• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tataniaga ayam broiler di kecamatan parung kabupaten Bogor Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis tataniaga ayam broiler di kecamatan parung kabupaten Bogor Jawa Barat"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TATANIAGA AYAM BROILER

DI KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR

JAWA BARAT

JOHANES F. TARIGAN

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAN CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Johanes F. Tarigan

(4)

ABSTRAK

JOHANES F. TARIGAN. Analisis Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dibimbing oleh JOKO PURWONO.

Broiler adalah salah satu dari komoditi peternakan unggas yang memiliki kontribusi produksi terbesar di Indonesia. Dari tahun 2009 hingga 2013 populasi broiler terus mengalami peningkatan dari 1.026.378.580 menjadi 1.355.288.419. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan efisiensi saluran tataniaga berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Observasi dan wawancara dilakukan kepada peternak dengan menggunakan metode convenience sampling dan snowball samplingkemudian lembaga tataniaga menggunakan metode snowball sampling. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tataniaga broiler di Parung terdiri dari 5 saluran dengan lembaga tataniaga yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer dan pemotongan. Saluran tataniaga III adalah saluran dengan nilai cost margin

terendahdan penyebaran profit margin yang merata, yang menunjukkan bahwa saluran ini memiliki efisiensi tertinggi jika dibandingkan dengan saluran tataniaga lainnya secara operasional.

Kata kunci : broiler, efisiensi, peternakan unggas, tataniaga ABSTRACT

JOHANES F. TARIGAN. Broiler Marketing Analysis In Parung District Bogor Regency West Java. Supervised JOKO PURWONO.

Broiler is one of poultry commodity that contributes the highest production in Indonesia. From 2009 to 2013 the broiler’s population had been increased from 1.026.378.580 to 1.355.288.419. The research was aimed to analyze the marketing channels, marketing institutions, marketing functions, marketing structures, marketing conducts and efficiency marketing channels based on marketing margin, farmer’s share and profit ratio againt cost. Observation and interview were conducted to farmers by convenience and snowball sampling method and for the marketing institution by snowball sampling method. The result of this research showed that broiler’s marketing in Parung consist of 5 channels,they are marketing institute consist of traders, wholesalers,retailers, andslaughterhouses. The marketing channel IIIis the channel that have the lowest cost margins and have profit margins evenly spread, which indicates that this channel has the highest efficiency compared with other channels operationally.

(5)

ANALISIS TATANIAGA AYAM BROILER DI KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR

JAWA BARAT

JOHANES F. TARIGAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Topik skripsi ini adalah tataniaga dan dilaksanakan pada bulan april hingga mei 2014 di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.

Skripsi ini tidak dapat dapat diselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan arahan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. Joko Purwono, MS selaku dosen pembimbing yang memberikan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ir. Juniar Atmakusuma,MS selaku dosen penguji dan Arif Karyadi, SP selaku komisi akademik yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran.

3. Dr. Ir. Netti Tina prilla, MM selaku dosen pembimbing akademik beserta seluruh Dosen dan Staf Departemen Agribisnis.

4. Kedua orangtua serta kedua saudara penulis yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Peternak dan lembaga tataniaga di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor, penulis berterima kasih atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang telah diberikan.

6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Gambaran Umum Agribisnis Ayam Broiler 8

Tinjauan Penelitian Terdahulu 8

KERANGKA PEMIKIRAN 11

Kerangka Konseptual 11

Konsep Tataniaga 11

Konsep Lembaga Tataniaga 12

Saluran Tataniaga 13

Fungsi-fungsi Tataniaga 13

Struktur Pasar 15

Perilaku Pasar 16

Efisiensi Tataniaga 17

Marjin Tataniaga 18

Farmer’s Share 19

Rasio Keuntungan dan Biaya (R/C) 19

Kerangka Pemikiran Operasional 20

METODE PENELITAN 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Data dan Sumber Data 21

Metode Pengumpulan Data 22

Metode Pengambilan Sampel 23

Metode Pengolahan dan Analisis Data 23

Analisis Saluran Tataniaga 23

Analisis Lembaga Tataniaga 24

Analisis Fungsi Tataniaga 24

Analisis Struktur Pasar 24

Analisis Perilaku Pasar 25

Analisis Marjin Tataniaga 25

Analisis Farmer’s Share 25

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya (R/C) 26

Analisis Efisiensi Tataniaga 26

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26

Keadaan Umum Kabupaten Bogor 26

Keadaan Umum Kecamatan Parung 26

Karakteristik Peternak Sampel 27

Karakterstik Lembaga Tataniaga 29

Responden Pedagang Pengumpul 30

Responden Pedagang Besar 30

(10)

Responden Pedagang Pengecer 30

ANALISIS SALURAN, LEMBAGA DAN FUNGSI TATANIAGA 31

Sistem Saluran Tataniaga Ayam Broiler 31

Pola Saluran Tataniaga I 32

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga I 32

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga I 33

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga I 33

Pola Saluran Tataniaga II 34

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga II 34

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga II 35

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga II 35

Pola Saluran Tataniaga III 36

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga III 38

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga III 38

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga III 39

Pola Saluran Tataniaga IV 40

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga IV 40

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga IV 40

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga IV 40

Pola Saluran Tataniaga V 41

Fungsi Pertukaran pada Saluran Tataniaga V 41

Fungsi Fisik pada Saluran Tataniaga V 42

Fungsi Fasilitas pada Saluran Tataniaga V 42

Struktur Pasar 44

Struktur Pasar di Tingkat Peternak 44

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul 45

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar 45

Struktur Pasar di Tingkat Rumah Potong Ayam (RPA) 45

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer 46

Perilaku Pasar 46

Perilaku Pasar pada Saluran Tataniaga I 46

Praktek Pembelian dan Penjualan 46

Sistem Penentuan Harga 47

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 47

Perilaku Pasar pada Saluran Tataniaga II 47

Praktek Pembelian dan Penjualan 47

Sistem Penentuan Harga 47

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 48

Perilaku Pasar pada Saluran Tataniaga III 48

Praktek Pembelian dan Penjualan 48

Sistem Penentuan Harga 49

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 49

Perilaku Pasar pada Saluran IV 50

Praktek Pembelian dan Penjualan 50

Sistem Penentuan Harga 50

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 50

Perilaku Pasar pada Saluran V 50

(11)

Sistem Penentuan Harga 51

Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 51

ANALISIS EFISIENSI TATANIAGA 52

Analisis Volume Distribusi 52

Analisis Marjin Tataniaga 52

Marjin Biaya 54

Marjin Keuntungan 55

Analisis Farmer’s Share 56

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 57

Efisiensi Tataniaga 59

SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 61

Daftar Pustaka 62

LAMPIRAN 63

DAFTAR TABEL

1 Produksi Daging Nasional Tahun 2009-2013* (000 ton) 2 2 Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2004-2008 (000 ekor) 2 3 Konsumsi Rata-rata per Kapita per Tahun Beberapa Bahan Makanan di

Indonesia Tahun 2008-2012 3

4 Populasi Ayam Broiler Menurut Propinsi 4

5 Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli 16

6 Golongan Usia Peternak Sampel di Parung 27

7 Tingkat Pendidikan Peternak Sampel di Paung 28

8 Status Kepemilikan Kandang Peternak Sampel di Parung 28

9 Pengalaman Beternak Ayam Broiler di Parung 29

10Responden Pelaku Tataniaga dan Jenis Lembaga Pemasaran 29

11Pengalaman Usaha Pedagang Pengumpul 30

12Fungsi Tataniaga Masing-masing Lembaga Tataniaga dalam Sistem

Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014 43 13Struktur Pasar pada Masing-masing Lembaga Tataniaga Ayam Broiler

di Kecamatan Parung Tahun 2014 46

14Perilaku Pasar yang Dihadapi oleh Lembaga Tataniaga Ayam Broiler di

Kecamatan parung Tahun 2014 51

15Volume Distribusi Saluran Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan

Parung Tahun 2014 52

16Marjin Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014

(Rp/kg) 53

17Marjin Tataniaga, Cost Margin dan Profit Margin (Rp/kg) 54 18Biaya Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014

(Rp/kg) 55

(12)

20Farmer’s Share di Kecamatan Parung Tahun 2014 57 21Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan

Parung Tahun 2014 58

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan Antara Fungsi-fungsi Pertama dan Turunan terhadap Marjin

Tataniaga dan Nilai Marjin Tataniaga 18

2 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Tataniaga Ayam Broiler 20 3 Saluran Tataniaga Ayam Broiler di Kecamatan Parung Tahun 2014 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan Analisis Biaya Tataniaga 64

2 Perhitungan Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya 65

3 Biaya tataniaga (Rp/kg) 66

4 Marjin Tataniaga (Mi), Keuntungan (Li) dan Rasio Keuntungan dan

Biaya (R/C) 67

5 Profil Peternak Sampel di Lokasi Penelitian 68

6 Dokumentasi 69

7 Peta Kecamatan Parung 70

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang dengan jumlah populasi penduduk sebanyak kurang lebih 237 juta jiwa pada tahun 2010 (angka BPS). Populasi penduduk Indonesia sebagai negara berkembang akan terus bertambah setiap tahunnya. Peningkatan jumlah populasi penduduk suatu negara akan berbanding lurus dengan jumlah permintaan bahan pangan, terutama pangan berkualitas, dengan kata lain kebutuhan konsumsi pangan akan terus meningkat. Selain pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, urbanisasi, perubahan gaya hidup (lifestyle) dan peningkatan kesadaran akan gizi seimbang akan menyebabkan permintaan bahan pangan berkualitas semakin tinggi. Hal ini merupakan peluang bagi sektor peternakan dalam berproduksi dan mencerminkan bahwa agribisnis peternakan tetap memiliki prospek pasar yang baik. Indonesia selayaknya mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri bahkan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal ini dapat di lihat dari ketersediaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang cukup mendukung.

Prospek ekonomi dari komoditas peternakan sangat menguntungkan saat ini. Salah satu sektor peternakan yang mempunyai prospek yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan adalah sektor peternakan unggas. Industri perunggasan merupakan andalan subsektor peternakan yang memiliki peran strategis dalam penyediaan bahan pangan, penyediaan lapangan pekerjaan, dan pembangunan ekonomi Indonesia. Komoditas peternakan sendiri mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga usaha peternakan dapat menjadi sumber pendapatan yang baik bagi masyarakat.

Komoditas peternakan unggulan dalam sektor peternakan unggas saat ini adalah ayam ras pedaging atau biasa disebut dengan ayam broiler. Ayam Broiler merupakan jenis ras unggas hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi dalam memproduksi daging (pertumbuhan yang sangat cepat). Ayam broiler salah satu komoditas peternakan yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat sebagai sumber protein hewani yang disukai dan digemari oleh banyak orang karena dagingnya memiliki kualitas rasa dan tekstur yang baik, harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan dengan komoditas daging penyedia protein hewani lainnya seperti misalnya daging sapi. Hingga kini ayam broiler telah dikenal masyarakat Indonesia dengan berbagai kelebihannya, hanya dengan waktu pemeliharaan 5 sampai 6 minggu sudah bisa dilakukan pemanenan dengan kisaran bobot badan 1,3 hingga 1,8 kg. Dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat dan menguntungkan maka banyak peternak baru serta peternak musiman yang bermunculan di berbagai wilayah Indonesia.

(14)

Tabel 1. Produksi Daging Nasional Tahun 2009-2013* (000 ton) jumlah produksi nasional tertinggi jika dibandingkan dengan komoditas peternakan penghasil daging lainnya, bahkan dari tahun 2009 hingga 2013 jumlah produksinya cenderung meningkat. Komoditas ayam broiler sendiri pada tahun 2013 menyumbang 52,3% dari total produksi daging secara nasional.

Populasi ayam broiler mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan ternak unggas lainnya. Jumlah populasi unggas terutama ayam broiler di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini data perkembangan jumlah populasi ternak unggas di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013.

Tabel 2. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2009-2013* (000 ekor)

Unggas Tahun

2009 2010 2011 2012 2013* Ayam Buras 249.963 257.544 264.340 274.564 290.455 Ayam Ras

Petelur/Layer 111.418 105.210 124.636 138.718 147.279

Ayam Ras

Pedaging/Broiler 1.026.379 986.872 1.177.991 1.244.402 1.355.288

Itik/Duck 40.676 44.302 43.488 49.295 50.931 Catatan: *Angka Sementara

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2013

(15)

populasinya cenderung mengalami peningkatan, namun pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah populasi ayam broiler jika dibandingkan dari tahun 2009, tetapi melewati tahun 2010 populasi ayam broiler kembali mengalami peningkatan. Dalam industri perunggasan saat ini ayam broiler masih menjadi komoditi peternakan primadona dengan jumlah populasi tertinggi dibandingkan dengan komoditas unggas lainnya.

Konsumsi rata-rata per kapita per tahun beberapa bahan makanan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Konsumsi Rata-rata per Kapita per Tahun Beberapa Bahan Makanan di Indonesia Tahun 2008-2012

No Bahan Makanan Satuan Unit

Tahun

2008 2009 2010 2011 2012 1 Daging Sapi kg 0,365 0,313 0,365 0,417 0,365

2 Daging ayam broiler kg 3,233 3,076 3,546 3,650 3,494

3 Daging ayam kampung kg 0,574 0,521 0,626 0,626 0,521 4 Telur ayam broiler kg 5,788 5,840 6,726 6,622 6,518 5 Telur ayam kampung butir 4,171 3,650 3,702 3,754 2,764 6 Telur itik butir 3,129 2,868 2,503 2,816 2,190 Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008-2012

(16)

Tabel 4. Populasi Ayam Broiler Menurut Propinsi

No. Propinsi Tahun Pertumbuha

n/ Growth

1.836.413 2.028.221 3.085.271 2.959.212 3.185.354 7,64

2 Sumatera Utara

43.063.188 45.154.980 40.167.721 42.813.178 44.790.497 4,63

3 Sumatera Barat

13.495.318 14.946.984 15.117.321 17.439.623 18.137.208 4,00

4 Riau 29.710.959 41.501.411 38.043.692 38.165.987 39.883.405 4,50 5 Jambi 10.655.107 11.226.605 11.237.263 11.442.871 12.368.640 8,09 6 Sumatera

Selatan

11.751.130 20.397.910 20.160.062 20.943.860 23.038.246 10,00

7 Bengkulu 5.874.583 6.449.002 6.189.874 6.195.941 6.796.947 9,70 8 Lampung 24.087.464 24.203.461 25.788.858 26.782.929 27.963.200 4,41 9 Bangka

Belitung

5.309.164 7.145.828 7.418.210 12.495.825 13.745.408 10,00

10 Kepulauan Riau

6.437.755 6.600.275 6.675.518 7.573.940 7.357.459 -2,86

11 D.K.I. Jakarta

137.100 132.200 136.200 148.700 147.248 -0,98

12 Jawa Barat 455.258.895 497.814.154 583.263.441 610.436.303 680.452.807 11,47

13 Jawa Tengah

58.350.965 64.332.799 66.239.700 76.906.291 80.082.520 4,13

14 D.I. Yogyakarta

5.276.897 5.435.521 5.770.832 5.814.935 6.113.547 5,14

15 Jawa Timur 147.006.266 56.993.631 149.552.720 155.945.927 159.844.575 2,50 16 Banten 80.023.212 41.146.851 52.272.333 54.151.644 59.932.454 10,68 17 Bali 5.263.645 5.404.657 6.206.641 5.872.311 5.642.550 -3,91 18 Nusa

Tenggara Barat

1.787.163 3.044.243 3.279.246 3.538.158 3.599.019 1,72

19 Nusa

16.041.090 17.634.089 21.262.386 21.967.877 26.543.707 20,83

21 Kalimantan Tengah

4.240.068 4.669.198 4.921.209 5.225.358 4.470.485 -14,45

22 Kalimantan Selatan

28.659.441 39.947.496 43.647.767 40.603.189 49.527.380 21,98

23 Kalimantan Timur

39.485.000 38.993.063 36.510.354 39.474.540 40.264.031 2,00

24 Sulawesi Utara

2.654.090 1.218.390 1.556.974 2.195.225 2.304.986 5,00

25 Sulawesi Tengah

5.784.910 5.172.902 5.136.202 6.915.137 7.952.408 15,00

26 Sulawesi Selatan

16.373.046 17.928.549 18.497.399 21.791.654 24.039.220 10,31

27 Sulawesi Tenggara

996.406 1.185.021 1.045.428 1.104.308 1.286.170 16,47

28 Gorontalo 1.347.640 1.226.142 240.600 535.200 550.200 2,80

Indonesia 1.026.378.580 986.871.712 1.177.990.869 1.244.402.016 1.355.288.419 8,91

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan Keterangan:

(17)

Propinsi Jawa Barat merupakan sentra ayam broiler di lihat dari jumlah populasi ayam broiler tertinggi yang mencapai 680.452.807 pada tahun 2013 dengan persentase pertumbuhan (tahun 2012-2013) mencapai 11,47%. Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah populasi tertinggi sehingga menjadi tujuan pasar utama produk peternakan termasuk ayam broiler. Usaha-usaha budidaya ayam broiler yang berkembang memiliki skala usaha yang berbeda-beda dan pada akhirnya akan bermuara pada perbedaan kemampuan penawaran ayam broiler kepada konsumen. Dengan skala usaha yang berbeda maka pengusaha-pengusaha ayam broiler akan memiliki saluran tataniaga yang berbeda pula, sesuai dengan jumlah pasokan yang dimilikinya.

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang mempunyai populasi ayam broiler terbesar di Indonesia. Populasi ayam ini tersebar hampir di semua kecamatan di Jawa Barat, termasuk salah satunya adalah Kecamatan Parung, dimana kecamatan ini memiliki letak yang strategis, dekat dengan Depok, Tangerang, Bogor dan Jakarta sebagai target pasar yang dominan. Kecamatan Parung sebagai salah satu sentra produksi ayam broiler di Jawa Barat dimana pada tahun 2012 Kecamatan Parung menghasilkan produksi daging broiler sebanyak 2.826.200 kg (Buku Data Peternakan Tahun 2012). Potensi peternakan ayam broiler di Kecamatan Parung Bogor sebagai sentra produksi ayam broiler memerlukan informasi pasar dan identifikasi pasar untuk mengetahui kemana, bagaimana, kapan dan kepada siapa produk dipasarkan. Adanya perbedaan harga jual dan marjin tataniaga yang tidak merata antara lembaga tataniaga dapat menimbulkan rantai tataniaga yang tidak efisien. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk mengamati efisiensi tataniaga ayam broiler di Kecamatan Parung. Efisiensi tataniaga tersebut berdampat pada tingkat harga broiler yang adil secara ekonomis yang dapat membantu dalam peningkatan keuntungan para pembudidaya ayam broiler dan lembaga tataniaga yang terlibat.

Tataniaga merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kegiatan usaha, begitu pula halnya dengan usaha peternakan ayam broiler. Tataniaga ayam broiler termasuk ke dalam subsistem agribisnis hilir, kegiatan ini dapat membantu peternak dalam menyalurkan hasil ternaknya agar sampai kepada konsumen. Tataniaga ayam broiler melibatkan berbagai lembaga tataniaga. Aktivitas tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga akan memberikan nilai tambah bagi komoditas yang diperjual-belikan. Nilai tambah yang dihasilkan perlu didistribusikan secara adil sesuai dengan faktor-faktor produksi yang digunakan sehingga nilai tambah dapat dirasakan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat.

Perumusan Masalah

(18)

Sejumlah produsen besar mengembangkan pola kemitraan dengan menjalin kerjasama dengan peternakan rakyat. Perusahaan besar tersebut menyiapkan dana awal untuk membuka usaha peternakan rakyat. Produsen besar memberikan fasilitas pemeliharaan dan sapronak (sarana produksi peternakan seperti bibit DOC (day old chick) atau biasa disebut anak ayam umur sehari, pakan, obat-obatan dan vitamin, sementara tugas peternak hanyalah mengusahakan agar anak ayam (DOC) tetap sehat dan panen tepat waktu.

Umumnya kemitraan di Indonesia memiliki konsep contract farming

antara produsen besar dengan para peternak rakyat. Konsep kemitraan secara umum yaitu dimana seorang peternak memelihara ayam untuk sebuah perusahaan yang terintegrasi secara vertikal. Ada 2 pihak yang terlibat dalam kemitraan, yaitu peternak dan perusahaan besar. Biasanya peternak menyediakan lahan, kandang, peralatan dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan menyediakan bibit berupa DOC (day old chick), pakan, obat-obatan dan pengarahan manajemen.

Peternak baru memperoleh hasil setelah ayam yang dipelihara laku dijual. Untuk pola kemitraan ternak ayam ini bagi hasil meliputi 2 bentuk, pertama, setelah panen peternak akan memperoleh upah sekitar Rp 500 per ekor ayam, kedua, peternak menerima upah dari selisih perhitungan antara jumlah modal yang diberikan dan hasil penjualan ayam. Dalam pola kemitraan ini perusahaan akan menjamin harga minimum ayam siap jual, artinya bila harga ayam di pasar sedang jatuh, peternak tidak akan dirugikan karena produksi ayam akan dibeli perusahaan inti dengan harga dasar yang telah disepakati.

Komoditas peternakan sendiri dalam proses produksinya mengandung ketidakpastian (uncertanties) terkait dengan sifat musiman (seasional) dimana hal ini menyebabkan terjadinya fluktuasi harga broiler. Komoditas peternakan memiliki sifat mudah rusak (perishable) dan suplai yang tidak elastis (inelastic). Sifat musiman berarti pada saat panen suplai melimpah, demand (permintaan) tetap, maka harga cenderung turun, sebaliknya pada saat paceklik suplai menipis,

demand tetap (apalagi jika mengalami peningkatan) maka harga cenderung naik. Suplai yang tidak elastis berarti tidak dapat memanfaatkan peluang adanya kenaikan harga secara cepat. Jika tidak ada upaya pengelolaan logistik yang efektif, perbaikan infrastruktur pemasaran, perbaikan saluran pemasaran, perbaikan informasi pasar dan pengembangan agroindustri yang menciptakan nilai

(19)

kebutuhan. Informasi yang asimetrik juga membuat saluran pemasaran yang ada tidak efisien.

Kecamatan Parung merupakan salah satu sentra produksi ayam broiler di Kabupaten Bogor. Kegiatan budidaya ayam broiler di Kecamatan Parung telah berlangsung cukup lama. Salah satu aspek permasalahan yang dialami oleh peternak ayam broiler di Kecamatan Parung adalah kegiatan tataniaga. Kegiatan tataniaga yang dilakukan dirasakan tidak efisien dan menjadikan pihak peternak yang berperan sebagai pembudidaya berada di pihak yang lemah dalam menentukan harga jual dimana peternak dalam rantai tataniaga berperan sebagai

price taker (penerima harga) karena tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam pasar jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga tataniaga yang lain.

Posisi tawar yang lebih kuat diantara lembaga tataniaga akan mempengaruhi marjin di tingkat lembaga tataniaga dan peternak, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat keuntungan yang diterima oleh lembaga tataniaga maupun peternak. Marjin tataniaga yang diperolah dari perbedaan harga jual peternak dan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dapat menggambarkan seberapa efisien saluran tataniaga yang di tempuh oleh peternak. Semakin besar selisih harga jual pembudidaya dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir menjadi indikasi akan semakin tidak efisien saluran tataniaga dan semakin sedikit farmer’s share yang diterima oleh peternak. Besarnya marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya akan menentukan efisiensi tataniaga di Kecamatan Parung. Sistem tataniaga yang efisien akan menciptakan kondisi usaha yang menguntungkan bagi peternak dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, sehingga meningkatkan harga jual dan keuntungan peternak diperlukan saluran tataniaga yang efisien dalam menyalurkan ayam broiler ke konsumen.

Mengacu pada perumusan masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:

1. Bagaimana sistem saluran tataniaga ayam broiler, fungsi tataniaga, serta lembaga tataniaga yang terlibat di Kecamatan Parung?

2. Bagaimana struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga ayam broiler di Kecamatan Parung?

3. Bagaimana efisiensi tataniaga ayam broiler berdasarkan marjin tataniaga,

farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya yang terjadi di Kecamatan Parung?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Menganalisis sistem dan saluran tataniaga ayam broiler, fungsi tataniaga dan lembaga tataniaga.

2. Menganalisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga ayam broiler di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. 3. Menganalisis efisiensi tataniaga ayam broiler dengan menggunakan analisis

(20)

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peternak di daerah Parung serta lembaga tataniaga, masyarakat, penulis, dan pembaca. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan masukan dalam membuat keputusan pemasaran ayam broiler bagi peternak dan lembaga tataniaga di daerah Parung.

2. Penelitian ini bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi dalam upaya pemasaran ayam broiler yang efisien di Indonesia.

3. Penelitian ini bagi penulis diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang sudah didapatkan selama menuntut ilmu di IPB. 4. Penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan

informasi, literatur, dan bahan bagi penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Agribisnis Ayam Broiler

Ayam broiler (Gallus gallus domesticus) merupakan ayam yang cukup populer di Indonesia, dipelihara khusus untuk memproduksi daging. Ayam broiler memiliki ciri khas bulu berwarna putih dengan kulit kekuningan. Pemeliharaannya tidak membutuhkan persyaratan yang cukup berat dan waktu pemeliharaan yang cepat. Pada umumnya ayam broiler siap dipanen pada usia 35-45 hari dengan bobot badan antara 1,2 sampai 1,9 kg/ekor. Ayam jenis ini adalah ayam yang paling banyak diternakkan oleh masyarakat dan dipotong baik pada tempat pemotongan tradisional maupun pada rumah pemotongan ayam modern. Ayam broiler banyak dipelihara di daerah sekitar Jabotabek, Sukabumi, Cianjur, daerah Priangan Timur, dan daerah lain di Indonesia (Priyatno, 2003).

Tinjauan Penelitian Terdahulu

(21)

yang terlibat dalam saluran ini sehingga biaya pemasaran menjadi rendah dan marjin pemasaran juga rendah, sementara rasio keuntungan terhadap biaya mempunyai nilai yang relatif tinggi. Farmer’s share saluran ini juga tinggi dikarenakan sedikitnya lembaga pemasaran yang terlibat.

Setiap lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda-beda, antara lain fungsi-fungsi pertukaran, fungsi-fungsi fisik, dan fungsi fasilitas, namun tidak semua lembaga pemasaran melakukan semua fungsi yang ada. Peternak umumnya hanya melakukan fungsi pertukaran yaitu penjualan, sedangkan pengumpul desa melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa pembayaran dan standarisasi. Lembaga pemasaran lainnya yaitu distributor utama dan distributor menengah melakukan semua fungsi pemasaran kecuali untuk pedagang besar dan pedagang pengecer. Tidak semua pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi fisik berupa pengangkutan, serta fungsi fasilitas berupa pemberian informasi dan standarisasi. Struktur pasar yang dihadapi oleh peternak, pengumpul desa dan pedagang antar wilayah (PAW) cenderung bersifat oligopsoni murni, sementara PAW, distributor/pedagang besar dan kecil serta konsumen menghadapi struktur pasar yang cenderung oligopoli murni.

Safitri (2009) dalam penelitiannya mengenai Analisis Tataniaga Telur Ayam Kampung di Kabupaten Bogor Jawa Barat menyatakan bahwa skala usaha yang berbeda dan lokasi peternakan yang tersebar di berbagai tempat mengakibatkan pemasaran telur ayam kampung di Kabupaten Bogor menghadapi permasalahan harga dan biaya pemasaran. Pada pemasaran telur ayam kampung harga yang diterima peternak (produsen) masih jauh lebih rendah dari harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Pada umumnya peternak bertindak sebagai penerima harga (price taker). Proses pemasaran telur ayam kampung ini terjadi melalui beberapa lembaga pemasaran, dimulai dari peternak sampai kepada pedagang pengecer yang pada akhirnya berhubungan dengan konsumen. Panjang atau pendeknya pola saluran pemasaran akan berpengaruh terhadap permintaan (keuntungan) peternak pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat, sehingga perlu dikaji sistem pemasaran telur ayam kampung dengan mengidentifikasi faktor-faktor pembentukan mekanisme pasar antara lain lembaga pemasaran, pola saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar serta keragaan pasar sehingga terjadi permasalahan tersebut.

(22)

menyatakan bahwa saluran pemasaran 2 adalah saluran pemasaran yang paling efisien karena memiliki nilai marjin pemasaran terendah, farmer’s share tertinggi, dan juga kegiatan pemasaran pada saluran 2 menguntungkan bagi setiap lembaga yang terlibat (peternak, pedagang grosir, dan pedagang pengecer) dengan farmer’s

share sebesar 63,89% serta rasio keuntungan dan biaya sebesar 7,27. Biaya terkecil terdapat pada saluran 2 yaitu sebesar Rp 214 per butir, karena pada saluran ini jarak distribusi cukup dekat dengan lokasi penelitian serta rantai pemasarannya yang cukup pendek. Keuntungan pemasaran pada saluran 2 sebesar Rp 436 dan merupakan salah satu dari yang terbesar. Dari sisi volume penjualan saluran 2 sudah efisien karena bisa menjual sebanyak 2.500 butir telur per hari kepada pedagang pengecer atau sekitar 20,8% dari total penjualan.

Ibniyah (2002) dalam penelitiannya yaitu Kajian Terhadap Efesiensi Saluran Tataniaga Ayam Broiler pada PT. Nurasto Agheng (PT. NA) meyatakan bahwa masalah utama yang sering dihadapi dalam tataniaga ayam broiler adalah harga yang diterima peternak sebagai produsen berbeda sangat besar dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Oleh karena itu perlu diketahui saluran dan fungsi-fungsi tataniaga yang terbentuk untuk mengetahui saluran mana yang paling efisien. Penelitian Ibniyah (2002) menunjukkan terdapat 3 saluran tataniaga dengan komoditi ayam broiler pada PT. NA, antara lain: (1) peternak plasma  PT. NA/inti  pedagang pengumpul  pedagang pengecer  konsumen akhir, (2) peternak plasma  pedagang pengumpul  pedagang pengecer  konsumen akhir, dan (3) peternak plasma  pedagang pengecer  konsumen akhir. Adapun struktur pasar yang terbentuk pada PT. NA yaitu oligopsoni dikarenakan inti dan pedagang pengumpul mempunyai kekuatan untuk mengontrol fungsi dan kegiatan tataniaga ayam broiler di PT. NA. Sementara saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran tataniaga 3 karena nilai elastisitas transmisi harga peternak ke pengumpul. Selain itu keuntungan yang diperoleh pada saluran 3 lebih besar jika dibandingkan saluran tataniaga lainnya. Farmer’s share yang diperoleh pada saluran 3 juga cukup besar dibandingkan saluran-saluran lainnya yaitu 81,9%.

Sulvadewi (2000) dalam penelitiannya dengan judul Analisis Ayam

Broiler pada Kelompok Peternak Plasma “Jaya Broiler” Kabupaten Kuningan

Propinsi Jawa Barat menyatakan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 472 Tahun 1996 menjelaskan usaha budidaya ayam broiler boleh dilakukan oleh perusahaan peternakan dengan syarat mereka wajib melakukan pola kemitraan. Perusahaan peternakan yang bermitra dengan peternak kecil ayam broiler harus menjamin mutu daging yang dihasilkan, harga dan pemasaran. Kemitraan menurut Suharno (1999) dalam Sulvadewi adalah suatu kerjasama bisnis antara peternak sebagai plasma dan pengusaha (perusahaan peternakan/perusahaan di bidang peternakan) sebagai inti untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut harus dilakukan secara adil sehingga antara masing-masing pihak yang terlibat mempunyai posisi dan kepentingan yang sama.

Hasil penelitian Sulvadewi (2000) menunjukkan bahwa bentuk hubungan inti-plasma adalah sistem kredit yang pengembaliannya diperhitungkan setelah panen dengan kebijakan subsidi silang. Perusahaan inti berperan sebagai pengelola yang memberikan bimbingan, menyediakan sarana produksi peternakan dan memasarkan hasil produksi. Dari penelitian Sulvadewi terdapat 3 saluran tataniaga ayam broiler di Poultry Shop “Jaya Broiler” yaitu: (1) peternak  inti

(23)

 RPA Kuningan  pedagang pengecer, (3) peternak  inti  pedagang pengumpul luar Kuningan. Pedagang pengumpul dan RPA (mengambil ayam langsung ke peternak) diberi D.O (delivery order) oleh inti untuk mengambil ayam ke peternak sebanyak yang tertera pada D.O dan pembayaran dilakukan pada inti sesuai dengan kesepakatan. Ayam yang berasal dari peternak (100%) melalui inti untuk di jual ke pedagang pengumpul Kuningan (20%), RPA (5%) dan pedagang pengumpul luar Kuningan (75%).

Secara umum fungsi-fungsi pemasaran belum dilaksanakan secara baik oleh masing-masing lembaga pemasaran, terutama fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Penyimpanan yang dilakukan pedagang pengecer masih sederhana, tidak ada standarisasi yang dilakukan masing-masing lembaga pemasaran dalam pembelian dan penjualan, pengolahan ayam di lokasi pemotongan kurang memperhatikan nilai-nilai higienis. Fungsi fasilitas yang belum berjalan adalah informasi pasar, umumnya lembaga pemasaran memanfaatkan jalur informasi yang tidak formal karena peranan PINSAR (Pusat Informasi Pasar) belum dirasakan oleh masing-masing lembaga pemasaran.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Konseptual

Konsep Tataniaga

Mubyarto (1994) mengemukakan bahwa fungsi dan peranan tataniaga adalah mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk, dan harga yang tepat. Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang diperlukan untuk mengubah dan membentuk input atau produk mulai dari titik produksi primer sampai konsumen akhir. Rangkaian fungsi tersebut terdiri atas proses produksi, pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran oleh pedagang grosir, pedagang pengecer, sampai kepada konsumen. Tataniaga dapat diartikan sebagai suatu tempat atau wahana dimana ada kekuatan supply dan demand yang bekerja, ada proses pembentukan harga dan terjadi proses pengalihan kepemilikan barang maupun jasa.

Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan tataniaga adalah serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen.

(24)

Konsep Lembaga Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga, dimana terdiri dari golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Lembaga-lembaga perantara dibutuhkan karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang dan jasa seringkali berjauhan dengan konsumen, sehingga fungsi lembaga perantara sangat dibutuhkan dalam menggerakkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen serta penghubung informasi mengenai suatu barang dan jasa (Limbong dan Sitorus, 1987)

Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:

1. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan

a. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya.

b. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti badan pengangkutan/transportasi, pengolahan dan penyimpanan.

c. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga, seperti informasi pasar dan kredit desa. Lembaga ini dapat berupa KUD (Koperasi Unit Desa), Bank Unit Desa, dan sebagainya.

2. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang

a. Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan tengkulak. b. Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang

dipasarkan, seperti agen, makelar atau broker dan lembaga pelelangan. c. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang

dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan. 3. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan kedudukannya dalam suatu

pasar

a. Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras dan pengecer rokok.

b. Lembaga tataniaga monopolistis, seperti pedagang bibit dan pedagang benih.

c. Lembaga tataniaga oligopolis, seperti importir cengkeh dan perusahaan semen.

d. Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api serta perusahaan pos dan giro.

4. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya a. Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi.

b. Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perorangan, pedagang pengecer dan tengkulak.

(25)

Saluran Tataniaga

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Saluran tataniaga adalah suatu usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen yang didalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga yang menjalankan fungsi-fungsi tataniaga.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga, yaitu:

1. Pertimbangan pasar: siapa konsumen, rumah tangga atau industri, besarnya potensi pembelian, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa jumlah pesanan dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.

2. Pertimbangan barang: berapa besar nilai per unit barang tersebut, besar dan berat barang (mudah rusak atau tidak), sifat teknis (berupa barang standar atau pesanan) dan bagaimana luas produk perusahaan bersangkutan.

3. Pertimbangan dari segi perusahaan: sumber modal, kemampuan dalam pengalaman manajerial, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang diberikan penjual.

4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara: meliputi pelayanan yang dapat diberikan oleh lembaga perantara, sikap perantara terhadap kebijakan produsen, volume penjualan dan pertimbangan biaya.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka saluran tataniaga merupakan rangkaian beberapa organisasi yang saling terlibat satu sama lain dalam proses pemindahan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, dimana tugas atau aktivitas yang dilakukan dalam proses tersebut dinamakan fungsi-fungsi tataniaga

Fungsi-fungsi Tataniaga

Fungsi-fungsi tataniaga merupakan berbagai kegiatan atau aktivitas bisnis yang terjadi dalam penyaluran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Apabila fungsi-fungsi tataniaga berperan sebagaimana mestinya, tataniaga dapat meningkatkan nilai ekonomi dan nilai tambah hasil. Dalam proses penyampaian produk dari produsen ke konsumen akhir diperlukan berbagai kegiatan atau tindakan-tindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa bersangkutan, dan kegiatan tersebut dinamanakan fungsi-fungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987).

Menurut Limbong dan Sitorus, fungsi-fungsi tataniaga dapat dikelompokkan menjadi tiga fungsi, yaitu:

1. Fungsi pertukaran: adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri dari dua fungsi, yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan merupakan kegiatan yang bertujuan mencari dan mengusahakan agar ada pembeli atau ada permintaan pasar yang cukup baik pada tingkat harga yang menguntungkan. Fungsi pembelian adalah pembelian persediaan produksi untuk diolah dan dijual kembali.

(26)

a. Fungsi penyimpanan: bertujuan untuk membuat produk tersedia pada waktu yang diinginkan. Selama pelaksanaan dilakukan beberapa tindakan untuk menjaga mutu, terutama hasil-hasil pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak.

b. Fungsi pengolahan: merupakan kegiatan yang mengubah bentuk dari dasar produk.

c. Fungsi pengangkutan: bertujuan untuk membuat produk tersedia pada tempat yang sesuai. Jenis alat transportasi dan rute yang dipilih berpengaruh terhadap biaya transportasi. Adanya keterlambatan dalam pengangkutan dan jenis alat angkut yang tidak sesuai dengan sifat barang yang diangkut dapat menimbulkan kerusakan dan penurunan mutu barang yang bersangkutan.

3. Fungsi fasilitas: adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi.

a. Fungsi standarisasi: merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu produk dengan berbagai bentuk, ukuran, kadar air, tingkat kematangan, rasa, warna, dan kriteria lainnya. Grading merupakan tindakan menggabungkan suatu produk menurut standarisasi yang diinginkan oleh pembeli.

b. Fungsi penanggungan risiko: merupakan penerimaan atas kemungkinan terjadinya kerugian karena kehilangan produk. Risiko yang dihadapi dapat dibedakan menjad risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik terjadi pada fisik produk karena kecelakaan dan bencana alam. Risiko pasar terjadi karena fluktuasi harga di pasar.

c. Fungsi pembiayaan: dibutuhkan khususnya dalam kegiatan operasional tataniaga.

d. Fungsi informasi: merupakan kegiatan dalam mengumpulkan, mengolah, dan menginterpretasikan data yang penting dalam memperlancar operasi dari proses tataniaga. Penetapan harga yang efektif tergantung dari seberapa baik pembeli dan penjual memperoleh informasi.

Menurut Asmarantaka (2009) fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas-aktivitas bisnis atau perlakuan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam proses tataniaga. Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan fungsi-fungsi tataniaga sebagai serangkaian fungsi yang dipergunakan dalam mengerakkan input dari titik produsen ke sampai titik konsumen akhir yang terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan).

(27)

Struktur Pasar

Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, syarat-syarat masuk dan sebagainya atau penguasaan pangsa pasar. Struktur pasar dicirikan oleh: (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen (2) diferensiasi produk dan (3) kebebasan untuk keluar masuk dalam pasar (Limbong dan Sitorus, 1987).

Struktur pasar didefinisikan sebagai saling berhubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka, 1999). Empat faktor penentu dari karakteristik suatu pasar antara lain: (1) jumlah atau ukuran perusahaan (2) kondisi atau keadaan produk (3) hambatan keluar masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan (Dahl and Hammond, 1977).

Dahl dan Hammond (1977) serta Limbong dan Sitorus (1987) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu (1) Pasar persaingan sempurna (Perfect Competition), (2) Pasar Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony), (3) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni (Olygopoly/Olygopsony), dan (4) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition).

Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana banyak pembeli dan penjual memperdagangkan komoditi yang sifatnya homogen atau seragam dalam jumlah yang banyak, sehingga setiap pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar, atau dengan kata lain pembeli dan penjual merupakan pihak yang mengikuti harga (price taker) bukan sebagai pihak yang menetapkan harga (price maker). Disamping itu, dalam pasar persaingan sempurna tidak terdapat hambatan untuk keluar atau masuk pasar sehingga pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas sumber-sumber ekonomi juga relatif sempurna.

Struktur pasar monopoli dicirikan dengan penjual tunggal dari sebuah komoditas yang bersifat unik dan sangat dideferensiasi dan penjual tersebut memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga pada struktur pasar monopoli penjual merupakan pihak yang menetapkan harga (price maker). Hambatan untuk masuk dan keluar yang besar seringkali merintangi pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi. Dari segi pembeli disebut pasar monopsoni, yang terdiri hanya dari seorang pembeli suatu komoditi.

(28)

oligopsoni. Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang sifatnya terdeferensiasi atau heterogen disebut pasar oligopoli terdeferensiasi, sedangkan pasar oligopsoni terdeferensiasi merupakan pasar yang dicirikan dengan beberapa pembeli yang membeli produk yang terdeferensiasi.

Pasar persaingan monopolistik merupakan karakteristik struktur pasar antara pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli. Pasar persaingan monopolistik dicirikan dengan terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar, dimana munculnya beberapa macam harga ini disebabkan penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli. Produk fisik dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gaya, service dapat berbeda, sebagai akibat penglihatan pembeli yang berbeda atas barang yang ditawarkan dan kesediaan membayar harga yang berbeda. Pada pasar persaingan monopolistik penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling, disamping harga untuk menonjolkan penawaran. Dari segi pembeli pasar ini disebut pasar persaingan monopsoni. Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli

No.

Karakteristik Struktur Pasar Jumlah Penjual dan

Pembeli Sifat Produk Sudut penjual Sudut Pembeli 1 Banyak Homogen Persaingan

Sempurna

Persaingan Sempurna 2 Banyak Diferensiasi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopolistik 3 Sedikit Homogen Oligopoli Murni Oligopoli Murni 4 Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi 5 Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Dahl and Hammond, 1977.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka struktur pasar dapat diartikan sebagai hubungan atau korelasi antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Karakteristik pasar ditentukan oleh jumlah penjual dan jumlah pembeli serta sifat produk yang pada akhirnya membentuk struktur pasar yang dilihat baik dari sudut penjual maupun sudut pembeli.

Perilaku Pasar

Asmarantaka (1999) mengemukakan perilaku pasar adalah seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik penjual maupun pembeli untuk mencapai tujuannya. Terdapat 3 cara untuk mengenal perilaku pasar, yaitu:

1. Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga: menetapkan dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership).

(29)

3. Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat ilegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga di bawah biaya marjinal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (integrasi vertikal ke belakang) sehingga perusahaan pesaing tidak dapat berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama dalam persaingan yang sehat.

Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar, lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga.

Dalam menganalisis tingkah laku pasar terdapat 3 pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Produsen menghendaki harga yang tinggi, pasar

output secara lokal menghendaki pilihan beberapa pembeli, tersedia waktu dan informasi pasar yang cukup dan adanya kekuatan tawar menawar yang lebih kuat. Lembaga tataniaga menghendaki keuntungan yang maksimal, yaitu selisih marjin tataniaga dengan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga relatif besar. Konsumen menghendaki tersedianya produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen dengan harga yang wajar.

Kriteria yang digunakan dalam menilai tingkah laku pasar meliputi : (1) tingkah laku pasar tidak wajar, eksklusif, saling mematikan ataukah peserta pasar menetapkan taktik paksaan, (2) tidak terjadi promosi penjualan yang menyesatkan, (3) persengkongkolan penetapan harga yang dapat dinyatakan secara terang-terangan atau sembunyi, (4) ada perlindungan terhadap praktik tataniaga yang tidak efisien, (5) praktik penetapan harga yang sama untuk kualitas produk yang lebih merugikan konsumen.

Perilaku suatu pemasar akan sangat jelas pada saat beroperasi, misal dalam penentuan harga, promosi, usaha dan pangsa pasar, penjualan, pembelian, siasat pemasaran dan lain sebagainya. Struktur pasar dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya dan marjin pemasaran serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl dan Hammond, 1977).

Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka perilaku pasar dapat disimpulkan sebagai pola tingkah laku peserta pasar antara lain produsen, konsumen, dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi.

Efisiensi Tataniaga

(30)

terbentuk di lokasi penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam melakukan fungsi-fungsi mereka untuk menyalurkan barang dari produsen ke konsumen.

Marjin Tataniaga

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) marjin tataniaga didefinisikan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga ke tingkat konsumen akhir. Semua kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang disebut biaya tataniaga dimana biaya tataniaga meliputi semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga ayam broiler. Marjin tataniaga juga dapat didefinisikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dengan harga yang diterima oleh produsen pada tiap level lembaga tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga.

Dahl dan Hammond (1977) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga ditingkat peternak (Pf) dengan harga ditingkat pengecer (Pr). Nilai marjin tataniaga merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan jumlah produk yang dipasarkan (Pr-Pf) x Qrf yang memiliki pengertian marketing cost

(biaya pemasaran) dan marketing changes (lembaga pemasaran).

Dari Gambar 1 dapat dilihat besarnya nilai marjin tataniaga dimana merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (selisih harga eceran dengan harga peternak) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Marjin tataniaga akan semakin besar jika perbedaan harga antara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat juga semakin besar.

Gambar 1. Hubungan Antara Fungsi-fungsi Pertama dan Turunan terhadap marjin Tataniaga dan Nilai Marjin Tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987) Keterangan:

Pr : Harga di tingkat pedagang pengecer Pf : Harga di tingkat peternak

Sr : Penawaran di tingkat pengecer Sf : Penawaran di tingkat peternak Dr : Permintaan di tingkat pengecer Df : Permintaan di tingkat peternak

(31)

Perpotongan antara kurva permintaan di tingkat peternak (Df) dengan kurva penawaran di tingkat peternak (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat peternak yaitu harga pada tingkat peternak (Pf) yang merupakan harga riil yang diterima oleh peternak untuk pembayaran hasil panennya. Perpotongan antara kurva permintaan di tingkat pengecer (Dr) dengan kurva penawaran di tingkat pengecer (Sr) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat pengecer yaitu harga pada tingkat Pr merupakan harga riil yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh produk tersebut.

Selisih antara tingkat harga yang diterima oleh peternak (Pf) dengan harga yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir (Pr) disebut marjin tataniaga. Marjin tataniaga yang terbentuk adalah cakupan total dari keuntungan yang diterima oleh seluruh lembaga tataniaga dan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Biaya pemasaran yang terbentuk merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usaha-usaha untuk memberikan nilai tambah pada produk yang diperdagangkan maupun biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan kegunaan tempat kepada produk yang diperdagangkan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka marjin tataniaga merupakan perbedaan atau selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dengan harga yang diterima oleh produsen, atau dengan kata lain marjin tataniaga merupakan nilai dari jasa-jasa pelaksanaan dari setiap kegiatan tataniaga yang dilakukan mulai dari tingkat produsen hingga sampai ke tingkat konsumen akhir. Sistem tataniaga dapat dikatakan efisien jika dalam pemasaran suatu komoditi terdapat penyebaran marjin yang merata di semua pelaku tataniaga.

Farmer’s Share

Farmer’s share merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat efisiensi dalam tataniaga dengan membandingkan bagian yang diterima oleh peternak (farmer’s share) terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Bagian yang diterima lembaga tataniaga dinyatakan dalam persentase (Limbong dan Sitorus, 1987).

Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga. Apabila nilai marjin tataniaga semakin tinggi maka farmer’s share akan semakin rendah, dan sebaliknya jika nilai marjin tataniaga rendah maka farmer’s share tinggi. Farmer’s share merupakan persentase perbandingan harga yang diterima oleh peternak (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr). Secara matematis farmer’s share (Fsi) dapat dirumuskan sebagai berikut:

Farmer’s share mempunyai nilai yang relatif rendah jika harga di tingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang diterima oleh peternak, sebaliknya farmer’s share mempunyai nilai yang relatif tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh dibandingkan dengan harga yang diterima oleh peternak.

Rasio Keuntungan dan Biaya (R/C)

Rasio keuntungan dan biaya (R/C) juga dapat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga dari suatu komoditas, hal ini dikarenakan pembanding

(32)

opportunity cost dari biaya adalah keuntungan. Sistem tataniaga secara teknis dikatakan efisien jika rasio keuntungan dan biayanya semakin besar dan nilainya bernilai positif atau lebih besar dari nol (>0).

Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya. Rasio keuntungan dan biaya adalah untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga, dimana semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya maka dari segi operasional sistem tataniaga tersebut semakin efisien.

Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini meneliti analisis tataniaga ayam broiler, analisis yang dilakukan antara lain analisis sistem dan efisiensi tataniaga. Sistem tataniaga terdiri dari lembaga tataniaga, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Efisiensi tataniaga terbagi menjadi 2, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga, dari hasil analisis yang dilakukan akan diketahui tingkat efisiensi yang sudah ada di lokasi penelitian dengan demikian dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan dalam sistem tataniaga yang ada untuk menghadapi perubahan permintaan dan penawaran komoditi ayam broiler.

Adapun jalur pemikiran secara operasional dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

Permintaan ayam broiler cenderung meningkat

Perbedaan harga antara harga jual di tingkat peternak dan harga beli ayam broiler di tingkat konsumen akhir

Analisis Tataniaga Ayam Broiler

1. Analisis saluran dan lembaga tataniaga 2. Analisis fungsi tataniaga

3. Analisis struktur dan perilaku pasar

Rekomendasi Sistem Tataniaga Ayam Broiler yang Lebih Efisien di Lokasi Penelitian Efisiensi Tataniaga Ayam Broiler

1. Analisis marjin tataniaga 2. Analisis farmer’s share

(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan (April-Mei 2014). Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan di daerah tersebut memiliki kecukupan objek yang diteliti mengenai produsen dan pedagang (pengumpul, besar dan pengecer) komoditas ayam broiler. Terdapat cukup banyak farm ayam broiler milik rakyat yang mandiri maupun dengan sistem kemitraan dengan inti dan farm milik inti sendiri di Kecamatan Parung dalam berbagai skala dengan produksi daging ayam broiler pada tahun 2012 mencapai 2.826.200 kg dengan populasi sebesar 586.592 ekor (Buku Data Peternakan Tahun 2012).

Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah diperoleh data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan melalui pencatatan dan wawancara langsung dengan para peternak dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat (pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer). Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner).

Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait dan lembaga pemerintah, seperti Dinas Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan, dan Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan LSI Institut Pertanian Bogor, hasil penelitian terdahulu, internet, serta literatur-literatur lain yang mendukung dan terkait dengan penelitian ini.

Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:

1. Data-data yang dikumpulkan untuk menganalisis lembaga dan saluran tataniaga:

a. Karakteristik peternak dan pedagang ayam broiler dengan indikator umur, pendidikan terakhir, dan pengalaman usaha.

b. Gambaran usahaternak yang meliputi kepemilikan, luas lahan, hasil panen, teknik budidaya dan peralatan yang digunakan.

c. Cara transaksi penjualan peternak dan pedagang ayam broiler. d. Cara transaksi pembelian pedagang ayam broiler.

e. Fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.

f. Penguasaan lembaga tataniaga terhadap produk tataniaga. g. Bentuk usaha lembaga tataniaga.

2. Data-data yang dikumpulkan untuk menganalisis fungsi tataniaga: a. Fungsi Pertukaran

i. Volume penjualan peternak dan pedagang ayam broiler. ii. Volume pembelian pedagang ayam broiler.

iii. Tempat penjualan peternak dan pedagang ayam broiler. iv. Tempat pembelian pedagang ayam broiler.

(34)

vi. Kualitas produk yang diinginkan oleh lembaga tataniaga. b. Fungsi Fisik

i. Jumlah produk yang disimpan. ii. Lokasi penyimpanan.

iii. Lama penyimpanan. iv. Biaya penyimpanan. v. Biaya transportasi. vi. Biaya pengolahan. c. Fungsi Fasilitas

i. Biaya usahaternak

ii. Risiko yang ditanggung peternak dan pedagang ayam broiler.

iii. Sumber informasi pasar peternak dan pedagang ayam broiler.

iv. Standarisasi dan grading produk.

v. Lembaga pembiayaan dan lembaga asuransi. 3. Data-data yang dikumpulkan untuk menganalisis struktur pasar:

a. Jumlah pelaku yang terlibat. b. Keragaman produk.

c. Hambatan keluar masuk pasar.

4. Data-data yang dikumpulkan untuk menganalisis perilaku pasar: a. Sistem penentuan harga jual dan harga beli.

b. Cara pembayaran transaksi jual beli. c. Sistem kontrak kerjasama.

5. Data-data yang dikumpulkan untuk menganalisis marjin tataniaga,

farmer’s share dan rasio keuntungan biaya: a. Harga jual di tiap lembaga.

b. Harga beli di tiap lembaga. c. Biaya tataniaga di tiap lembaga. d. Keuntungan di tiap lembaga.

6. Data-data yang dikumpulkan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian:

a. Letak geografis. b. Sarana dan prasarana. c. Kelembagaan peternakan. d. Keadaan sosial masyarakat.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 3 metode, yaitu wawancara, identifikasi langsung dan studi kepustakaan.

1. Wawancara

(35)

Identifikasi langsung dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung dan verifikasi terhadap kondisi yang ada di lapangan. Proses identifikasi dilakukan untuk mengetahui mekanisme pemasaran termasuk saluran tataniaga hingga konsumen akhir.

3. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan informasi yang akan diperoleh dari bahan pustaka, hasil penelitian terdahulu, maupun dokumen dari instansi terkait.

Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor dimana penentuan peternak sampel dilakukan dengan metode convenience sampling yaitu pemilihan sampel dengan pertimbangan kemudahan. Beberapa peternak diambil sebagai sampel karena kebetulan peternak tersebut ada di kandang, bersedia untuk di wawancara dan mampu memberikan informasi dengan baik. Dari beberapa peternak sampel yang diperoleh melalui metode convenience sampling responden peternak sampel berikutnya dapat di cari melalui informasi dari peternak sebelumnya/mengikuti alur sehingga metode snowball sampling

juga digunakan dalam penentuan peternak sampel. Peternak sampel diambil dari 5 desa di Kecamatan Parung, antara lain desa Iwul, desa Cogreg, desa Gunung Sindur, desa Ciseeng, dan desa Babakan. Total sampel peternak yang diwawancara sebanyak 30 orang dengan alasan untuk memperbesar keberagaman hasil penelitian dan dianggap telah menggambarkan kondisi peternak ayam broiler di Kecamatan Parung. Profil peternak sampel di lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 5.

Pengambilan sampel lembaga-lembaga tataniaga dilakukan dengan mengikuti alur saluran tataniaga ayam broiler dari peternak di lokasi penelitian hingga ke konsumen akhir atau disebut dengan metode snowball sampling. Adapun lembaga-lembaga tataniaga pada penelitian ini antara lain pedagang pengumpul, pedagang besar, rumah potong ayam (RPA) dan pedagang pengecer.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menggambarkan secara deskriptif dan dilakukan untuk mengamati karakteristik dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat efisiensi tataniaga dengan menggunakan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya (R/C). Data primer yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis, untuk data kuantitatif yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan alat hitung berupa kalkulator dan bantuan program Microsoft Excel.

Analisis Saluran Tataniaga

Gambar

Tabel 1. Produksi Daging Nasional Tahun 2009-2013* (000 ton)
Tabel 3. Konsumsi Rata-rata per Kapita per Tahun Beberapa Bahan Makanan di Indonesia Tahun 2008-2012
Tabel 4. Populasi Ayam Broiler Menurut Propinsi
Tabel 5. Karakteristik Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Pembeli
+7

Referensi

Dokumen terkait

Margin sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat (Kohl dan Uhl, 2002). Marjin ataniaga yang dihitung dalam penelitian

Tabel 21 menginformasikan pangsa marjin terbesar terdapat pada saluran tataniaga satu dan saluran tataniaga dua dengan tujuan pengrajin tahu/tempe di Kabupaten Cianjur yang

1) Saluran tataniaga beras di Desa Kenduren terdiri dari beberapa lembaga tataniaga yaitu petani, tengkulak, RMU, grosir, dan ritel. Berdasarkan analisis yang

Penelitian ini menganalisis tataniaga ikan gurame di desa Pabuaran, Kecamatan Kemang dengan menggunakan analisis kualitatif meliputi analisis saluran tataniaga yang digunakan

tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi saluran tataniaga dan fungsi-fungsi lembaga tataniaga yang terlibat pada kelompok masyarakat (Pokmas) emping melinjo

perantara (lembaga tataniaga) yang terlibat dalam pemasaran, maka biaya pemasaran. semakin tinggi, dan margin tataniaga (selisih antara harga produsen

Terdapat beberapa persamaan dengan beberapa penelitan terdahulu yang telah dilakukan seperti pada penggunaan alat analisis untuk menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi

Saluran Tataniaga, Analisis Marjin, Farmer’s Share, Laba, Biaya Pemasaran, Rasio R/C Dari analisis dilapangan ditemukan bahwa petani dari tiga desa tersebut memiliki pola yang hampir