• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tataniaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tataniaga Tebu (Studi kasus: Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

AMSETYO NUGROHO PUTRO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

(4)

Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah). Dibimbing oleh RATNA WINANDI.

Tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula. Tebu petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi permintaan pasar akan gula. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi saluran, fungsi, lembaga, dan struktur pasar pada sistem tataniaga tebu, serta menganalisis efisiensi operasional tataniaga tebu dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengamatan dan wawancara dilakukan kepada petani di Kecamatan Trangkil dengan metode purposive sampling, sedangkan metode mengikuti alur komoditi dilakukan kepada lembaga tataniaga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 saluran tataniaga dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu merupakan saluran yang paling efisien.

Kata kunci: Efisien, efisiensi, farmer’s share, Kecamatan Trangkil, tataniaga tebu

ABSTRACT

AMSETYO NUGROHO PUTRO. Sugarcane Commerce Analysis (Case Study: Trangkil district, Pati regency, Central Java). Guided by RATNA WINANDI.

Sugarcane can be used as raw material for the manufacture sugar. Cane farmers crops can be sold to sugar factories to meet the market demand for sugar. Therefore, research is needed to find out about business administration cane sugar in a comprehensive overview of business administration. The purpose of this study is to identify the channel, function, organization, and structure of the market in sugar cane business administration systems, and analyze operational efficiency with a cane trading system trading system margin approach, the farmer's share, and the ratio of benefits to costs. Observations and interviews were conducted to farmers in Sub Trangkil with purposive sampling method, while the method of follow the flow of commodity is done to institutions trading system. The results showed that there is a 4 channel trading system with institutions, functions, and different market structures on each channel. Under margin trading system, the farmer's share, and the ratio of benefits to costs shows one channel trading system is the most efficient channels.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS TATANIAGA TEBU

(Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

AMSETYO NUGROHO PUTRO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

Nama : Amsetyo Nugroho Putro

NIM : H34090064

Disetujui oleh

Dr Ir Ratna Winandi, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(8)
(9)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Kecamatan Trangkil, Kabupaten

Pati, Jawa Tengah)”. Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga tebu yang tercipta di Kecamatan Trangkil, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi, dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing yang memberikan bimbingan selama penulisan skripsi dan penelitian berlangsung. Selain itu penulis berterima kasih kepada kepada kedua orangtua Osner Silalahi dan Dorima Sihombing karena telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama proses penulisan. Terima kasih kepada sanak saudara Ir Walter Silalahi , Merry Sirait, Eva Silalahi, Ridho Silalahi, Dwi Silalahi, Yogiman Sitanggang dan seluruh sanak saudara yang turut serta membantu dan mendukung penulis. Tak lupa juga penulis berterima kasih kepada sahabat dan kerabat Tyas Widyastini, Zakky Raihan, Manaor Bismar, Mega Pratiwi, Winda Anggraini, Aditya Maulana , Bobby Nasution, Raymond, Handi, Tommy, Taufik Arifin, dan seluruh kerabat yang turut membantu dam proses penulisan karya ilmiah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, Februari 2014

(10)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 9

KERANGKA PEMIKIRAN 15

Kerangka Pemikiran Teoritis 15

Kerangka Pemikiran Operasional 22

METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Pengumpulan Data 25

Metode Pengolahan Data 26

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28

KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN 30

HASIL DAN PEMBAHASAN 33

Sistem Tataniaga 33

Saluran Tataniaga 33

Analisis Fungsi Tataniaga 36

Analisis Struktur Pasar 39

Analisis Perilaku Pasar 40

Analisis Marjin Tataniaga 43

Farmer’s share 47

Rasio Keuntungan terhadap Biaya 48

Efisiensi Saluran Tataniaga 50

SIMPULAN DAN SARAN 50

(11)

LAMPIRAN 13

(12)

1 Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012 1 2 Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012

(juta ton) 2

3 Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012 3

4 Data harga gula di tingkat petani dan pabrik gula serta marjin

tataniaga tahun 2012 3

5 Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton) 6

6 Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahn

2011 6

7 Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat penjual serta marjin

tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah 7

8 Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia 11

9 Perbandingan struktur pasar 19

10 Sebaran jumlah penduduk di kecamatan Trangkil berdasarkan

mata pencaharian tahun 2012 29

11 Jumlah produksi tebu per kecamatan di kabupaten Pati tahun

2012 30

12 Sebaran petani responden berdasarkan usia di kecamatan

Trangkil tahun 2013 31

13 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan

terakhir di kecamatan Trangkil tahun 2013 31

14 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan di kecamatan

Trangkil tahun 2013 32

15 Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan

lahan di kecamatan Trangkil tahun 2013 32

16 Fungsi dan aktivitas dari petani dan setiap lembaga tataniaga

tebu di kecamatan Trangkil 37

17 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran

tataniaga 1 43

18 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran

tataniaga 2 44

19 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran

tataniaga 3 44

20 Biaya tataniaga tebu setiap lembaga tataniaga pada saluran

tataniaga 4 45

21 Marjin tataniaga dari saluran tataniaga tebu di kecamatan

Trangkil tahun 2012 46

22 Analisis farmer's share pada saluran tataniaga tebu di

kecamatan Trangkil pada tahun 2012 48

23 Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga tebu

(13)

1 Kurva marjin tataniaga 21 2 Kerangka pemikiran operasional sistem tataniaga tebu

Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah 24

3 Sistem tataniaga tebu di kecamatan Trangkil tahun 2012 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data petani responden berkaitan dengan alamat, usia, pendidikan, luas lahan, produktivitas, produksi tebu, status

kepemilikan lahan dan rendemen tebu yang dihasilkan 52

2 Nilai farmer’s share pada setiap saluran tataniaga tebu di

kecamatan Trangkil 54

3 Perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap

saluran tataniaga tebu di kecamatan Trangkil 54

4 Kuesioner penelitian 55

(14)
(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 244 juta jiwa lebih hingga tahun 2012 memicu bertambahnya permintaan pangan baik dalam jumlah, mutu, dan keragamannya. Pertambahan jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik yang mengalami hambatan adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang kurang kondusif. Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan kebutuhan pangan bisa mengakibatkan terjadinya impor pangan. Kebijakan impor pangan yang meningkat menyebabkan stabilitas ketersediaan pangan menjadi rentan karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain.

Tabel 1 Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012

Tahun Sumber : Badan Pusat Statistik dan Badan Ketahanan Pangan, 2013 (Diolah)

(17)

Tabel 2 Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012 (juta ton)

Komoditas 2008 2009 2010 2011 2012

Padi 60.32 64.40 66.47 66.76 68.59

Jagung 16.32 17.63 18.33 17.64 18.94

Kedelai 0.77 0.97 0.91 0.85 0.78

Gula 2.30 2.24 2.21 2.23 2.75

Daging Sapi 0.39 0.41 0.43 0.45 0.483

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (Diolah)

Gula merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia dimana pemerintah berkewajiban untuk menyediakan gula dalam jumlah yang sesuai pada tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selain sebagai komoditas strategis, gula juga menjadi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat baik untuk membuat minuman maupun sebagai bahan pendukung membuat makanan. Banyaknya industri makanan dan minuman yang memanfaatkan gula dalam produksinya memicu pemerintah untuk mampu menyediakan gula dalam jumlah yang mencukupi sehingga tidak terjadi kekurangan gula baik dalam konsumsi rumah tangga, maupun keperluan industri. Produksi gula dalam negeri hingga tahun 2012 masih belum mampu memenuhi konsumsi gula nasional baik konsumsi langsung atau konsumsi rumah tangga maupun konsumsi tidak langsung atau keperluan industri. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menutupi kekurangan produksi gula tersebut adalah dengan melakukan impor gula. Pada tahun 2012, produksi gula Indonesia untuk keperluan konsumsi adalah sebesar 2.75 juta ton per tahun. Hal tersebut masih jauh dari target produksi untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi yang mencapai 2.87 juta ton per tahun. Konsumsi gula masyarakat Indonesia pada tahun 2012 mencapai 12 kg per kapita. Hingga tahun 2012, kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga secara nasional mencapai 2.87 juta ton per tahun atau sekitar 250 ton per bulannya.

(18)

Tabel 3 Perkembangan produksi gula tahun 2008-2012

Sumber : Kementrian Pertanian, 2013 (Diolah)

Berdasarkan tabel 3, konsumsi gula di Indonesia semakin mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk. Tingginya konsumsi gula nasional yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi gula dalam negeri sehingga menyebabkan Indonesia harus mengimpor gula untuk memenuhi kekurangan gula tersebut. Pada tahun 2012, harga gula mengalami fluktuasi dari Januari hingga Desember. Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Data harga gula di tingkat pabrik dan di tingkat retail serta marjin tataniaga tahun 2012

Bulan Harga Gula (Rp/kg) Marjin (Rp/kg)

tingkat pabrik tingkat retail

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013

(19)

salah satu penyebab ketidakberhasilan program swasembada gula selama satu dekade terakhir (Tunggul, 2013). Apabila setiap lembaga tataniaga mengambil keuntungan dari perannya, maka akan terjadi gap harga di petani dengan harga di pasar. Petani sebagai produsen sekaligus penerima harga (price taker) sering dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang terlebih dahulu mengetahui harga. Selain itu, kelemahan petani juga terletak pada kurangnya informasi terhadap pasar (mekanisme pasar) yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai tataniaga. Tabel 4 menyatakan bahwa harga gula pada tahun 2012 mengalami fluktuasi baik di tingkat produsen maupun di tingkat pasar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fluktuasi harga timbul sebagai akibat adanya perubahan jumlah konsumsi serta perubahan jumlah penawaran yang dapat dilihat dari perubahan jumlah produksinya. Tingginya jumlah penawaran gula sangat bergantung kepada produksi tebu. Hal tersebut dikarenakan tebu merupakan bahan baku dalam produksi gula. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa tinggi rendahnya produksi gula tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan dan produksi tebu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh rendemen yang terkandung di dalam tebu itu sendiri.

Tebu merupakan tanaman perkebunan musiman yang mengandung zat gula pada batangnya yang digunakan sebagai bahan baku produksi gula dalam negeri. Tebu hasil panen petani dapat dijual kepada pabrik gula untuk memenuhi permintaan pasar akan gula. Berdasarkan Tabel 5, produksi tebu nasional dari tahun ke tahun menunjukkan adanya fluktuasi. Faktor penyebab produksi tebu yang berfluktuatif tersebut salah satunya adalah karena adanya perubahan dari lahan yang digunakan dalam budidaya tebu.

Jumlah produksi yang dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya. Semakin besar jumlah produksi, maka akan semakin besar pula pendapatan yang diterimanya. Tetapi dalam kenyataannya, tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat dari jumlah produksi tebu saja. Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi oleh harga yang diterima dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang dilakukan oleh petani untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah satunya adalah dengan memilih saluran tataniaga yang efisien. Tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam proses yang terkait dengan kegiatan distribusi dari produsen (petani tebu) sampai dengan konsumen (pabrik gula). Serangkaian fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan), dan fungsi fasilitas (pembiayaan, resiko, standarisasi, dan grading). Pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan oleh kelompok atau individu yang disebut lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan usaha atau individu lainnya.

(20)

sering kali digunakan dalam menilai tingkat efisiensi tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi tataniaga yang tinggi karena tinggi atau rendahnya marjin tataniaga dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik tataniaga seperti pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Interpretasi terhadap marjin tataniaga yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak pedagang perantara yang terlibat dalam proses tataniaga. Marjin yang tinggi tersebut dinilai dapat diturunkan dengan memperpendek saluran tataniaganya. Dalam kenyataannya, tinggi atau rendahnya marjin tataniaga tidak bergantung pada banyaknya lembaga pamasaran yang terlibat, melainkan berdasarkan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga.

Peran pedagang perantara tersebut akan menyebabkan adanya marjin tataniaga. Marjin tataniaga dalam saluran tataniaga melalui APTRI sebesar 17.71 persen , kelompok tani sebesar 20.68 persen , penempur 21.41 persen, dan pedagang sari tebu sebesar 40.20 persen. Pemilihan saluran tataniaga (pedagang perantara) yang dilakukan oleh petani bukan berdasarkan marjin tataniaga melainkan berdasarkan farmer’s share (porsi harga yang dinikmati petani di tingkat konsumen yang dalam hal ini adalah pedagang perantara). Persentase farmer’s share yang diterima oleh petani tebu jika menjual ke APTRI adalah sebesar 84.60 persen, sedangkan farmer’s share jika menjual ke kelompok tani dan penempur hanya 70 persen dan farmer’s share jika menjual ke pedagang sari tebu hanya sebesar 20 persen. Farmer’s share yang relatif lebih besar bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari selisih penerimaan (farmer’s share petani) dikurangi biaya produksi (Soetrisniati, 2011).

Tujuan akhir dari tataniaga tebu adalah pabrik gula. Pabrik gula menggiling tebu dari petani tebu untuk diproduksi menjadi gula. Tetapi dalam kenyataannya, petani jarang melakukan penjualan langsung kepada pabrik gula karena adanya penerapan sistem kualitas (grading) yang ketat oleh pabrik gula. Jarak antara lokasi produksi dengan pasar juga dapat memberikan dampak pada biaya yang dikeluarkan petani dalam hal transportasi. Semakin jauh lokasi tataniaga, maka semakin besar pula biaya transportasi yang dikeluarkan oleh petani. Oleh karena itu, petani lebih memilih memasarkan hasilnya melalui lembaga tataniaga yang berperan sebagai pedagang perantara untuk membantu mendistribusikan tebu. Penelitian yang dilakukan oleh Soestrisniati (2011) tersebut menunjukkan bahwa setiap pedagang perantara (APTRI, pedagang sari tebu, kelompok tani, dan penempur) mengambil marjin tataniaga yang dibebankan kepada petani tebu sebagai akibat adanya aktivitas pendistribusian tebu sehingga posisi tawar petani rendah dan pendapatan yang diterima petani juga menjadi rendah.

(21)

Lampung (117 404 ha) dan Jawa Timur (200 594 ha) (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012).

Tabel 5 Produksi tebu di sentra penghasil tebu terbesar (ton)

Tahun Produksi Tanaman Tebu (Ton)

Lampung Jawa Tengah Jawa Timur

2007 8 864 022.0 5 111 218.0 17 056 027.0

2008 9 638 834.0 5 029 383.0 15 621 724.0

2009 8 963 292.0 4 627 527.0 14 326 166.0

2010 10 278 665.0 5 480 403.0 16 302 574.0

2011 7 579 100.7 4 127 020.5 13 650 574.0

Rata-Rata 9 064 782.7 4 875 110.3 15 391 413.0

Sumber : DGI , 2013 (Diolah)

Kabupaten Pati memiliki luas areal perkebunan tebu terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Daerah produksi tebu di Kabupaten Pati mencapai total sebesar 23.3 persen dari total luas lahan tebu di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2012). Kondisi tersebut membuat Kabupaten Pati menarik untuk diketahui bagaimana sistem tataniaga tebu yang akan berdampak pada pendapatan yang diterima petani tebu di Kabupaten Pati melalui analisis fungsi tataniaga dengan menggunakan pendekatan sistem tataniaga yang terjadi pada komoditi tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Perumusan Masalah

Sentra produksi tebu di Jawa Tengah terletak di Kabupaten Pati, Sragen, Tegal, Rembang, dan Kudus. Jumlah produksi tebu yang dihasilkan kelima kabupaten tersebut merupakan jumlah terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa Tengah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 yang menyatakan jumlah produksi tebu di daerah sentra di Jawa Tengah.

Tabel 6 Produksi tebu di sentra produksi tebu di Jawa Tengah tahun 2011

No Kabupaten Luas areal (ha) Jumlah produksi

(ton)

1 Pati 15 038.55 54 529.43

2 Sragen 9 019.00 32 885.21

3 Tegal 3 425.98 21 138.15

4 Rembang 5 594.00 20 579.15

5 Kudus 3 727.60 14 090.33

Sumber : BPS Jawa Tengah, 2012 (Diolah)

(22)

dihasilkan petani tebu dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diterimanya. Tetapi dalam kenyataannya, tingkat pendapatan petani tebu tidak hanya dilihat dari jumlah produksi tebu saja. Tinggi rendahnya pendapatan yang diterima petani juga dipengaruhi oleh penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Strategi yang dilakukan oleh petani untuk mengurangi tingginya biaya yang dikeluarkan salah satunya adalah dengan memilih saluran tataniaga atau tataniaga yang efisien.

Tabel 7 Harga tebu di tingkat petani dan di tingkat pabrik gula serta marjin tataniaga tebu tahun 2008-2012 di Jawa Tengah

Tahun Harga tebu di tingkat petani (Rp/Kg)

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2013 (Diolah)

Berdasarkan Tabel 7 mengindikasikan adanya marjin tataniaga tebu yang terjadi karena adanya lembaga tataniaga yang turut berperan dalam memasarkan tebu dari petani ke konsumen. Dalam sistem tataniaga suatu komoditi terdapat variasi saluran tataniaga dengan alur tataniaga yang berbeda juga. Adanya perbedaan alur tataniaga tersebut menyebabkan perbedaan dalam harga jual, keuntungan, serta biaya tataniaga untuk masing-masing lembaga tataniaga termasuk petani. Untuk meningkatkan keuntungan dan posisi tawar petani, maka dapat digunakan saluran tataniaga yang efisien. Saluran tataniaga yang terbaik adalah menjual tebu langsung ke pabrik gula tanpa melalui pedagang perantara sehingga tidak terdapat marjin tataniaga. Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa petani mengalami kendala modal dalam hal biaya transportasi dari lokasi produksi tebu ke pabrik gula sehingga petani menjual tebu kepada pedagang perantara, selain itu sistem standar kualitas (grading) yang ketat terhadap tebu mengakibatkan petani enggan menjual langsung ke pabrik tebu padahal petani tebu telah mengeluarkan biaya transportasi.

Standar kualitas yang diinginkan oleh pabrik gula terdiri dari persentase pol tebu, kemurnian nira, dan jumlah nira. Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh petani yang disebabkan oleh sistem penebangan tebu yang tidak baik, jarak yang jauh antara lokasi produksi tebu dengan pabrik gula, dan waktu pengangkutan yang terlalu lama karena faktor jarak (P3GI, 2008). Penerapan standar kualitas tersebut mengakibatkan banyak tebu yang tidak diterima oleh pabrik gula. Hal tersebut berdampak pada rendahnya harga yang diterima petani sehingga keuntungan yang diterima oleh petani rendah.

(23)

Pembeli yang memiliki modal dan pengaruh yang kuat mengarah kepada pedagang perantara. Pedagang perantara dalam tataniaga komoditi tebu dapat berupa APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu dan penempur. Penjual dalam struktur oligopoli adalah petani tebu yang biasanya memiliki posisi tawar yang lebih rendah dari pembeli.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa produksi tebu di Jawa Tengah cenderung mengalami fluktuatif bahkan pada tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Selain jumlah produksi yang berfluktuatif, tingkat harga tebu di petani dan pedagang juga mengalami fluktuasi tiap tahunnya. Penentuan harga yang dilakukan oleh pedagang menyebabkan barganing position petani lemah. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas tataniaga tersebut layak untuk diteliti di Kabupaten Pati yang merupakan sentra produksi di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian di Kecamatan Trangkil bermanfaat untuk melihat efisiensi sistem tataniaga yang dilihat dari marjin, farmer’s share , rasio biaya dan keuntungan. Oleh karena itu, permasalahan tataniaga di Kabupaten Pati adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem tataniaga tebu yang terjadi di Kecamatan Trangkil? 2. Apakah sistem tataniaga sudah efisien dengan menganalisis marjin

tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan petani di Kecamatan Trangkil?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil.

2. Menganalisis tingkat efisiensi sistem tataniaga pada saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Bagi petani, sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga tebu sehingga kesejahteraan petani meningkat.

2. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk mengefisienkan tataniaga tebu.

3. Bagi pihak lain, sebagai bahan referensi dalam upaya penyempurnakan masalah penelitian.

4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi penulis dan meningkatkan kompetensi dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama proses perkuliahan agribisnis.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

Kecamatan Trangkil yang melakukan usahatani tebu. Selain itu, lembaga tataniaga yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam proses tataniaga tebu seperti APTRI, Kelompok Tani, pedagang sari tebu, dan penempur.

Analisis penelitian ini dibatasi untuk melihat dan mengkaji saluran tataniaga tebu di daerah penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu.

TINJAUAN PUSTAKA

Tataniaga Agribisnis dari Aspek Ilmu Ekonomi

Tataniaga agribisnis adalah salah satu sub-sistem yang menjadi salah satu faktor penentu dalam efisiensi dan efektivitas dari sistem agribisnis. Sistem agribisnis tersebut terdiri dari sarana produksi pertanian (sub-sistem input), usahatani (on farm), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian, serta sub-sistem penunjang (penelitian, pembiayaan, informasi tataniaga, kebijakan tataniaga). Asmarantaka (2012) menjelaskan tataniaga berdasarkan perspektif makro merupakan kegiatan produktif yang mengalirkan produk mulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen akhir dengan tujuan pemenuhan kepuasan. Pemenuhan kepuasan ini dilakukan dengan berbagai cara salah satunya penambahan nilai guna dari berbagai aspek yaitu bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan. Rahim dan Hastuti (2008) menyatakan hal serupa, bahwa dalam tataniaga atau yang juga dapat dikatakan dengan pemasaran tidak hanya memiliki arti menawarkan atau menjual barang tetapi tataniaga mencakup berbagai kegiatan di antaranya penjualan, pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan penyortiran.

Tataniaga merupakan serangakaian tahapan aktivitas dan peristiwa dari fungsi-fungsi yang terkoordinasi dalam pergerakan mengalirnya produk dan jasa dari tangan produsen primer hingga ke konsumen akhir (Kohls dan Uhl, 2002). Terdapat beberapa cara dalam melakukan pendekatan pada suatu sistem tataniaga. Setiap pendekatan-pendekatan memiliki perspektif dasar dan cara berpikir sendiri terhadap suatu proses tataniaga. Pendekatan yang umum digunakan adalah melalui tiga pendekatan seperti yang didefinisikan Kohls dan Uhl (2002), yaitu pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan, dan pendekatan sistem perilaku. Boyd, Walker dan Larreche dalam Alda (2013) juga mendefinisikan tataniaga sebagai suatu proses sosial dengan kegiatan yang memungkinkan pihak-pihak terlibat mendapat apa yang dibutuhkan melalui pertukaran produk kepada pihak lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, tujuan tataniaga adalah pencapaian kepuasan kebutuhan konsumen untuk mencapai kepuasan tersebut melakukan serangkaian kegiatan identifikasi, komunikasi, negosiasi, pengolahan terhadap barang atau jasa yang diperjualbelikan.

(25)

yang terjadi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Tebu mengalir mulai dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen akhir dalam bentuk gula.

Botani Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum) telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa. Penanaman tebu di Indonesia dimulai pada saat sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda. Hal tersebut dilakukan oleh Belanda bertujuan untuk memberi keuntungan besar untuk kas negara pemerintah kolonial Belanda. Setelah sistem tanam paksa dihentikan, usaha perkebunan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Akan tetapi, perluasan perkebunan tebu tidak pernah melampaui Pulau Jawa karena tanaman tebu lebih sesuai untuk ditanam di Pulau Jawa.

Dalam dunia tumbuhan, tanaman tebu tersusun dalam sistematika sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)

Subkelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

Sumber : Sutardja (2008)

(26)

Tabel 8 Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia

Varietas Diameter Batang Kemasakan Rendemen

PS 851 Sedang Awal-tengah 10.74

PS 862 Besar Awal-tengah 10.87

PS 863 Sedang Awal-tengah 11.75

PS 864 Sedang Tengahan-lambat 8.34

PS 865 Sedang Awal-tengah 9.38

Bululawang Sedang-besar Tengah-lambat 7.51

Kentung Sedang Awal-tengah 8.33

Kidang Kencana Sedang-besar Tengah-lambat 9.51

Sumber : Kementrian Pertanian, 2009

Berbagai varietas tebu telah diluncurkan oleh Kementrian Pertanian untuk meningkatkan produksi petani. Kualitas bibit tebu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang cukup (lima sampai enam bulan), murni (tidak tercampur varietas lain), bebas dari penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Pada Tabel 8 dapat dilihat beberapa varietas tebu beserta ciri-cirinya.

Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula didalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen. Bila dikatakan rendemen tebu sebesar 10 persen, artinya adalah bahwa dari 100 kg tebu yang digiling ke pabrik gula akan memperoleh gula sebesar 10 kg (Sutardja, 2008). Akan tetapi fakta di lapangan rata-rata rendemen petani tebu berkisar antara delapan sampai sepuluh persen. Terdapat tiga macam rendemen, yaitu rendemen contoh, rendemen sementara, dan rendemen efektif.

1. Rendemen Contoh

Rendemen ini merupakan contoh yang dipakai untuk mengetahui apakah suatu kebun tebu sudah mencapai masak optimal atau belum. Dengan kata lain rendemen contoh bertujuan untuk mengetahui gambaran suatu kebun tebu berapa tingkat rendemen yang sudah ada sehingga dapat diketahui kapan saat tebang yang tepat dan kapan tanaman tebu mencapai tingkat rendemen yang memadai.

Rumus : Nilai nira x Faktor rendemen = Rendemen

2. Rendemen Sementara

Perhitungan ini dilakukan untuk menentukan bagi hasil gula, namun sifatnya masih sementara. Hal ini untuk memenuhi ketentuan yang menginstruksikan agar penentuan bagi hasil gula dilakukan secepatnya setelah tebu petani digiling sehingga petani tidak menunggu terlalu lama sampai selesai giling namun diberitahu dengan perhitungan rendemen sementara.

(27)

3. Rendemen Efektif

Rendemen efektif adalah rendemen hasil perhitungan setelah tebu digiling habis dalam jangka waktu tertentu. Perhitungan rendemen efektif ini dapat dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari atau disebut juga satu periode giling. Apabila suatu pabrik gula mempunyai hari giling 150 hari, maka jumlah periode giling adalah 150:15=10 periode. Hal ini berarti terdapat 10 kali rendemen efektif yang bisa diberitahukan dan diperhitungkan kepada petani tebu.

Tebu yang digiling di suatu pabrik gula jelas hanya sebagian kecil saja yang akan menjadi gula. Jika 100 kg tebu mempunyai rendemen 10 persen maka hanya 10 kg gula yang dapat dari satu kuintal tebu tersebut (Kantor Pelayanan Pajak BUMN 2005).

Manfaat Tebu

Tebu (Sacharum officianarum) termasuk keluarga Graminae atau rumput-rumputan dan berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tebu tumbuh di lebih dari 200 negara, India adalah terbesar kedua produsen gula sedangkan penghasil terbesarnya adalah Brazil. Di Negara Karibia tebu diolah menjadi Falernum dan dipergunakan sebagai bahan campuran coctail.

Selain sebagai bahan baku gula, tebu juga banyak khasiat sebagai obat, khasiat tebu adalah sebagai berikut :

1. Ekstrak sari tebu ditambah dengan jeruk nipis dan garam biasa di konsumsi di India bertujuan untuk memberikan kekuatan gigi dan gusi.

2. Air tebu dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh sakit tenggorokan dan mencegah sakit Flu serta bisa menjaga badan kita agar sehat. Air tebu ini pun dapat di konsumsi penderita diabetes sebagai pemanis karena kadar gulanya rendah.

3. Tebu bersifat alkali sehingga dapat membantu melawan kanker payudara dan prostat.

4. Tebu dapat dikonsumsi secara langung dengan cara dibuat jus, dibuat menjadi tetes rum dan dibuat menjadi ethanol yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar.

5. Mengkonsumsi air tebu secara teratur dapat menjaga metabolisme tubuh kita dari kekurangan cairan karena banyak kegiatan yang sudah dilakukan sehingga dapat terhindar dari stroke. Dengan banyaknya kandungan karbohidrat sehingga dapat menambah kekuatan jantung, mata, ginjal dan otak. Membantu mengobat penyakit kuning karena memberi kekuatan untuk hati yang menjadi lemah karena penyakit kuning. Membantu dalam menjaga aliran air kencing yang jelas dan juga membantu ginjal agar dapat berfungsi dengan baik (Ahira, 2011).

Penelitian Terdahulu

(28)

Kerja Pabrik Gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah” dan Soetrisniati (2011) dengan judul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”.

Penelitian yang dilakukan oleh Rimbawan (2012) dilakukan di wilayah kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah menjelaskan bahwa terdapat empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani, kelompok tani, dan pabrik gula. Saluran tataniaga 2 meliputi petani, kelompok tani lahan swasta, dan pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi petani, Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR), dan pabrik gula serta saluran tataniaga 4 yaitu petani dan pabrik gula.

Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh petani, kelompok tani lahan sewa, dan KPTR. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa penanggulangan risiko dan pembiayaan dilakukan oleh kelompok tani dan kelompok tani lahan swasta.

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani tebu dan kelompok tani mengarah ke pasar persaingan sempurna karena jumlahnya yang banyak, produk yang diperdagangkan homogen yaitu tebu, terdapat hambatan keluar masuk pasar dari pinjaman kredit modal, serta harga dibentuk oleh mekanisme pasar lelang. Struktur pasar yang dihadapi kelompok tani lahan swasta mendekati oligopoli karena jumlahnya yang sedikit, sifat produk yang homogen, terdapat hambatan keluar masuk pasar, serta harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar lelang. Adapun struktur pasar yang dihadapi KPTR mendekati oligopoli, karena jumlahnya yang sedikit, produk bersifat homogen, tidak ada hambatan keluar masuk pasar, serta harga ditentukan oleh KPTR.

Perilaku pasar dapat diamati dari input-output sytem yang meliputi praktik pembelian oleh KPTR dan investor gula, serta proses penjualan yang dilakukan oleh petani, kelompok tani, kelompok tani lahan swasta, dan dan KPTR. Power system meliputi penetapan harga tetap yang dilakukan oleh KPTR, harga gula ditetapkan dari proses lelang yang menunjukkan bahwa posisi tawar petani tinggi karena proses lelang diikuti oleh perwakilan petani. Comminication system meliputi proses komunikasi antar lembaga tataniaga yang sangat informatif dengan adanya sinder kebun dan lembar Surat Perintah Pengeluaran Gula (SPPG). Serta system for adapting to internal and external change yang menjelaskan bahwa kerja sama anat lembaga tataniaga gula terjalin atas proses jual, beli, dan pengolahan.

Saluran tataniaga yang paling efisien pada sistem tataniaga tebu di wilayah kerja PG Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah adalah saluran tataniaga 4. Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang kecil, famer’s share yang besar, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar. Namun saluran yang paling diminati oleh petani tebu adalah saluran tataniaga 3 karena lembaga tataniaga pada saluran ini menawarkan kemudahan kepada petani.

(29)

Penelitian yang Rimbawan dilakukan di wilayah kerja pabrik gula Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah.

Penelitian yang dilakukan oleh Soetrisniati (2011) dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur menjelaskan bahwa terdapat empat saluran tataniaga. Saluran tataniaga 1 meliputi petani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan pabrik gula. Saluran tataniaga 2 meliputi petani, kelompok tani dan pabrik gula. Saluran tataniaga 3 meliputi petani, penempur dan pabrik gula. Saluran tataniaga 4 meliputi petani, pedagang sari tebu dan konsumen.

Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran 1 dan 2 petani melakukan fungsi fisik yaitu pengangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan oleh APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi sortasi dilakukan petani dan penempur. Fungsi pengolahan dilakukan oleh pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu.

Struktur pasar yang dihadapi petani, penempur dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan sempurna karena terdapat banyak penjual, produk yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan adanya kesulitan untuk keluar masuk pasar.

Perilaku pasar dapat dilihat dari praktik pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Praktik pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah tawar menawar antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan penempur berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk usahatani tebu.

Saluran tataniaga yang efisien dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur adalah saluran tataniaga1. Hal ini dapat dilihat dari nilai marjin tataniaga yang rendah, farmer’s share yang besar dan rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup besar.

(30)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Batasan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdiri dari saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi tataniaga secara operasional.

Sistem Tataniaga

Definisi tataniaga adalah serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Menurut Kotler (2002), tataniaga adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang diperlukan dalam pemindahan hak milik yang menyelenggarakan saluran fisiknya termasuk jasa-jasa dan fungsi-fungsi dalam menjalankan distribusi barang dari produsen sampai ke konsumen termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan-perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen. Sehingga tataniaga dapat didefinisikan sebagai fungsi yang digunakan untuk menggerakkan produk jadi dari produsen hingga konsumen akhir.

Menurut Kohl dan Uhl (2002), mendefenisikan tataniaga pertanian merupakan keragaman dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan (Purcell, 1977; Gonarsyah,1996/1997; Kohls dan Uhl,1990 dan 2002) dalam Asmarantaka (2009), yaitu:

(31)

2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); yang terdiri dari pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang memberikan fasilitas tataniaga.

3. Pendekatan Komoditas (Commodity Approach); pendekatan ini menekankan kepada apa yang diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditi sepanjang gap antara petani (the original point of production) dengan konsumen akhir. Dengan demikian pendekatan ini menggambarkan agar penanganannya efisien.

4. Pendekatan Sistem (System Approach); pendekatan ini mempunyai arti menekankan kepada keseluruhan sistem, efisien dan proses yang kontiniu membentuk suatu sistem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisa keterkaitan yang kontiniu diantara subsistem- subsistem (misalnya subsitem pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang memberikan tingkat efisiensi tinggi.

5. Pendekatan Analisa Permintaan dan Harga; titik tolaknya adalah pendekatan analitis dari kegiatan ekonomi di bidang tataniaga antara petani dan konsumen. Kegiatan ekonomi disini adalah berhubungan dengan proses transformasi komoditas usahatani menjadi bermacam-macam produk yang diinginkan oleh konsumen. Proses transformasi ini pada asasnya adalah penciptaan suatu komoditas lebih berguna bagi konsumen. Proses transformasi ini merupakan kegiatan produktif dalam sistem tataniaga karena menciptakan atau menembahkan nilai guna produk.

Dengan demikian, sistem tataniaga adalah satu kesatuan aktivitas yang saling terhubung untuk memudahkan aliran produk dari petani (pasca panen) hingga ke konsumen akhir dengan melalui proses penambahan nilai guna produk yang bertujuan untuk memenuhi kepuasaan seluruh pihak-pihak yang terkait selama proses tataniaga. Analisis sistem tataniaga yang dipergunakan pada penilitian ini yaitu analisis lembaga dan saluran tataniaga, analisis fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, marjin tataniaga dan farmer’s share.

Lembaga dan Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan untuk dikonsumsi (Kotler, 2002). Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987).

(32)

produk tersebut adalah mudah rusak, volume yang besar dan cepat busuk sehingga dibutuhkan penggunaan khusus terhadap produk tersebut.

Menurut Kohl dan Uhl (2002) lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya:

1. Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah perantara yang memiliki hak dan menguasai produk yang mereka tangani. Mereka membeli dan menjual produk tersebut untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Yang termasuk ke dalam pedagang perantara ini adalah retail dan pedagang grosir. 2. Agen perantara (agent middlemen) adalah perwakilan dari institusi atau lembaga mereka tidak memiliki kekuasaan atas produk tersebut. Agen perantara mendapatkan keuntungan komisi dari penanganan atas produk yang dikehendaki oleh lembaga atau institusi. Agen perantara meliputi pencari komisi (commission men) dan broker.

3. Spekulator (speculative middlemen) adalah perantara yang melakukan pembelian dan penjualan atas produk dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari pergerakan harga.

4. Pengolahan dan pabrikan (processors and manufacture) adalah lembaga yang menangani produk dan merubah bentuk produk yaitu bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.

5. Organisasi (facilitative organizations) adalah lembaga yang membantu agar aktivitas berjalan dengan lancar.

Fungsi-Fungsi Tataniaga

Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen diperlukan tindakan-tindakan untuk memperlancar kegiatan tersebut, kegiatan tersebut dinamakan fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohl dan Uhl 2002).

Fungsi pertukaran (exchange function) adalah kegiatan yang berhubungan dengan pemindahan kepemilikan barang dan jasa yang dipasarkan mulai dari produsen kepada konsumen. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dimulai dengan pencarian pemasok kemudian mengubah bahan baku menjadi produk jadi yang akan dijual kepada konsumen untuk memenuhi permintaan akhir konsumen. Fungsi penjualan merupakan kegiatan yang meliputi pencarian tempat, waktu, pengemasan, saluran tataniaga yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen.

(33)

Fungsi fasilitas (facilitating function) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas meliputi (1) fungsi standarisasi merupakan suatu keseragaman dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk yang akan diproduksi, sedangkan grading adalah pengelompokkan atau pengklasifikasian hasil-hasil produk menurut standarisasi yang diinginkan; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk berbagai keperluan produksi dan tataniaga; (3) fungsi penanggungan risiko adalah penerimaan kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga produk akibat dari risiko fisik maupun risiko pasar; (4) fungsi informasi pasar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi pasar dan menafsirkan informasi tersebut.

Struktur Pasar

Struktur pasar adalah karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar yang akan mempengaruhi perilaku pasar dan keragaan pasar. Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka, 2009).

Menurut Hammond dan Dahl (1997), ada empat karakteristik yang merupakan faktor yang menentukan struktur pasar yaitu (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) kondisi dan keadaan produk; (3) kemudahan untuk keluar dan masuk pasar; (4) tingkat informasi harga. Kohl dan Dahl (2002) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu (1) pasar persaingan sempurna (perfect competition); (2) pasar monopoli atau monopsony (monopoly/monopsony); (3) pasar oligopoli atau oligopsoni (oligopoly/oligopsony); (4) pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition).

Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana terdapat banyak pembeli dan penjual yang memperdagangkan komoditi dimana output yang dihasilkan merupakan sebagian kecil dari total komoditi di pasar oleh karena itu komoditi memiliki sifat homogen sehingga pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar. Tidak ada hambatan untuk memasuki dan keluar pasar baik hambatan dari teknologi, hukum, keuangan maupun hambatan lainnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh pembeli dan penjual relatif sempurna dan lengkap.

(34)

Struktur pasar oligopoli adalah kondisi dimana pasar didominasi oleh beberapa perusahaan besar dalam suatu wilayah. Harga pasar berada di tangan beberapa perusahaan besar dan perusahaan–perusahaan kecil sebagai pengikutnya hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Perusahaan besar dapat mempengaruhi harga melalui keputusan output yang dihasilkan oleh mereka. Setiap perusahaan yang berada dalam pasar tersebut dalam menetapkan jumlah produksinya dan harga harus mempertimbangkan dampaknya kepada harga pasar dan bagaimana reaksi pesaing.

Tabel 9 Perbandingan struktur pasar

Karakter

Struktur pasar persaingan monopolistik adalah keadaan pasar yang berada diantara pasar persaingan sempurna dan oligopoli. Setiap perusahaan berusaha membuat produk atau layanan yang unik dan berbeda dari perusahaan yang ada. Penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling.

Perilaku dari suatu perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan dan struktur dari industri yang berlaku. Struktur industri dapat dijelaskan dengan besarnya perusahaan, kesamaan penawaran dan kemudahan perusahaan lain untuk masuk dan keluar dari industri. Perilaku harga dan output dari perusahaan dalam struktur industri akan berbeda dengan keragaan industri. Pada Tabel 9 akan dijelaskan perbedaannya.

Perilaku Pasar

(35)

seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli utnuk mencapai tujuannya masing-masing (Asmarantaka, 2009).

Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa ada empat hal yang perlu yang diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3) Communications system, menjelaskan bagaimana mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and exsternal change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan dapat bertahan di pasar.

Marjin Tataniaga

Marjin tataniaga mengacu pada perbedaan harga pada berbagai tingkaan sistem tataniaga. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga antara harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Pr).

Sehingga marjin tataniaga dapat dikatakan sebagai selisih dari harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Pr-Pf ).

Marjin tataniaga hanya mengacu pada perbedaan harga, tidak berhubungan dengan jumlah produk yang ada di pasar (Hammond dan Dahl 1977).

Keterangan:

Pf & Pr = Harga di tingkat petani dan harga di tingkat pengecer

Df & Dr = Permintaan di tingkat petani dan permintaan di tingkat pengecer

Sf & Sr = Penawaran di tingkat petani dan penawaran di tingkat pengecer

Qr,f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer

(Pr-Pf ) = Marjin tataniaga

(Pr-Pf )Q = Nilai marjin tataniaga

Gambar 1 Kurva Marjin Tataniaga Sumber : Hammond dan Dhall (1997)

Sr

Dr

Sf

Df

Price

Pr

Pf

(36)

Farmer’s Share (Bagian Harga yang Diterima oleh Petani)

Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga tataniaga ini dinyatakan dalam persentase (Limbong dan Sitorus, 1987). Farmer’s share (Fsi) didapatkan dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir.

Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (Value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produknya.

Farmer’s share mumpunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga. Sehingga semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah (Simamora S, 2007). Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut:

Fs = x 100%

Keterangan:

Fs : Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen

Rasio Keuntungan terhadap Biaya

Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian, semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987). Besarnnya rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

Li : Keuntungan lembaga tataniaga Ci : Biaya tataniaga

Efisiensi Tataniaga

(37)

Tataniaga yang efisien, secara normatif adalah struktur pasar persaingan sempurna.tetapi, struktur pasar ini secara realita sangat sulit ditemukan.

Analisis efisiensi tataniaga ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu dengan menggunakan konsep efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional digunakan untuk mendekati efisiensi produksi yang diukur dengan membandingkan output pemasaran terhadap inputnya. Efisiensi ini lebih berkaitan dengan kegiatan fisik pemasaran dan lebih berkaitan dengan teknologi. Efisiensi harga digunakan untuk mendekati efisiensi distribusi dan kombinasi produk optimum dengan asumsi hubungan output-input dalam bentuk fisik adalah tetap. Efisiensi harga ini berhubungan dengan keefektifan pemasaran sehingga harga dapat digunakan untuk menilai hasil kerja proses pemasaran dalam menyampaikan output dari daerah produsen ke daerah konsumen (Sudiyono, 2002).

Menurut Kohl (2002), efisiensi tataniaga merupakan maksimisasi rasio input dan output. Efisiensi operasional mengasumsikan esensi dari sifat output barang atau jasa yang tetap dan berfokus pada penurunan biaya input dari usaha yang dilakukan. Dengan kata lain suatu efisiensi operasional dapat terwujud dengan cara memperkecil biaya dan meningkatkan atau mempertahankan output. Efisiensi harga berfokus pada peningkatan kegiatan pembelian, penjualan dan aspek harga dari proses pemasaran yang mendapat tanggapan secara langsung. Efisiensi harga adalah hasil dari persaingan murni dan keseimbangan kekuatan ekonomi yang ada dengan proses tataniaga. Kegiatan yang dapat meningkatkan efisiensi harga adalah informasi pasar, label dan informasi konsumen serta tingkatan dan standarisasi.

Efisiensi tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntugan (benefit) yang diterima terhadap biaya (cost) yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga. Biaya adalah penggunaan sumberdaya, sedangkan keuntungan adalah manfaat yang diperoleh. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa penggunaan sumberdaya dikatakan sebagai input tataniaga, sedangkan hasil akhir dari proses produksi yang ditujukan untuk memenuhi kepuasan konsumen dan keuntungan perusahaan dikatakan sebagai output tataniaga.

Kerangka Pemikiran Operasional

Dasar penelitian ini adalah harga gula yang berfluktuatif di tingkat konsumen namun peningkatan harga tersebut tidak dapat dinikmat oleh petani tebu. Harga yang berlaku di tingkat petani tebu tidak mengalami peningkatan yang besar. Tebu merupakan bahan baku bagi pabrik tebu untuk kemudian menghasilkan gula. Tanaman tebu merupakan tanaman musiman sehingga dalam kurun waktu satu tahun tanaman tebu dipanen sekali. Tebu merupakan kebutuhan yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Tanaman tebu dapat dikonsumsi secara langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Manfaat yang terkandung dalam tebu sangat banyak bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, permintaan akan tebu semakin meningkat setiap tahunnya.

(38)

tataniaga yang dapat memberikan keuntungan besar bagi petani. Apabila petani mendapatkan modal dari APTRI maka petani harus menjual hasilnya ke APTRI walaupun ada alternatif lain yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Informasi harga yang diterima oleh petani dan mengenai hasil rendemen yang dihasilkan oleh petani sangat terbatas, hal ini juga disebabkan oleh lemahnya posisi petani dalam sistem tataniaga. Oleh karena itu perlu analisis mengenai tataniaga tebu untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga tebu sehingga memberikan alternatif bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Penelitian mengenai tataniaga tebu dilakukan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif melalui pendekatan analisis marjin

tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Analisis kualitatif

(39)

Gambar 2 Kerangka Operasional Sistem Tataniaga Tebu Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Produksi tebu dan marjin tataniaga tebu berfluktuasi mempengaruhi harga jual tebu

Bagaimana sistem tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati? Apakah sistem tersebut sudah efisien?

Rekomendasi alternatif saluran tataniaga yang efisien Sistem tataniaga

 Lembaga dan Saluran Tataniaga

 Fungsi Tataniaga

 Struktur Pasar

 Marjin Tataniaga

Farmer’s Share

(40)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Trangkil merupakan wilayah penghasil tebu terbesar di Jawa Tengah. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei 2013 dengan pertimbangan pada bulan tersebut merupakan masa panen tebu di wilayah tersebut sehingga mempermudah untuk melihat saluran tataniaga yang ada di Trangkil.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tersaji pada kuesioner kepada pelaku tataniaga tebu baik itu petani maupun pedagang. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan tataniaga tebu untuk mengetahuo saluran tataniaga dan lembaga tataniaga yang terlibat pada alur tataniaga tebu.

Data sekunder pun diperlukan pada penelitian ini. Data sekunder didapatkan dari studi literatur, tinjauan pustaka, serta beberapa penelitian terdahulu. Selain itu, data yang menunjukkan data terhadap komoditi tebu yang menunjang seperti dari Badan Pusat Statistika, Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian RI, dan Dinas Perkebunan Jawa Tengah. Data sekunder ini dipergunakan sebagai pelengkap dari data primer.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan panduan kuesioner kepada pelaku tataniaga tebu baik itu petani maupun pedagang. Responden petani dipilih dengan menggunakan teknik purposive atau sengaja, hal ini dilakukan dengan cara memilih petani yang menggunakan saluran tataniaga berbeda. Pemilihan yang sengaja ini ditujukan agar saluran tataniaga tebu yang berada di Kecamatan Trangkil ini terlihat. Jumlah petani yang dijadikan responden adalah sebanyak 33 orang untuk mewakili petani di setiap saluran tataniaga dan terdapat 7 pedagang yang menjadi responden dalam penelitian ini.

(41)

Metode Pengolahan Data

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Efisiensi tataniaga tebu dapat diperoleh melalui analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Penelitian analisis kualitatif efisiensi tataniaga tebu meliputi lembaga dan saluran tataniaga tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Penelitian analisis kualitatif efisiensi tataniaga tebu ini dijelaskan secara deskriptif untuk menjabarkan semua detail dari saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, serta permasalahan yang terjadi pada daerah penelitian. Sedangkan analisis kuantitaif dilakukan melalui pendekatan majin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Efisiensi tataniaga tebu dapat dilihat dari analisis struktur pasar, perilaku pasar, saluran tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis sistem tataniaga digunakan untuk mengetahui rangakaian keseluruhan mulai dari petani sampai dengan konsumen akhir atau pabrik gula. Dalam penilitian ini yang diamati sistem tataniaganya hanya sampai dengan tebu tidak termasuk tataniaga gula.

Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga

Analisis saluran tataniaga tebu di Kecamatan Trangkil dilakukan dengan menelusuri kegiatan tataniaga yang ada mulai dari petani hingga ke konsumen akhir. Penelusuran mengenai saluran tataniaga akan diketahui pola saluran tataniaga yang terjadi dan jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tersebut. Perbedaan pada saluran tataniaga akan berpengaruh pada tingkat pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat.

Analisis Fungsi Tataniaga

Fungsi-fungsi dari setiap lembaga tataniaga dapat diketahui berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Fungsi dari lembaga tataniaga adalah menyalurkan komoditi dari produsen sampai ke tangan konsumen. Selain menyalurkan komoditi, melalui analisis ini pun akan diketahui biaya yang dikeluarkan dalam setiap kegiatan tataniaga. Pedekatan fungsi-fungsi tataniaga yang akan dianalisis adalah:

1. Fungsi Pertukaran

Aktivitas pemindahan kepemilikan dari barang dan jasa yang meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan.

2. Fungsi Fisik

Tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa agar memiliki kegunaan waktu, tempat, dan bentuk. Fungsi fisik ini meliputi fungsi penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan.

3. Fungsi Fasilitas

Kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Fungsi fasilitas ini meliputi standarisasi dan grading, pembiayaan, penanggulangan risiko, dan informasi pasar.

Analisis Struktur Pasar

(42)

keluar pasar. Melalui lima hal tersebut maka akan diketahui struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga. Struktur pasar yang mungkin dihadapi oleh pelaku tataniaga adalah pasar persaingan sempurna, persaingan monopolistik, monopoli, dan oligopoli.

Analisis Perilaku Pasar

Analisis ini dilihat dari tingkah laku pasar dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam kegiatan tataniaga. Kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga, cara pembayaran, dan kerjasama yang dilakukan mempengaruhi perilaku setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis perilaku pasar digunakan untuk mengetahui karakteristik konsumen.

Analisis Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tataniaga dapat dilihat dari beberapa faktor seperti marjin tataniaga, farmer’s share, serta analisis keuntungan terhadap biaya. Selain dari faktor-faktor tersebut, terdapat pula beberapa faktor yang perlu dipertibangkan seperti saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga, struktur pasara, dan perilaku pasar. Indikator tercapainya efisiensi tataniaga adalah menurunnya biaya tataniaga tanpa mempengaruhi output yang dipasarkan. Sistem tataniaga akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga memperoleh kepuasan dari adanya kegiatan tersebut.

Analisis Marjin Tataniaga

Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga di tingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga adalah MT = Pr – Pf. Melalui penelusuran saluran tataniaga, diharapkan dapat

diperoleh informasi tentang marjin pada tiap lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga tataniaga. Marjin juga didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem (1985) tersebut maka secara matematis perhitungan nilai marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Mi = Hji - Hbi

Atau

Mi = Ci+ πi

Dan besarnya marjin tataniaga pada saluran tataniaga adalah:

MT= ∑Mi

Keterangan:

Mi = Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)

Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)

Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)

Ci = Biaya pembelian pada tingkat pasar ke-i (Rp/Kg)

Πi = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/Kg)

I = 1, 2, 3,...,n

Gambar

Tabel 1  Jumlah penduduk dan permintaan pangan tahun 2008-2012
Tabel 2  Perkembangan produksi pangan strategis tahun 2008-2012 (juta ton)
Tabel 4   Data harga gula di tingkat pabrik dan di tingkat retail serta marjin
Tabel 8  Varietas dan karakteristik tebu yang terdapat di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur penyebaran keuntungan pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga yang

Tabel 21 menginformasikan pangsa marjin terbesar terdapat pada saluran tataniaga satu dan saluran tataniaga dua dengan tujuan pengrajin tahu/tempe di Kabupaten Cianjur yang

Sub Terminal Agribisnis (STA) adalah lembaga tataniaga yang menjadi wadah milik pemerintah yang dijadikan sarana tempat pemasaran komoditi pangan dan sayur-sayuran. Margin

Bagaimana marjin tataniaga, price spread dan share margin yang diterima oleh masing-masing saluran tataniaga kepiting di Desa Pantai Gading, Kecamatan

(2) Lembaga- lembaga yang terlibat dalam tataniaga sawi putih adalah pedagang pengecer desa, pedagang pengumpul, pedagang pengecer siantar, agen, pedagang luar

Penelitian analisis sistem tataniaga menggunakan pendekatan analisis volume distribusi, biaya tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan

Saluran tataniaga satu merupakan saluran tataniaga yang terdiri dari petani, pedagang pengecer dan konsumen. Jenis saluran tataniaga ini dilakukan oleh 13 orang

perantara (lembaga tataniaga) yang terlibat dalam pemasaran, maka biaya pemasaran. semakin tinggi, dan margin tataniaga (selisih antara harga produsen