• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH

(Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua,

Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)

SKRIPSI

MAIDA YULIANDARI H34096059

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

ii

RINGKASAN

MAIDA YULIANDARI. Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA).

Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki potensi usaha yang baik adalah komoditas jamur konsumsi. Produk jamur memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, kandungan gizi yang tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Jenis jamur konsumsi yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) atau dikenal pula dengan nama Shimeji

White. Desa Kertawangi yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten

Bandung Barat adalah salah satu desa sentra penghasil jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat dengan total produksi mencapai sekitar tiga ton jamur tiram putih per hari. Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar, bersifat mudah rusak (perishable) dan tidak tahan lama, sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat, termasuk proses tataniaganya agar produk tidak rusak hingga sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan jamur tiram putih dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir.

Kurangnya informasi dan akses pasar menjadi kendala petani dalam memasarkan produknya. Petani pun tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhada lembaga tataniaga, sehingga petani hanya menjadi price taker. Terdapat perbedaan harga jual antara harga yang diterima petani dengan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir. Harga di tingkat petani sekitar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir mencapai Rp 12.000 per kilogram. Dengan adanya marjin tataniaga yang mencapai Rp 5.000 tanpa ada pengolahan produk, mengindikasikan bahwa marjin tataniaga tersebut terbentuk dari rantai tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi yang cukup panjang dan saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi kurang efisien.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2012 di Desa Kertawangi yang dijadikan sebagai studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, 2) Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani jamur tiram putih (farmer’s share), dan 3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani dan lembaga tataniaga responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur ataupun studi pustaka yang mendukung penelitian. Data sekunder bersumber dari

(3)

iii data laporan desa, majalah, internet, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Hortikultura, buku teks tataniaga, perpustakaan IPB, dan data-data dari beberapa instansi terkait lainnya.

Penelitian ini melibatkan delapan petani responden yang dipilih secara sengaja (purposive) menurut arahan narasumber dan sepuluh lembaga tataniaga responden yang dipilih menggunakan teknik snowball sampling dari petani responden. Proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi dimulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen akhir, melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Petani responden dibagi ke dalam tiga kelompok menurut skala usahanya. Petani skala kecil dengan kepemilikan bag log kurang dari 20.000 buah. Petani skala usaha sedang/menengah memiliki jumlah bag log antara 20.000 hingga 100.000 buah. Petani skala besar memiliki bag log lebih dari 100.000. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Terdapat empat pola saluran tataniaga jamur tiram putih yang terbentuk dengan total volume penjualan 1.145 kilogram per hari. Pola saluran I: Petani-Pedagang pengumpul-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran II: Petani–Bandar-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran III: Petani-grosir-Pedagang pengumpul–Bandar-Pedagang grosir- Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran IV: Petani-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir.

Saluran yang paling banyak digunakan oleh petani responden adalah saluran I dengan jumlah petani responden sebanyak tiga orang dan total volume penjualan sebanyak 105 kg per hari. Saluran III merupakan saluran yang paling sedikit digunakan oleh petani responden dengan jumlah petani responden sebanyak satu orang dan total volume penjualannya pun paling sedikit yaitu hanya 40 kg per hari. Saluran IV merupakan saluran dengan volume penjualan tertinggi, yaitu mencapai 850 kilogram per hari, namun hanya dua petani responden yang menggunakan saluran ini. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah pada pasar persaingan sempurna. Berdasarkan perilaku pasar yang dihadapi dalam praktek penjualan dan pembelian, telah terjalin kerjasama yang cukup baik antar lembaga tataniaga. Pembentukan harga ditentukan oleh supply dan demand jamur tiram putih di Pasar Induk Kramat Jati. Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga mengeluarkan biaya tataniaga dan memperoleh keuntungan tataniaga. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan atas biaya dan volume jamur tiram yang terjual, diketahui bahwa saluran tataniaga IV merupakan saluran yang paling efisien karena memiliki nilai marjin tataniaga terendah (37,5 persen), farmer’s share tertinggi (62,5 persen), volume penjualan per hari tertinggi (850 kilogram) dengan harga jual jamur tiram tertinggi diantara keempat saluran tataniaga, yaitu Rp 7.500 per kilogram. Saluran tiga merupakan saluran tataniaga yang paling tidak efisien karena pada saluran tiga petani mendapatkan harga jual terendah dibanding saluran tataniaga lainnya dan memiliki nilai marjin tataniaga terbesar (43,34 persen), farmer’s

(4)

iv

ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH

(Pleurotus ostreatus)

(Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua,

Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)

MAIDA YULIANDARI H34096059

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(5)

v Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus

ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi,

Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)

Nama : Maida Yuliandari

NRP : H34096059

Menyetujui, Pembimbing

Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec NIP. 19640220 198903 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

Maida Yuliandari H34096059

(7)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Juli 1988 dengan nama lengkap Maida Yuliandari. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Mohammad B. Djaelani dan Ibu Sri Wahyuni (Almh.).

Penulis memulai pendidikan dasar di SD Kartika III-I Kota Bandung dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2003 penulis lulus dari SMP Negeri 7 Bandung dan langsung melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di SMA Negeri 14 Bandung dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2009 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Diploma III (D3) Jurusan Budidaya Tanaman Hortikultura, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung. Saat menempuh pendidikan Diploma III, penulis aktif mengikuti sejumlah kegiatan kemahasiswaan yaitu sebagai Ketua Angkatan 2006 Himpunan Mahasiswa Budidaya Tanaman Hortikultura (HIMA BUTAHORT), Sekretaris HIMA BUTAHORT periode 2007-2008, dan menjadi anggota Senat Mahasiswa Agribisnis Divisi Humas Eksternal 2008-2009. Penulis juga berkesempatan memperoleh beasiswa prestasi pada tahun 2008.

Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S1 (Ekstensi) di Program Penyelenggaraan Khusus, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat serta ridho-Nya lah skripsi ini dapat diselesaikan, serta tidak lupa sholawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)” ini disusun sebagai syarat kelulusan dalam menyelesaikan studi dan untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis sistem dan pola saluran tataniaga, fungsi lembaga tataniaga, struktur dan perilaku pasar, serta keragaan pasar jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

Namun demikian, sangat penulis sadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2012

(9)

ix

UCAPAN TERIMAKASH

Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing dalam pelaksanaan penelitian atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai.

2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen penguji komdik pada ujian sidang penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini, khususnya dalam hal penulisan skripsi. 4. Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen evaluator pada kolokium penulis

yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran dan masukan dalam perbaikan proposal penelitian penulis.

5. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama masa kuliah di Departemen Agribisnis.

6. Ayahanda, adikku Rayhan Asfahani, dan Embah Putri tercinta, serta Keluarga Besar Supardi yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan moril dan materiil, serta doa tulus yang selalu dipanjatkan menjadi sumber semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak Ajang Taryana, Bapak Tisna Wardhana, Bapak Nandang, Bapak Beni, Pemerintah Desa Kertawangi, para responden, dan seluruh pihak di Desa Kertawangi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terlibat dalam penelitian ini dan telah membantu penulis dalam memberikan data dan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Seluruh staf Sekretariat Ekstensi Agribisnis, Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan informasinya dalam mengurus dan menyelesaikan berbagai urusan akademik.

(10)

x 9. Teman-teman seperjuangan penelitian dan bimbingan skripsi yaitu Kak Andry, Wawan, Meidina, dan Yulius yang telah memberikan semangat, saling mendukung dan saling membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih atas semua kritik dan sarannya.

10. Sahabatku Siti Heryani dan teman-teman di Kostan Bale Bandung Teh Fitriani dan Teh Wiwit yang selalu memberi hiburan dan dukungan moral serta bantuan untuk mengoreksi tulisan penulis.

11. Teman-teman seperjuangan Ekstensi Agribisnis Angkatan 7, Mas Nurdin, Ade, Riena, atas bantuan, semangat, dukungan dan sharing selama proses penelitian dan penulisan skripsi serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi, terima kasih atas bantuannya.

Bogor, Juni 2012

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….…. xiii

DAFTAR GAMBAR ………..…... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………... xv I PENDAHULUAN ………... 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ………... 1.4. Manfaat Penelitian …………... 1 1 6 8 8 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ………... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ………. 2.1. Karakteristik Jamur Tiram Putih ... 2.1.1. Lingkungan dan Syarat Tumbuh ………..…….………. 2.1.2. Kandungan Nutrisi dan Manfaat Jamur Tiram …..…… 2.2. Tahapan Budidaya Jamur Tiram Putih ... 2.3. Bisnis Jamur Tiram Putih ………... 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 10 10 12 13 15 17 18 III KERANGKA PEMIKIRAN ……….. 23

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ………... 3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian …..……..………...……… 3.1.2. Pendekatan Komoditi Tataniaga …..……….………….. 3.1.3. Pendekatan Lembaga Tataniaga …...…... 3.1.4. Pendekatan Fungsi Tataniaga ………...……..…….. 3.1.5. Pendekatan Sistem dan Struktur Pasar ……..………..… 3.1.6. Pendekatan Teori Ekonomi ………..….………..… 3.1.7. Efisiensi Tataniaga ………... 3.1.7.1. Rasio Keuntungan Atas Biaya ....……..……... 3.1.7.2. Marjin Tataniaga ………...……… 3.1.7.3. Farmer’s Share ………...………… 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ……… 23 23 25 25 26 28 29 29 31 31 34 34 IV METODE PENELITIAN ……….. 37

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 37

4.2. Jenis Data dan Sumber Data ………...………..….. 37

4.3. Metode Penentuan Responden ……… 37

4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ………... 38

4.4.1. Analisis Deskriptif …..………. 38

4.4.2. Analisis Sistem Tataniaga …..………. 38

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ………..…………. 39

(12)

xii

4.4.5. Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya ……..…………. 40

4.4.6. Analisis Farmer’s Share ……..……….... 41

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 42 5.1. Geografi Lokasi Penelitian ……….. 42

5.2. Keadaan Alam ……….. 42

5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ………... 43

5.4. Gambaran Umum Usahatani Jamur Tiram Putih ………. 44

5.5. Karakteristik Petani Responden ………... 46

5.6. Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden ………. 48

VI ANALISIS SALURAN TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH .. 50

6.1. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga ………. 50

6.1.1. Petani ………..………. 50

6.1.2. Pedagang Pengumpul (Pengepul) ………..……….. 52

6.1.3. Bandar …………..……… 53

6.1.4. Pedagang Grosir …………..………. 54

6.1.5. Pedagang Pengecer ………..……… 55

6.2. Analisis Saluran Tataniaga ……….. 57

6.2.1. Saluran Tataniaga I ………..………... 57

6.2.2. Saluran Tataniaga II …………..………... 59

6.2.3. Saluran Tataniaga III …………..………. 61

6.2.4. Saluran Tataniaga IV ………..……….…... 62

6.3. Analisis Struktur Pasar ……… 64

6.3.1. Petani ………..………. 64

6.3.2. Pedagang Pengumpul (Pengepul) ……….……….. 65

6.3.3. Bandar ………..……… 66

6.3.4. Pedagang Grosir ………..………. 66

6.3.5. Pedagang Pengecer ………..……… 66

6.4. Analisis Perilaku Pasar ……… 67

6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan ……..……….. 67

6.4.2. Sistem Penentuan Harga ……..……… 67

6.4.3. Sistem Pembayaran ……..……… 68

6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga ………..………… 69

6.5. Analisis Keragaan Pasar ……….. 69

6.5.1. Analisis Marjin Tataniaga ………..………. 69

6.5.2. Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya ……..………… 77

6.5.3. Analisis Farmer’s Share ………..………..…. 79

VII KESIMPULAN DAN SARAN ………... 81

7.1. Kesimpulan ……….. 81

7.2. Saran ……… 82

DAFTAR PUSTAKA ……… 83

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura, Pertanian, dan Nasional

Tahun 2010 …………... 1

2 Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2010 ………... 2

3 Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jamur di Beberapa Kota di Indonesia ……… 4

4 Luas Kumbung dan Jumlah Produksi Jamur per Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 2010 ……… 5

5 Kandungan Gizi Setiap 100 Gram Jamur Tiram ………... 13

6 Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lainnya ……….. 14

7 Komposisi Media untuk Pembuatan 80 Bag Log Ukuran Sedang………. 15

8 Hasil Penelitian Terdahulu ………. 22

9 Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat ………. 29

10 Pengaplikasian Metode Penelitian ………. 41

11 Luas Tanam dan Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran di Desa Kertawangi pada Tahun 2011 ………... 43

12 Persentase Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, Pekerjaan Utama, Lama Bertani Jamur Tiram Putih dan Jumlah Bag Log Jamur Tiram di Desa Kertawangi Tahun 2012 ……… 48

13 Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden Komoditas Jamur Tiram Putih ……… 49

14 Aktivitas Fungsi Tataniaga yang Dilakukan oleh Lembaga Tataniaga Jamur Tiram Putih ………. 56

15 Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga I ……… 58

16 Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga II ………..……… 60

17 Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga III ……… 61

18 Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga IV ……….……… 63

(14)

xiv 19 Biaya Tataniaga Masing-masing Lembaga Tataniaga ………. 70 20 Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan

Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga I …………. 72 21 Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan

Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga II …………. 73 22 Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan

Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga III …….…. 75 23 Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan

Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga VI …….…. 76 24 Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya pada Tataniaga Jamur

Tiram Putih di Desa Kertawangi ………... 78 25 Analisis Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Jamur Tiram

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Jamur Tiram Putih Varietas Florida ………..…... 12

2 Konsep Marjin Tataniaga ………... 32

3 Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ………….. 36

4 Saluran Tataniaga I pada Jamur Tiram Putih ……… 58

5 Saluran Tataniaga II pada Jamur Tiram Putih ………...… 60

6 Saluran Tataniaga III pada Jamur Tiram Putih ……….… 61

7 Saluran Tataniaga IV pada Jamur Tiram Putih ……….. 62

8 Alur Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi Tahun 2012 64 9 Alternatif Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi ………. 80

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Luas Panen, Produksi dan Hasil per Hektar Sayuran di Indonesia

Tahun 2010 ……… 86

2 Produksi Jamur di Indonesia Tahun 2004-2008 (Dalam Kilogram) .. 87

3 Data Petani Responden ……….. 89

4 Data Lembaga Tataniaga Responden ………...………. 90

(17)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor dari sektor pertanian adalah hortikultura. Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari tentang budidaya buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan sektor pertanian dan perekonomian nasional, salah satunya dapat dilihat dari kontribusi subsektor hortikultura terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu negara dalam suatu periode tertentu. Kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB pertanian dan PDB nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura, Pertanian dan Nasional Tahun 2010 Sektor/Subsektor Tahun 2010 Nilai PDB (Milyar Rp.) Hortikultura 86.565,46 Pertanian 737.874,10 Total PDB Nasional 6.422.918,20

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Subsektor hortikultura memberikan kontribusi sebesar 11,73 persen terhadap PDB sektor pertanian dan sebesar 1,35 persen terhadap PDB Nasional pada tahun 2010. Prospek pengembangan agribisnis hortikultura saat ini sangat besar mengingat ketersediaan sumberdaya alam, keanekaragaman agroekosistem, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, keanekaragaman komoditas, serta serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat.

(18)

2 Salah satu komoditas dari subsektor hortikultura adalah tanaman sayuran. Sayuran memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total PBD Hortikultura tahun 2010, yaitu sebesar Rp 31.244,16 Milyar atau 36,09 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2011).

Salah satu komoditas sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah satu sayuran yang cukup diminati, baik sebagai bahan konsumsi maupun komoditas perdagangan dalam dan luar negeri. Produk jamur konsumsi memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, kandungan gizi tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Hal ini didukung dengan adanya proses budidaya jamur konsumsi yang sebagian besar tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga jamur aman untuk dikonsumsi. Proses budidaya jamur konsumsi pun tergolong mudah, waktu budidaya yang relatif singkat, dan dapat dilakukan di sebagian besar tempat di Indonesia yang umumnya bersuhu hangat. Hal tersebut ditunjang pula oleh mudahnya pengadaan bibit dan media tanamnya. Budidaya jamur konsumsi tidak memerlukan lahan yang luas dan memiliki tingkat produktivitas tertinggi bila dibandingakan dengan tanaman sayuran lain yang dibudidayakan di Indonesia (Lampiran 1). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut menjadikan jamur konsumsi semakin diminati untuk dibudidayakan dari tahun ke tahun, baik sebagai usaha sampingan berskala rumah tangga hingga usaha berskala besar. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukan tingkat perkembangan produksi jamur di Indonesia.

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2010

Tahun Luas Panen

(Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) 2005 254 30.854 121,47 2006 298 23.559 79,06 2007 377 48.247 127,98 2008 637 43.047 67,58 2009 700 38.465 54,93 2010 684 61.376 89,76

(19)

3 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa produksi jamur di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, sedangkan luas panen jamur dari tahun 2005 hingga tahun 2009 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan paling pesat, yakni sebesar 68,97 persen dari total luas panen tahun 2007. Namun, pada tahun 2010 luas panen jamur justru mengalami penurunan sebesar 2,32 persen. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan luas panen ternyata tidak diiringi oleh peningkatan hasil produksi jamur. Selama tiga tahun berturut-turut (tahun 2007, 2008, dan 2009) produksi jamur nasional terus mengalami penurunan jumlah produksi, rata-rata sebesar 10 persen per tahunnya. Namun, pada tahun 2010 produksi jamur nasional kembali meningkat dimana hal ini terlihat dengan adanya peningkatan produksi sebesar 59,56 persen dari tahun sebelumnya.

Menurut data dari Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI), pada tahun 2004 tingkat konsumsi jamur di Indonesia baru mencapai 0,05 kilogram per kapita per tahun (Chazali dan Pratiwi 2010). Kebutuhan konsumsi jamur di dunia, termasuk Indonesia, terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pembudidayaan jamur konsumsi dapat menjadi salah satu peluang usaha yang memiliki potensi untuk berkembang.

Pada awalnya, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap jamur konsumsi hanya mengandalkan alam. Dengan cara seperti ini, jumlah jamur yang didapat sangat terbatas dan hanya pada musim tertentu bisa diperoleh. Di Indonesia, jamur hanya tumbuh secara alami pada musim hujan karena tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi. Inisiatif membudidayakan jamur konsumsi dilakukan karena adanya kebutuhan yang terus meningkat, sedangkan persediaan di alam semakin menipis. Tabel 3 menunjukkan tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat per harinya akan jamur di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 2007.

(20)

4 Tabel 3. Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jamur di Beberapa Kota di Indonesia

No. Kota Kebutuhan (kg/per hari)

1. Bekasi 3.000 2. Bogor 150 3. Semarang 350 4. Tangerang 3.000 5. Tasikmalaya 300 6. Yogyakarta 200

Sumber : Parjimo dan Andoko (2007)

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kebutuhan masyarakat akan jamur konsumsi di beberapa kota besar di Pulau Jawa pada tahun 2007 cukup tinggi. Dengan tingginya kebutuhan akan jamur konsumsi tersebut maka menjadikan budidaya jamur konsumsi di Indonesia sebagai peluang usaha yang memiliki potensi yang besar. Di berbagai daerah di Indonesia, kegiatan pembudidayaan/ produksi jamur konsumsi sebagai mata pencaharian sudah cukup banyak dilakukan, namun kegiatan produksi jamur konsumsi tersebut masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (Lampiran 2).

Menurut MAJI(2007), jenis jamur yang diminati konsumen adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping (Auricularia polytricha), jamur champignon (Agaricus bisporus), dan jamur shiitake (Lentinus edodes). Jamur merang mendominasi 55–60 persen dari total produksi jamur nasional. Peringkat berikutnya adalah jamur tiram putih atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Produksi jamur tiram putih mulai dirintis pengembangannya sejak tahun 1997 dan kini mengisi sekitar 30 persen dari total produksi jamur Indonesia. Jamur kayu yang banyak dibudidayakan di daerah berketinggian 800-1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) mempunyai siklus hidup lima bulan dengan masa panen empat bulan1.

Berdasarkan data MAJI, Jawa Barat memproduksi sepuluh ton jamur tiram per hari. Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar. Pasar jamur tiram untuk Jakarta dipasok dari Karawang, Bandung, Bogor, Cianjur, dan

1

Dadang W. dan Selamet R. 2007. Bisnis Jamur Bikin Tergiur. http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=7&aid=1009 [4 Desember 2011].

(21)

5 Sukabumi. Dari Cisarua Kabupaten Bandung, setiap hari tidak kurang dari tiga ton jamur tiram masuk ke Jakarta2.

Salah satu sentra penghasil komoditas jamur konsumsi di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat (2010), pada tahun 2009 Kabupaten Bandung Barat memiliki total produksi jamur konsumsi sebanyak 1.735.033 kwintal. Jamur yang diproduksi di Kabupaten Bandung Barat adalah komoditas jamur tiram putih. Namun, tidak seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung Barat memproduksi jamur tiram putih, hanya kecamatan yang terletak di dataran tinggi saja. Tabel 4, menunjukkan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang memproduksi jamur beserta jumlah produksinya.

Tabel 4. Luas Kumbung dan Jumlah Produksi Jamur per Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 2010

No. Kecamatan Luas Kumbung

(m2) Produksi (Kg/Tahun) 1. Rongga - - 2. Gununghalu - - 3. Sindangkerta - - 4. Cililin 60 1.223 5. Cihampelas - - 6. Cipongkor - - 7. Batujajar - - 8. Cipatat - - 9. Padalarang - - 10. Ngamprah 20.000 108.100 11. Parongpong 2.210 98.381 12. Lembang 35.200 195.380 13. Cisarua 347.000 4.015.200 14. Cikalongwetan - - 15. Cipeundeuy - - Jumlah/ Total 404.470 4.418.284

Sumber : BPS Kabupaten Bandung Barat (2011)

2

berbisnisjamur.com. 2011. Bisnis Jamur! Peluang Bisnis Rumahan yang Gak Murahan!. http://berbisnisjamur.com/ [30 November 2011]

(22)

6 Kecamatan Cisarua merupakan salah satu sentra penghasil komoditas jamur tiram putih yang memiliki luas lahan produksi jamur tiram terluas, yaitu 347.000 m2. Dengan jumlah hasil produksi jamur tiram yang mencapai 4.015.200 kilogram per tahun, artinya pada tahun 2010 setiap harinya Kecamatan Cisarua mampu menghasilkan kurang lebih 11 ton jamur tiram putih. Bila dibandingkan dengan kecamatan lain, Kecamatan Cisarua merupakan daerah terbesar penghasil jamur tiram putih di Kabupaten Bandung karena letaknya di dataran tinggi yang memiliki iklim sejuk yang cocok untuk lokasi pembudidayaan jamur tiram putih, oleh karena itu sebagian besar penduduknya membudidayakan jamur tiram putih baik sebagai mata pencaharian utama maupun hanya sekedar usaha sampingan.

1.2. Perumusan Masalah

Jamur tiram merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Salah satu jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar. Seperti sifat umum pada produk hortikultura lainnya, jamur pun bersifat mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat. Proses tataniaga yang dilakukan pun harus cepat agar produk tidak rusak dan layu saat sampai ke tangan konsumen, karena produk yang rusak akan menurunkan harga jual atau bahkan tidak akan laku dijual. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan hasil-hasil produksi dengan cepat dari produsen hingga ke tangan konsumen.

Salah satu desa di Kecamatan Cisarua yang merupakan sentra jamur tiram putih adalah Desa Kertawangi. Petani di Desa Kertawangi memiliki karakteristik yang cenderung homogen, yaitu menghasilkan jamur tiram putih segar sebagai produk utama. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sangat bergantung pada lembaga tataniaga untuk memasarkan produknya karena keterbatasan informasi dan akses pasar. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sebagian besar adalah petani kecil yang menjual produknya secara individual. Tidak adanya organisasi seperti koperasi yang membantu petani, khususnya dalam hal memasarkan produknya menjadi sebuah kendala dan kelemahan bagi petani dalam

(23)

7 proses pemasaran jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Oleh karena itu, petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap pedagang ketika menjual produknya. Petani jamur tiram putih hanya mampu berperan sebagai penerima harga (price

taker) terhadap harga yang ditawarkan oleh pedagang. Padahal dengan adanya

organisasi seperti koperasi akan memberikan keuntungan bagi petani terutama untuk memasarkan produknya.

Saat penelitian berlangsung, harga jamur tiram putih di tingkat petani berkisar antara Rp 6.800 hingga Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir yaitu sekitar Rp 12.000 per kilogram. Terdapat selisih harga jual yang cukup tinggi antara harga yang diterima petani dengan harga eceran di tingkat konsumen akhir, yaitu sebesar Rp 5.000. Besarnya selisih harga atau disebut marjin tataniaga tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga (Sudiyono 2002). Marjin tataniaga jamur tiram putih ini dianggap cukup tinggi karena dalam proses tataniaga ini tidak terdapat penanganan khusus yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dan juga tidak terjadi penambahan nilai (value added) terhadap produk. Selisih harga tersebut diindikasikan murni sebagai penggantian atas biaya tataniaga yang telah dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga tanpa adanya fungsi pengolahan dan ditambah dengan imbalan (keuntungan) yang diambil oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih. Semakin besar nilai marjin tataniaga maka akan semakin besar pula harga yang ditanggung oleh konsumen akhir untuk membeli jamur tiram putih segar ini. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimanakah sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi? 2) Berapa farmer’s share dan rasio keuntungan biaya yang diperoleh petani

jamur tiram putih dari hasil penjualan jamur tiram putih segar?

3) Apakah saluran tataniaga tersebut sudah efisien dilihat dari nilai marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga?

(24)

8 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1) Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa

Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

2) Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani dari keseluruhan harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share).

3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi:

1) Seluruh pihak yang terlibat dalam saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, terutama untuk petani produsen jamur tiram putih agar terjadi peningkatan pendapatan.

2) Dinas Pertanian, terutama bidang hortikultura, sebagai bahan informasi dan kajian ilmiah dalam melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap petani jamur tiram tentang prosedur budidaya jamur tiram yang benar.

3) Dinas Koperasi dan UKM, sebagai bahan informasi dalam melakukan pembinaan tentang pentingnya berkoperasi terhadap petani jamur tiram agar mereka memiliki posisi tawar yang kuat dan tidak lagi bergantung pada pengumpul dan bandar dalam memasarkan hasil produksinya serta adanya bantuan dalam pembentukan koperasi.

4) Pembaca hasil penelitian ini, sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya sekaligus memberikan gambaran tentang usaha serta tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi melalui analisis lembaga dan fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar,

(25)

9 dan perilaku pasar yang dilakukan oleh lembaga tataniaga jamur tiram putih, serta menganalisis efisiensinya menggunakan marjin tataniaga, biaya tataniaga,

farmer’s share, dan volume penjualan. Ruang lingkup lokasi penelitian meliputi

Desa Kertawangi sebagai daerah penghasil jamur tiram putih, Pasar Induk Caringin Bandung sebagai tujuan utama pemasaran jamur tiram putih dari Desa Kertawangi untuk Kota Bandung, dan beberapa pasar kecil di Kota Bandung. Dalam hasil analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi tataniaga komoditas jamur tiram putih yang terjadi dan kemudian dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.

(26)

10

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Jamur Tiram Putih

Jamur merupakan tanaman yang berinti, berspora, dan tidak memiliki klorofil sehingga tidak bisa melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan makanan sendiri. Jamur hidup dengan cara mengambil zat-zat makanan, seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati dari organisme lain. Dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh hifa (bagian jamur yang bentuknya seperti benang halus, panjang, bercabang-cabang, dan dapat berkembang secara vegetatif), bahan makanan tersebut diuraikan menjadi senyawa yang dapat diserap untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, jamur digolongkan sebagai tanaman heterotrofik, yaitu tanaman yang kehidupannya tergantung pada organisme lain (Parjimo dan Andoko 2007).

Jamur konsumsi yang dibudidayakan umumnya dari Subclassis

Basidiomycetes. Ukuran tubuh buahnya cukup besar dan banyak bagian yang

dapat dimakan. Di lapangan hanya dikenal dua kelompok besar jamur yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dan dibudidayakan, yaitu jamur merang dan jamur kayu. Sebutan ini lebih didasarkan atas media tumbuhnya daripada ciri morfologinya. Disebut jamur merang karena media tumbuhnya berupa merang, meskipun sebenarnya tidak mutlak memerlukan merang. Jamur kayu biasa tumbuh pada batang kayu lapuk atau serbuk gergaji sehingga disebut jamur kayu. Jenis jamur yang termasuk jamur kayu, diantaranya adalah jamur kuping, jamur payung/ jamur shiitake, dan jamur tiram3.

Jamur tiram terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu jamur tiram putih, tiram pink, tiram abu-abu, tiram kuning, dan tiram coklat/ abalon. Salah satu komoditas jamur tiram yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Nama jamur tiram putih diberikan karena bentuk tudung jamur ini agak membulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung dan berwarna putih hingga krem. Tubuh buah memiliki batang atau tangkai jamur yang berada dipinggir (bahasa Latin:

3

(27)

11

pleurotus) dan bentuknya seperti tiram (ostreatus), sehingga jamur tiram

mempunyai nama binomial Pleurotus ostreatus4.

Parjimo dan Andoko (2007) menyebutkan jika permukaan tudung jamur tiram licin, agak berminyak jika lembab, dan tepiannya bergelombang. Diameternya berukuran tiga hingga 15 centimeter. Tubuh buahnya membentuk rumpun yang memiliki banyak percabangan dan menyatu dalam satu media tanam. Jika sudah tua, daging buahnya akan menjadi liat dan keras. Jamur tiram memiliki inti plasma dan spora yang berbentuk sel-sel lepas atau bersambungan membentuk hifa dan miselium (sekumpulan hifa yang tumbuh bersama-sama menjadi satu). Pada titik-titik pertemuan percabangan miselium akan terbentuk bintik kecil yang disebut pin head atau calon tubuh buah jamur yang akan berkembang menjadi tubuh buah jamur.

Jenis jamur tiram putih yang paling banyak dibudidayakan di Desa Kertawangi adalah jamur tiram putih varietas Florida. Penampang fisik jamur tiram putih varietas Florida dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun ciri-ciri umum dari jamur tiram putih varietas Florida menurut Satriyanto (2009)5 adalah :

1) Bentuk jamur tiram putih seperti tudung/payung. Beberapa dari jenis ini dalam pertumbuhannya bergerombol atau berkelompok, namun ada pula yang merupakan tangkai tunggal.

2) Kisi-kisi bawah tudung relatif lebar.

3) Warna jamur putih bersih, terkadang seperti ada warna kecoklatan (seperti tiram coklat atau tiram kelabu), hal tersebut disebabkan karena cuaca. Terkadang jika siang hari suhu agak panas dengan kelembaban rendah, lalu pada sore harinya disiram dan mengenai tubuh buah, ini yang menyebabkan jamur menjadi berwarna sedikit kecoklatan.

4) Kadar air optimal pada jamur tiram jenis Florida cenderung tinggi. Ciri umum jamur yang memiliki kadar air baik adalah warna jamur tetap putih bersih. Jika memiliki kadar air berlebihan, jamur tiram cenderung berwarna kekuningan dan lebih cepat membusuk.

4

Stamets and Chilton. 1983. The Mushroom Cultivator. www.wikipedia.com. [20 Mei 2009]. 5

(28)

12 5) Karakteristik panen jamur tiram jenis ini cenderung stabil (panen bertahap dan jamur tidak langsung habis dalam sekali panen). Dalam 100 hari pertama, panen masih cenderung stabil dan baik.

6) Jamur tiram jenis Florida sangat cocok untuk jenis sayuran, untuk usaha jenis kripik jamur, dan juga jamur goreng. Strukturnya masih cukup kuat walaupun telah disimpan dalam lemari es.

Gambar 1. Jamur Tiram Putih Varietas Florida Sumber : Dok. pribadi

2.1.1. Lingkungan dan Syarat Tumbuh

Secara alami jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batang-batang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar atau sengon yang tergeletak di lokasi yang sangat lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Jamur tiram dapat tumbuh di ketinggian minimal sekitar 500 m diatas permukaan laut di lokasi yang memiliki kadar air minimal 60 persen (Parjimo dan Andoko 2007).

Tingkat keasaman media sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur tiram. Derajat keasaman atau pH media tanam yang optimal untuk pertumbuhan jamur tiram putih adalah enam hingga tujuh. Apabila pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan jamur akan terhambat, bahkan mungkin akan tumbuh jamur lain yang akan mengganggu pertumbuhan jamur tiram itu sendiri. Keasaman pH media diatur dengan menggunakan kapur/ Calsium carbonat (Dinas

(29)

13 Pertanian Jawa Timur 2007). Syarat tumbuh jamur tiram sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, faktor lingkungan harus benar-benar dikelola secara baik, seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan cahaya.

2.1.2. Kandungan Nutrisi dan Manfaat Jamur Tiram

Jamur merupakan sumber mineral yang baik, kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Jamur juga merupakan sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga. Oleh karena itu jamur tiram baik dan aman untuk dikonsumsi setiap hari. Jamur tiram mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh, yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Setidaknya 72 persen dari total asam lemak jamur tiram berupa asam lemak tidak jenuh (Isnawan 2003)6. Tabel 5 menunjukkan besarnya kandungan gizi pada 100 gram jamur tiram.

Tabel 5. Kandungan Gizi Setiap 100 Gram Jamur Tiram

Kandungan Kadar Protein 5,94% Serat 1,56% Lemak 0,17% Karbohidrat 50,59% Kalori 45,65 kj Zat Besi 1,9 mg Kalsium 8,9 mg Vitamin B1 0,75 mg Vitamin B2 0,75 mg Vitamin C 12,4 mg Fosfor 17 mg

Sumber: Chazali dan Pratiwi (2010)

6

Isnawan, H. 2003. Teknologi Bioproses Pembibitan dan Produksi Jamur Tiram untuk Peningkatan Nilai Tambah Pertanian. www.iptek.net.id. [20 Mei 2009].

(30)

14 Jamur tiram memiliki kandungan gizi dan nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Berikut perbandingan kandungan nutrisi pada jamur tiram dengan jamur lain dan bahan makanan lain dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lainnya Bahan Makanan Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)

Jamur tiram 27 1,6 58 Jamur merang 1,8 0,3 4 Jamur kuping 8,4 0,5 82,8 Daging sapi 21 5,5 0,5 Bayam - 2,2 1,7 Kentang 2 - 20,9 Kubis 1,5 0,1 4,2 Seledri - 1,3 0,2 Buncis - 2,4 0,2

Sumber: Martawijaya dan Nurjayadi (2010)

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan lemak pada jamur konsumsi lebih rendah daripada lemak daging sehingga jamur lebih sehat untuk dikonsumsi. Kandungan protein pada jamur tiram ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi dan bahan makanan lain yang juga berasal dari tanaman. Dilihat dari segi harga, harga jamur konsumsi jauh lebih murah bila dibandingkan dengan daging. Hal tersebut menunjukkan bahwa jamur dapat dijadikan sebagai alternatif pangan yang mampu memenuhi kebutuhan gizi dan protein untuk berbagai kalangan masyarakat.

Jamur tiram rendah kolesterol dan kandungan lemaknya merupakan lemak tidak jenuh sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi dan aman bagi mereka yang rentan terhadap serangan jantung (Parjimo dan Andoko 2007). Dari hasil penelitian kedokteran secara klinis, diketahui bahwa kandungan senyawa kimia khas jamur tiram berkhasiat mengobati berbagai penyakit manusia seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kelebihan kolesterol, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio, dan influenza, serta kekurangan gizi7.

7

Dinas Pertanian Jawa Timur. 2007. Budidaya Jamur Tiram. www.diperta-jatim.go.id. [9 Mei 2009].

(31)

15 2.2. Tahapan Budidaya Jamur Tiram Putih

Beberapa tahapan dalam budidaya jamur tiram putih menurut Ganjar8, yaitu:

1) Persiapan Bahan

Bahan yang harus dipersiapkan diantaranya serbuk gergaji, dedak atau bekatul, dan kapur. Bisa juga diberi tambahan gips, tepung jagung, dan glukosa. Berikut perbandingan bahan baku pembuatan bag log jamur tiram putih.

Tabel 7. Komposisi Media untuk Pembuatan 80 Buah Bag Log Ukuran Sedang

Bahan Media Takaran

Serbuk kayu 100 kg

Tepung jagung 10 kg

Dedak atau bekatul 10 kg

Kompos 0,5 kg

Kapur (CaCO3) 0,5 kg

Air 50-60%

Sumber: Chazali dan Pratiwi (2010)

2) Pengayakan

Serbuk kayu yang diperoleh dari penggergajian mempunyai tingkat keseragaman yang kurang baik, hal ini dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan miselia kurang merata dan kurang baik. Untuk itu, serbuk gergaji perlu diayak.

3) Pencampuran

Bahan-bahan yang telah ditimbang sesuai dengan kebutuhan dicampur dengan serbuk gergaji selanjutnya disiram dengan air sekitar 50-60 persen atau bila kita kepal serbuk tersebut menggumpal tapi tidak keluar air. Hal ini menandakan kadar air sudah cukup.

4) Pengomposan

Pengomposan adalah proses pelapukan bahan baku media yang akan digunakan agar nutrisi yang terkandung dalam media dapat diserap dengan mudah oleh jamur. Pengomposan dilakukan dengan cara menimbun 8

(32)

16 campuran serbuk gergaji kemudian menutupinya dengan plastik selama semalam.

5) Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan dengan mempergunakan alat sterilisasi seperti drum atau steamer yang bertujuan untuk menonaktifkan mikroba, bakteri, kapang, maupun khamir yang dapat mengganggu pertumbuhan jamur yang ditanam. Sterilisasi dilakukan pada suhu 90-1000C selama 12 jam.

6) Pembungkusan (pembuatan bag log)

Pembungkusan media menggunakan plastik polypropilen (PP) dengan ukuran yang dibutuhkan. Cara membungkus yaitu dengan memasukkan media ke dalam plastik kemudian dipukul/ditumbuk sampai padat dengan botol atau tangan. Cara yang modern adalah dengan menggunakan filler (alat pemadat).

7) Inokulasi (pemberian bibit)

Inokulasi adalah kegiatan memasukan bibit jamur ke dalam media jamur yang telah disterilisasi. Bag log ditiriskan selama satu malam setelah sterilisasi, kemudian diberi bibit di atasnya dengan menggunakan sendok spatula sekitar tiga sendok kemudian diikat dengan karet dan ditutup dengan kapas. Bibit yang baik yaitu:

i) Varitas unggul

ii) Umur bibit optimal 30-45 hari iii) Miselium bibit tumbuh merata iv) Tidak terkontaminasi

8) Inkubasi (masa pertumbuhan miselium)

Inkubasi dilakukan dengan cara menyimpan di ruang inkubasi dengan kondisi tertentu. Inkubasi dilakukan hingga seluruh media berwarna putih merata, biasanya media akan tampak putih merata antara 40-60 hari.

9) Panen

Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat yang optimal, yaitu sekitar lima hingga tujuh hari setelah tumbuh calon jamur (pin head). Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mempertahankan kesegarannya dan mempermudah pemasaran.

(33)

17 2.3. Bisnis Jamur Tiram Putih

Usaha pembudidayaan jamur tiram putih merupakan usaha yang memiliki potensi untuk berkembang karena permintaan pasar yang terus meningkat. Berapa pun jamur tiram yang diproduksi oleh petani akan habis terserap oleh pasar. Kenaikan permintaan jamur tiram sekitar 20-25 persen per tahun. Di Indonesia, produksi jamur tiram putih pengembangannya mulai dirintis sejak tahun 1997. Sentra budidaya jamur tiram putih di Jawa Barat berada di Kabupaten Bandung (Cisarua, Lembang, Ciwidey, Pangalengan), Bogor, Sukabumi, Garut, Cianjur dan Tasikmalaya. Di luar Jawa Barat, terdapat di Sleman, Yogyakarta, dan Solo9.

Jamur tiram putih ditinjau dari aspek biologinya relatif lebih mudah dibudidayakan daripada jenis jamur lainnya. Pembudidayaan jamur tiram putih tidak memerlukan lahan yang luas. Masa produksi jamur tiram putih pun relatif lebih cepat sehingga periode dan waktu panen lebih singkat dan kontinyu. Budidaya jamur tiram putih dapat dikelola sebagai usaha sampingan ataupun usaha ekonomis skala kecil, menengah, dan besar (industri).

Sebagian besar pembudidayaan jamur tiram putih dilakukan sebagai usaha rumahan/sampingan. Usaha ini diorientasikan sebagai usaha kecil, namun menurut banyak pakar ekonomi, usaha tersebut dipandang sebagai tulang punggung dalam salah satu pemulihan ekonomi Indonesia. Afuuza10 menyebutkan bahwa pengembangan usaha budidaya jamur tiram dibagi dalam tiga tahap skala usaha, yaitu:

1) Tahap Industri Kecil Awal

Tahap industri kecil awal ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri kecil yang kokoh. Pada tahap industri kecil awal, jumlah bag log yang digunakan minimal 5.000 buah hingga 25.000 buah. Beberapa hal yang perlu diketahui saat memulai usaha ini:

i) Menerapkan standar produksi yang tepat untuk mengoptimalkan hasil budidaya jamur

ii) Penyempurnaan sistem produksi, keuangan dan distribusi

9 Dadang W., Selamet R. op.cit.

10

(34)

18 iii) Penambahan tenaga kerja

iv) Pencarian investor

2) Tahap Industri Kecil Lanjut

Tahap ini merupakan pengembangan dari tahap industri kecil awal. Setelah kebutuhan dana mencukupi, dan seluruh kekurangan telah dapat diatasi, maka dimulailah industri kecil lanjut yang ditargetkan untuk memiliki perijinan dan pembentukan badan usaha. Industri ini diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari pekerja kasar di bagian produksi hingga profesional di bidang pemasaran, research and development, dan administrasi. Tahap industri kecil lanjut ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri menengah nasional yang produksinya diperkirakan mencapai sekitar 100.000 bag log produksi per musim. Tahap industri kecil lanjut itu sendiri diharapkan mampu memproduksi hingga sembilan ton jamur per bulan.

3) Tahap Industri Menengah Nasional (industri skala besar)

Secara umum, tahap industri menengah adalah perluasan dari industri kecil, mulai dari sistem produksi, kapasitas produksi hingga ekspansi distribusinya. Tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan ekspor. Tahap ini diharapkan mampu menyerap sedikitnya 50 orang tenaga kerja. Pada tahap industri menengah nasional ini jumlah bag log jamur tiram yang digunakan lebih dari 100.000 buah.

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pengkajian tehadap penelitian terdahulu penting dilakukan untuk mendalami pemahaman terhadap metode analisis yang akan digunakan dan komoditi yang akan diteliti. Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan usaha jamur tiram. Berikut merupakan hasil dari pengkajian beberapa penelitian terdahulu tentang komoditi jamur tiram putih.

Nugraha (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor melibatkan enam lembaga pemasaran, yaitu produsen,

(35)

19 pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pedagang pengecer dan

supplier. Terdapat delapan saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor.

Saluran pemasaran terpendek adalah antara produsen dan konsumen merupakan saluran dengan tingkat efisiensi tertinggi dengan farmer’s share mencapai 100 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 63,73 persen dari harga beli konsumen. Saluran terpanjang terdiri dari produsen – pengumpul - pedagang besar - pedagang menengah - pedagang pengecer – konsumen, merupakan saluran pemasaran dengan tingkat efisiensi terendah dengan nilai farmer’s share sebesar 52,38 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 65,87 persen dari harga beli konsumen.

Ruillah (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Ruillah membagi petani sampel ke dalam tiga skala usaha, yaitu Skala I adalah petani yang memiliki luas kumbung kurang dari 76,5 m2. Skala II adalah petani dengan luas kumbung antara 76,5-135,5 m2. Skala III adalah petani dengan luas kumbung lebih dari 135,5 m2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai petani skala I paling besar dibanding skala II dan skala III, maka usahatani yang paling menguntungkan adalah usahatani skala I. Namun, usahatani skala III ternyata memiliki nilai R/C rasio paling besar yaitu sebesar 3,75 maka usahatani jamur tiram putih skala III adalah yang paling efisien. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jamur tiram putih adalah tenaga kerja, bibit, serbuk kayu, kapur, bekatul dan gips. Usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi berada pada kondisi increasing return to scale atau berada pada tahap kenaikan hasil yang meningkat.

Sari (2008), melakukan penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jamur tiram putih pada skala usaha rata-rata 2.000 log pada kelompok tani Kaliwung Kalimuncar. Diketahui bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,70 dan nilai R/C

(36)

20 rasio atas biaya total sebesar 1,06. Saluran pemasaran di lokasi penelitian melibatkan petani-bandar/tengkulak-pasar-konsumen.

Noviana (2011), melakukan penelitian tentang Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Pola pemasaran jamur tiram putih terdiri dari dua buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga I terdiri dari Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar/Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. Saluran tataniaga II hanya terdiri dari Petani – Konsumen Akhir. Volume penjualan jamur tiram putih sebanyak 430 kg per harinya. Pasar tujuan akhir pemasaran adalah Pasar Induk Tangerang. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh kedua saluran tataniaga ini di masing-masing pelaku tataniaga dilakukan dengan sistem tunai. Penentuan harga beli di tingkat petani oleh pedagang pengumpul desa ditentukan oleh pedagang besar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul desa sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi atau berdasarkan pada harga yang berlaku di pasar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengecer mengikuti mekanisme harga pasar yang berlaku saat itu. Untuk penentuan harga di saluran II, yaitu antara petani langsung dengan konsumen akhir, dilakukan dengan cara tawar-menawar hingga tercapai kesepakatan harga antara kedua belah pihak.

Menurut Noviana, struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang pengumpul desa cenderung mengarah pada pasar monopsoni karena jumlah petani lebih banyak daripada jumlah pedagang pengumpul desa dan harga ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar cenderung bersifat pasar monopsoni. Namun menurut penulis, struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul desa dan pedagang besar dari sisi pembeli adalah struktur pasar oligopsoni murni, karena pedagang pengumpul desa dan pedagang besar masing-masing berjumlah lebih dari satu lembaga, walaupun tidak banyak. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang besar dengan pedagang pengecer cenderung mengarah pada pasar persaingan murni. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengecer dengan konsumen akhir cenderung pada pasar persaingan murni. Rasio keuntungan tertinggi diraih oleh pedagang pengecer.

(37)

21 Saluran tataniaga yang lebih menguntungkan petani adalah saluran tataniaga II, yaitu petani langsung memasarkan produknya ke konsumen akhir.

Risiko produksi yang teridentifikasi pada usaha jamur tiram putih adalah akibat serangan hama sebesar 20,90 persen, akibat perubahan cuaca sebesar 17,90 persen, akibat teknologi sterilisasi sebesar 9,30 persen, akibat kurangnya keterampilan tenaga kerja sebesar 4,60 persen dan akibat teknologi inkubasi yang kurang tepat sebesar 7,10 persen. Serangan hama adalah faktor kegagalan terbesar pada usaha jamur tiram putih. Penelitian tentang risiko produksi tersebut dilakukan oleh Sumpena (2011) melalui penelitian berjudul Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House Kota Bogor, Jawa Barat.

Dari hasil peninjauan terhadap penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa secara umum (melalui perhitungan kuantitatif), pengusahaan jamur tiram di daerah Bogor, Cianjur dan Bandung sama-sama memberikan keuntungan terhadap petani pengusahanya. Peninjauan penelitian sebelumnya juga memberikan masukan dan informasi mengenai metode penelitian yang penulis gunakan. Pada dua penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih, yaitu penelitian Nugraha (2006) dan Noviana (2011) dapat terlihat bahwa saluran tataniaga komoditas jamur tiram putih rata-rata melibatkan lebih dari dua lembaga tataniaga, artinya saluran tataniaga jamur tiram putih cukup panjang hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen akhir.

(38)

22 Tabel 8. Hasil Penelitian Terdahulu

No. Nama Tahun Judul Alat Analisis Hasil

1. Nugraha 2006

Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat Analisis lembaga pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar, marjin pemasaran, farmer’s share, R/C rasio. Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi 2. Ruillah 2006 Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Analisis pendapatan, analisis fungsi produksi (Cobb-Douglas), R/C rasio. Petani jamur tiram dengan skala usaha besar (> 135,5 m2) adalah yang paling efisien bila dilihat dari Nilai R/C rasio 3. Sari 2008 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor) Analisis fungsi produksi (Cobb-Douglas) dan R/C rasio. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon 4. Noviana 2011 Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) Analisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, serta R/C rasio Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi 5. Sumpena 2011 Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House

Bogor, Jawa Barat

Analisis metode nilai standar

(Z-score) dan Value at Risk (VaR). Risiko produksi tertinggi pada usahatani jamur tiram putih disebabkan oleh serangan hama.

(39)

23

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai sistem tataniaga dan pendekatan-pendekatan analisis tataniaga seperti pendekatan komoditi, pendekatan lembaga dan saluran tataniaga, pendekatan fungsi tataniaga, pendekatan sistem dan struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, dan farmer’s share.

3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian

Istilah tataniaga saat ini lebih dikenal dengan istilah pemasaran atau

marketing. Definisi dari tataniaga pertanian adalah proses aliran pemasaran suatu

komoditi pertanian dari tangan produsen ke pihak konsumen yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga, oleh karena itu tataniaga merupakan suatu kegiatan yang produktif (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002).

Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari tataniaga, yaitu menyampaikan suatu produk dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan arus barang yang meliputi proses pengumpulan (konsentrasi), proses pengembangan (equalisasi) dan proses penyebaran (dispersi). Proses konsentrasi merupakan tahap awal dari pergerakan arus tataniaga suatu barang. Barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah kecil dikumpulkan menjadi jumlah yang lebih besar agar dapat disalurkan ke pasar-pasar eceran secara lebih efisien. Kemudian dilanjutkan dengan proses equalisasi, yaitu berupa tindakan penyesuaian permintaan dan penawaran berdasarkan tempat, waktu, jumlah, dan kualitas. Tahap terakhir adalah proses dispersi dimana

(40)

24 barang-barang yang telah terkumpul disebarkan ke arah konsumen atau pihak yang menggunakannya.

Tataniaga hasil pertanian memiliki perbedaan dengan tataniaga produk non pertanian. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada ciri dan sifat khusus yang dimiliki oleh produk pertanian. Soekartawi (1989) menyebutkan ciri produk pertanian yang membedakan dengan produk non pertanian, yaitu:

1) Produk pertanian adalah musiman. Artinya, produk pertanian tidak mungkin tersedia setiap saat bila tanpa diikuti dengan manajemen stok yang baik. 2) Produk pertanian bersifat segar dan mudah rusak. Artinya, produk pertanian

diperoleh dalam keadaan segar sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Jika diinginkan penyimpanan dalam waktu yang relatif lama, maka diperlukan perlakuan tambahan.

3) Produk pertanian bersifat bulky. Artinya, volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, akibatnya dalam proses pengelolaannya diperlukan tempat yang luas.

4) Produk pertanian lebih mudah terserang hama dan penyakit. 5) Produk pertanian tidak selalu mudah didistribusikan ke tempat lain.

6) Produk pertanian bersifat lokal atau kondisional. Artinya, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi, melainkan dari berbagai tempat.

7) Produk pertanian mempunyai kegunaan yang beragam dari satu bahan baku yang sama.

8) Produk pertanian kadang memerlukan keterampilan khusus yang tenaga ahlinya sulit disediakan.

9) Produk pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku produk lain, disamping juga dapat dikonsumsi langsung.

10) Produk pertanian tertentu dapat berfungsi sebagai “produk sosial”, seperti beras di Indonesia.

Untuk menganalisis sistem tataniaga suatu komoditas pertanian dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sudut pandang yang dikenal dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Terdapat lima pendekatan pada pendekatan S-C-P yang sering dilakukan, yaitu pendekatan barang/komoditi

Gambar

Gambar 1.  Jamur Tiram Putih Varietas Florida                                        Sumber : Dok
Tabel 6.  Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lainnya  Bahan Makanan  Protein (%)  Lemak (%)  Karbohidrat (%)
Tabel 7.  Komposisi Media untuk Pembuatan 80 Buah Bag Log Ukuran Sedang
Tabel 9. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat  No.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun ketapang ( Terminalia catappa ) memiliki efektivitas yang baik tehadap pertumbuhan

Kendala umum yang menyebabkan produksi kentang di Indonesia masih rendah adalah karena petani masih menggunakan teknik budidaya konvensional (sederhana) dan masih

Inflasi gabungan 3 kota di Riau pada bulan November 2018 sebesar 0,49 persen terjadi karena adanya kenaikan indeks harga konsumen pada enam kelompok pengeluaran, yaitu kelompok bahan

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden terhadap warna pisang goreng (p=0,194, Lampiran 4), warna tahu goreng

102 Desa Logandeng, Playen, Gunungkidul Tumini 103 Desa Logandeng, Playen, Gunungkidul Ngadiyono 104 Desa Logandeng, Playen, Gunungkidul Ersam Kurniawan 105 Desa Logandeng,

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan Petani Dan Agen Pemasaran Gula Aren Dikecamatan Manuju Kabupaten Gowa.adalah benar

aastal külastas Moskvat üks üheteistkümnest Prabhupada poolt ame- tisse seatud gurust Harikesa Swami (Robert Compagnola), kelle vastutusalaks oli ISKCONi tegevus mitmetes

Pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib, yang begitu besar sekali untuk selamanya, meruntuhkan hambatan bagi kita untuk dapat berhubungan langsung dengan Allah Bapa di