• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN TATANIAGA BUNCIS

ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK DI DESA CISONDARI,

KECAMATAN PASIRJAMBU, KABUPATEN BANDUNG

RADEN INTAN WIYANTI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Raden Intan Wiyanti

(4)

ABSTRAK

RADEN INTAN WIYANTI. Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh TINTIN SARIANTI.

Pertanian organik adalah jawaban tepat dalam pola hidup pangan sehat dan kelestarian lingkungan yang permintaannya cenderung meningkat dan harga jualnya relatif lebih tinggi dari sayuran non-organik dengan buncis sebagai komoditas potensial. Desa Cisondari merupakan salah satu Desa di Kabupaten Bandung yang membudidayakan buncis secara organik dan non-organik, namun populasi jumlah petani buncis organik lebih kecil daripada petani buncis non-organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan keragaan, pendapatan usahatani dan rasio R/C buncis organik dan buncis non-organik; menganalisis alur tataniaga, lembaga yang terlibat, fungsi tataniaga, struktur dan perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan konvesional,; serta menganalisis efisiensi tataniaga ditinjau dari margin tataniaga, farmer’s share dan π/c rasio pada tataniaga buncis organik dan buncis non-organik. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keragaan buncis organik dan buncis non-organik berbeda dari input, beberapa tahapan budidaya, dan output. Pendapatan usahatani dan rasio R/C dari buncis non-organik lebih menguntungkan dari pada buncis organik karena tproduktivitas yang rendah dan tingkat afkir yang tinggi. Terdapat satu saluran tataniaga pada buncis organik dan enam saluran tataniaga pada buncis non-organik. Saluran yang lebih efisien pada tataniaga buncis organik adalah saluran III, dan saluran VI pada tataniaga buncis non-organik.

Kata kunci: analisis usahatani, analisis tataniaga, buncis, anorganik, organik

ABSTRACT

RADEN INTAN WIYANTI. Analysis of Farm Income and Marketing of Organic Fine Bean and Anorganic Fine Bean (Case in Cisondari Village, Pasir Jambu, Bandung District). Supervised by TINTIN SARIANTI

As one of the best alternative for healthy lifestyle and sustainable environment, organic farming is increasingly demanded and the sell price is quite higher than anorganic vegetables. Among the organic farming system vegetables in Indonesia, one of them is fine beans produced in Cisondari Village. Cisondari Village is located in Bandung District and cultivated with both organic and anorganic system, though the number of anorganic farmers are higher than the organic one. The aims of this research are to analyze and compare the variability, income of fine beans farming, and R/C ratio in both organic and anorganic system; to analyze the flow of marketing channel and institutions

involved in the trading system; and to analyze the margin trading system, the farmer’s share, and π/c ratio on organic and anorganic fine beans marketing. The result of this research concluded that the variabilities of both organic and anorganic fine beans are different in the input, output, and multiple stages of cultivation. Farm income and the ratio of R/C on anorganic fine beans have more benefits than the organic one. There are 3 marketing channels in organic trading system and 6 marketing channels in anorganic. The most efficient margin channel on organic fine beans trading system is the 3rd channel and the 4thchannel in anorganic one.

(5)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013 Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

RADEN INTAN WIYANTI

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN TATANIAGA

BUNCIS ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK

DI DESA CISONDARI, KECAMATAN PASIRJAMBU,

(6)
(7)

Nama NIM

dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung

Raden Intan Wiyanti H34090079

Disetujui oleh

Tintin Sarianti, SP, MM Pembimbing

Diketahui oleh

MS

(8)

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung

Nama : Raden Intan Wiyanti NIM : H34090079

Disetujui oleh

Tintin Sarianti, SP, MM Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan judul

Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Tintin Sarianti selaku pembimbing. Ibu Ratna Winandi selaku dosen penguji utama dan Ibu Juniar Atmakusumah selaku komisi pendidikan atas saran dan masukannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Wahyudin, Serta Bapak Tohir sekeluarga dari Desa Cisondari, seluruh petani responden di Desa Cisondari, dan seuluruh staff Kelurahan Cisondari yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda (Suriswa Tirtakusumah), ibunda (Nenni Darniawati), seluruh keluarga (Ranu Kusumah, Dewi Puspasari, Putri Pratiwi, Tante Ade Leliana, Viqi Aminazora) dan seluruh sahabat (Tedi Aditia Lesmana, Nazar Alhaddad, Taufik Hidayat, Wiggo Windi R, Khonsa Tsabita, Faathira Ajeng P, Chairun Nisa, Gitta Sestika F, Fadhilla Ananda, Intan Mega Puspita, Asri Nurfitriani, Mega Pratiwi, Nurma Yuliawati, Melisa A, Cynthia Mawarnita, Restu Rahmana P, Lintang Satrio, Nur Cahaya, Lusi Dara Mega, Khoirunnisa Cahyamurti, Aisya Nadhira, Lutfhan Hadhi, Indra Lasmana, Wahid Nurwahyudin, Achmad Fachruddin, Anindita Sita Dewi, Wahyu Widjiwati, Rr Siti Marsha, Glerina, Mirna, Arya Panji W), keluarga besar Agribisnis 46, Keluarga Besar BEM FEM IPB Kabinet Sinergi dan Kabinet Progresif atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 11

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Pengertian Pertanian Organik 6

Pertanian Non-organik 8

Gambaran Umum Buncis 8

Kajian Analisis Pendapatan Usahatani 11

Kajian Analisis Tataniaga 13

KERANGKA PEMIKIRAN 14

Konsep Usahatani 14

Konsep Tataniaga 19

Kerangka Pemikiran Operasional 25

METODE PENELITIAN 28

Lokasi dan Waktu Penelitian 28

Jenis dan Sumber Data 28

Metode Pengumpulan Data 28

Metode Pengolahan Data 29

Analisis Pendapatan Usahatani 29

Analisis Tataniaga Buncis Organik dan Konvensonal 30

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 32

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS ORGANIK DAN

BUNCIS NON-ORGANIK 40

Keragaan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Konvensonal 40 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Buncis Organik dan Buncis

Non-organik 53

ANALISIS TATANIAGA BUNCIS ORGANIK 58

ANALISIS TATANIAGA BUNCIS NON-ORGANIK 67

SIMPULAN DAN SARAN 81

Simpulan 81

Saran 83

DAFTAR PUSTAKA 84

(11)

x

DAFTAR TABEL

1.

Nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun

2007-2010 2

2.

Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun

2005-2009 3

3.

Data konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008 3

4.

Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012 4

5.

Kandungan buncis berdasarkan DKBM 11

6.

Karakteristik struktur pasar 22

7.

Kondisi dan perilaku pasar berdasarkan struktur pasar 22

8.

Komponen analisis pendapatan usahatani 30

9.

Luas lahan berdasarkan pemanfaatan di Desa Cisondari 33

10.

Jumlah penduduk menurut kelompok usia di Desa Cisondari 33

11.

Tingkat pendidikan penduduk di Desa Cisondari 34

12.

Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cisondari 34

13.

Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan

jenis kelamin (jiwa) 35

14.

Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik responden

berdasarkan umur (jiwa) 36

15.

Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan

pendidikan terahir (jiwa) 36

16.

Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan

status bertani (jiwa) 37

17.

Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan

lama pengalaman bertani (jiwa) 37

18.

Sebaran petani buncis organik dan non-organik responden berdasarkan

status kepemilikan lahan (jiwa) 38

19.

Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan

luas lahan garapan (jiwa) 38

20.

Karakteristik responden pedagang perantara buncis non-organik 39

21.

Jumlah penggunaan pupuk organik pada petani buncis organik 41

22.

Jumlah penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organik 42

23.

Perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan non-organik 43

24.

Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani responden buncis

non-organik untuk pestisida per 1000 m2 musim tanam 45

25.

Rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis

non-organik dalam hok per 1000 m2 per musim tanam 46

26.

Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam budidaya

buncis organika 48

27.

Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam buncis

non-organik 48

28.

Perbandingan komponen penerimaan buncis organik dan buncis
(12)

29.

Komponen biaya buncis organik dan buncis non-organik 55

30.

Perbandingan penerimaan, biaya, pendapatan, dan rasio R/C pada buncis

organik dan buncis non-organik dalam 1000 m2/musim tanam 57

31.

Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis organik di

Desa Cisondari 59

32.

Biaya, keuntungan, dan marjin lembaga tataniaga buncis organik di Desa

Cisondari (Rp/kg) 64

33.

Farmer’s share yang didapatkan petani buncis organik di Desa Cisondari 65 34. Rasio Π/c lembaga tataniaga buncis organik pada masing-masing saluran 66 35. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis non-organik 71 36. Farmer's share buncis non-organik pada saluran I-VI 77

37.

Marjin tataniaga, dan rasioa π/c pada tataniaga buncis non-organik di Desa

Cisondari 79

DAFTAR GAMBAR

1. Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi 17

2. Marjin pemasaran 24

3. Kerangka pemikiran operasional 27

4. (a) foto pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu responden di

Desa cisondari (b) rincian gambar ajir 45

5. Gambar pola jarak tanam dan jarak bedeng buncis organik dan buncis

konvensinal di Desa Cisondari 50

6. Foto dokumentasi pemanenan buncis organik di Desa Cisondari yang

dilakukan oleh tenaga kerja perempuan 52

7. (a) dan (b) buncis afkir, (c) buncis lolos sortir 53 8. Saluran tataniaga buncis organik lolos sortir di Desa Cisondari 58 9. Saluran tataniaga I-VI buncis non-organik di Desa Cisondari 70

DAFTAR LAMPIRAN

1. Produksi sayuran tahun 2007 - 2011 kabupaten dan kota di Jawa Barat

menurut komoditi: buncis dalam ton 86

2. Resep pestisda alnami yang digunakan petani responden buncis organik 86 3. Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis organik di Desa Cisondari

(1000 m2/ musim tanam) 87

4. Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis non-organik di Desa Cisondari

(1000 m2/ musim tanam) 88

5. Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis organik (Rp/kg) 89 6. Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis non-organik

(Rp/kg) 91

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan zaman menuntut pola hidup masayarakat untuk semakin peduli terhadap keamanan dan kesehatan pangan. Kepedulian tersebut salah satunya ditunjukan dengan adanya perubahan gaya hidup dalam pemilihan kualitas makanan. Gaya hidup masyarakat yang mengutamakan kesehatan dan keamanan pangan salah satunya dibuktikan dengan memilih bahan pangan yang memiliki residu kimia kecil bahkan produk yang alami. Pertanian organik adalah salah satu jawaban tepat dalam pangan yang sehat dan aman karena secara prinsip pertanian organik merupakan pertanian yang sistem budidayanya tidak menggunakan input berbahan kimia sintetik seperti pupuk, pestisida, serta zat penumbuh lainnya (Pracaya 2012). Pergesaran gaya hidup tersebut merupakan sebuah peluang yang dimanfaatkan oleh unit bisnis dan sebagian petani di Indonesia untuk berbudidaya secara organik.

Selain karena pergeseran gaya hidup yang lebih mengutamakan pangan sehat, pertanian organik pun telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2001 melalui program Go Organic 2010. Tujuan program tersebut adalah untuk mengahasilkan pangan aman, sehat, dan berkualitas, meningkatkan pendapatan petani karena adanya efisiensi pemanfaatan sumber daya dan nilai tambah produk (Deptan, 2007). Tujuan lainnya adalah Indonesia menjadi pemain penting di pasar komoditas pertanian organik dunia karena permintaan dunia yang cenderung meningkat terhadap produk pertanian organik. Menurut laporan FAO (Food and Agriculture Organization) diacu dalam Scialabba (2005), selama tahun 1995-2004 sektor pertanian organik mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 15-20 persen per tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan Sahota (2003) dan (2007) diacu dalam Saragih (2010) menunjukan bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan penjualan pertanian organik tingkat internasional yang cukup signifikan. Rata-rata pertumbuhan penjualan pada tahun 2002 sekitar 7-9 persen per tahun. Tahun 2004-2005 pertumbuhan penjualan mencapai 16% per tahun. Jika dibandingkan setiap tahunnya maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan penjualan dari tahun 2002 sampai tahun 2005. Total penjualan global pada tahun 2005 sebesar US$33 milyar. Kebijakan tersebut merupakan salah satu peluang besar untuk mengembangkan pertanian organik di Indonesia

(15)

retailer organik hanya sekitar 10 buah maka pada tahun 2007 angka tersebut sudah lebih dari 20 buah (Surono 2007, dalam Saragih 2008).

Produk pertanian organik yang dikembangkan di Indonesia diantaranya sayuran, buah-buahan, dan padi. Salah satu komoditas yang jenisnya paling banyak dikembangkan secara organik adalah sayuran. Di sisi lain sayuran merupakan kelompok komoditi hortikultura yang menyumbangkan persentase PDB kedua terbesar setelah komoditi buah-buahan. Berikut data nilai PDB hortikultura tahun 2007-2010 pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai PDBa hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun 2007-2010b

Kelompok komoditas

Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2007 2008 2009 2010

Buah-buahan 42.362 47.060 48.437 45.482

Sayuran 25.587 28.205 30.506 31.244

Tanaman Hias 4.741 5.085 5.494 6.174

Biofarmaka 4.105 3.853 3.897 3.665

Total Hortikultura 76.795 84.203 88.334 86.565

a

Produk Domestik Bruto.; bSumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 1 menunjukan bahwa PDB yang dihasilkan sayuran merupakan PDB kedua terbesar dalam hortikultura, selain itu terjadi peningkatan tiap tahunnya dari tahun 2007 hingga tahun 2010. Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa tanaman sayuran merupakan komoditi agribisnis yang potensial di kembangkan di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan 2010 terdapat pertumbuhan konsumsi sayuran (gram/kapita/hari), meskipun tahun 2009 mengalami penurunan dari 2008 namun secara garis besar memiliki kecenderungan meningkat dengan laju pertumbuhan konsumsi 0,59 persen dari 2005 sampai dengan 20091.

1

(16)

Tabel 2 Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun 2005-2009a

Jenis Pangan 2005 2006 2007 2008 2009 Laju

(%/th) Sumber Energi

Beras 288.30 285.04 274.03 287.26 280.06 -0.5

Jagung 9.09 8.34 11.55 8.02 6.07 -7.38

Terigu 2303 22.6 31.07 30.72 28.28 6.86

Ubikayu 41.19 34.65 37.09 35.32 26.21 -8.39

Ubijalar 10.87 8.71 6.84 7.60 6.56 -11.99

Sagu & umbi

lainnya 3.13 2.86 3.33 3.15 2.64 -2.28

Sumber Protein

Daging 16.10 12.59 17.13 16.21 15.10 1.05

Telur 16.76 15.9 18.58 17.46 17.45 1.71

Susu 3.86 4.05 6.10 5.84 5.36 9.5

Ikan 50.91 48.67 49.01 50.45 46.83 -1,3

Kedelai 21.33 22.76 23.63 21.01 19.66 -2.35

Sumber Vitamin/ Mineral

Sayur 139.13 139.96 158.26 154.3 136.29 0.59

Buah 86.96 64.71 93.41 87.4 63.2 -3.14

a

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2010)

Meskipun terjadi peningkatan pada konsumsi sayur, namun jumlah konsumsi sayuran belum sesuai dengan anjuran FAO yang diacu dalam Ariani (2010) konsumsi sayuran ideal yaitu 75 kg/tahun/kapita atau setara 205.5 gram/kapita/hari, sedangkan konsumsi sayuran pada tahun 2009 masih 136.29 gram/kapita/hari. Angka tersebut menunjukan adanya kesenjangan antara konsumsi ideal dan data aktual konsumsi sayuran di Indonesia. Sayuran termasuk dalam komoditi 4 besar target pemerintahan untuk dikembangkan secara organik (Deptan, 2007). Hal tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan komoditas sayuran secara organik.

Salah satu komoditi sayuran yang dikembangkan di Indonesia secara organik adalah buncis. Berdasarkan data Kementan (2009) mengenai konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008 pada Tabel 3 pertumbuhan konsumsi buncis menempati urutan ke tiga.

Tabel 3 Data konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008a

Komoditi kg/tahun Pertumbuhan (%)

2006 2007 2008

Bayam 4.38 4.48 4.02 -10.47

Kembang Kol 5.01 4.95 4.8 -3.16

Kol 1.83 1.88 1.93 2.78

Buncis 0.94 0.89 0.94 5.88

Kacang Panjang 4.02 3.81 3.81 0

Tomat 1.17 2.09 22.32 967.33

Mentimun 1.98 2.09 2.09 0

Daun Singkong 4.33 4.75 5.16 8.79

Bawang Merah 2.09 3.01 2.74 -9

Sayuran lain-lain 20.99 23.15 23.1 -0.21

Jumlah 46.74 51.1 70.91 38.76

a

(17)

Tabel 3 menunjukan terjadi peningkatan konsumsi buncis dari tahun 2007-2008 sebesar 5.88 persen. Pertumbuhan konsumsi buncis tersebut menunjukan salah satu peluang untuk dikembangkanya tanaman buncis.

Salah satu sentra sayuran yang memproduksi buncis di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung, dapat dilihat dari ketersedian buncis daerah Jawa Barat pada Lampiran 1. Lampiran 1 menunjukan bahwa Kabupeten Bandung merupakan daerah penghasil buncis ke tiga terbesar setelah Cianjur dan Garut dengan rata-rata sebesar 16.502 ton. Salah satu desa di Kabupaten Bandung yang menghasilkan buncis adalah Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu Ciwidey Kabupaten Bandung. Berdasarkan data dalam Masterplan Pemerintah Kabupaten Bandung tahun 2007 buncis menjadi salah satu dari lima komoditas hortikultura priotitas kawasan Agropolitan Ciwidey, salah satu desa penghasil buncis adalah Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu.

Peluang akan pertumbuhan permintaan sayuran dan program pemerintah

mengenai “Go Organic 2010” tersebut disadari oleh sebagian petani di Desa

Cisondari Kecamatan Pasirjambu dengan melakukan budidaya buncis secara organik, sehingga di Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu buncis dibudidayakan dengan dua sistem pertanian yaitu secara non-organik dan secara organik. Oleh sebab itu peneliti merasa perlu dilakukannya perbandingan analisis pendapatan usahatani untuk mengetahui perbedaaan tingkat pendapatan antara petani buncis organik dan non-organik, serta perbandingan analisis tataniaga buncis organik dan non-organik untuk mengetahui efisiensi operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio π/c yang didapatkan baik oleh petani buncis organik maupun petani buncis non-organik.

Perumusan Masalah

Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu merupakan desa yang salah satu komoditi unggulannya adalah buncis. Komoditi buncis merupakan komoditi yang menempati urutan keenam dalam jumlah produksi tanaman pangan dan hortikultura tahun 2012 di Desa Cisondari, berikut data hasil produksi tanaman pangan tahun 2012 pada Tabel 4. Pada Tabel 4 tercatat bahwa hasil produksi buncis pada tahun 2012 sebanyak 180 ton atau 180000 kg.

Tabel 4 Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012a

Komoditas Produksi (Ton)

Padi sawah 856.00

Ubi kayu 580.00

Tomat 432.00

Kentang 396.00

Sawi 225.00

Buncis 180.00

Jagung 153.00

Kubis 105.00

Ubi jalar 60.00

Padi lading 55.20

Cabe 40.50

Kacang panjang 32.50

a

(18)

Seiring berkembangnya zaman, kesadaran konsumen akan kesehatan pangan semakin meningkat, hal tersebut menyebabkan adanya permintaan terhadap sayuran organik di beberapa ritel khususnya di Bandung. Selain permintaan yang cenderung naik, harga komoditi organik dipasaran lebih tinggi dibandingkan komoditi non-organik. Serta menurut Sutanto (2002) pertanian organik merupakan pertanian yang tidak menggunakan input berbahan kimia, sehingga dapat terjadi penghematan biaya input. Kondisi tersebut menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh sebagian kecil petani buncis Desa Cisondari dengan berbudidaya buncis secara organik. Namun jumlah petani yang berbudidaya buncis secara organik di Desa Cisondari masih tergolong rendah. Menurut beberapa petani yang membudidayakan buncis di Desa Cisondari berbudidaya buncis secara organik memang memiliki pendapatan yang lebih rendah dari berbudidaya buncis secara non-organik, namun beberapa petani buncis organik bertahan karena harga buncis organik cenderung tetap tidak berfluktuasi seperti pada buncis non-organik. Oleh sebab itu perlu dikaji bagaimana pendapatan usahatani pada buncis organik dan buncis non-organik.

Selain itu pada proses penyaluran buncis dari petani hingga konsumen (pemasaran) terdapat perbedaan saluran tataniaga pada buncis organik dan buncis non-organik. Perbedaan saluran tersebut menyebabkan kepuasan yang diterima baik di pihak konsumen dan maupun di pihak petani berbeda. Selain itu lebaga-lembaga tataniaga yang terlibat pun berbeda. Oleh sebab itu perlu dikaji pula bagaimana tataniaga buncis organik dan tataniaga buncis non-organik di Desa Cisondari. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan:

1. Bagaimana keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani dan R/C buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

3. Bagaimana lembaga-lembaga yang terlibat, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, serta perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan buncis konvesional di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

4. Bagaimana efisiensi operasional tataniaga buncis organik dan buncis non-organik di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s sharedan rasio π/c ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis dan membandingkan keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

2. Menganalisis dan membandingkan tingkat pendapatan usahatani dan R/C buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

(19)

4. Menganalisis efisiensi operasional tataniaga berdasarkan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio π/c pada petani buncis organik dan buncis non-organik di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi peneliti, mengetahui perkembangaan pertanian organik dan non-organik khususnya sayuran buncis serta mengaplikasikan ilmu usahatani dan tataniaga yang diberikan diperkuliaahan untuk menganalisis permasalahan 2. Manfaat bagi petani di lokasi penelitian mengetahui tingkat pendapatan

usahatani dan keadaan tataniaga buncis organik dan buncis non-organik 3. Manfaat bagi pembaca adalah menambah pengetahuan dan bisa menjadi

referensi bagi penelitian selanjutnya

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Pertanian Organik

Definisi pertanian organik berasal dari beberapa sudut pandang. Menurut Saragih (2010) definisi pertanian organik dibagi menjadi empat sudut pandang yaitu: (1) menurut regulasi (2) menurut organisasi masyarakat sipil internasional (IFOAM) (3) Filosofis dan (4) Sebagai alat perjuangan. Definisi menurut regulasi pertanian organik adalah proses budidaya yang tata caranya sesuai dengan prosedur standar produksi organik yang telah disahkan oleh pihak-pihak yang mendapat otoritas sertifikasi resmi baik tingkat nasional ataupun internasional tentang pertanian organik yang tertuang dalam Codex Alimentarius Guidlines for The Production, Processing, Labelling and Marketing of Organically Produced Foods. Di Indonesia sendiri yang disebut dengan pertanian organik ditetapkan dengan SNI (Standar Nasional Indoesia) melalui BSN SNI 01-6729-2002.

(20)

mempromosikan penggunaan tanah, air, dan udara secara sehat serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktik-praktik pertanian, (7) Menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan, (8) Dapat diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada melalui suatu periode konversi yang lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi, seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan diproduksi.

Pada awalnya menurut BSN (2002) dalam SNI 6792-2002 untuk mengklaim sebagai produk organik lembaga sertifikasi SNI membedakan pertanian organik kedalam empat jenis label yaitu label biru, label kuning, label hijau organik, dan label hijau organically grown2. Label biru mengindikasikan bahwa proses produksi yang dilakukan sudah bebas dari pestisida sintetik. Label kuning mengindikasikan bahwa proses produksi sedang mengalami masa transisi dari cara bertani yang selama ini menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik. Label hijau organik mengindikasikan bahwa proses produksi yang sudah setara dengan standar SNI. Label hijau organically grown label ini mengindikasikan produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya. Namun setelah mengalami refisi menjadi SNI 6792-2010 pelabelan transisi dihilangkan sehingga yang disebut dengan petanian organik adalah pertanian yang menggunakan input organik tanpa input kimia sintetis yang telah ditentukan.3

Sudut pandang kedua yaitu menurut organisasi masyarakat sipil IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) pertanian organik adalah pertanian yang memiliki empat prinsip yaitu prinsip kesehatan, prinsip ekologi,prinsip keadilan, dan prinsip perlindungan. Sudut pandang ketiga yaitu definisi filosofis bahwa pertanian organik merupakan jalan harmonisasi. Sudut pandang ketiga mendefinisikan pertanian organik dari arti kata “organ” (Inggris),

organo” atau “ergon” (Yunani) yang berarti instrument atau alat untuk

menyelesaikan sesuatu atau “kerja yang menghasilkan kenyataan”. Dalam bahasa

Indonesia organ adalah bagian tubuh yang bekerja saling berhubungan dalam satu tubuh dan bekerja menghasilkan kerja yang harmoni. Oleh sebab itu secara filosofis organik adalah alat untuk mengharmonisasikan kerja semua komponen ekologis. Sudut pandang keempat, pertanian organik adalah sebagai alat perjuangan mengembalikan keseimbangan hayati dengan melawan sistem pertanian intensif penggunaan kimia sintetik yang merusak keseimbagan lingkungan (Saragih, 2010).

Pertanian organik (Organic Farming) adalah suatu sistem pertanian yang mendorong tanaman dan tanah tetap sehat melalui cara pengelolaan tanah dan tanaman yang disyaratkan dengan pemanfaatan bahan-bahan organik atau

2

) Sertifikasi Bertahap Menuju Pertanian Organik. Infomutu September 2002. Berita standardisasi Mutu dan Keamanan Pangan. Buletin Standardisasi dan Akreditasi, Departemen Pertanian 3

(21)

alamiah sebagai input, dan menghindari penggunaan pupuk buatan dan pestisida kecuali untuk bahan-bahan yang diperkenankan4.

Menurut IFOAM tujuan pertanian organik adalah:

1. Menghasilkan bahan pangan berkualitas dan bernutrisi tinggi dalam jumlah yang cukup.

2. Melaksanakan interaksi yang efektif dengan sistem dan daur alami yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.

3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dangan mengaktiflkan kehidupan mikroba, tanah, tumbuhan, dan hewan. 4. Memelihara dan meningkatan kesuburan tanah secara berkelanjutan. 5. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang

mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian.

6. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian pertanian organik secara umum adalah pertanian yang proses budidayanya (produksinya) memaksimalkan input-input alami atau yang berada di sekitar lingkungan dan tidak meggunakan input kimia sintetis untuk mengurangi residu baik dari input kimia ataupun dari polusi air, tanah dan udara, demi menghasilkan produk yang sehat dan lingkungan yang lestari, harmoni dan seimbang.

Pertanian Non-organik

Pertanian non-organik adalah pertanian yang menggunakan input kimia serta aplikasi mesin dan alat pertanian modern untuk menghasilkan hasil panen yang maksimal. Pertanian non-organik lahir pada saat Revolusi Hijau dengan tujuan program intensifikasi pertanian agar hasil tanaman pangan khususnya padi meningkat hingga menempuh swasembada, dengan menggunakan input-input kimia sintetis Saragih (2010). Namun, hal tersebut merubah pola kebiasaan petani dari traisional menjadi modern atau semi modern hingga saat ini, tidak hanya padi tetapi untuk seluruh jenis tanaman pertanian pada umumnya. Perubahan tersebut dicirikan dengan pemakaian input dan intensifnya eksploitasi lahan. Dampak tersebut salah satunya disebabkan karena penanaman varietas unggul yang responsif terhadap pemupukan dan resisten terhadap penggunaan pestisida dan herbisida. Berubahnya pola pertanian ini diikuti oleh berubahnya kondisi lahan pertanian yang menjadi kritis sebagai dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik, pestisida, dan herbisida serta tindakan agronomi yang intensif dalam jangka panjang.

Gambaran Umum Buncis

Buncis (Phaseolus vulgaris) berasal dari bahasa belanda yaitu “boontjes”.5

Buncis adalah tanaman sayuran yang dikonsumsi dalam bentuk polong. Buncis

4

IASA (1990) dalam Litbang Deptan

(22)

pertama kali berasal dari negara Meksiko Tengah dan Amerika Selatan. Buncis yang dibudidayakan di Indonesia terdiri dari beberapa varietas yang secara umum dibagi menjadi dua yaitu buncis dengan pohon yang melilit dan buncis dengan pohon yang tegak. Taksonomi buncis (Rukmana, 1994):

Divisi : Spermatophyta (tanaman berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (Biji berada di dalam buah) Kelas : Dicotiledoneae

Ordo : Leguminales

Famili : Leguminoceae

Subfamili : Papilionaceae

Genus : Phaseolus

Species : Phaseolus vulgaris

Buncis memiliki akar yang tunggang dan serabut. Akar tunggang buncis masuk ke dalam tanah hingga kedalaman 11-15 cm, sedangkan akar serabutnya tumbuh menyebar horizontal dan tidak dalam. Perakaran buncis tidak tahan terhadap genangan air (tanah becek).

Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat dengan diameter hanya beberapa milimeter, berbulu atau berambut halus-halus, lunak tetapi cukup kuat. Ruas-ruas batang mengalami penebalan, batang bercabang menyebar merata sehingga tampak rimbun, warna batang berwarna hijau ada pula yang berwarna ungu (Cahyono, 2003).

Daun tanaman buncis berbentuk bulat lonjong, ujung runcing, tepi daun rata, berbulu atau berambut sangat halus, dan memiliki tulang-tulang menyirip. Kedudukan daun tegak agak mendatar dan bertangkai pendek. Setiap cabang tanaman terdapat tiga daun yang kedudukannya berhadapan. Ukuran daun buncis bervariasi bergatung varietasnya dengan lebar berukuran 6-7.5 cm da panjang 7.5-9 cm. Sedangkan daun yang berukuran besar memiliki ukuran lebar 10-11 cm dan panjang 11-13 cm (Cahyono, 2003).

Bunga tanaman buncis merupakan bunga sempurna (berkelamin ganda), berbentuk bulat panjang (silindris) dengan ukuran panjang 1.3 cm dan lebar 0.4 cm, kelopak bunga berjumlah 2 buah pada bagian pangkal bunga berwarna hijau, dan tangkai bunga sepanjang 1 cm. Mahkota bunga buncis memiliki warna beragam ada yang kuning, ungu, hijau keputih-putihan, ungu muda dan ungu tua bergantung varietasnya. Jumlah mahkota bunga sebnyak 3 buah dengan 1 mahkota berukuran lebih besar dari lainnya. Bunga buncis merupakan malai (panicle) yang kemudian akan tumbuh tunas-tunas atau cabang (Cahyono, 2003). Polong buncis memiliki bentuk dan ukuran bervariasi bergantung pada varietasnya. Ada yang berbentuk pipih dan lebar yang panjangnya lebih dari 20 cm, bulat lurus dan pendek kurang dari 20 cm, serta berbentuk silindris agak panjang 12-20 cm. Warna polong pun beragam ada yang berwarna hijau tua, ungu, hijau keputih-puthan, hijau terang, hijau pucat dan hijau muda. Polong buncis memilki struktur halus, tekstur renyah, ada yang berserat dan tidak, serta ada yang bersulur pada ujung polong dan ada yang tidak. Polong tersusun bersegmen-segmen, jumlah biji dalam satu polong bervariasi 4-14 butir per polong bergantung panjang buncis.

5

(23)

Biji buncis memiliki warna yang bervariasi bergantung varietas, memiliki rasa hambar dan akan mengeras jika umur buncis semakin tua. Biji buncis berukuran lebih besar dari kacang pada umumnya dan berbentuk bulat, lonjong dengan bagian tengah (mata biji) sedikit melengkung (cekung), berat biji buncis berkisar antara 16-40.6 gram per 100 biji bergantung varietas.

Pada umumnya varietas buncis (benih buncis) yang kini beredar di pasaran merupakan introduksi dari negara penghasil benih unggul seperti negara Taiwan, Belanda, Australia, Hawai, dan negara lainnya. Buncis-buncis tersebut diantaranya varietas green coat, purple coat, gypsy, Early Bush, lebat-1, hawkesburu wonder, richgreen, monel, spurt, strike. Disamping varietas-varietas tersebut terdapat varietas yang dapat menghasilkan buncis hingga 20 ton/ha seperti varietas babud (varietas lokal bandung), varietas lokal Surakarta, varietas Taipei No.2, Goldrush, flo,farmer early, green leaf dan masih banyak varietas lainnya. Pada penelitian ini varietas yang digunakan petani responden pada umumnya adalah varietas lokal Bandung (babud) petani biasanya menyebutnya dengan sebutan varietas lokal (Cahyono, 2003).

Tanaman buncis dapat tumbuh dengan produktivitas baik pada keadaan suhu 20o-25oC, suhu lebih dari 25oC dapat menyembakan produktivitas rendah bahkan polong tidak berisi karena suhu terlalu panas sehingga tanaman mudah kering karena penguapan dan juga dapat menyebabkan bentuk polong pendek dan bengkok. Sedangkan suhu rendah (atau dibawah 20oC) menghambat pertumnbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman. Tanaman buncis dapat tumbuh maksimal dalam kelembaban udara dan kelembaban tanah sedang (cukup kering) berkisar antar 50-60 persen. Keadaan angin untuk tanamana buncis adalah angin yang tenang dan tidak sering terjadi angin kencang, karena angin kencang dapat mempengaruhi laju transpirasi dan kesuburan tanah. (Cahyono, 2003)

Buncis tumbuh pada ketinggian 1000 – 1500 M dpl, jenis tanah andosol dan regosol serta Ph tanah 5,5 – 6. Tanaman buncis menghendaki iklim dan musim peralihan, tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam pada akhir musim hujan atau menjelang musim kemarau, di samping itu buncis juga menghendaki cahaya matahari yang langsung (cukup terbuka)6.

Berdasarkan DKBM7 kandungan buncis dalam URT 1 buah kriteria sedang dengan bobot 10 gram adalah pada Tabel 5 dibawah ini:

6

http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1703

7

(24)

Tabel 5 Kandungan buncis berdasarkan DKBMa Kandungan Jumlah Satuan

BDD 90 %

Energi 35 Kal

Protein 24 G

Lemak 0.2 G

Karbohidrat 7.7 G

Kalsium 6.5 Mg

Fosfor 4.4 Mg

Besi 1.1 Mg

Vit A 95 RE

Vit C 19 mg

Air 88.9 G

a

Sumber: DKBM7

Selain kandungan di atas buncis mengandung lutein, beta-karoten, violaxanthin, dan neoxanthin dalam buncis, meskipun berwarna hijau, buncis menyediakan sejumlah karotenoid yang biasanya hadir pada sayuran berwarna seperti wortel dan tomat. Kandungan fitonutrien dalam buncis termasuk berbagai

karotenoid dan flavonoid yang memiliki efek antioksidan kuat. Serta Serat Buncis juga baik untuk pencernaan dalam penyerapan nutrisi (Mari Makan Buncis 2012). Menurut Andayani (2003) Buncis mengandung zat yang bersifat antihiperglikemik

berupa β-sistosterol dan stigmasterol dalam komposisi tertentu, kandungan tersebut dapat menurunkan kadar gula dalam darah sehingga dapat dijadikan sebagai herbal alternatif bagi penderita Diabetes terutama pada Diabetes tipe-2. Menurut Askandar (1993) yang diacu dalam Andayani (2003) pengonsumsian buncis 600 gram/hari selama 7 hari pada diet diabetes selain dapat menurunkan gula darah juga menurunkan kolesterol dan trigliserida.

Kajian Analisis Pendapatan Usahatani

Tujuan utama dari kegiatan bisnis adalah mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil produksi, begitu juga kegiatan bisnis pada subsektor agribisnis atau usahatani. Salah satu parameter keberhasilan suatu usahatani adalah pendapatan usahatani yang pada umumnya digunakan untuk merepresentasikan kesejahteraan petani dari usaha komoditi yang dijalankan.

(25)

kepemilikan lahan yaitu petani pemilik lahan dan petani penyewa lahan. Sedangkan Nafis (2011) meneliti tentang padi organik dengan membandingkan pendapatan usahatani padi berdasarkan kepemilikan sertifikasi yaitu petani padi organik bersertifikasi dan petani padi non-sertifikasi.

Pendapatan usahatani merupakan selisih dari penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Sehingga untuk mengetahui pendapatan usahatani perlu mengidentifikasi penerimaan dan biaya-biaya dalam proses budidaya tersebut. Pada Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011) komponen penerimaan merupakan hasil penjualan yaitu hasil produksi rata-rata dikali dengan harga jual rata-rata, namun pada Sitanggang (2008) terdapat unsur pengurang pada hasil produksi berupa tingkat kerusakan bawang daun sebesar 10 % dari total. Komponen biaya usahatani pada umumnya di bedakan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Pada penulis-penulis terdahulu biaya tunai umumnya adalah input fisik yang digunakan dalam proses budidaya, tenaga kerja luar keluarga dan sewa peralatan budidaya yang digunakan namun tidak dimiliki sendiri (sewa), sedangkan untuk biaya yang diperhitungkan seperti input fisik pertaian yang dapat dibuat sendiri, tenaga kerja dalam kluarga, dan penyusutan peralatan pertanian yang dimiliki sendiri. Pada Hidayat (2010) bibit jambu getas merah merupakan komponen biaya yang diperhitungkan karena bibit dibuat sendiri oleh petani dari hasil cangkokan. Sedangkan pada Suroso (2006) pupuk kandang yang digunakan sebagai pupuk dasar masuk ke dalam biaya yang diperhiitungkan karena penggunaannya hanya satu tahun satu kali untuk tiga kali musim tanam.

Ukuran efisiensi pendapatan usahatani dapat dilihat dari rasio R/C atau penerimaan persatuan biaya. Penghitungan R/C dihitung pada pendapatan usahatani terhadap biaya tunai dan pendapatan usaha tani terhadap biaya total. Suatu usahatani dapat dikategorikan usahatani yang menguntungkan apabila nilai R/C >1. Pada Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011) hasil R/C pada dua sampel pembanding baik R/C terhadap biaya tunai maupun R/C pada biaya total bernilai diatas satu (R/C>1), sehingga hasil pada penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan kegiatan usahatani pada komoditi masing-masing sama-sama menguntungkan. Namun terjadi perbedaan besaran R/C seperti pada Sitanggang (2008). Hasil penelitian Sitanggang (2008) menyatakan bahwa R/C (tunai dan total) bawang daun organik lebih besar dari pada R/C bawang daun anorganik baik pada luasan lahan 1 ha ataupun 0,3. Hasil Suroso (2006) R/C pada petani jagung berlahan luas lebih besar dibandingkan dengan petani jagung berlahan sempit karena biaya produksi pada lahan sempit lebih besar dari pada lahan luas. Hasil penelitian Hidayat (2010) R/C petani jambu getas merah pemilik lahan lebih besar dari pada R/C petani penyewa lahan. Nafis (2011) R/C pada petani padi organik bersertifikasi lebih besar dari pada petani padi organik non-sertifikasi, hal terebut karena harga jual beras tersertifikasi lebih mahal dari pada yang non-sertifikasi.

(26)

adalah pada komoditi yang diamati dan tempat penelitian yang berada yaitu di Desa Cisondari Kecamatan Pasir Jambu Ciwiday Kabupaten Bandung.

Kajian Analisis Tataniaga

Tataniaga merupakan proses mengalirnya suatu produk agribisnis dari produsen (petani) hingga konsumen melalui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis tataniaga merupakan salah satu cara untuk mengetahui bagaimana aliran suatu komoditi dapat sampai di tangan konsumen. Peneliti-peneliti terdahulu yang melakukan analisis tataniaga diantaranya adalah Nafis (2011), Hidayat (2010), Meryani (2008), dan Prihatin (2012). Metode penelitian tataniaga umumnya dilakukan secara snowball sampling yaitu teknik observasi dengan mengikuti alur pertama untuk mengetahui responden berikutnya. Tahap pertama yang teridentifikasi dalam analisis tataniaga adalah saluran tataniaga. Jumlah saluran tataniaga beragam tergantung dari komoditi dan lembaga yang terlibat. Nafis (2011) meneliti komoditi padi organik dengan membandingkan antara padi tersertifikasi dan non-sertifikasi menemukan 6 saluran pada padi organik tersertifikas dan 2 saluran pada padi non-sertifikasi. Hidayat (2010) meneliti tataniaga jambu getas merah menemukan 4 saluran tataniaga. Ada pula saluran yang berbeda akibat adanya grading sperti pada penelitian Meryani (2008) yang meneliti tataniaga kedelai, terdapat 2 saluran tataniaga pada kedelai polong muda dan 5 saluran pada kedelai polong tua. Sedangkan Prihatin (2012) menemukn 5 saluran tataniaga pada komoditas kobis di daerah penelitianya.

Saluran tataniaga terbentuk dari lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, lembaga tataniaga adalah pelaku tataniaga yang melakukan fungsi tataniaga. Umumya lembaga tataniaga terdiri dari petani sebagai produsen, kemudian pedagang perantara seperti pengumpul, grosir, dan pengecer, serta agen. Pada Hidayat (2010) pedagang pengumpul dibedakan menjadi dua jenis pengumpul yaitu pengumpul lokal sebagai pengumpul I dan pengumpul non lokal sebagai pengumpul II. Hal tersebut membuktikan bahwa saluran tataniaga dapat dibentuk pula oleh wilayah jangkauan pemasaran.

Struktur pasar pada tataniaga dapat dibentuk oleh masing-masing lembaga tataniaga berdasarkan jumlah pembeli,penjual, informasi, dan sulit mudahnya keluar masuk pasar. Menurut Hidayat (2010) struktur pasar dapat menjelaskan pengambilan keputusan oleh suatu lembaga. Struktur pasar dapat berbentuk persaingan sempurna, oligopoli, bahkan monopoli. Pada hasil penelitian Hidayat (2010) struktur pasar di tingkat pedagang grosir mengalami dua struktur pasar yang berbeda ketika dihadapkan sebagai pembeli dan sebagai penjual. Ketika dihadapkan sebagai pembeli pedagang grosir cenderung oligopoli sedangkan ketika pedagang grosir sebagai penjual cenderung mengalami pasar persaingan sempurna. Sedangkan pada Meryani (2008) dan Prihatin (2012) pengidentifikasian struktur pasar di masing-masing lembaga tidak digolongkan kepada kategori jenis struktur pasar hanya mengidentifikasi ciri-ciri pasar.

(27)

Lembaga tataniaga melakukan fungsi tataniaga, fungsi tersebut diantaranya fungsi fisik, fungsi pertukaran, dan fungsi fasilitas. Pada Nafis (2011), Hidayat (2010) dan Prihatin (2012) fungsi fasilitas dan fungsi pertukaran yang dilakukan petani adalah hanya penjualan karena petani merupakan produsen. Namun pada Nafis (2011) dan Prihatin (2012) petani juga melakukan fungsi fisik berupa penjemuran dan penggilinga pada Nafis (2011) dan pengangkutan dan pengemasan pada Prihatin (2012). Sedangkan pada hidayat (2010) petani tidak melakukan fungsi fisik. Pada umumnya fungsi fasilitas berupa sorting atau grading dilakukan di tingkat pedagang perantara.

Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui penyebaran marjin, farmer’s share, dan rasio B/C pada masing-masing saluran tataniaga yang teridentifikasi. Pada Hidayat (2010) saluran yang dikatakan efisien adalah saluran III karena nilai marjin terkecil, farmer’s share tertinggi meskipun rasio B/C buka merupakan rasio terbesar namun penyebaran nilai rasionya lebih merata dibanding yang lain. Sedangkan Prihatin (2012) memilih dua saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu saluran I dan saluran III. Selain marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio B/C volume penjualan pun menjadi salah satu pertimbangan untuk melihat potensi suatu saluran tataniaga seperti pada Nafis (2011) meskipun saluran IV merupakan saluran yang efisien tetapi saluran I berpotensi untuk dikembagkan karena volume penjualannya terbanyak.

KERANGKA PEMIKIRAN

Konsep Usahatani Pengertian usahatani

Pertanian merupakan kegiatan yang dapat didefinisikan dalam dua arti yaitu arti sempit dan arti luas. Menurut Suratiyah (2009) pertanian dalam arti sempit adalah kegiatan bercocok tanam dan dalam arti luas kegiatan pertanian adalah kegiatan yang menyangkut proses produksi menghasilkan bahan-bahan kebutuhan manusia yang dapat berasal dari tumbuhan maupun hewan yang disertai dengan usaha untuk meperbaharui, memperbanyak (reproduksi) dan mempertimbangkan faktor ekonomis. Ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan manusia dalam melakukan pertanian disebut ilmu usahatani.

(28)

Adanya perbedaan faktor fisik, ekonomis, dan faktor-faktor lain menyebabkan usahatani dapat dilakukan dalam praktek yang berbeda-beda. Usahatani dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal dibawah ini yaitu (Suratiyah, 2009):

1. Corak dan sifat

Menurut corak dan sifat dibagi menjadi dua, yakni komersial dan

subsitence. Usahatani komersial telah memperhatikan kualitas serta kuantitas produk sedangkan usahatani subsistance hanya memenuhi kebutuhan sendiri.

2. Organisasi

Menurut organisasinya, usahatani dibagi menjadi 3, yaitu individual, kolektif dan kooperatif.

a) Usahatani individual ialah usahtani yang seluruh proses dikerjakan oleh petani sendiri beserta keluarganya mulai dari perencanaan, mengolah tanah, hingga pemasaran ditentukan sendiri.

b) Usaha kolektif ialah usahatani yang seluruh proses produksinya dikerjakan bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam bentuk natura maupun keuntungan. Contoh usaha kolektif yang pernah ada di Indonesia yaitu Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). c) Usaha kooperatif ialah usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara individual, hanya pada beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan oleh kelompok, misalnya pembelian saprodi, pemberantasan hama, pemasaran hasil, dan pembuatan saluran. 3. Pola

Menurut polanya, usahatani dibagi menjadi 3, yakni khusus, tidak khusus dan campuran.

a) Usahatani khusus ialah usahatani yang hanya mengusahakan satu cabang usahatani saja misal, hanya peternakan, perikanan, dan usahatani tanaman pangan.

b) Usaha tidak khusus ialah usahatani yang mengusahakan beberapa cabang usaha tetapi batasnya tegas

c) Usahatani campuran ialah usahatani yang mengusahakan beberapa cabang secara bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang tegas contohnya tumpangsari dan mina padi.

4. Tipe

Usahatani tipe adalah usahatani yang diklasifikasikan berdasarkan komoditi yang diusahakan, misalkan usahatani ayam, jagung, kambing dan lainnya.

(29)

(Tohir (1983) diacu dalam Suratiyah (2009)). Faktor-faktor tersebut akan menentukan kesesuaian komoditas dengan faktor alam yang tersedia dan cara-cara bagaimana mengoptimalkannya.

Menurut Hanafie (2010) dalam menyelenggarakan usahatani setiap petani selalu mengusahakan agar hasil panennya meningkat, ataupun mengupayakan agar bagaimana hasil pertaniannya dapat ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan menigkatkan taraf hidupnya. Menurut Hanafie (2010) dari perilaku tersebut terlihat bahwa petani pun melakukan perhitungan-perhitungan ekonomi dan keuangan, hanya saja tidak semua dilakukan secara tertulis. Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan analisis usahatani.

Analisis usahatani didasari oleh prinsip-prinsip ekonomi. Dalam proses produksi terdapat hubungan antara output dan input. Pengetahuan tentang ilmu ekonomi dapat memberikan dasar untuk perencanaan usahatani dan pemilihan alternatif usaha. Pada umumnya input yang digunakan petani terdiri dari modal, tenaga kerja, dan sarana produksi untuk mendapatkan produksi yang diharapkan. Suatu usahatani dapat dikatakan berhasil jika usahatani tersebut dapat memenuhi kewajiban, menjaga kelestarian usahanya, dan mendapatkan keuntungan, oleh sebab itu perlu dalam analisis ushatani perlu diketahui komponen penerimaan, biaya, dan pendapatan. Menurut Soekartawi (1995) analisis terhadap tiga variabel tersebut sering disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cashflow analysis), berikut rumus umum cahsflow analysis:

1. Struktur Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual.

TRi = Yi . Pyi

Keterangan: TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani

Py = Harga Y

Namun, pada usahatani yang membudidayakan lebih dari satu komoditas dalam satu lahan memiliki perhitungan yang berbeda.Bila macam tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu, maka rumus (1) berubah menjadi

(30)

Oleh karena itu menurut Soekartawi (1995) menghitung total penerimaan usahatani perlu dipisahkan: (a) Analisis parsial usahatani; dan (b) Analisis keseluruhan usahatani (wholefarm analysis).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menghitung penerimaan usahatani:

1)Penghitungan produksi pertanian, karena tidak semua komoditi pertanian dipanen secara serentak, beberapa komoditi pertanian ada yang dipanen beberapa kali selama masa produksi.

2)Penghitungan hasil penjualan, karena produksi dimungkinkan dijual beberapa kali, sehingga diperlukan data frekuensi penjualan terutama jika harga jual berbeda-beda maka diperlukan juga data masing-masing harga penjualan.

3)Teknik wwancara yang baik terutama jika narasumber petani, pada umumnya digunakan data tahun terakhir untuk memudahkan ingatan.

2. Struktur Biaya Usahatani

Fungsi biaya menggambarkan hubungan antara besarnya biaya dengan garis TC (total cost), seperti pada gambar dibawah ini:

Sumber : Suratiyah (2009)

Biaya usahatani (C) umumnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (fix cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besar biaya tetap tidak tergantung oleh besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Contohnya pajak, alat pertanian, sewa lahan, dan biaya irigasi, tenaga kerja tetap. Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya yang besarnya ditentukan oleh besar-kecilnya jumlah produksi yang diproleh, seperti biaya produksi untuk sarana produksi, tenaga kerja honor (tidak tetap), kemasan, dan bahan-bahan yang jumlahnya bertambah atau berkurang tergantung dari jumlah produksi yang akan dihasilkan.

Cara menghitung biaya tetap adalah:

Gambar 1 Kurva Hubungan Biaya dengan Tingkat Produksi

C TC

VC

FC C=f(y)

(31)

Keterangan : FC = biaya tetap

Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap

Pxi =harga input; dan

n = macam input

Rumus tersebut diatas dapat digunakan untuk melakukan penghitungan biaya variabel. Biaya total (total cost) adalah hasil penjumlahan dari biaya tetap (FC) dan biaya variabel (VC), maka:

TC = FC + VC Keterangan : TC = Total cost

3. Struktur Pendapatan Usahtani

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi:

Pd = TR-TC Keterangan :

Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total revenue (total penerimaan) TC = Total cost (total biaya)

4. Rasio R/C

Salah satu ukuran efisiensi penerimaan usahatani adalah rasio R/C. Rasio R/C atau revenue per cost merupakan ukuran efisiensi penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan. Analisis rasio R/C dalam usahatani menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya, serta merupakan perbandingan antara penerimaan dengan pengeluaran usahatani. Rasio R/C yang dihitung dalam analisis usahatani terdiri dari R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total. Rasio R/C atas biaya tunai merupakan perbandingan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Rasio R/C atas biaya total merupakan perbandingan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Rumus analisis imbangan penerimaan dan biaya usahatani adalah sebagai berikut (Dillon, 1986) :

R/C rasio atas biaya tunai = TR / biaya tunai R/C rasio atas biaya total = TR / TC

Keterangan :

TR : total penerimaan usahatani (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp)

(32)

R/C menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin besar. Namun apabila nilai R/C lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha ini tidak mendatangkan keuntungan sehingga tidak layak untuk diusahakan (Dillon et al, 1986).

Konsep Tataniaga Pengertian Tataniaga

Pemasaran atau tataniaga (marketing) merupakan serangkaian proses mengalirnya barang dari proses produksi hingga ke tangan konsumen. Pada hasil sektor pertanian pemasaran disebut dengan pemasaran agribisnis. Menurut Asmarantakan (2012) pemasaran pertanian (agrimarketing) merupakan sebuah

konsep “who does what” dari seluruh aktivitas-aktivitas mengalirkan produk

pertanian dari produksi (ushatani) hingga ke tangan konsumen. Pemasaran pertanian merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga konsumen akhir, yang melibatkan sub-sub sistem dari fungsi-fungsi pemasaran (pertukaran, fisik, dan fungsi) (Hammond dan Dahl, 1977). Menurut Kohls dan Uhl (2002) pemasaran agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnsis dalam mengalirkan (menjembatani) produk dan jasa dari petani produsen (usahatani) sampai ke konsumen dangan pedagang, pengolah dan petani.

Secara garis besar prespektif pemasaran agribisnis dibagi menjadi dua yaitu prespektif makro dan prespektif mikro. Prespektif makro ditinjau berdasarkan ilmu ekonomi sedangkan prepektif mikro ditinjau berdasarkan manajemen pemasaran. Menurut prespektif mikro pemasaran mencakup perencanaan, pelaksanaan pemikiran dan pengawasan, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang pertukaran yang memuaskan pelanggan individu dan organisasi. Pendekatan dalam prespektif makro mencakup pendekatan fungsi, kelembagaan, sistem dan struktur pasar (Asmarantaka, 2012). Pada kegiatan penyaluran suatu produk pertanian dari produsen (petani) hingga konsumen pasti akan terdapat saluran-saluran yang terbentuk dari lembaga-lembaga tataniaga sebagai jembatan yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga dan memiliki karakteristik berupa struktur pasar dan perilaku.

Saluran dan Kelembagaan Tataniaga

Saluran tataniaga terbentuk dari serangkaian lembaga tataniaga yang menjembatani proses sampainya suatu produk pertanian di tangan konsumen. Suatu komoditi sangat mungkin memiliki lebih dari satu saluran tataniaga, beberapa pilihan tersebut menjadi alternatif proses sampainya produk di tangan konsumen. Alternatif tersebut bergantung dari jumlah lembaga yang terlibat serta harga yang terbentuk akibat dari aktivitas yang dilaksanakan dalam saluran tersebut untuk menciptakan nilai demi kepuasan, panjang pendeknya suatu saluran tidak menjadi acuan satu-satunya untuk menjadi saluran yang terpilih tetapi masih banyak aspek lain yang mempengaruhi.

(33)

pemasaran yang melakukan atau mengembangkan aktivitas bisnis (fungsi-fungsi pemasaran). Lembaga-lembaga tataniaga saling berkaitan satu sama lain, memiliki susunan dan organisasi karena adanya aliran dan aktivitas dalam produk agribisnis. Pada umumnya lembaga tataniaga terbentuk karena petani dan konsumen tidak dapat berhadapan langsung.

Lembaga tataniaga terdiri dari 5 kelompok yaitu (Asmarantaka 2012): 1. Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah individu pedagang

yang melakukan penanganan berbagai fungsi tataniaga dalam pembelian dan penjualan produk dari produsen ke konsumen. Pedagang ini memilki dan menguasai produk. Pedagang perantara diantaranya: pedagang pegumpul (assembler), pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholeshalers). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Pedagang eceran adalah pedagang yadng menjual produknya langsung untuk konsumen akhir (rumah tangga, organisasi, dan lainnya).

2. Agen perantara (agent middleman) hanya mewakili klien yang disebut

pricipals dalam melakukan penanganan produk/ jasa. Kelompok ini hanya menguasai produk dan mendapatkan pendapatan dari fee dan komisi. Agen perantara diantaranya: komisioner yang memiliki kekuasaan relatif yang lebih luas dalam penanganan secara fisik dan penetapan harga produk yang dijual. Sedangkan broker memiliki kekuasaan yang relatif terbatas. Juru lelang pihak yang melakukan penjualan ditempat-tempat pelelangan.

3. Spekulator (speculative middleman) adalah pedagang perantara yang membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal). Biasanya spekulator bekerja dalam jangka pendek, memanfaatkan fluktuasi harga dengan minimum penanganan dalam kodisi tertentu. Pedagang grosir dan eceran menjadi spekulator melalui penanganan dan beli-jual yang meminimumkan risiko.

4. Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) adalah kelompok pembisnis yang aktivitasnya menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir. Aktivitasnya menambah kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan dari bahan baku, misal gandum menjadi tepung, dan tepung menjadi roti.

5. Organisasi (facilitative organization) yang membantu memperlancar aktivitas pemasaran atau pelaksanaan fungsi pemasaran. Misal membuat peraturan-peraturan kebijakan, pelelangan dan asosiasi importir dan eksportir, pembiayaan, intelijen pasar, dan penanggungan risiko.

Fungsi Tataniaga

(34)

memahami perbedaan biaya antar lembaga dan berbagai variasi komoditi dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran.

Fungsi-fungsi pemasaran terdiri dari (Dahl dan Hammond, 1977):

1. Fungsi pertukaran (exchange function) merupakan aktivitas dalam perpindahan hak milik barang atau jasa yang terdiri dari pembelian, penjualan, dan fungsi pengumpulan.

2. Fungsi fisik (physical functions) merupakan aktivitas penangaan, pergerakan, dan perubahan fisik dari produk atau jasa serta turunannya. Fungsi fisik terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan, pabrikan, dan pengemasan.

3. Fungsi fasilitas (facilitating functions) merupakan fungsi yang memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungs faslitas terdiri dari fungsi standardisasi, fungsi keuangan, fungsi penaggungan risiko, fungsi intelijen pemasaran, komunikasi dan promosi (iklan).

Struktur Pasar dan Perilaku Tataniaga

Struktur pasar merupakan suatu dimensi yang menjelaskan keputusan oleh perusahaan maupun indusri, jumlah perusahaan suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, syarat-syarat masuk, dan penguasaan pasar (Dahl dan Hammond, 1977). Struktur pasar mencerminkan hubungan atau korelasi antar pembeli dan penjual yang berpengaruh pada penentuan harga dan pengaturan pasar, struktur pasar akan menentukan keragaan pasar.

Karakteristik atau sifat-sifat struktur pasar ditentukan oleh empat faktor yaitu (Asmarantaka 2012):

1. Jumlah atau ukuran perusahaan/ market concentration (pangsa pasar yang dimiliki). Berdasarkan presentase dari penjualan pasar, aset atau pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan/produsen terhadap total penerimaan pasar.

2. Kondisi atau keadaan produk (product differentiation). Pada umumnya pada perusahaan yang memiliki konsentrasi pasar yang tinggi, mempunyai kelebihan menentukan diferensiasi produk dalam upaya meningkatkan keuntungan, dengan kata lain upaya perusahaan untuk mendapatkan loyalitas konsumen.

3. Mudah atau sukar keluar masuk pasar atau industri (exit-entry)

4. Tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan-partisipan pasar.

(35)
[image:35.595.48.482.43.832.2]

Tabel 6 Karakteristik struktur pasara

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah Pembeli Jumlah Penjual Sifat Produk Pengetahuan Informasi Pasar Hambatan keluar Masuk Pasar

Sisi Pembeli Sisi Penjual

Banyak Banyak Homogen Sedikit Rendah Persaingan Murni

Persaingan Murni

Banyak Banyak Diferensiasi Sedikit Tinggi Persaingan Monopolistik

Persaingan Monopolistik

Sedikit Sedikit Homogen Banyak Tinggi Oligopsoni murni

Oligopoli murni

Sedikit Sedikit Diferensiasi Banyak Tinggi Oligopsoni diferensiasi

Oligopoli diferensiasi

Satu Satu Unik Bayak Tinggi Monopsoni Monopoli

a

Sumber: Dahl dan Hammond (1997)

Berdasarkan Tabel 6 menunjukan lima struktur pasar yang berbeda sesuai karakteristiknya yaitu persaingan murni, persaingan monopolistik, oligopoli murni, oligopoli diferensiasi, dan monopoli. Menurut Kohls dan Uhl (2002) petani memiliki kecenderungan tergolong dalam struktur pasar persaingan sempurna. Toko-toko eceran dan restaurant cenderung pada monopolisik, sedangkan pabrik pengolah struktur pasarnya cenderung persaingan monopolistik sampai ke monopoli bergantung skala usaha dan tingkat kompetisi. Namun menurut Asmarantaka (2012), pasar persaingan sepurna atau persaingan murni tidak ada di Indonesia, yang terjadi adalah pasar kompetitif.

[image:35.595.86.488.558.704.2]

Perilaku pasar adalah pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan oleh suatu pelaku atau lembaga tataniaga terhadap struktur pasar yang ada sehingga dapat menyesuaikan peranannya agar dapat mencapai tujuan. Menurut Asmarantaka (2012) perilaku industri dapat menjelaskan mengenai persaingan harga dan jumlah yang ditetapkan perusahaan, kolusi yang terjadi antar perusahaan, diskriminasi harga, diferensiasi produk, pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan. Pemusatan kekuatan pasar terbagi menjadi tiga yaitu dijelaskan pada Tabel 7 dibawah ini:

Tabel 7 Kondisi dan perilaku pasar berdasarkan struktur pasara

Struktur pasar Persaingan Sempurna Oligopoli Monopoli

Kondisi dan Perilaku

- Perusahaan bersifat sebagai penerima harga

- Bertahan untuk menghadapi pesaing

- Perusahaan yang dominan diantara perusahaan yang lain aka berperilaku seperti monopoli

- Bergantung skala usaha perusahaan, perusahaan dominan atau bukan

- Harga ditetapkan secara administratif bukan melalui mekanisme pasar

- Menetapkan harga sendiri untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal

a

Sumber: Asmarantaka (2012)

(36)

mencapai kondisi perekonomian secara umum bukan untuk menghadapi pesaing. Penetapan harga bertujuan untuk mendapatkan penetapan harga yang maksimal, dan dilakukan secara administratif tidak melalui mekanisme pasar. Sedangkan pada pasar oligopoli perilaku sulit diperkirakan. Analisis perilaku pasar dilakukan secara kualitatif agar dapat menganalisis secara terperinci keadaan suatu pasar secara objekif.

Efisiensi Tataniaga

Efisiensi pemasaran adalah ukuran kepuasan dari konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga yang terlibat didalam pemasaran. Namun, karena kepuasan sulit diukur dan sangat relatif, maka efisiensi pemasaran dihitung dengan menggunakan beberapa pendekatan. Menurut Kohls dan Uhl (2002) indikator efisiensi pemasaran produk agribisnis dapat dikelompokan kedalam dua jenis yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga.

Efisiensi operasional atau teknis adalah efisiensi yang berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran. Nilai output merupakan penilaian dari konsumen terhadap barang atau jasa (produk) yang dikonsumsi, tidak hanya secara fisik tetapi termasuk dari penilaian sacara atribut-atribut produk tersebut yang menciptakan nilai kepuasan bagi konsumen (label,kemasan,halal, sehat dan lainnya). Sedangkan nilai input adalah semua biaya yang diperhitungkan dari petani hingga konsumen akhir (biaya aliran produk termasuk biaya pemasaran atau keuntungan tiap lembaga pemasaran).

Efisensi operasional adalah ukuran frekuansi produktivitas dari input-input pemasaran dengan keuntungan dari lembaga-lembaga pemasaran (pedagang, pabrik atau pengolah). Biaya adalah penggunaan sumberdaya dalam pemasaran dan manfaat adalah benefits dari efesiensi pemasaran. Sedangkan efesiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam megalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien yang sesuai dengan keinginan konsumen (Asmarantaka, 2012). Namun, dalam penelitian ini analisis yang dilakukan hanya pada efisiensi operasional Analisis yang sering dilakukan untuk menentukan efisiensi operasional menggunakan pendekatan marjin pemasaran dan farmer’s

share.

Marjin Tataniaga, dan Farmer’s Share

Marjin tataniaga adalah perbedaan harga ditingkat petani produsen dengan harga ditingkat konsumen akhir atau di tingkat retail. Komponen marjin tataniaga adalah biaya (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit). Marjin pemasaran total (MT) marjin yang digunakan seluruh lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga mulai dari petani produsen hingga pedagang akhir, sedangkan Mi adalah marjin ditingkat lembaga. Maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

MT= Ʃ Mi (i= 1,2,...,n adalah lembaga-lembaga yang terlibat)

(37)

terjadi selepas komoditi dari tingkat petani sebagai produsen primer, sampai produk yang dihasilkan diterima konsumen akhir. Ukuran efisiensi atau tidaknya suatu saluran tataniaga tidak ditentukan hanya berdsarkan besar kecilnya marjin, tetapi marjin harus berlandaskan evaluasi-evaluasi dari lembga dan fungsi tataniaga yang dilakukan. Marjin besar atau panjangnya suatu saluran tataniaga tidak berarti bahwa saluran tersebut tid

Gambar

Tabel 1  Nilai PDBa hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun 2007-b
Tabel 2  Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun 2005-2009a
Tabel 4  Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012a
Tabel 5  Kandungan buncis berdasarkan DKBMa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aktor-aktor utama yang berpengaruh terhadap strategi pengembangan manajemen rantai pasok sayuran organik di Pangalengan adalah petani dan pedagang, pemerintah,

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel pada petani organik adalah metode sensus sedangkan untuk petani padi non organik digunakan metode Slovin dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis usahatani padi organik dan non organik dan untuk mengetahui besarnya tingkat risiko produksi, risiko harga dan risiko

dihadapi oleh petani padi organik dan non organik di Desa Lubuk Bayas. 1.3

Hubungan tujuan dan alternatif strategi Alternatif memperluas pasar/kemitraan, mempermudah saluran distribusi, serta melakukan riset pasar sayuran organik dan perencanaan

Banyak keunggulan dan mafaat dari bertani secara organik salah satunya yaitu produk yang dihasilkan relatif aman dikonsumsi dan usahatani secara organik lebih

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik kotoran sapi dan limbah sayuran, mengetahui jumlah produksi gas yang dihasilkan dari pencampuran kotoran

Hubungan tujuan dan alternatif strategi Alternatif memperluas pasar/kemitraan, mempermudah saluran distribusi, serta melakukan riset pasar sayuran organik dan perencanaan