• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine Max L) Di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine Max L) Di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI (

Glycine max

L.)

DI JAWA BARAT

(studi kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)

MUHAMAD HAMAJI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut) adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

MUHAMAD HAMAJI. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Dibimbing oleh JUNIAR ATMAKUSUMA.

Kedelai merupakan bahan makanan di urutan ke tiga setelah beras dan jagung yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonseia. Jawa barat merupakan provinsi sentra kedelai urutan ke lima secara nasional, Kabupaten Garut adalah kabupaten sentra produksi kedelai utama, dan Kecamatan Banyuresmi adalah kecamatan yang memiliki produksi kedelai tertinggi se Kabupaten Garut. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur, dan perilaku pasar oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditi kedelai dan menganalisis efisiensi saluran tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat lima saluran utama yang terbentuk dengan lembaga, fungsi, dan struktur pasar yang berbeda pada setiap salurannya. Dari lima saluran dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tujuan akhir penggunaan kedelai. Kelompok satu yaitu saluran yang mendistribusikan kedelai untuk tujuan akhir dikonsumsi yang terdiri dari saluran satu dan dua. Sedangkan kelompok dua adalah saluran yang mendistribusikan kedelai untuk tujuan akhir benih yang terdiri dari saluran tiga, empat, dan lima. Hasil indikasi analisis efisiensi operasional dan indikator kualitatif menunjukkan bahwa saluran tataniaga yang terbentuk cenderung mengarah ke efisien. Saluran yang dinilai paling efisien dari kelima saluran yang ada adalah saluran dua dengan jumlah petani yang memilihnya sebanyak 16 petani atau 53.33 persen, marjin Rp 800, farmer’s share 90.1, dan rasio keuntungan terhadap biayanya 1.34. Selain itu pada sauran dua aktivitas tataniaganya dapat beralangsung secara kontinu dan volume penjualan kedelai yang mampu mencapai 20 ton per bulannya.

Kata kunci: Kedelai, Kecamatan Banyuresmi, efisiensi, farmer’s share, tataniaga kedelai

ABSTRACT

MUHAMAD HAMAJI. Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Dibimbing oleh JUNIAR ATMAKUSUMA

(5)

functions, and different market structures on each channel. Of the five channels grouped into two based on the use of soy final destination. Group one is the channel that distributes soy consumption to final destination channel consisting of one and two. While the two groups is the channel that distributes soybean seeds to final destination channel consisting of three, four, and five. The results of the analysis indicated operational efficiency and qualitative indicators show that the channel formed trading system tends to lead to efficient. Channel is considered efficient channel two the number of farmers who choose it as many as 16 farmers or 53.33 percent, a margin of Rp 800, the farmer's share of 90.1, and the ratio of benefit to cost is 1.34. Marketting proces in channel two can event continues and marketing volume soybean can be 20 month even month.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS SISTEM TATANIAGA KEDELAI (

Glycine max

L.)

DI JAWA BARAT

(studi kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)

MUHAMAD HAMAJI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari - Mei 2014 ini adalah tataniaga produk agribisnis, dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Kedelai (Glycine max L) di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku pembimbing skripsi serta atas masukan, perhatian dan kesabarannya yang telah membimbing penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama dan Bapak Dr. Ir Wahyu Budi Priatna MS selaku dosen penguji Departemen Agribisnis yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh civitas Departemen Agribisnis dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Riany Hidayah yang telah bersedia menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Jaja yang telah membantu selama pengumpulan data primer. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada responden dalam penelitian ini yang telah bersedia membantu proses penyelesaian karya tulis ini. Selanjutnya Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis sampaikan salam semangat kepada teman-teman seperjuangan AGB 47 IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Kegunaan Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 10

Gambaran Umum Kedelai 10

Sistem Tataniaga 10

Studi Empirik Saluran Tataniaga dan Efisiensi tataniaga 11

Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar 13

KERANGKA PEMIKIRAN 15

Kerangka Pemikiran Teoritis 15

Konsep Sistem Tataniaga 15

Konsep Fungsi Tataniaga 16

Konsep Saluran dan Lembaga Tataniaga 17

Konsep Struktur, Keragaan dan Perilaku Pasar 20

Konsep Efisiensi Tataniaga 23

Konsep Margin Tataniaga 23

Konsep Farmer’s Share 25

Konsep Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Tataniaga 25

Kerangka Pemikiran Operasional 26

METODE PENELITIAN 28

Lokasi dan Waktu 28

Jenis dan Sumber Data 28

Metode Pengumpulan Data 28

Metode Pengolahan dan Analisis Data 28

(12)

Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga 29

Analisis Struktur dan Perilaku Pasar 30

Analisis Margin Tataniaga 30

Analisis Farmer’s Share 31

Analisis Rasio Keuntungan tarhadap Biaya Tataniaga 31

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 33

Gambaran Umum Kecamatan Banyuresmi 33

Karakteristik Petani Responden 35

Karakteristik Lembaga Tataniga Responden 38

Gambaran Umum Usahatani Kedelai 40

HASIL DAN PEMBAHASAN 43

Analisis Lembaga, Fungsi, dan Saluran Tataniaga 43

Analisis Lembaga Tatatniaga 43

Analisis Saluran Tataniaga 43

Analisis Struktur Pasar 48

Struktur Pasar di Tingkat Petani 48

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecil 49 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Besar 49

Analisis Perilaku Pasar 50

Praktik Pembelian dan Penjualan 50

Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi 50

Sistem Pembayaran 51

Sistem Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga 51

Analisis Fungsi Tataniaga 52

Fungsi tataniga di Tingkat Pedagang Pengumpul Kecil 52 Fungsi pertukaran pada pedagang pengumpul kecil 53

Fungsi fisik pada pedagang pengumpul kecil 53

Fungsi fasilitas pada pedagang pengumpul kecil 54

Fungsi Tataniaga Pedagang Pengumpul Besar 54

Fungsi pertukaran pada pedagang pengumpul besar 54

Fungsi fisik pada pedagang pengumpul besar 55

(13)

Analisis Keragaan Pasar 55

Analisis Marjin Tataniaga 56

Analisis Farmer’s Share 58

Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga 59

SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 62

Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 67

(14)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi

kedelai nasional tahun 2004-2012 2

2 Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional

tahun 2008-2012 (ton) 3

3 Produksi kedelai di kabupaten sentra produksi se Jawa Barat tahun

2010-2012 (ton) 3

4 Produksi kedelai di kecamatan sentra produksi di Kabupaten Garut tahun

2009-2013(ton) 4

5 Kebutuhan kedelai pada industri tahu-tempe di Kabupaten Garut setiap

tahunnya 5

6 Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di

KabupatenGarut tahun 2009-2013 (ha) 5

7 Perbedaan harga jual kedelai di tingkat petani dengan harga beli

konsumen akhir di Kabupaten Garut tahun 2014 6

8 Harga di tingkat petani kedelai nasional tahun 2005-2014 (Rp/kg) 7 9 Karakteristik struktur pasar berdasarkan sudut penjual dan sudut pembeli 21 10 Penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Banyuresmi tahun 2013 33 11 Mata pencaharian penduduk Kecamatan Banyuresmi tahun 2013 34 12 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2013 34 13 Sarana pendidikan Kecamatan Banyuresmi tahun 2013 35 14 Sebaran kategori status penguasaan lahan petani kedelai responden di

Kecamatan Banyursmi, Kabupaten Garut 35

15 Sebaran kategori umur petani kedelai responden di Kecamatan

Banyuresmi, Kabupaten Garut 36

16 Tingkat pendidikan formal petani kedelai di Kecamatan Banyuresmi,

Kabupaten Garut 37

17 Kategori lama usahatani kedelai petani responden di Kecamatan

Banyuresmi, Kabupaten Garut 37

18 Karakteristik pedagang pengumpul kecil responden Kecamatan

Banyuresmi, Kabupaten Garut 38

(15)

21 Analisis pendapatan usahatani kedelai petani responden untuk lahan 0,35 ha per musim tanam (3 4 bulan) Kecamatan Banyuresmi,

Kabupaten Garut 42

22 Struktur pasar yang dihadapi lembaga tataniaga di Kecamatan

Banyuresmi Kabupaten Garut tahun 2014 48

23 Fungsi tataniaga dari lemabaga tataniaga responden kedelai di

Kabupaten Garut 52

24 Analisis marjin tatniaga pada setiap saluran tataniaga kedelai untuk

konsumsi di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut tahun

2014 (Rp/Kg) 56

25 Analisis marjin tatniaga pada setiap saluran tataniaga kedelai benih di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut tahun 2014 (Rp/Kg) 57 26 Farmer’s Share pada setiap saluran tataniaga kedelai di Kecamatan

Banyuresmi, Kabupaten Garut tahun 2014 59

27 Nilai rasio kentungan dan biaya tataniaga kedelai untuk konsumsi di

Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. 60

28 Nilai rasio kentungan dan biaya tataniaga kedelai untuk benih di

Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. 61

29 Marjin, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) dari tataniaga kedelai di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut 61

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Rincian Perhitungan Marjin Tataniaga, Biaya Pemasaran, Keuntungan, Harga Jual dan Beli Saluran Tataniaga kedelai di Kecamatan

Banyuresmi, Kabupaten Garut 68

2. Data 30 petani responden 70

3. Jumlah benih, pupuk urea, pupuk organik, pestisida, dan tenaga kerja

petani responden 71

4. Kuisoner untuk Petani 73

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai sumberdaya alam melimpah dan beragam. Kekayaan alam tersebut terdiri dari kekayaan pertanian, kekayaan hutan, kekayaan laut, dan kekayaan pertambangan. Selain itu Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya manusia yang jumlahnya mencapai 250 juta jiwa (BKKBN, 2013). Kondisi sumberdaya manusia yang melimpah dan diiringi kekayaan alam yang juga melimpah seharusnya bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju, tetapi faktanya berbeda karena kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah maka kekayaan alam terutama pertanian belum bisa dimanfaatkan secara maksimal agar memperoleh hasil yang maksimal juga. Di Indonesia kekayaan alam yang manfaatnya telah dirasakan oleh banyak masyarakat yaitu dari sektor pertanian hal ini terlihat dari kontribusi persentase produk domestik bruto dari sektor pertanian yang mencapai 15.04 persen dan sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar yaitu 35.06 persen atau sebanyak 39.96 juta penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian (BPS, 2013). Oleh karena itu sektor pertanian dianggap mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Salah satu komoditas pertanian Indonesia yang saat ini mempunyai potensi besar untuk dikembangkan adalah komoditi kedelai.

(18)

2

tabel 1 luas areal panen kedelai sepanjang 2004 – 2012 tidak mengalami kenaikan yang signifikan terkadang mengalami penurunan. Besar kecilnya luas areal panen dapat digunakan sebagai indikasi tinggi rendahnya jumlah petani penanam kedelai. Semakin tinggi peningkatan luas areal panen bisa dikatakan semakin banyak jumlah petani yang menanam kedelai. Ketika menanam kedelai lebih menguntungakan dari pada menanam tanaman lainnya dengan sendirinya petani akan menanam kedelai.

Tabel 1 Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi kedelai nasional tahun 2004-2012

Tahun Areal Panen Produktivitas Produksi Konsumsi

Perbedaan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional seperti yang ditunjukkan pada tabel 1 memunculkan aktivitas impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Kondisi tersebut menunjukka bahwa produksi kedelai dalam negeri sangat berpeluang untuk di kembangkan, karena ketersedian pasar yang banyak dan belum terpenuhinya pasar tersebut. Berdasarkan data dari Dirjen Tanaman Pangan (2012) produksi kedelai nasional dari tahun 2004-2012 cenderung naik tapi lemah dan selalu dibawah konsumsi nasional. Selama 2004-2012 produksi kedelai nasional tertinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 0.92 juta ton, sedangkan produksi terendah yaitu pada tahun 2007 sebesar 0.59 juta ton. Konsumsi nasional kedalai selama 2004-2012 tertinggi yaitu pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 2.40 juta ton.

(19)

3 Tabel 2 Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional

tahun 2008-2012 (ton)

Provinsi Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

Jawa Timur 355260 339491 366999 361986 329461

Jawa Tengah 175156 187992 112273 152416 99318

NTB 95846 93122 88099 74156 91065

Aceh 63538 53347 50006 51439 45018

Jawa Barat 60257 55823 56166 47426 51172

Sumber: BPS (2013) dan Deptan (2012) Adanya perbedaan yang cukup besar antara produksi dan konsumsi kedelai nasional mengindikasikan diperlukannya perbaikan, pengembangan, dan memperbanyak daerah sentra produksi kedelai supaya produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi adalah aktivitas tataniga yang kurang efisien dan membuat keuntungan petani berkurang. Oleh karena itu diperlukan mengarahkan proses tataniaga kedelai ke arah yang lebih efisien supaya keuntungan yang seharusnya diperoleh petani tidak hilang ke pihak lain. Efisen tataniga di tingkat petani dipengaruhi dari beberapa hal diantaranya; akses terhadap informasi harga dan kebebasan petani menjual kedelainya ke siapa saja. Menurut Departemen pertanian (2012) daerah sentra produksi kedelai nasional daintaranya di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Aceh, dan Jawa Barat, seperti pada tabel 2. Jawa Barat merupakan salah satu dari lima sentra produksi kedelai nasional dengan urutan ke lima skala nasional. Di Jawa Barat sendiri terdapat sentra-sentra produksi kedelai yang terletak di beberapa kabupaten/kota. Daerah sentra produksi kedelai yang ada di Jawa Barat diantaranya; Garut, Cianjur, Sumedang, Sukabumi, Ciamis, Majalengka, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan produksi seperti pada tabel 3. Tabel 3 Produksi kedelai di kabupaten sentra produksi se Jawa Barat tahun 2010-2012 (ton) Kabupaten/ Tahun Kota 2010 2011 2012

Garut 18647 15298 21610

Cianjur 10045 10330 6984

Sumedang 7259 5345 3802

Sukabumi 3064 4985 3797

Ciamis 2455 5946 3601

Majalengka 2880 1978 2317

Indramayu 3249 3048 803

(20)

4

Garut merupakan daerah sentra produksi kedelai yang mempunyai produksi paling tinggi se Jawa Barat diikuti Cianjur, Sumedang, Sukabumi, Ciamis, Majalengka, Indramayu, dan Tasikmalaya dengan jumlah produksi masing-masing seperti pada tabel 3. Produksi kedelai di Kabupaten Garut tahun 2010 sebanyak 18 647 ton, tahun 2011 sebanyak 15 298 ton, dan tahun 2012 mencapai 21 610 ton. Angka produksi tersebut paling besar jika dibandingkan dengan kabupaten sentra yang lain. Pertataniagan kedelai lokal di Jawa Barat didominasi oleh kedelai dari petani garut. Kondisi tersebut dikarenakan produksi kedelai di Kabupaten Garut mampu memenuhi 45 persen kebutuhan kedelai se Jawa Barat. (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulutura Kabupaten Garut, 2013). Sentra produksi kedelai di Kabupaten Garut diantaranya terletak di Kecamatan Banyuresmi, Cibolong, Karang Tengah, Karang Pawitan, dan Tarogong Kaler seperti pada tabel 4.

Tabel 4 Produksi kedelai di kecamatan sentra produksi di Kabupaten Garut tahun 2009-2013(ton)

Kecamatan Tahun Rata-rata

2009 2010 2011 2012 2013 5 tahun

Banyuresmi 1241 1286 1439 1557 1570 1419

Cibolong 498 1620 1498 1880 459 1191

Karang Tengah 847 1145 756 1005 1125 976

Karang Pawitan 632 990 848 1137 1140 949

Tarogong Kaler 624 1002 808 935 749 824 Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013)

(21)

5 Tabel 5 Kebutuhan kedelai pada industri tahu-tempe di Kabupaten Garut setiap

tahunya

Jenis Industri Jumlah usaha (unit) Kebutuhan Kedelai (ton)

Tahu 422 5588

Tempe 349 4494

Total 771 10082

Sumber: Dinas Perindustrian Kabupaten Garut (2012) Menurut data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Garut pada tahun 2012 total produksi kedelai mencapai 21 441 ton. Kebutuhan kedelai paling tinggi terjadi pada industri tahu dan tempe. Hal ini didukung dengan data Dinas Perindustrian Kabupaten Garut seperti pada tabel 5 bahwa setiap tahunnya industri tahu dan tempe membutuhkan 10 082 ton kedelai untuk diolah menjadi tahu dan tempe. Industri tahu merupakan penyerap kedelai paling besar jika dibandingkan dengan industri tempe seperti pada tabel 5. Sebagai sentra produksi kedelai terbesar di Jawa Barat, Kabupaten Garut mampu memenuhi kebutuhan kedelai di daerahnya dan membantu menyuplai kedelai ke daerah lain yang ada di Jawa Barat. Tabel 6 Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di Kabupaten Garut tahun 2009-2013 (Ha) Kecamatan Tahun Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013 5 tahun Banyuresmi 805 755 835 895 890 836

Cibolong 330 1.005 925 1.135 272 733

Karang Tengah 550 690 465 610 675 598

Karang Pawitan 409 578 494 647 644 554

Tarogong Kaler 424 620 500 567 447 512 Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut (2013)

(22)

6

Tabel 7 Perbedaan harga jual kedelai di tingkat petani dengan harga beli konsumen akhir di Kabupaten Garut tahun 2014

Uraian Harga jual atau beli kedelai (Rp/Kg) Selisih harga (Rp/Kg)

Petani 7 500 - tersebut terjadi dikarenakan ada lembaga tataniaga yang terlibat dalam aktivitas tataniaga kedelai dari petani hingga ke konsumen akhir. Setiap lembaga yang terlibat akan mengambil keuntungan dan mengeluarkan biaya terkait fungsi yang dilakukan. Besarnya keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dari setiap lembaga tataniaga tersebut akan meningkatkan harga jual dari lembaga tataniga. Sehingga terjadi perbedaan harga di petani produsen primer dengan konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniga yang terlibat maka akan semakin banyak pengambilan keuntungan yang terjadi akibatnya harga jual menjadi naik.

Perumusan Masalah

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mempunyai peran penting dalam perkedelaian nasional. Produksi kedelai di Jawa Barat menempati urutan ke lima secara nasional, ini mengindikasikan bahwa Jawa Barat termasuk daerah sentra produksi nasional. Di Jawa Barat sendiri terdapat beberapa kabupaten yang mempunyai peran penting dalam memproduksi kedelai salah satunya adalah Garut. Pada tahun 2013 pemerintah provinsi Jawa Barat memberikan apresiasi atas tingginya produksi kedelai dari Garut, selain itu Garut juga menjadi daerah pemasok sebanyak 45 persen kebutuhan kedelai yang ada di Jawa Barat.

(23)

7 Tataniaga kedelai yang ada di Indonesia harus diteliti lebih lanjut karena sistem tataniaga yang terjadi akan berpengaruh terhadap produksi kedelai nasional. Keuntungan yang merata ke semua pihak adalah salah satu indikasi sistem tataniaga yang efisien. Sistem tataniaga yang tidak efisien cenderung akan merugikan petani yang pada akhirnya petani lebih memilih menanam komoditi lain. Harga kedelai nasional selama 10 tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan seperti pada tabel 8. Pada tahun 2005 sampai 2007 harga kedelai stabil di angka kisaran Rp 3 500. Sedangkan mulai tahun 2008 sampai 2014 harga kedelai mengalami kenaikan 100 persen dari harga sebelumnya Rp 3500 menjadi 7 500 per Kg nya. Harga kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2013 yaitu mencapai Rp 9 000 per Kg. Tingginya harga kedelai nasional disebabkan naikknya harga kedelai impor. Sisi positif dari harga kedelai yang tinggi adalah keuntungan petani kedelai akan meningkat karena kenaikan harga output yang cukup tinggi tidak diiringi kenaikan input. Petani kedelai nasional yang saat ini masih konsisten menanam kedelai tentunya diuntungkan dengan kenaikkan harga kedelai yang tinggi. Seharusnya kondisi tersebut menjadikan jumlah petani kedelai meningkat dan produksi menigkat.

Tabel 8 Harga di tingkat petani kedelai nasional tahun 2005-2014 (Rp/Kg) Tahun Harga (Rp/Kg) Pertumbuhan Harga (Rp/Kg)

Petani kedelai nasional sebagian besar adalah petani gurem yang pendapatannya tidak begitu besar ditambah lagi posisi tawar petani yang masih rendah akan menambah resiko kecilnya pendapatan petani. Permasalahan lain yang dihadapi petani kecil/gurem/tradisonal dalam sistem tataniaga adalah kesulitan dalam mengakses informasi harga kedelai dipasaran, sehingga petani tidak mengetahui apakah harga yang diterapkan oleh pengumpul sesuai harga pasar atau jauh lebih rendah dari harga di pasaran. Dari kondisi tersebut dapat di indikasikan bahwa ada kemungkinan petani kedelai tidak diuntungkan dengan proses pemasaran yang terjadi di daerahnya. Sehingga timbul permasalahan yang ada di lapangan terutama dalam alur tataniaga yang kurang efisien bagi petani kedelai yang ada di Garut.

(24)

8

1. Bagaimana saluran, lembaga, struktur dan perilaku pasar, serta fungsi tataniaga kedelai yang ada di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut?

2. Bagaimana efisiensi tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya (π/c).?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah

1. Menganalisis saluran tataniaga, fungsi, struktur dan perilaku pasar oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas kedelai di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.

2. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga kedelai pada setiap saluran tataniaga di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c).

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dan bersifat membangun bagi;

1. Petani, diharapkan dapat menjadi referensi agar dapat memilih saluran tataniaga yang paling efisien sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari proses tataniaga kedelai yang dilakukan.

2. Peneliti, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis serta mengaplikasikan bidang keilmuan Agribisnis yang sudah diterima selama mengikuti kuliah di Institut Pertanian Bogor.

3. Pengusaha, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan atau memilih saluran pemasaran yang paling menguntungkan. 4. Pemerintah, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan

kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait kedelai.

5. Pembaca, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan bisa menjadi referensi, pedoman, dan litelatur mengenai saluran pemasaran kedelai.

Ruang Lingkup Penelitian

Peneltian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga kedelai di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis mengenai saluran tataniaga, lembaga dan fungsi tataniaga, analisis struktur pasar, prilaku pasar, marjin tataniaga farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya dari sistem tataniaga kedelai. Petani yang menjadi responden adalah petani yang melakukan usaha budidaya kedelai di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

(25)
(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Kedelai

Komoditi yang diteliti dalam penelitian ini adalah kedelai, kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh dengan tegak dan pada umumnya dibudidyakan di lahan sawah dan lahan kering. Terdapat dua spesies kedelai yang biasa dibudidayakan, yaitu kedelai kuning (Glycine max L) dan kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai kuning biasanya digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat tempe, tahu, susu kedelai sedangkan kedelai hitam digunakan untuk bahan dasar membuat kecap. Kedelai dapat tumbuh dengan baik didaerah subtropis dan tropis. Di Indonesia sendiri tanaman kedelai dapat tumbuh dan dibudidayakn dengan teknologi dan cara sederhana. Saat ini tanaman kedelai sudah dibudidayakan di sebagian wilayah Indonesia seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian daerah Sumatra.

Kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi tanah yang cukup baik serta air yang cukup selama pertumbuhannya. Selain itu faktor iklim juga sangat mempengaruhi, kedelai tumbuh subur pada curah hujan 100-200 mm/bulan, temperatur 25-27 derajat Celcius, dan ketinggian 0-900 m dari permukaan air laut, ketinggian optimal sekitar 600 m (Deptan, 2014). Kedelai dipanen biasanya setelah umur 75-110 hari untuk dapat dikonsumsi sedangkan kedelai yang diperuntukkan benih dipetik pada umur 100-110 hari. Ciri-ciri kedelai yang siap dipanen adalah buah berwarna kecoklatan dan retak, polong sudah kelihatan, sebagain besar daun sudah menguning, dan batang berwarna kuning kecoklatan (BPP Teknologi, 2000). Berdasarkan lamanya periode waktu tumbuh dari sejak tanam sampai kematangan polong, varietas kedelai dapat digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu (1) umur genjah (kurang dari 80 hari), (2) umur sedang (80 – 85 hari), dan (3) umur dalam (lebih dari 85 hari) (Nora, 2008).

Menurut Susanto dan Saneto (1994), ukuran biji kedelai ter-golong kecil bila memiliki bobot 8−10 g/100 biji, sedang jika bobotnya 10−13 g/100 biji, dan besar bila > 13 g/100 biji. Kedelai dengan varietas unggul ditandai dengan hasil panen tinggi (> 2 ton/ha), berbiji kuning dan berukuran besar mirip dengan kedelai impor. Di Indonesia jenis kedelai unggul diantaranya adalah varietas Bromo, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Panderman, dan Grobogan yang semuanya memliki ukuran biji sama atau lebih besar dan kadar protein (37-43 persen) lebih baik dibanding kedelai impor (35-37 persen). Saat ini kedelai yang dijual di pasaran umumnya merupakan varietas lokal atau varietas unggul lama, seperti Wilis yang ukuran bijinya lebih kecil dibanding kedelai impor (Litbang pertanian, 2009).

Sistem Tataniaga

(27)

11 penelitian terdahulu yang dijadikan referensi antara lain berasal dari jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian. Penelitian terdahulu yang dijadikan referensi atau rujukan diantaranya;

1. Permata (2002) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem Agribisnis Kedelai (Kasus Desa Hergamanah, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”

2. Meryani (2008) penelitianya yang berjudul “Analisis Usahatani dan Tataniaga

Kedelai (Kasus Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”

3. Kertawati (2008) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem tataniaga Tembakau Mole (kasus Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat)”

4. Purba (2010) penelitiannya yang berjudul “Analisis Tataniaga Ubi Jalar (kasus Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”

5. Soetrisniati (2011) penelitiannya yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (kasus Desa Pulorejo, Kecamatan, Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)” 6. Alang (2013) penelitiannya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Kedelai

(kasus Desa Cipeuyum, Kecamtan Haurawangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”

Studi Empirik Saluran Tataniaga dan Efisiensi tataniaga

Saluran tataniaga kedelai masih dicirikan oleh banyaknya lembaga perantara yang terlibat. Studi terdahulu umumnya menggunakan metode tabulasi dan deskriptif dalam mengidentifikasi setiap fungsi dan lembaga saluran tataniaga yang terlibat. Dalam menentukan saluran tataniaga yang paling efisien dapat dilhat dari dari segi volume penjualan, marjin tataniaga, farmer’sshare, dan rasio keuntungan terhadap biaya (Fikri, 2013). Secara umum lembaga tataniaga dikelompokkan menjadi petani, pedagang pengumpul, kelompok tani, pengumpul luar daerah, pedagang grosir, pedagang ritel, komisioner/broker, dan eksportir. Aliran komoditi pada saluran tataniaga tersebut dikarenkan lokasi sentra produksi berbeda dengan lokasi pusat konsumsinya (Wiboonpongse et.al, 2001).

Menurut Kotler (2005) saluran tataniaga didefinisikan sebagai sarana untuk mencapai pasar sasaran. Ada tiga jenis saluran tataniaga yang digunakan meliputi: (1) saluran komunikasi yang digunakan untuk memberi dan menerima informasi dari konsumen sasaran. (2) Saluran distribusi digunakan untuk manyampaikan produk atau jasa dari produsen kepada konsumen. Lembaga yang terlibat dalam saluran ini diantaranya distributor, grosir, pengecer dan agen. (3) Saluran jasa untuk melakukan transaksi dengan calon konsumen. Saluran ini mencakup pergudangan, sarana transportasi, lembaga keuangan dan perusahaan asuransi yang memberikan kemudahan dalam transaksi. Secara umum saluran tataniaga awal yang dipilih petani paling dominan adalah pengumpul karena beberapa alasan, diantaranya posisi pengumpul yang lebih dekat dengan petani, adanya hutang-piutang petani dengan pengumpul, kurangnya akses pasar dan informasi pasar oleh petani, kurangnya infrastruktur yang memadai untuk petani dapat melakukan distribusi ke pasar pusat, dan sifat individualis antar petani.

(28)

12

beberapa pelaku pasar yaitu pedagang pengumpul, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten, pedagang propinsi dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga dari penelitian Meryani cukup unik karena komoditi kedelai yang didistribusikan ada dua jeni yaitu kedelai polong muda dan kedelai polong tua. Saluran tataniaga kedelai yang memberikan keuntungan adalah saluran tataniaga enam dengan marjin yang paling rendah yaitu Rp 1 000, farmer’s share paling tinggi sebesar 77.78 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 6,30.

Alang (2013) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga. Pada saluran 1 kedelai dari petani langsung didistribusikan ke konsumen akhir. Pada saluran 2 kedelai harus melewati pedagang pengumpul kecil dan pedagang pengumpul besar sebelum sampai ke konsumen akhir. Sedangkan pada saluran 3 dan 4 lembaga tataniga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul besar, grosir, agen, dan pengecer. Dari keempat saluran menurut Alang yang paling efisien adalah saluran 2 karena Berdasarkan analisis kuantitatif, saluran tataniaga yang cenderung paling efisien untuk penjualan kedelai tidak dengan sistem borong adalah saluran 2 karena nilai marjin yang relatif kecil yaitu Rp 917 walaupun bukan yang terkecil dan nilai farmer’s share yang relatif besar yaitu 85.89 persen walaupun bukan yang terbesar. Marjin terkecil dan farmer’s share terbesar diperoleh dari saluran 1 (Rp 0 dan 100 persen) , tetapi saluran ini tidak menjadi saluran paling efisien dikarenakan adanya hambatan masuk berupa akses terhadap pembeli. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 2 juga memperlihatkan nilai yang relatif besar, yaitu 7.06.

Permata (2002) dalam penelitiannya menemukan tujuh saluran tataniag. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan primkopti. Saluran 1 dan 2 melibatkan 3 lembaga tataniaga, saluran 3, 4, dan 5 melibatkan 2 lembaga tataniaga, sedangkan saluran 6 dan 7 tidak melibatkan lembaga tataniaga karena kedelai dari petani langsung di distribusikan ke konsumen akhir. Saluran pemasaran yang paling efisien yaitu saluran 7 dengan nilai marjin tataniaga paling kecil Rp 50/kg farmer share terbesar 97,7 persen.

Purba (2010) dalam penelitian komoditi ubi jalar menemukan tiga saluran tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, pedagang grosir, dan pegadang pengecer. Saluran 1 memiliki 1 lembaga tataniaga, saluran 2 memiliki 5 lembaga tataniaga, dan saluran 3 memiliki 2 lembaga tataniaga yang terlibat. Saluran tataniaga 1 merupakan saluran yang relatif lebih efisien karena memiliki marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 325/Kg, persentase farmer’s share terbesar yaitu 74,51 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 1,17

(29)

13 Kertawati (2008) dalam penelitiannya menemukan empat saluran tataniaga tembakau mole. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya; bandar, pedagang pengumpul, pabrik guntingan, dan pedagang pengecer. Saluran 1 dan 4 hanya memiliki 1 lembaga tataniaga, sedangkan saluran 2 dan 3 memiliki 3 lembaga tataniaga. Saluran 1 merupakan saluran tataniaga petani yang terikat dengan perjanjian modal sedangkan Saluran 2, 3, dan 4 saluran petani tidak terikat perjanjian modal. Saluran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai margin tataniaga terkecil yaitu Rp 3.815/kg, farmer’s share terbesar yaitu 78,26 persen, dan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 6,81.

Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar

Struktur pasar dapat dianilisis berdasarkan beberapa indikator, yaitu (1) jumlah lembaga tataniaga yang bertindak sebagai penjual, (2) sifat dan keadaan (homogenitas) produk, (3) tingkat keleluasaan suatu pihak untuk masuk atau keluar pasar yang ada, (4) pengaruh penjual dalam menentukan harga, serta (5) kemudahan dalam memperoleh informasi dalam pasar tersebut. Perilaku pasar dapat dianilisis dengan pengamatan terhadap sistem penjualan dan pembelian, mekanisme penentuan harga dan pembayaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga, serta kerja sama yang tercipta dalam suatu pasar (Alang, 2013). Menurut Winarno et al (1976) karakteristik pedagang kedelai dari hasil penelitiannya adalah;

1. Pedagang tingkat desa menangani 3,33-41,5 ton kedelai per tahun; para pedagang di daerah-daerah penghasil kedelai utama, seperti Jawa Timur, menangani bagianterbesar.

2. Di Jawa Barat, Bali, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, petani menjual produk mereka secara lokal; sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa transaksi terjadi di tempat pembeli.

3. Pedagang tingkat kecamatan membeli kedelai langsung dari para petani, dan menangani 8,3-81,7 ton kedelai setiap tahun. Pembayaran umumnya tunai, beberapa dengan panjar.

4. Para pedagang tingkat kabupaten dan propinsi setiap tahun membeli 14,4-118,7 ton kedelai. Dari jumlah kedelai yang ditangani, kedua golongan pedagang itu tidak bisa dibedakan. Demikian juga halnya dengan para pedagang tingkat kecamatan.

(30)

14

Purba (2010) menyatakan struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga tataniaga berbeda-beda dimana petani dan pedagang grosir cenderung mendekati pasar persaingan sempurna, sedangkan pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, dan pedagang pengecer cenderung mendekati pasar oligopoli.

Alang (2013) menyimpulkan dari Analisis struktur pasar menunjukkan bahwa petani pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengecer menghadapi struktur mendekati pasar persaingan sempurna, sementara pedagang pengumpul besar, pedagang grosir, dan agen menghadapi struktur pasar yang cenderung oligopoli dan oligopoli terdeferensiasi. Tidak semua tingkatan lembaga menghadapi struktur pasar mendekati persaingan sempurna menandakan bahwa sistem tataniaga cenderung kurang efisien. Struktur pasar ini mempengaruhi perilaku petani dan setiap lembaga tataniaga dalam melakukan penjualan dan pembelian, penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama. Hal yang paling menonjol pada perilaku pasar persaingan sempurna adalah penjual (petani, pedagang pengumpul kecil, dan pedagang pengecer) berperan sebagai price taker. Sementara itu, lembaga yang menghadapi struktur pasar oligopoli atau pun oligopoli terdeferensiasi, yaitu pedagang pengumpul besar, pedagang grosir, dan agen, merupakan pihak yang mendominasi pasar.

Soetrisniati (2011) menyatakan struktur pasar yang dihadapi petani, kontraktor tebu dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan karena terdapat banyak penjual, barang yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan ada kesulitan untuk keluar masuk pasar. Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antara lembaga tataniaga. Praktek pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah melalui tawar menawar antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan kontraktor tebu berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk usahatani tebu.

(31)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis berisi teori-teori yang berhubungan dengan analisis sistem tataniaga komoditi kedelai yang diteliti dan akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Teori-teori tersebut menjelaskan tentang variabel-variabel yang berfungsi untuk menganalisis proses terjadinya tataniaga sekaligus sebagai batasan dalam penelitian. Variabel yang akan digunakan dalam penelitian analisis tataniaga kedelai (Glycine max L.) di Jawa Barat adalah konsep saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur, perilaku, dan keragaan pasar, dan konsep efisiensi tataniaga yang meliputi biaya dan nilai marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.

Konsep Sistem Tataniaga

Tataniaga lebih dikenal dalam penjualan komoditi pertanian secara umum istilah tataniaga sama artinya dengan pemasaran, dimana terjadinya jual-beli mulai dari awal dihasilkannya sebuah barang sampai barang tersebut dikonsumsi oleh konsumen terakhir. Dalam proses tataniaga sebuah barang akan didistribusikan dari petani atau produsen primer hingga ke konsumen akhir dengan melalui beberapa pihak (pengumpul, broker, agen, reseller, grosir, industri, pabrik, toko, swalayan, dll), setiap pihak akan melakukan perlakuan (penyimpanan, pendistribusian, pengolahan, pengepakan) baik yang akan menambah nilai atau tidak terhadap produk tersebut dengan tujuan untuk memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen akhir.

Pendefinisian kata tataniaga atau pemasaran banyak dilakukan oleh bebrap ilmuan diantaranya, Seperich et al (1994) mendefinisikan tataniaga merupakan semua aktivitas bisnis yang membantu memuaskan kebutuhan konsumen dengan mengkoordinasikan aliran barang dan jasa dari produsen hingga kekonsumen akhir untuk digunakan. Dahl and Hammond (1977) mendefinisikan tataniaga adalah rangkain tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau membentuk input produk mulai dari produsen hingga kekonsumen akhir. Limbong and Sitorus (1987), Purcell (1979), Kohl and Uhl (2002) mendefinisikan tataniaga sebagai serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang ditujukan untuk menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa dari titik produsen ke konsumen. Kotler (2006) mendefinisikan pemasaran sebagai proses sosial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai. Suatu produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk memenuhi keinginan konsumen. Sehingga dapat disimpulkan tataniaga adalah penyaluran barang atau jasa dari produsen sampai ke konsumen akhir melalui berbagai pihak (pengumpul, grosir, industri, dll) dan setiap pihak akan melakukan perlakuan terhadap barang atau jasa tersebut dengan latarbelakang mendapat keuntungan.

(32)

16

(institutional approach), dan pendekatan struktur pasar (market-stucture approach). Menurut Kohls dan Uhl (2002) dalam menganalisis sistem tataniaga menggunakan beberapa pendekatan yaitu ;

1. Pendekatan Fungsi (The Fungsional Approach)

Pendekatan fungsi digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).

2. Pendekatan Kelembagaan (The Institual Approach)

Pendekatan kelembagaan digunakan untuk mengetahui berbagai macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku ini adalah pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur, dan organisasi lainnya yang terlibat.

3. Pendekatan Sistem (The Behavior System Approach)

Pendekatan Sistem merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the communication system.

Konsep Fungsi Tataniaga

Fungsi tataniaga menjelaskan tentang perananan yang akan dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga dalam mendistribusikan barang atau jasa dari produsen hingga ke konsumen akhir. Menurut Kohls dan Uhl (2002) dan Limbong dan Sitorus (1987) mengklasifikasikan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan pemasaran dengan membagi proses pemasaran tersebut ke dalam fungsi-fungsi tataniaga diantaranya;

1. Fungsi pertukaran (exchange function)

Fungsi pertukaran meliputi aktivitas yang menyangkut pertukaran kepemilikan secara hukum atas produk yang dimaksud diantara pembeli dan penjual. Fungsi ini meliputi; pembelian dan penjualan.

2. Fungsi Fisik (physical function)

Fungsi fisik merupakan fungsi-fungsi penanganan secara fisik yang memberikan nilai tambah terhadap barang atau jasa. Fungsi fisik dikelompokkan kedalam tiga fungsi yang berbeda dengan dibatasi oleh waktu, jarak, dan nilai diantaranya;

2.1Penyimpanan (storage), fungsi untuk mengatasi masalah yang timbul karena perbedaan waktu antara kebutuhan konsumen dengan produsen dengan cara menjaga agar kondisi produk tetap baik sampai waktu penjualan.

2.2Tranportasi (transportation), fungsi pemindahan produk dari tempat produsen memproduksi ke tempat konsumen dapat membeli, fungsi ini timbul karena ada batasan ruang dan jarak antara produsen dengan konsumen.

(33)

17 3. Fungsi fasilitas (facilitating function), serangkain fungsi yang memiliki peranan untuk dapat membuat sistem tataniaga berjalan dengan lebih baik, fungsi fasilitas meliputi;

3.1Standardisasi (standarization), fungsi yang menggunakan suatu standar yang dikembangkan terhadap suatu produk atau komoditi dan mendeskripsikan secara lengkap terhadap konsumen.

3.2Pembiayaan (financing), fungsi penyediaan dana untuk membiayai proses produksi dan tataniaga produk atau komoditi ketika produsen harus menunggu untuk menerima pendapatan dari penjualan hasil produksinya.

3.3Fungsi penanggungan risiko (risk bearing), fungsi penanggung semua risiko kerugian yang diasumsikan selama waktu pembelian dan penjualan komoditi produk.

3.4Fungsi informasi (market intellegence), fungsi untuk menginformasikan mengenai harga, persediaan, embargo, kuota, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi terhadap proses penjualan dan pembelian produk atau komoditi di pasaran.

Konsep Saluran dan Lembaga Tataniaga

Saluran dan lembaga tataniaga dalam proses tataniaga merupakan bagian terpenting karena tataniaga tersusun dari lembaga-lembaga yang membentuk saluran tataniaga untuk menyalurkan barang atau jasa dari produsen hingga ke konsumen akhir. Dalam satu saluran tataniaga pada umumnya terdiri dari satu atau lebih lembaga tataniaga dengan berbagai fungsi terhadap barang atau jasa agar dapat memuaskan konsumen akhir. Saluran tatniaga suatu barang atau jasa polanya berbagai macam tergantung lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat sehingga saluran antar masing-masing barang atau jasa yang beda atau sama antar satu daerah atau beda daerah sering berbeda.

Kotler (2004) mendifiniskan saluran tataniaga sebagai rangkaian titik pemindahan barang atau jasa dari produsen sampai ke konsumen akhir, pemindahan terjadi karena ada batasan waktu dan lokasi yang memisahkan antara produsen dan konsumen akhir. Kotler membedakan saluran tataniaga menjadi dua jenis diantaranya saluran langsung yaitu saluran yang terdiri dari produsen primer dan konsumen akhir dan saluran tidak langsung yaitu saluran yang terdiri dari beberapa lembaga tataniga seperti pengumpul, grosir, industri sebagai perantara antara produsen primer dan konsumen akhir.

(34)

18

1. Pertimbangan pasar

Pertimbangan pasar merupakan pengenalan terhadap konsumen yang akan dituju seperti rumah tangga atau industri, jumlah pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, dan kebiasan konsumen dalam membeli. 2. Pertimbangan barang

Pertimbangan barang meliputi nilai per unit barang, jumlah dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis dari barang, barang untuk memenuhi pesanan atau pasar.

3. Pertimbangan internal perusahaan

Pertimbangan yang meliputi sumber modal, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang diberikan oleh penjual.

4. Pertimbangan lembaga perantara

Pertimbangan yang meliputi pelayanan yang dapat diberikan lembaga perantara, fungsi lembaga perantara, sikap terhadap kebijaksanaan produsen, volume penjualan, dan pertimbangan biaya.

Menurut Hanafiah dan Saefudin (1983) dan Limbang dan Sitorus (1987) menjelaskan panjang pendeknya saluran pemasaran tergantung pada :

1. Jarak antara produsen dan konsumen

Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen makin panjang saluran pemasaran yang terjadi.

2. Skala produksi

Semakin kecil skala produksi, saluran yang terjadi cenderung panjang karena memerlukan pedagang perantara dalam penyalurannya.

3. Cepat tidaknya produk rusak

Produk yang mudah rusak menghendaki saluran pemasaran yang pendek, karena harus segera diterima konsumen.

4. Posisi keuangan pengusaha

Pedagang yang posisi keuangannya kuat cenderung dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran pemasaran.

Hanifah dan Saefudin (1983), Limbong dan Sitorus (1987), dan Khols dan Uhls (2002) mendefinisikan lembaga tataniaga sebagai badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai konsumen. Lembaga tataniaga tersebut diantaranya produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Asmarantaka (2009) lembaga tataniaga berperan dalam melakukan proses pengambilan keputusan dalam proses tataniga suatu komoditi. Pendekatan tersebut mempertimbangkan sifat dan karakter dari pedagang perantara, hubungan agen, dan susunan atau perlengkapan organisasi. Khols dan Uhls (2002) dan Asmarantaka (2009) lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya;

(35)

19 2. Agen perantara (agent middleman) adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi yang terdiri dari makelar (brokers) dan komisioner. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani. Agen perantara memberikan jasa penjualan atau pembelian karena mampu melakukan tawar menawar dan mempunyai informasi pasar. Agen memperoleh pendapatan dalam bentuk upah dan komisi. Komisioner mempunyai wewenang yang lebih banyak karena dapat menangani produk secara fisik, mengatur waktu penjualan dan tugas-tugas lainnya sedangkan makelar mempunyai wewenang terbatas dan tidak menangani produk secara fisik serta mengkuti peraturan dari klien.

3. Perantara spekulatif (speculative middleman) adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga

4. Pengusaha pengolahan dan pabrik (processors and manufactures) adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang jadi. Aktivitas pabrik pengolah menambah kegunaan waktu, tempat, bentuk, dan kepemilikan.

5. Organisasi pemfasilitasi (fasilitative organizations) adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain. Fasilitator melakukan aktivitas seperti membuat peraturan-peraturan, kebijkan, asosiasi, jasa pengangkutan produk atau fungsi fasilitas speseifik lainnya.

Sudiyono (2001) mendefiniskan lembaga tataniaga sebagai badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir dan mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga tataniaga tersebut akan menjalankan fungsinya dengan tujuan untuk memuaskan konsumen akhir.

Limbong dan Sitorus (1987) mengelompokkan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukannya, penguasan terhadap barang, kedudukan dalam struktur pasar, dan bentuk usaha.

1. Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dibedakan atas; 1.1Lembaga fisik tataniaga adalah lembaga-lembaga yang menjalankan

fungsi fisik pemasaran, meliputi; lembaga pengolahan, lembaga pengangkutan, dan lembaga pergudangan.

1.2Lembaga perantara tataniaga adalah suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran seperti pedagang pengecer, pengumpul, dan grosir.

1.3Lembaga fasilitas tataniaga adalah lembaga yang melaksanakan fungsi fasilitas seperti; Bank, Lembaga Perkreditan, dan KUD.

2. Berdasarkan penguasaan suatu badan terhadap barang dan jasa, lembaga tataniaga terdiri dari;

2.1Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, seperti; agen, perantara, dan broker.

2.2Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti; pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang besar, eksportir, dan importir.

(36)

20

3. Penggolongan lembaga tataniaga menurut kedudukannya dalam struktur pasar dapat digolongkan atas;

3.1Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti; pedagang pengecer rokok dan pengecer beras.

3.2Lembaga tataniaga yang bersaing monopolistik, seperti; pedagang asinan, pedagang benih, dan pedagang bibit.

3.3Lembaga tataniaga oligopolis 3.4Lembaga tataniaga monopolis

4. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas;

4.1Berbadan hukum 4.2Tidak berbadan hukum

Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bentuk koordinasi antar lembaga tataniaga dalam melaksanakan fungsi-fungsinya untuk mencapai efisiensi tataniaga;

1. Integrasi vertikal adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi yang berbeda berhubungan satu dengan lainnya menurut saluran produk tersebut. Integrasi vertikal akan menurunkan pengeluaran tataniaga sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih murah, hal ini dikarenakan perbedaan harga antara tingkat produsen dengan tingkat konsumen tidak terlalu besar sehingga konsumen diuntungkan.

2. Integrasi horizontal adalah lembaga-lembaga tataniaga yang menyelenggarakan fungsi yang sama disatukan didalam suatu tindakan pemasaran suatu barang. Integrasi horizontal dapat merugikan konsumen, karena intergrasi semacam ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan menghindari adanya persaingan dari perusahaan atau lembaga tataniaga yang sejenis sehingga lembaga tersebut dapat mengontrol harga barang.

Konsep Struktur, Keragaan dan Perilaku Pasar

Struktur pasar tataniaga dari sudut pandang produsen menjelaskan persaingan antar produsen dalam menguasai pasar. Kompetisi tersebut dipengaruhi oleh penguasaan produsen terhadap bahan baku, teknologi, modal, dan lisensi dari pemerintah. Limbong dan Sitorus (1987), struktur pasar menjelasakan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk, dan syarat-syarat masuk pasar. Asmarantika (2009), struktur pasar merupakan jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan antara pembeli dan penjual yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar.

Tomek dan Robinson (1972); Dahl dan Hammond (1977); Purcell (1979); Kohls dan Uhl (1985); dan Limbong dan Sitorus (1987) membedakan pasar menjadi empat struktur pasar diantaranya; (1) pasar persaingan sempurna, (2) pasar monopoli, (3) pasar oligopoli, (4) dan pasar monopolistik. .

(37)

21 2 Banyak Banyak Diferensiasi Tinggi Persaingan

monopolistik 4 Sedikit Sedikit Diferensiasi Tinggi Oligopoli

diferensiasi

Oligopoli diferensiasi

5 Satu Satu Unik Tinggi Monopoli Monopoli

Sumber : Dahl dan Hammond, (1977)

Penentuan struktur pasar melalui karakteristik yang berbeda dengan Dahl dan Hammond dikemukaan oleh Kohl dan Uhl (2002) yang menentukan struktur pasar berdasarkan empat faktor yaitu; (1) ukuran perusahaan atau pangsa pasar yang dimiliki, (2) keadaan produk (homogen atau diferensasi), (3) tingkat kemudahan untuk masuk dan keluar pasar, (4) tingkat informasi yang dimiliki

Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar yang ditandai dengan jumlah pembeli dan jumlah penjual yang banyak. Produk yang diperjual-belikan bersifat homogen atau seragam dengan jumlah banyak. Selain itu, penjual dan pembeli mudah untuk masuk dan keluar pasar. Sehingga penjual dan pembeli tidak dapat mempengaruhi harga di pasar atau bertindak sebagai penerima harga (price taker). Informasi yang dimiliki oleh penjual dan pembeli terkait kondisi pasar relatif sempurna.

Pasar persaingan monopolistik terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan kegiatan perdagangan pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar. Produk yang dijual terdeferensiasi atau produk dapat dibedakan menurut kualitas, ciri, dan pelayanan yang berbeda. Adanya perbedaan harga tersebut disebabkan oleh tindakan penjual yang dapat melakukan penawaran berbeda kepada para pembeli yang berada pada segmen yang berbeda menggunakan merek, periklanan dan personal selling.

(38)

22

informasi yang sifatnya perorangan.Sedangkan pasar yang terdiri dari beberapa pembeli disebut pasar oligopsoni.

Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang terdiferensiasi disebut sebagai pasar oligopoli terdiferensiasi. Sedangkan pasar oligopsoni terdiferensiasi merupakan pasar dengan beberapa pembeli yang membeli produk terdiferensiasi.

Struktur pasar monopoli merupakan pasar dengan penjual tunggal yang memperdagangkan suatu produk yang unik, serta penjual tersebut mempunyai kemampuan mengintervensi penawaran produk tersebut. Sehingga penjual pasar monopoli dapat menetapkan harga atau bertindak sebagai price maker. Serta penjual monopoli memiliki mekanisme yang dapat menghambat penjual baru potensial. Sedangkan dari sisi pembeli disebut pasar monopsoni yang terdiri dari seorang pembeli suatu produk. Struktur pasar menjelaskan perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) yang selanjutnya akan menunjukkan keragaan dari perilaku pasar (market performance) yang ada di dalam sistem tataniaga tersebut.

Keragaan pasar menjelaskan akibat keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataann sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi yang akhirnya memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Analisis terhadap keragaan pasar dapat dilakukan melalui dua indikator yaitu; (1) harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan konsumen, dan (2) marjin dan penyebarannya pada setiap pelaku pemasaran.

Perilaku pasar adalah pola tingkah laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan kerjasama antara lembaga pemasaran, pendekatan perilaku terdiri dari pendekatan input-output, power, communications, dan adaptive behavior system. (Dahl dan Hammond, 1977). Seperich et al (1994) menjelaskan perilaku pasar sebagai sikap yang menunjukkan bagaimana keputusan dibuat oleh lembaga tataniaga.

(39)

23 Konsep Efisiensi Tataniaga

Profit merupakan tujuan utama produsen melakukan aktivitas bisnis atau produksi barang atau jasa. Agar profit dalam sebuah kegiatan bisnis dapat maksimal salah satunya diperlukan efisiensi dalam melakukan penjualan atau tataniaga barang atau jasa yang diproduksi. Efisiensi tataniaga juga dapat dilihat dari saluran pemasaran yang terjadi, jika dalam sebuah saluran pemasaran terdapat lembaga-lembaga pemasaran yang sifatnya tidak begitu penting maka hanya akan memperpanjang saluran pemasarn saja dan merugikan produsen primer. Misalnya, dalam saluran pemasaran yang dipilih petani X di satu wilayah terdapat tiga pengumpul, kondisi tersebut dapat dikatakan kurang efisien apabila kedua pengumpul dihilangkan dan tidak berpengaruh terhadap proses tataniaga yang terjadi. Efisiensi dalam tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional.

Menurut Cramer dan Jensen (1991), efisiensi harga adalah akurasi dan kecepatan dalam penetapan harga produk yang secara tepat menggambarkan permintaan konsumen yang ditransmisikan melalui saluran tataniaga.Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menggambarkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Menrut Mubyarto(1995), efisiensi tataniaga dapat terjadi jika;

1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dangan biaya semurah-murahnya.

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang atau jasa tersebut.

Menurut Kohls dan Uhls (2002), salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi operasional adalah dengan penerapan teknologi baru termasuk subtitusi modal kerja. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya terhadap keuntungan.

Konsep Margin Tataniaga

Menurut Kohl dan Uhl (2002) dan Limbong dan Sitorus (1985), margin tataniaga adalah selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan yang diterima oleh petani produsen. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), Tinggi rendahya margin tataniaga ditentukan oleh besar kecilnya jasa atau pengeluaran yang diberikan ditambah dengan keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniga yang terlibat, semakin banyak lembaga tataniaga mengakibatkan semakin besar pula margin tataniaga. Tinggi atau rendahnya margin tataniaga pada umumnya sering digunakan sebagai ukuran efisien atau tidaknya kegiatan tataniaga, namun tidak mutlak tingginya margin tataniaga memastikan kegiatan tataniaga yang terjadi sudah efisien.dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima oleh produsen primer.

(40)

24

dan return to institution . Return to factor menjelaskan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses pemasaran seperti upah, bunga, dan keuntungan, sedangkan return to institution menjelaskan pengembalian terhadap jasa atau aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses tataniaga.

Gambar 1. Proses terjadinya marjin dan nilai narjin tataniaga. Sumber: Dahl dan Hammond, 1977

Keterangan:

Pf = Harga di tingkat produsen primer (Rp) Pr = Harga di tingkat konsumen akhir (Rp) Df = Kurva permintaan produsen primer Dr = Kurva permintaan konsumen akhir Sf = Kurva penawaran produsen primer Sr = Kurva penawaran konsumen

Qr,f = Jumlah keseimbangan di tingkat produsen dan konsumen (Pr-Pf) = Margin tataniaga (Rp)

(Pr-Pf)Qr,f = Nilai marketing margin yang merupakan hasil kali antara jumlah yang terjual dengan selisih harga di tingkat konsumen dan harga di tingkat produsen.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), perhitungan margin adalah sebagai berikut; MT = Σ Mi ... (1)

Mi = Psi – Pbi ... (2) Mi = Ci + π ... (3)

(41)

25 Sehingga keuntungan lembaga di tingkat ke- i

Πi = Psi – Pbi – Ci Keterangan;

Mi : Marjin tataniaga tingkat ke – i (Rp) Psi : Harga jual pasar tingkat ke – i (Rp)

Pbi : Biaya lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp) Πi : Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke – i (Rp) MT : Margin total (Rp)

Persentase margin tataniaga pada tingkat ke – i dapat dihitung melalui: Mi (%) = (Mi/Pf ) × 100%

Konsep Farmer’s Share

Indikator berikutnya yang digunakan untuk menilai efisiensi kegiatan tataniaga adalah farmer’s share, farmer’s share merupakan harga yang diterima oleh produsen primer. Menurut Kohls dan Uhls (1985), menjelaskan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan produk, farmer’s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya transportasi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (Pr). Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):

Keterangan:

F s :Farmer’ share(%)

P f :Harga di tingkat petani (Rp) P r : Harga di tingkat konsumen (Rp)

Hubungan farmer’s share dengan margin tataniaga adalah negatif, artinya margin tataniaga yang semakin tinggi akan mengakibatkan farmer’s share semakin kecil dan sebaliknya ketika margin tataniaga rendah maka farmer’s share semain tinggi. Ukuran efisiensi tataniaga salah satunya ketika margin tataniaga rendah dan farmer’s share tinggi.

Konsep Rasio Keuntungan terhadap Biaya pada Tataniaga

Indikator lain dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga selain margin tataniaga dan farmer’s share adalah rasio keuntungan dan biaya pada tataniaga. Dengan rasio keuntungan dan biaya tataniaga yang merata maka suatu kegiatan tataniaga akan semakin efisien. Secara matematis perhitungan rasio keuntungan dan biaya tataniaga sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):

(42)

26

Πi : keuntungan lembaga tataniaga (Rp) Ci : Biaya tataniaga (Rp)

Kerangka Pemikiran Operasional

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi sentra produksi kedelai nasional, sekarang ini kedelai dalam negeri hanya mampu mencukupi 30 persen dari kebutuhan nasional dan sisanya dipenuhi oleh kedelai impor. Harga kedelai dipasaran per satu kilogramnya sekitar Rp 8 000 sampai Rp 9 000, kondisi harga saat ini jauh lebih mahal dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya dikisaran Rp 3 000 per kilogram. Seharusnya dengan harga yang begitu tinggi dan permintaan pasar yang banyak dapat memberikan dorongan kepada petani untuk lebih memilih menanam kedelai daripada komoditi lainnya. Tetapi masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi petani kedelai, salah satunya yaitu proses pemasaran pasca panen, petani kedelai masih mengalami kesulitan untuk memperoleh harga normal dipasaran hal ini dikarenakan adanya kedelai impor yang masuk ke daerah-daerah negeri. Selain itu petani masih mengalami kesulitan memperoleh akses pasar, informasi harga di pasaran, dan masih rendahnya daya tawar yang dimiliki oleh petani. Hal tersebut menandakan masih kurang efisiennya sistem tataniaga kedelai di Jawa Barat.

Penelitian ini menganalisis sistem tataniaga kedelai yang dilakukan di Garut yang merupakan kabupaten urutan pertama penghasil terbesar kedelai di Jawa Barat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi pengidentifikasian saluran tataniaga dan lembaga tataniaga yang terlibat serta fungsinya. Sedangkan analisis kuantitatif yang akan digunakan untuk menentukan efisiensi kegiatan tataniaga meliputi analisis margin tataniaga, analisis farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Pada tahap akhir analisis menjelaskan pemaparan dan perbandingan saluran tataniaga kedelai yang ada di Garut, sehingga akan diperoleh hasil saluran tataniaga kedelai yang paling efisien. Hasil peneltian ini dapat digunakan oleh produsen dalam menentukan saluran tataniaga yang menguntungkan dan membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan yang terkait.

(43)

27

Gambar

Tabel 1  Perkembangan areal panen, produktivitas, produksi, dan konsumsi
Tabel 2  Produksi kedelai nasional di lima provinsi sentra produksi nasional  tahun 2008-2012 (ton)
Tabel 6  Luas panen kedelai di kecamatan sentra produksi kedelai di Kabupaten
Tabel 8  Harga di tingkat petani kedelai nasional  tahun 2005-2014 (Rp/Kg)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur penyebaran keuntungan pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga yang

Saluran tataniaga III merupakan saluran yang memiliki marjin tataniaga terbesar karena lembaga tataniaga yang terlibat cukup banyak, perlakuan yang dilakukan setiap

Terdapat empat pola saluran tataniaga tembakau mole yang dilalui dalam pemasaran di Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, yaitu : saluran tataniaga I : Petani, Bandar

Apa saja lembaga pendukung kegiatan usahatani dan pemasaran kedelai di.

Margin tataniaga merupakan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen akhir untuk suatu produk pertanian, dengan harga yang diterima oleh petani produsen untuk produk

Analisis margin pemasaran dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga pemasaran atau perbedaan harga yang diterima

share margin serta Fungsi-fungsinya pada saluran tataniaga bawang merah di daerah penelitian; Untuk mengetahui bagaimana efisiensi tataniaga untuk setiap saluran tataniaga

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa margin pemasaran merupakan perbedaan atau selisih antara harga penjualan yang diterima setiap lembaga pemasaran pada