pestisida alami pada budidaya buncis organik terdiri dari beberapa resep cmpuran yang berbeda. Secara garis besar pada penelitian ini pestisida alami terbagi kedalam 3 resep yang masing-masing resep berbahan dasa dedaunan seperti daun kacang babi, daun suren, sereh wangi dan daun sirsak . Resep pertama terdiri dari dedaunan dan bahan tambahan bawang putih, terasi, gula dan air. Resep dua terdiri dari dedaunan da bahan tambahan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, dan bawang putih dan air. Resep tiga terdiri dari dedaunan tanpa bahan tambahan. Komposisi dan biaya pembuatan terdapat pada Lampiran 2. Rata-rata biaya pembuatan pestisida nabati per liter adalah Rp6880 untuk resep 1, Rp6480 untuk resep 2 dan, Rp880 untuk resep 3. Setiap 1 liter pestisida alami umumnya dapat dicampur hingga 5-10 liter air atau satu tank handsprayer.

Pembuatan pestisida yaitu terdiri dari lima tahapan yaitu, penyiapan bahan, penumbukan, penyampuran dengan air, penyaringan, dan pendiaman. Bahan- bahan yang tidak mengeluarkan biaya umumya tersedia di sekitar kebun dan dapat diperoleh sendiri tanpa mengeluarkan biaya. Daya tahan pestisida alami berbeda-beda tiap resepnya untuk resep 2 dan 3 dapat disimpan maksimal 20 hari, lebih dari itu fungsi pestisida akan menghilang dan berubah menjadi fungsi penunjang nutrisi atau pupuk cair. Sedangkan untuk resep 1 karena adanya kandungan gula daya tahannya menjadi lebih sebentar. Pada pelaksanaan dilapang sebanyak 50.00 persen petani responden tidak melakukan penyemprotan pestisida alami sama sekali. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab diserangnya hama pada buncis organik. Hama yang menyerang buncis umunya hama ulat yang menyerang bagian polong. Sedangkan penyakit yang menyerang umumnya disebabkan karena cendawan

atau dikenal dengan istilah “patek”. Pestisida yang paling banyak digunakan

oleh petani (28.57 persen) adalah resep 3 karena sangat terjangkau dan bahan dapat diperoleh di sekitar kebun.

Pestisida yang digunakan pada petani non-organik adalah pestisida kimia. Penggunaan pestisida pada petani buncis non-organik sangat heterogen. Pestisida kimia yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu fungisida, insektisida, dan perekat. Fungisida berfungsi untuk mencegah munculnya jamur dan penyakit pada tanaman buncis. Fungisida yang digunakan oleh responden berbentuk serbuk padat terdiri dari 12 merek berbeda-beda yaitu Detazeb, Cozeb, Megatan, Propil, Vondozeb, Polaram, Dithane, Antracol, Promaneb, Trineb, Bebindo, dan Basromier. Tidak semua responden menggunakan 1 merek fungisida, terdapat beberapa responden yang menggunakan 2 merek fungisida sekaligus. Merek yang paling sering digunakan adalah Vondozeb yaitu sebayak 21.73 persen sisanya terbagi ke dalam sebelas merek lainnya. Harga masing-masing dari 12 jenis fungisida berada pada kisaran Rp54.500-Rp95.000 per kg.

Insektisida yang digunakan oleh responden berupa pestisida cair yang berfungsi untuk mencegah serangan hama serangga dan sejenisnya. Terdapat 6 merek berbeda-beda yang digunakan petani responden yaitu Curacron, Bespidan, Detacron, Rizotin, Prevathon, dan Pounce. Merek yang paling banyak digunakan adalah merek Prevathon dengan pengguna sebanyak 13.04 persen dan sisanya menggunakan merek lain serta terdapat juga beberapa petani yang tidak menggunakan. Umumnya insektisda dijual dalam jumlah 250-500 ml tiap botolnya dengan kisaran harga Rp60.000-Rp200.000 perbotol bergantung jumlah isi dan kualitasnya.

Selain fungisida dan insektisida petani responden juga menggunakan perekat yang berfingsi untuk merekatkan kandungan pestisida pada daun agar bertahan lama sehingga hama tidak menghinggapi tanaman buncis. Perekat bebentuk cairan. Terdapat tiga merek perekat yang digunakan oleh petani responden yaitu Agristick, Solastin, dan Opsin. Namun tidak seluruh petani menggunakan perekat. Perekat dijual perbotol didalam jumlah 500 ml dengan harga rata-rata Rp20.000/botol.

Takaran dan intensitas yang digunakan oleh petani responden berbeda-beda. Beberapa petani ada yang mengikuti takaran sesuai dengan dosis, dan petani lainya ada yang tidak mengikuti (lebih atau kurang dari dosis). Pestisida

diperoleh dengan membelinya di toko alat-alat pertanian. Karena input pestisida sangat heterogen berdasarkan jenis harga dan jumlah maka penghitungan biaya pestisida dilakukan dengan menghitung rata-rata total biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing jenis pestisida.Tabel 24 menunjuka hasil yang diperoleh dari penghitungan rata-rata biaya masing- masing jenis pestisida.

Tabel 24 Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani responden buncis non- organik untuk pestisidaa

Pestisida Satuanb Total Biaya (Rp) Fungisida 1 MST 129 670 Insektisida 1 MST 67 151 Perekat 1 MST 3 143

a

Sumber: Diolah dari data primer.bdalam 1000 m2.

4. Ajir dan Tali Rafia

Ajir merupakan potongan bambu atau kayu sebagai penyangga atau media rambat tanaman buncis, terutama untuk buncis dengan varietas tanaman merambat. Ajir di Desa Cisondari dikenal dengan nama “turus”. Panjang ajir adalah 2.5 meter. Gambar 4 menunjukan pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu petani responden di Desa Cisondari dan rincisn gambar ajir.

Responden memperoleh ajir dengan dua cara yaitu membuat sendiri dari pohon bambu yang tersedia di hutan dan memunguti ranting reruntuhan yang memiliki panjang 2-2.5 meter, serta dengan cara membeli. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk membeli ajir bambu yaitu Rp 177.00/batang padapetani buncis organik dan Rp171/batang pada buncis non-organik, dengan dijual perikat 100 batang. Harga tersebut sudah termasuk biaya angkut. Sedangkan ajir yang dibuat atau mencari sendiri dihitung biaya tenaga kerjanya. Rata-rata penggunaan ajir pada petani buncis organik sebanyak 592 batang per kg pemakaian benih sedangkan pada petani buncis non-organik sebanyak 608 batang per kg pemakaian benih. Ajir dapat digunakan hingga tiga kali musim tanam sehingga biaya penggunaan ajir dibagi tiga untuk setiap musim tanamnya. Biaya penggunaan ajir tergolong pada komponen biaya diperhitungkan. Pemasangan ajir membutuhkan tali rafia untuk mengikat

Gambar 4 (a) Foto pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu responden di Desa Cisondari (b) rincian gambar Ajir

( a)

(b) 2,5 m

dengan ajir lainnya dalam posisi tertentu. Biaya tali rafia termasuk dalam perhitungan biaya tunai karena pemakaiannya hanya untuk satu musim tanam.

5. Tenaga kerja

Tenaga kerja yang digunakan dalam proses budidaya buncis organik terdiri dari dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) merupakan tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga dengan tidak dibayar upahnya untuk setiap tenaga yang dikeluarkan, sedangkan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) adalah tenaga kerja yang diberi upah untuk tenaga yang dikeluarkan sesuai dengan jumlah hari kerja yang dikontribusikan. Tenaga kerja dalam budidaya buncis organik terdiri dari tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Satuan tenaga kerja pria disebut dengan HKP dan satuan tenaga kerja wanita disebut HKW. Jam kerja petani di Desa Cisondari adalah pukul 07.00 hingga pukul 12.00 atau selama 5 jam yang setara dengan 5/8 HOK standar atau 0,625 HOK. Meskipun jumlah jam kerja antara pria dan wanita sama namun terdapat perbedaan upah. Upah tenaga kerja perempuan pada budidaya buncis organik berkisar Rp14.000 sampai Rp17.500 per HOK dengan rata-rata upah Rp16.000 per HOK, dan tenaga kerja laki-laki Rp17.500 sampai Rp25.000 per HOK dengan rata-rata upah Rp21.650 per HOK. Sedangkan pada budidaya buncis non-organik upah tenaga kerja perempuan berkisar R15.000 sampai Rp20.000 dengan rata-rata upah Rp19.100 per HOK, dan upah tenaga kerja laki-laki berkisar Rp20.000 sampai Rp30.000 per HOK dengan rata-rata upah Rp25.740 per HOK. Hal tersebut menunjukan bahwa upah rata-rata tenaga kerja pada buncis non- organik lebih tinggi dari pada upah tenaga kerja pada buncis organik.

Perbedaan upah tersebut dilakukan karena hasil pekerjaan laki-laki dan perempuan dalam 1 HKP dan 1 HKW berbeda. Untuk menyetarakan antara HKP dan HKW maka penghitungan dilakukan dengan mengkonversi kedalam HKP dan HKW. Berdasarkan standar pada umumnya 1 HKP setara dengan 0,8 HKW. Tabel 25 menunjukan rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis non-organik dalam HOK per 1000 m2 per musim tanam.

Tabel 25 Rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis non-organik dalam HOK per 1000 m2 per musim tanam

Tahapan Budidaya Buncis Organik Buncis Konvensonal

TKDK TKLK Jumlah TKDK TKLK Jumlah

Pengolahan lahan 7.80 11.20 19.00 6.56 7.46 14.02

Penanaman 0.71 0.72 1.43 1.05 0.41 1.46

Pembesihan gulma dan

pemasangan ajir 1.78 3.38 5.16 3.19 2.51 5.70 Penyemprotan Pestisida nabati 0.38 0.00 0.38 1.02 0.10 1.12 Pemanenan 1.72 1.93 3.65 1.54 2.27 3.81 Total 12.39 17.23 29.62 13.36 12.75 26.11 a

Tabel 25 menunjukan terdapat 5 tahapan budidaya buncis organik yaitu pengolahan lahan, penanaman, pemasangan ajir dan pembersihan gulma, penyemprotan pestisida nabati dan panen. Berdasarkan Tabel 25 jumlah total tenaga kerjas pada buncis organik lebih besar dibandingkan pada buncis non- organik yaitu 29.62 HOK untuk buncis organik dan 26.11 HOK untuk buncis non-organik. Hal tersebut disebabkan karena pada buncis organik dibutuhkan tenaga kerja yang lebih intensif dibandingkan dengan buncis non-organik. Jumlah TKLK pada budidaya buncis organik lebih besar dari jumlah TKDK, sedangkan pada budidaya buncis non-organik jumlah TKDK lebih banyak dari jumlah TKLK. Hal tersebut karena rata-rata petani buncis organik di Desa Cisondari berada pada usia 30-40 tahun dimana pada usia tersebut, keluarga petani tergolong keluarga muda yang usia keturunannya kategori anak dan balita, sehingga tidak dapat terlalu banyak melibatkan anggota keluarga. Sedangkan sebagian besar petani buncis non-organik di Desa Cisondari berusia 41-50 tahun dimana usia keturunan yang dimiliki sudah bisa untuk membantu pekerjaan di kebun.

Pada budidaya buncis organik maupun buncis non-organik tenaga kerja wanita sangat berperan pada pemanenan karena pada tahap budidaya itu membutuhkan ketelatenan dan tergolong pekerjaan yang lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan pada tahapan budidaya lainnya. Selain itu tenaga kerja wanita juga banyak dilibatkan pada pembersihan gulma dengan menggunakan tangan. Pada tahap pembersihan gulma dan pemasangan ajir tenega kerja pria bertugas melakukan pengguludan dan memasang ajir. Sedangkan pada tahapan budidaya pengolahan lahan, penanaman, dan penyemprotan pestisida tenaga kerja pria lebih banyak berperan. Perhitungan biaya tenaga kerja terbagi ke dalam dua komponen biaya yaitu TKDK termasuk kedalam komponen biaya diperhitungkan, dan TKLK teramsuk dalam biaya tunai.

6. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan budidaya buncis organik dan buncis non-organik adalah cangkul, arit atau parang, tugal, ember dan handsprayer

(alat semprot pestisida) dan peralatan tambahan pada buncis non-organik berupa kemasan plastik atau karung. Cangkul digunakan untuk mengolah lahan seperti menggali, meratakan tanah, membuat bedenganan atau guludan dan membuat parit kecil. Arit atau parang digunakan untuk meraut ajir atau bambu dan untuk menebang tanaman buncis pada saat panen terahir selesai. Tugal adalah tongkat kayu berujung runcing sebagai alat pelubang tanah pada saat membuat lubang tanaman sebelum menanam benih. Di Desa Cisondari

tugal dikenal dengan istilah “aseuk”. Ember berfungsi untuk menampung hasil

panen yang sudah dipetik sebelum dikemas di dalam plastik atau karung.

Handsprayer merupakan alat yang digunakan untuk menyemprotkan pestisida alami kepada tanaman buncis organik.

Pada perhitungan usahatani peralatan yang akan dihitung nilai penyusutannya adalah cangkul, parang, ember, da handsprayer karena dapat digunakan lebih dari satu tahun. Sedangkan tugal dan plastik tidak dihitung sebagai biaya penyusutan karena tugal dibuat dari kayu batang pohon ketika akan membuat lubang tanam dan setelah selesai langsung dibuang. Sedangkan plastik termasuk kedalam biaya tunai dengan biaya Rp1.000 per lembar. Tabel 26

menunjukan rata-rata nilai penyusutan masing-masing peralatan dalam budidaya buncis organik.

Tabel 26 Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam budidaya buncis organika

Peralatan Jumlah Harga Beli Umur Ekonomis (Rp) Penyusutan per tahun (Rp) Penyusutan permusim (Rp/2,5 bulan) Parang 2 55 000 5 22 000 4 583.33 Cangkul 2 70 000 5 28 000 5 833.33 Handsprayer 1 470 000 10 47 000 9 791.67 Ember 2 20 000 2 20 000 4 166.67

Nilai Penyusutan Total 24 375.00

a

Sumber: Diolah dari data primer

Tabel 26 menunjukan umur ekonomis dari cangkul dan parang sama yaitu 5 tahun, sedangkan handsprayer memiliki umur ekonomis selama 10 tahun, dan ember 2 tahun. Harga beli parang adalah Rp55.000, cangkul Rp70.000, handsprayer Rp470.000 dan ember Rp20.000 per buah. Harga tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga peralatan yang diperoleh oleh petani buncis non-organik. Harga cangkul pada petani buncis non-organik sebesar Rp34.318, parang Rp57.727, handsprayer Rp259.091 dan ember Rp10.652. Meskipun harga perolehan peralatan berbeda pada petani buncis organik dan non-organik namun umur ekonomisnya sama. Tabel 26 menunjukan nilai rata- rata penyusutan peralatan dalam satu musim tanam buncis non-organik. Tabel 27 Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam buncis

non-organika

Peralata

n Jumlah Harga Beli

Umur Ekonomis Penyusutan per tahun (Rp/tahun) Penyusutan Permusm (2,5 bulan) Cangkul 1 34 318 5 572 1 430 Parang 1 57 727 5 962 2 405 Hand- sprayer 1 259 091 10 2 159 5 398 Ember 2 10 652 2 888 2 219

Total Penyusutan Peralatan 11 452

a

Sumber: Dioal dari data primer

Tabel 26 dan Tabel 27 menunjukan bahwa nilai penyusutan permusim tanam berbeda-beda total seluruh penyusutan adalah Rp24.375 pada budidaya buncis organik lebih besar dari nilai penyusutan pada buncis non-organik yaitu Rp11.452 per musim tanam. Pada perhitungan usahatani biaya penyusutan

Dokumen terkait