• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset besar dan menjadi sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan untuk menunjang ketahanan pangan. Kebutuhan terhadap pemenuhan pangan merupakan kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi karena hal ini berkaitan dengan hajat hidup manusia. Salah satu produk pertanian yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah beras.

Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

Nutrisi Satuan Beras Gandum Sorgum Jagung

Karbohidrat Gram 78,9 74,1 73,0 72,4

Protein Gram 6,8 11,8 11,0 10,0

Lemak Gram 6,8 1,2 73,0 10,0

Kalori Gram 360,0 - 332,0 361,0

Vitamin B1 Mg - - 0,4 2,3

Serat - - 0,4 - 2,3

Air - - 12 - 13,5

Sumber: Badan Pusat Statistik 2010(a) Keterangan: - tidak terdapat data

Beras masih menjadi bahan pangan utama yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini dikarenakan beras dipandang sebagai produk pangan yang mudah didapat, ketersediaannya melimpah, dan bergizi. Beras dikatakan bergizi karena kandungan karbohidrat dalam beras merupakan yang tertinggi di atas bahan pangan lainnya (Tabel 1).

Tabel 2. Data Konsumsi Pangan per Kapita Indonesia Tahun 2010

Komoditas Pangan Konsumsi per Kapita (kg/orang/tahun)

Beras 139

Gandum 17

Jagung 70

Kedelai 40

Sumber: Badan Pusat Statistik 2010(a)

(2)

beras per kapita Indonesia lebih tinggi dibandingkan bahan pangan lainnya. Hal ini membuktikan betapa pentingnya ketersediaan beras bagi masyarakat.

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat menjadikan ketersediaan beras sebagai suatu hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal ini, petani lokal masih menjadi tulang punggung dalam penyediaan beras secara nasional. Meskipun demikian, pertumbuhan produksi beras nasional belum mampu memenuhi pertumbuhan konsumsi setiap tahunnya yang cenderung meningkat dan lebih besar dari produksi sehingga pemerintah harus melakukan impor untuk menjaga ketersediaan beras (Tabel 3).

Tabel 3. Jumlah Penduduk, Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia Tahun 2000-2010

Tahun Jumlah Penduduk

(jiwa)

Produksi (juta ton)

Konsumsi (juta ton)

Impor (juta ton)

2000 206.264.595 32,96 35,88 1,50

2001 - 32,96 36,38 3,50

2002 - 33,41 36,50 2,75

2003 - 35,02 36,00 0,65

2004 - 34,83 35,85 0,50

2005 - 34,96 35,74 0,54

2006 - 35,30 35,90 2,00

2007 - 37,00 36,35 0,35

2008 - 38,31 37,10 0,25

2009 - 36,37 38,00 1,15

2010 237.556.363 38,00 38,55 0,95

Sumber : USDA (2011)1 Keterangan: - tidak terdapat data

Rata-rata dana pengadaan dalam negeri dalam 4 – 5 bulan periode pengadaan mencapai 5 -7 triliun per tahun yang mengalir langsung ke petani pedesaan, dan bahkan selama satu tahun bisa mencapai lebih dari 11 triliun. Dan tersebut semakin meningkat seiring dengan besarnya serapan pengadaan dalam negeri sehingga memberikan multiplier effects yang mendorong pembangunan pedesaan dengan peningkatan pendapatan dan perluasan lapangan kerja.

Tidak semua daerah di Indonesia mampu memenuhi jumlah kebutuhan beras penduduk karena berbagai keterbatasan, terutama aspek kesesuaian iklim dan lahan. Hal ini berimplikasi pada adanya daerah yang mengalami defisit dan

1

(3)

ada daerah yang menjadi daerah surplus produksi beras. Daerah yang mengalami defisit tersebut membutuhkan pasokan beras dari daerah dengan surplus beras. Kondisi ini menciptakan kegiatan tataniaga beras dari satu daerah ke daerah lain.

Dalam industri beras di Indonesia, aspek tataniaga memiliki peran yang penting. Beras merupakan komoditi yang dipengaruhi faktor musim dalam penyediaannya. Adanya lag dalam penyediaan beras disebabkan oleh produksi padi yang sangat tergantung pada musim tanam dan hal ini secara tidak langsung telah terpola dengan sendirinya.

Gambar 1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 Sumber: Data Strategis Indonesia BPS (2010)

(4)

menyalurkan Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin2.

Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang menjadi wilayah surplus produksi beras. Provinsi-provinsi sebagai wilayah penghasil beras dengan produksi yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki produksi beras tertinggi di Indonesia. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah tiga provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia dengan jumlah berturut-turut 11.322.681 ton, 9.600.415 ton, dan 11.259.085 ton (Badan Pusat Statistik 2010) (Lampiran 1).

Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Sawah Kabupaten Demak Tahun 2005-2009

Tahun Total Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Kw/Ha)

2005 284.390 520.109 58,53

2006 276.230 500.649 60,90

2007 288.934 517.463 56,54

2008 287.481 563.737 54,24

2009 299.614 571.330 55,82

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak (2010)(b)

Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki peran penting dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional. Hal ini terbukti dengan diberikannya dua penghargaan nasional oleh Presiden Republik Indonesia yaitu Penghargaan Peningkatan Produksi Padi dan Penghargaan Ketahanan Pangan pada tahun 2010. Untuk penghargaan peningkatan produksi padi, Kabupaten Demak telah memperolehnya dua tahun berturut-turut3. Penghargaan pada tahun 2009 diberikan karena produksi padi Demak tahun 2007 sebesar 517.463 ton, meningkat pada 2008 menjadi 563.737 ton atau naik 5,03 persen. Kemudian penghargaan berikutnya diperoleh karena produksi padi Demak di tahun 2008 sebesar 563.737 ton, meningkat pada tahun 2009 mencapai jumlah 571.330 ton. Prestasi dalam peningkatan produksi padi

2

http://www.bulog.co.id [diakses 22 Desember 2011]

3

(5)

yang dicapai Kabupaten Demak tersebut merupakan keberhasilan yang searah dengan gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang diusung pemerintah.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum, tataniaga beras belum dapat terlepas dari kendala-kendala dalam proses menyalurkan beras dari petani hingga konsumen. Masalah utama yang sering kali terjadi adalah rendahnya harga gabah yang diterima petani, terutama pada saat panen raya dan tingginya harga beras yang terjadi di tingkat konsumen akhir. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pasar beras tidak simetris dan kurang terintegrasi. Artinya, jika harga beras di tingkat konsumen naik, kenaikan tersebut tidak tersampaikan ke tingkat petani. Namun jika harga beras di kota turun, penurunan tersebut akan segera menyebabkan turunnya harga gabah di tingkat petani sehingga petani selalu berada pada posisi yang tidak diuntungkan oleh mekanisme pasar.

Dalam kebijakan perberasan, peran BULOG sebagai penyeimbang harga di pasar seharusnya dapat melindungi harga pada tingkat petani. Inpres tersebut dengan jelas menugaskan BULOG untuk menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri. Pengadaan tersebut dilakukan dengan menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP. Selain untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan sebagai jaminan pasar atas produksi petani. Jumlah pengadaan dalam negeri setiap tahunnya berkisar antara 1,5 – 2 juta ton setara beras, sekitar 5 – 7 persen dari total produksi per tahun atau sekitar 20 – 25 persen dari surplus yang dipasarkan petani selama bulan Maret – Mei. Pengadaan gabah BULOG mengikuti pola produksi tersebut dimana karakteristik produksi gabah tidak sama antar waktu dan antar tempat. Jumlah pengadaan BULOG sebagian besar (70 persen) dilakukan di daerah produsen (Jawa dan Sulawesi Selatan) dan sebagian besar (60 persen) dilakukan selama panen raya (Januari – Mei).

(6)

dan beras yang bersifat inelastis, keterbatasan gudang swasta, relatif lemahnya industri penggilingan padi, dan iklim yang basah terutama saat panen raya, menjadi faktor yang juga berpengaruh terhadap harga di tingkat produsen. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka stabilitas gabah atau beras dalam negeri di masa yang akan datang akan tergantung. Jaminan harga di tingkat produsen memiliki posisi yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan produksi karena sangat berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani. Jaminan harga ini diberikan pemerintah melalui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang dicantumkan pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan dimana telah ditetapkan bahwa HPP gabah dan beras untuk GKP di petani sebesar Rp 2.640,- per kilogram, GKG di penggilingan sebesar Rp 3.300,- per kilogram, dan beras di gudang BULOG sebesar Rp 5.060,- per kilogram.

(7)

Tabel 5. Rata-rata Harga GKP, GKG, dan Beras di Wilayah Sentra Produksi Padi Pulau Jawa Tahun 2011.

Tingkat

Lembaga Produk

Harga Beras di Wilayah Sentra Produksi Padi (Rp)

Jawa Barat Jawa Timur Jawa

Tengah

Cianjur Karawang Tuban Lamongan Demak

Petani GKP 3.100 4.000 2.500 2.600 2.000

GKG 3.300 4.200 2.800 2.700 2.020

Konsumen

Individu Beras 6.600 6.700 6.500 6.700 6.700

Sumber: Kementrian Pertanian

Jika dibandingkan dengan HPP, harga jual di pasar GKG dan GKP di Kabupaten Demak lebih rendah dari harga dasar pemerintah kecuali harga beras. Sedangkan harga GKP, GKG, dan beras di kabupaten yang lain secara keseluruhan setara bahkan lebih besar dari HPP. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi suatu masalah di Kabupaten Demak dimana harga GKP dan GKG jauh lebih rendah namun harga beras jauh di atas HPP.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan BPS Distribusi Jawa Tengah, gabah didominasi kelompok kualitas rendah yaitu 52,09 persen, disusul GKP 39,07 persen dan GKG sebanyak 8,84 persen4. Dari hasil survei tersebut terlihat harga gabah tertinggi di tingkat petani mencapai Rp 3.630,00 per kilogram berasal dari kelompok kualitas GKP di Kabupaten Semarang, sedangkan harga terendah sebesar Rp 2.000,00 per kilogram berasal dari Kabupaten Demak. Pada tingkat RMU, harga gabah tertinggi mencapai Rp 3.700,00 per kilogram yang juga berasal dari kualitas GKP di Kabupaten Semarang, sedangkan harga terendah sebesar Rp 2.020,00 per kilogram juga berada di Kabupaten Demak.

Selain masalah harga, ketersediaan beras di Kabupaten Demak juga dinilai menjadi kendala ketika aliran produk dari petani hingga konsumen akhir tidak berjalan lancar. Sering kali penggilingan kekurangan stok karena gabah di daerah panen justru dipasarkan ke luar daerah oleh tengkulak melalui pedagang-pedagang besar. Selain itu, penggilingan yang tidak memiliki akses permodalan yang baik, tidak mampu menjalankan usahanya secara kontinyu sehingga banyak gabah yang

4

(8)

tidak tersalurkan ke daerah setempat. Kendala lain yang muncul adalah semakin banyaknya RMU keliling yang menyediakan jasa giling bagi petani-petani yang memiliki gabah. RMU keliling tersebut secara legalitas tidak mempunyai izin operasi, namun pemerintah daerah tidak dapat melakukan kontrol atas keberadaan RMU keliling tersebut yang semakin bertambah banyak jumlahnya.

Pada tingkat konsumen, terjadi kenaikan harga beras sepanjang bulan Januari hingga Februari 2011. Harga beras golongan beras medium mencapai harga Rp 6.700,00 per kilogram, sedangkan beras super sudah mencapai harga Rp 7.100,00 per kilogram dari harga normal Rp 5.200,00 per kilogram5. Kondisi tersebut membuat masyarakat merasa sulit karena meskipun memiliki uang namun warga tetap mengalami kesulitan dalam membeli beras dikarenakan stok beras yang berada di petani maupun RMU sudah kosong. Konsumen yang ingin membeli beras dengan harga murah kalah bersaing dengan pedagang beras lokal yang juga kesulitan untuk membeli beras dalam jumlah besar. Bahkan raskin yang banyak dicari oleh warga kelas bawah juga sulit ditemukan. Raskin dijual sesuai harga pemerintah yaitu Rp 1.600,00 per kilogram. Penjualan raskin tersebut tentunya tidak dapat menurunkan harga beras di pasaran karena stoknya yang terbatas.

Fakta yang telah diuraikan tersebut mengindikasikan adanya permasalahan yang muncul pada lembaga-lembaga yang ada pada saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak. Permasalahan tersebut terjadi dalam hal harga dimana terjadi gap yang besar pada tingkat harga petani dan konsumen akhir. Selain masalah pada harga, ketersediaan beras bagi konsumen juga terdapat kendala dimana terjadi hambatan dalam penyaluran beras sehingga konsumen merasakan kesulitan dalam membeli beras. Besarnya gap harga mengindikasikan adanya rantai tataniaga yang panjang pada komoditi tersebut. Banyaknya lembaga yang terdapat dalam sebuah tataniaga beras yang panjang menggambarkan bagaimana perilaku dan karakteristik pasar pada komoditi tersebut serta proses pembentukan harga yang terjadi. Sebagai salah satu sentra produksi beras, tingginya harga beras di tingkat konsumen dan kurangnya stok beras di tingkat produsen merupakan

5

(9)

kontradiksi yang layak untuk diketahui pada keadaan yang sebenarnya di lapang. Permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang fungsi masing-masing lembaga dalam setiap saluran tataniaga, proses pembentukan harga dalam rantai tataniaga, bagian harga yang diterima petani, tingkat harga dari satu tingkat pasar ke tingkat pasar lainnya, serta kegiatan penambahan nilai dan marjin yang diperoleh berbagai pelaku pasar dalam tataniaga beras di Kabupaten Demak.

Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, struktur, dan perilaku pasar tataniaga beras di Desa Kenduren?

2) Bagaimana efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa Kenduren melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan perilaku pasar tataniaga beras di Desa Kenduren.

2) Menganalisis efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa Kenduren dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan, dan biaya.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu:

1) Bagi Penulis

(10)

2) Bagi Lembaga-Lembaga Terkait

Penelitian ini dapat memberikan evaluasi dan rekomendasi mengenai sistem tataniaga beras. Selain itu, lembaga yang terkait dapat menjadikan penelitian ini sebagai sumber informasi terbaru terkait tataniaga beras yang ada di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.

3) Bagi Kalangan Akademisi

Sebagai salah satu sumber informasi dan referensi mengenai kajian tataniaga beras yang dapat digunakan untuk literatur penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup kajian tataniaga beras pada tingkat kabupaten. Pengambilan data dilakukan dari tingkat petani, tengkulak, RMU, Subdrive BULOG, grosir, ritel, dan konsumen individu. Batasan responden petani adalah petani yang berada di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, dimana desa tersebut memiliki produksi padi terbesar di Demak pada tahun 2011 sehingga diharapkan mampu merepresentasikan kegiatan tataniaga beras yang terjadi di Desa Kenduren.

(11)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Beras

Beras adalah produk dari proses pengolahan gabah yang merupakan hasil utama tanaman padi. Untuk menjadi beras, gabah perlu diolah sedemikian rupa melewati beberapa tahapan. Setelah proses panen, tanaman padi harus dirontokkan terlebih dahulu malainya sehingga didapatkan GKP. GKP kemudian dijemur hingga kering dan menjadi GKG. Proses berikutnya adalah melakukan penggilingan GKG sehingga caryopsis terlepas dari pericarpus dan lapisan aleuron-nya. Bagian caryopsis itulah yang disebut sebagai beras (Siregar 1987).

Menurut Sawit dan Lakollo (2007), beras tidak hanya merupakan komoditas ekonomi, melainkan juga sebagai komoditas sosial politik. Hal ini karena beras dibutuhkan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia sehingga berperan penting terhadap kondisi ekonomi makro, inflasi, risiko ketahanan pangan, pengangguran, dan kemiskinan. Beras juga merupakan komoditas yang unik, karena telah menjadi bahan pangan utama bagi negara-negara berkembang. Menurut Dawe (1997) dan Tsuji (1998), dalam Ammang dan Sawit (2001) karakteristik beras adalah:

1) Produksi dan konsumsi beras 90 persen dilakukan di Asia. Hal ini berbeda dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia. 2) Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya,

misalnya gandum. Selama tahun 1954 sampai 1994 harga beras mencapai harga tertinggi 600 dolar AS per ton dan terendah 200 dolar AS/ton.

3) Sebesar 80 persen perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu; Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan India. Oleh karena itu pasar beras internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan oligopoli tersebut.

4) Pada tahun 1998 misalnya, Indonesia mengimpor sekitar 31persen dari total beras yang diperdagangkan di dunia.

5) Banyak negara Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods. Pemerintahan di banyak negara Asia akan terganggu stabilitasnya

(12)

6) Sejak lama masyarakat Indonesia menempatkan padi dan beras sebagai lambang kesejahteraan. Misalnya masyarakat Pulau Jawa yang menggambarkan padi sebagai jelmaan dari Dewi Sri yang merupakan perlambang kesejahteraan.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai topik tataniaga yang membahas komoditi beras bukan menjadi sebuah topik yang baru. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini mengacu pada hasil penelitian-penelitian sebelumnya sebagai sumber informasi dan referensi. Hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai sumber referensi yaitu jurnal, laporan penelitian, dan skripsi.

2.2.1. Studi Empirik Saluran Tataniaga Beras

Saluran tataniaga beras yang telah dikaji dalam penelitian terdahulu umumnya memiliki saluran yang panjang. Panjangnya saluran tersebut disebabkan karena banyaknya lembaga-lembaga perantara dari petani hingga konsumen akhir. Penelitian terdahulu pada umumnya menggunakan metode tabulasi dan deskriptif dalam mengidentifikasi lembaga dan fungsi tataniaga dalam sebuah saluran. Untuk mengetahui pola saluran tataniaga, digunakan metode snowball dengan petani sebagai titik awal penelitian.

Titik akhir beberapa saluran tataniaga beras berada di pasar kecamatan atau kabupaten. Namun pada umumnya para pedagang beras dan penggilingan beroperasi pada cakupan pasar yang lebih luas dan melintasi batas kabupaten bahkan antar provinsi dan antar pulau. Saluran tataniaga tersebut tidak hanya menunjukan aliran produk tetapi juga memperlihatkan bagaimana aliran modal yang berlangsung (Supriatna 2002 dan Ellis et al. 1992). Aliran perdagangan tersebut terjadi dikarenakan lokasi sentra produksi tidak sama dengan lokasi pusat konsumsinya (Wiboonpongse et al. 2001).

(13)

tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa peran tengkulak dapat menyebabkan tidak efisiennya saluran tersebut karena berpengaruh pada nilai yang diterima petani yang cenderung bernilai kecil.

Pada penelitian Aniro (2009), penelusuran yang dilakukan terhadap saluran pemasaran juga telah mengidentifikasikan bahwa untuk padi pandan wangi terdapat dua saluran yaitu (1) petani  pedagang di Pasar Tani Departemen Pertanian  konsumen dan (2) petani  Gapoktan Citra Sawargi  CV Quasindo  retail  konsumen. Pemasaran beras varietas unggul baru terdiri dari tiga saluran yaitu (1) petani  pedagang pengumpul  konsumen; (2) petani  pedagang pengumpul  pedagang besar (grosir)  konsumen; dan (3) petani  pedagang pengumpul  pedagang pengecer  konsumen.

2.2.2. Studi Empirik Lembaga dan Fungsi pada Tataniaga Beras

Lembaga pada saluran tataniaga menunjukkan pelaku pasar yang beroperasi dalam kegiatan jual beli. Untuk mengetahui siapa saja pelaku pasar yang terlibat dapat ditinjau dari beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait komoditas padi. Saluran tataniaga yang panjang biasanya dicirikan dengan benyaknya lembaga tataniaga. Dalam kegiatan jual beli tersebut setiap lembaga melakukan fungsinya. Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan kedalam tiga fungsi utama yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi pelancar.

(14)

pelancar yaitu permodalan, penanggungan risiko, dan informasi. Untuk distributor dan retail juga melakukan ketiga fungsi tersebut kecuali fungsi pengeringan dan penggilingan.

Kategorisasi ditemukan pada penelitian Ellis et al. (1992) yang membagi lembaga tataniaga berdasarkan fungsinya menjadi pedagang gabah-gabah, pedagang gabah-beras, penggilingan, dan pedagang beras-beras. Namun kategorisasi tersebut perlu memperhatikan fleksibilitas pada masing-masing lembaga tataniaga yang memiliki kemampuan melewati batasan kategori dimana lembaga tataniaga mungkin dapat melakukan fungsi penjualan beras dan gabah dalam waktu bersamaan. Suatu lembaga tataniaga juga mungkin berganti fungsi dari satu musim ke musim lainnya. Proses pengkategorian lembaga tataniaga juga menggunakan pendekatan fungsi yang dijalankan dan atau skala usaha. Lembaga tataniaga yang umumnya terlibat dapat dikategorikan menjadi petani, pedagang pengumpul, kelompok tani, pengumpul luar daerah, pedagang grosir, pedagang ritel (Zalukhu 2009, Murdani 2008, dan Mardianto et al. 2005), komisioner/broker, dan eksportir (Wiboonpongse et al. 2001).

2.2.3. Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar Beras

Efisiensi pasar pada sebuah saluran tataniaga dapat dilihat dari kondisi struktur dan perilaku pasar. Dalam melihat efisiensi kondisi sebuah pasar dilakukan melalui identifikasi komponen biaya tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan dan biaya, serta farmer’s share yang diperoleh petani.

Secara umum struktur pasar beras merupakan suatu pasar yang termasuk dalam pasar persaingan tidak sempurna yang cenderung pada pasar oligopoli. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya hambatan keluar masuk pasar, konsentrasi petani yang lebih banyak dari pedagang beras, tidak adanya diferensiasi dalam kualitas produk, dan informasi pasar yang mudah diperoleh semua lembaga tataniaga (Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam 1999, Rusastra et al. 2001, dan Bank Indonesia 2009).

(15)

bagaimana mekanisme pembentukan harga di setiap lembaga. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pembentukan harga maka analisis dilakukan melalui pendekatan lokasi penjualan, pembeli dominan, cara pembayaran, dan ikatan dengan pembelinya (Rusastra et al. 2001).

Lokasi penjualan di tingkat petani umumnya dilakukan di sawah atau bukan di sawah. Sekitar 80 persen petani di Indonesia menjual hasil panennya di sawah. Petani yang menjual hasil panennya di sawah pada umumnya menjual dengan sistem tebasan. Hal ini tidak menunjukan lemahnya data tawar petani tetapi karena petani melihat adanya kelebihan dari sistem tebasan dan menguntungkan pada kedua belah pihak (Rusastra et al. 2001). Namun pernyataan ini perlu dikaji kembali karena sistem tebas di sisi lain dapat merugikan petani. Petani secara umum adalah petani kecil yang memiliki akses permodalan lemah sehingga terkadang sistem panen tebas merupakan jalan pintas untuk segera mendapatkan uang.

Pembeli hasil panen yang dominan di tingkat petani adalah pedagang pengumpul meskipun pada dasarnya petani telah memiliki banyak pilihan dalam menjual hasil panennya (Rusastra et al. 2001 dan Sutawi 2009). Hasil penelitian yang berbeda ditemukan di daerah Karawang dimana petani lebih dominan menjual langsung hasil panennya kepada pedagang/penggilingan (Sidik dan Purnomo 1991, dalam Mardianto 2005).

Sistem pembayaran yang biasanya ditemui dalam praktik tataniaga beras yaitu sistem pembayaran tunai dan sistem tunda bayar. Rusastra et al. (2001) menyatakan bahwa 73,3 persen petani menerima pembayaran secara tunai. Sedangkan sisanya sebanyak 26,7 persen menerima pembayaran sekitar satu hingga dua minggu setelah penjualan hasil panen. Mekanisme tunda bayar ini terkait dengan adanya ikatan antara petani dan pedagang berupa ikatan langganan, ikatan kekeluargaan, dan ikatan modal.

(16)

pedagang pengumpul yang dominan. Hal ini dapat dikaitkan dengan keinginan petani dalam mendapatkan uang dalam waktu yang cepat dan ikatan dengan tengkulak tersebut. Sistem pembayaran yang berlaku pada umumnya adalah tunai dan tunda bayar.

2.2.4. Studi Empirik Biaya dan Marjin Tataniaga Beras

Biaya tataniaga merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan dalam proses penyampaian produk dari petani hingga ke konsumen. Besarnya biaya yang ditanggung oleh lembaga tataniaga berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga tersebut. Biaya tataniaga tersebut termasuk biaya transportasi, biaya buruh angkut, biaya pengeringan, biaya pengemasan, biaya overhead, biaya penggilingan, dan biaya bunga (Ellis etial. 1992, Wiboonpongse et al. 2001, dan Sutawi 2009). Pada umumnya biaya

pengolahan dan transportasi merupakan komponen biaya yang memiliki proporsi terbesar terhadap biaya total (Sutawi 2009).

Marjin tataniaga merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli yang dikeluarkan. Marjin tataniaga dihitung dengan data harga pembelian dan penjualan terakhir responden. Hidayat (2010) melakukan analisis pendapatan usahatani dan tataniaga padi organik di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Saluran tataniaga padi organik yang dapat dikatakan paling efisien adalah saluran tataniaga III karena memiliki total margin tataniaga yang terkecil. Hal ini sesuai dengan Dahl dan Hammond (1977) yang menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen sehingga tingkat marjin yang kecil mengindikasikan bahwa tidak terdapat gap harga yang ekstrim yang membuat sebuah saluran tidak efisien.

(17)

gabah menjadi beras yang dilakukan oleh penggilingan (Ellis et al. 1992). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tataniaga beras yang dilakukan Wiboonpongse et al. (2001) di Thailand.

2.2.5. Studi EmpirikFarmer’s Share

Dalam penelitian Nafis (2010) saluran tataniaga padi organik tersertifikasi di Kabupaten Tasikmalaya dapat dikatakan paling efisien adalah saluran tataniaga IV karena memiliki total marjin tataniaga terkecil dan nilai farmer’share terbesar yaitu 95 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa biasanya saluran dengan jumlah lembaga terkecil akan memiki nilai farmer’s share besar. Namun saluran ini bukanlah saluran tataniaga yang potensial untuk dikembangkan untuk saat ini karena hanya ada satu lembaga tataniaga yang ada pada saluran ini yaitu Gapoktan Simpatik. Oleh karena itu peneliti tidak dapat secara langsung menentukan sebuah saluran yang efisien hanya berdasarkan pada farmer’s share saja, akan tetapi perlu melihat aspek lain seperti persebaran rasio keuntungan dan biaya, dan analisis marjin.

2.2.6. Rasio Keuntungan dan Biaya

Nafis (2010) menganalisis bahwa meskipun total marjin tataniaga dan farmer’s share terkecil, namun rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada saluran I lebih merata di setiap lembaga tataniaga. Selain itu saluran I merupakan saluran dengan volume beras organik terbesar yaitu 70 persen dari beras yang dihasilkan oleh Gapoktan Simpatik. Sehingga saluran I merupakan saluran yang perlu dikembangkan.

Pada penelitian Hidayat (2010) juga menunjukkan bahwa meskipun rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada saluran III bukan merupakan rasio terbesar tetapi penyebaran rasio pada setiap lembaga tataniaga lebih merata dibandingkan dengan saluran tataniaga lainnya. Disamping itu, saluran tataniaga III paling banyak digunakan oleh petani sehingga volume penditribusian padi organik paling banyak dilakukan melalui saluran III.

(18)
(19)

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan lembaga tataniaga; konsep struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga; konsep efisiensi tataniaga; konsep biaya dan marjin tataniaga; konsep farmer’s share; dan konsep rasio keuntungan dan biaya.

3.1.1. Konsep Tataniaga

Kotler (2006) mendefinisikan bahwa pemasaran sebagai proses sosial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai. Pengertian tataniaga juga diturunkan dari definisi tataniaga di atas yang diterapkan pada sistem tataniaga produk-produk pertanian.

Definisi tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) adalah segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang manghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan lainnya kepada konsumennya. Dikaji dari segi ekonomi, tataniaga merupakan kegiatan yang produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat, dan hak milik.

3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga

(20)

menyalurkan komoditas dalam waktu, bentuk, dan tempat yang diinginkan konsumen.

Adanya jarak antara produsen dan konsumen menyebabkan penyaluran produk dari produsen ke konsumen sering melibatkan beberapa lembaga perantara, dimulai dari produsen itu sendiri, lalu lembaga-lembaga perantara sampai ke konsumen akhir. Di dalam proses penyaluran selalu mengikutsertakan keterlibatan berbagai pihak. Keterlibatan tersebut dapat dalam bentuk perorangan maupun kelembagaan, perserikatan, atau perseroan (Limbong & Sitorus 1987).

Lembaga-lembaga tersebut akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fisik, maupun fasilitas. Lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen ke konsumen, juga fungsi sebagai sumber informasi mengenai barang atau jasa. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bahwa fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga perantara di dalam sistem tataniaga. Saluran tataniaga atau saluran distribusi adalah saluran yang digunakan produsen dan lembaga tataniaga lainnya untuk menyalurkan produknya dari produsen sampai konsumen. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan untuk memilih pola saluran tataniaga (Limbong & Sitorus 1987), yaitu:

1) Pertimbangan pasar yang meluputi konsumen sasaran akhir yang mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume pesanan. 2) Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar, dan berat

barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar.

3) Pertimbangan internal yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran, dan pelayanan.

4) Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga yang meliputi segi kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan.

(21)

1) Merchant Middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan.

2) Agent Middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani.

3) Speculative Middlemen adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga.

4) Processors and Manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang jadi.

5) Fasilitative organizations adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain.

Khols dan Uhls (1990), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen akhir. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa.

Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan lembaga pemasaran yang merupakan suatu badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tataniaga atau pemasaran yang menurut fungsinya dapat dibedakan atas:

1) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengakut/transportasi.

2) Lembaga perantara tataniaga ialah suatu lembaga yang khusus mengadakan funsi pertukaran.

3) Lembaga fasilitas tataniaga ialah lembaga-lembaga yang melaksankan fungsi-fungsi fasilitas seperti Bank Desa, Kredit, dan KUD.

Lembaga-lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap barang dan jasa terdiri dari:

1) Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya: agen, perantara, dan broker.

(22)

Umumnya lembaga pemasaran komoditi pertanian terdiri dari petani, pedagang pengumpul di tingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar, pengecer, dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan pengankutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan biro-biro periklanan, lembaga keuangan dan lain sebagainya. Lembaga ini penting dalam proses penyampaian komoditi pertanian yang bersifat musiman, volume produk besar dengan nilai yang kecil (bulky), dan tidak tahan disimpan lama. Sehingga pelaku pemasaran harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang dibutuhkan konsumen dan teredia secara kontiniu. Semakin efisien sistem tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula jumlah rantai pemasarannya.

Produsen adalah golongan yang menghasilkan produk, di samping sebagai pelaku penjualan yang merupakan salah satu dari fungsi pemasaran. Salah satu dari bagian dari fungsi pemasaran adalah pedagang perantara yang merupakan badan-badan yang berusaha dalam bidang pemasaran, mengatur fasilitas yang menggerakkan barang dari produsen sampai ke konsumen. Mereka yang memberi jasa dan fasilitas yang memperlancar fungsi pemasaran yang dilakukan produsen atau pedagang perantara adalah pihak bank, usaha pengangkutan dan sebagainya yang dikategorikan dalam lembaga pemberi jasa.

Dengan mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur dapat ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang diterima setiap lembaga yang terlibat.

Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama yaitu:

1. Fungsi Pertukaran, meliputi : a) Fungsi Pembelian

Sebagian besar adalah pencarian sumber persediaan bahan baku, perakitan produk serta segala aktifitas yang berhubungan dengan pembelian.

b) Fungsi Penjualan Produk

(23)

2. Fungsi Fisik, meliputi : a) Fungsi Penyimpanan

Fokus utama pada membuat kondisi barang tetap baik sampai waktu yang diinginkan.

b) Fungsi Pengangkutan

Fokus utama pada menjadikan barang berada pada tempat yang tepat. c) Fungsi Pengolahan Produk

Segala sesuatu yang berhubungan pada aktifitas manufaktur yang merubah bahan mentah menjadi produk yang diinginkan.

d) Fungsi Fasilitas

Berperan dalam memudahkan terjadinya fungsi pertukaran dan fungsi fisik.

e) Fungsi Standardisasi

Keseragaman ukuran dalam penentuan dan perawatan produk. Ukuran termasuk dalam kuantitas maupun kualitas.

3. Fungsi Pelancar, meliputi : a) Fungsi Permodalan

Melibatkan penggunaan uang untuk melakukan berbagai aspek dalam tataniaga.

b) Fungsi Penanggungan Risiko

Penerimaan kemungkinan kerugian dalam pemasaran produk. c) Fungsi informasi pasar.

Pekerjaan dalam mengkumpulkan, menginterpretasikan, dan memilah variasi data penting dalam pelaksanaan proses pemasaran.

3.1.3. Konsep Efisiensi Tataniaga

(24)

operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga.

Efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran/tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kupuasan pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong &

Sitorus 1987). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap fungsi kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga persatuan kepada konsumen atau menekan harga pada tingkat produsen. Sehingga efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga.

3.1.3.1. Konsep Margin Tataniaga

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin tataniaga dapat didefenisikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Marjin tataniaga dapat juga diartikan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga ke tingkat konsumen akhir.

Marjin tataniga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingakt produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lemabga tataniaga. Margin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Kohls and Uhls 1990).

(25)

kesenjangan (gap) antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer. Dua alternatif dari marjin pemasaran, yaitu:

1. Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen

2. Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasarn sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran jasa-jasa tersebut.

Secara teoritis hal tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2. Perpotongan antara kuva permintaan tingkat petani (Df) dengan kurva penawaran tingkat petani (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat petani, yaitu harga pada tingkat Pf. Hal ini berarti bahwa harga tersebut (Pf) merupakan harga riil yang diterima oleh petani untuk pembayaran hasil panen usahataninya. Perpotongan antara kurva permintaan tingkat pengecer (Dr) dengan kurva penawaran tingkat pengecer (Sr) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat pengecer, yaitu harga pada tingkat Pr. Sehingga, harga yang terbentuk (Pr) merupakan harga riil yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh produk tersebut.

Gambar 2. Kurva Margin Tataniaga Sumber: Kohls dan Uhls (1990)

Pr

Pf

Sr

Sf

Dr

Df

(26)

Keterangan :

Q = jumlah barang (Pr – Pf) = margin tataniaga Pr = harga tingkat eceran (Pr – Pf)Q = nilai margin tataniaga Pf = harga tingkat petani

Sr = kurva penawaran tingkat pasar eceran Sf = kurva penawaran tingkat petani Dr = kurva permintaan tingkat pasar eceran Df = kurva permintaan tingkat petani

Selisih antara tingkat harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang harus dibayarkan konsumen akhir (Pr) adalah margin tataniaga. Margin tataniaga yang terbentuk ini adalah cakupan total dari keuntungan yang diterima oleh seluruh lembaga tataniaga dan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Biaya pemasaran yang terbentuk merupakan sebuah biaya yang dikeluarkan dalam usaha-usaha untuk memberikan nilai tambah pada produk yang diperdagangkan, maupun biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan kegunaan tempat kepada produk yang diperdagangkan.

3.1.3.2. Konsep Farmer’s Share pada Tataniaga

Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga pemasaran ini dinyatakan dalam persentase (Limbong & Sitorus 1987). Farmer’s share didapatkan dari hasil bagi antara harga di tingkat petani dan adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemprosesan, (2) biaya transportasi, (3) keawetan, dan (4) jumlah produk.

(27)

melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produknya.

Farmer’s Share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan Uhls (1990) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai bagian dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen dan harga yang dibayarkan konsumen.

Saluran tataniaga yang tidak efisien secara kuantitatif akan relatif memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani melalui harga beli sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer’s share. Sebaliknya pada saluran tataniaga yang efektif dan efisien, marjin tataniaga dan biaya tataniaga menjadi lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan nilai farmer’s share akan meningkat.

3.1.3.3. Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya

Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya. Persebaran rasio keuntungan dan biaya yang merata dan rendahnya marjin pemasaran terhadap biaya pemasaran menunjukkan bahwa secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien.

3.1.4. Konsep Struktur Pasar

(28)

Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan.

Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli (konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni (Dahl & Hammond 1977). Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik dan Struktur Pasar

No

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah Pembeli Jumlah Penjual Sifat Produk Pengetahuan Informasi Pasar Hambatan Keluar Masuk Pasar

Sisi Pembeli Sisi Penjual

1 Banyak Banyak Homogen Sedikit Rendah Persaingan murni

Persaingan murni 2 Banyak Banyak Diferensiasi Sedikit Tinggi Persaingan

monopolistik

Persaingan monopolistik 3 Sedikit Sedikit Homogen Banyak Tinggi Oligopsoni

murni

Oligopoli murni 4 Sedikit Sedikit Diferensiasi Banyak Tinggi Oligopsoni

diferensiasi

Oligopoli diferensiasi

5 Satu Satu Unik Banyak Tinggi Monopsoni Monopoli

Sumber: Dahl dan Hammond (1977)

3.1.5. Konsep Perilaku Pasar

(29)

meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah yang menjadi sentra produksi beras di Provinsi Jawa Tengah memiliki peran penting dalam rangka menjaga stabilitas persediaan beras nasional. Penghargaan Nasional tentang ketahanan pangan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia atas keberhasilan Kabupaten Demak dalam meningkatkan produksi padi pada tahun 2007-2009 merupakan salah satu bukti bahwa Kabupaten Demak masih menjadi daerah yang perlu mendapatkan perhatian khusus terkait komoditi pangan, khususnya beras.

Namun pada bulan Februari 2011, terjadi sebuah kekhawatiran pada masyarakat Demak yang disebabkan oleh tingginya harga beras. Masyarakat berada dalam keadaan yang kurang diuntungkan karena kondisi ini, terutama masyarakat golongan bawah. Kondisi tersebut membuat warga kesulitan membeli beras dikarenakan stok beras di petani maupun RMU padi sudah sangat menipis. Bahkan raskin yang banyak dicari masyarakat miskin juga sulit didapatkan karena stoknya sangat terbatas. BULOG sebagai lembaga yang menjaga stabilitas harga beras di pasar, seharusnya mampu berperan dalam keadaan tersebut. Namun jika dilihat pada keadaan di lapang, maka BULOG seakan belum menjalankan fungsinya untuk memperkuat ketahanan pangan terutama pada rumah tangga miskin.

(30)

Sebagai kabupaten yang memiliki produksi padi yang tinggi, terdapat banyak pihak-pihak yang berkepentingan pada perdagangan komoditi tersebut. Pihak-pihak tersebut yang disebut sebagai lembaga-lembaga tataniaga yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Hal yang perlu dikaji kemudian adalah apa yang menjadi penyebab adanya kesenjagan harga yang jauh antara petani dan konsumen; terbatasnya stok beras; dan permasalahan pemasaran lainnya karena salah satu indikator tercapainya kondisi ketahanan pangan ialah terciptanya aksesibilitas masyarakat terhadap beras yang mencakup aspek ketersediaan, aspek distribusi dan harga yang terjangkau.

Untuk mengetahui permasalahan tersebut maka perlu dilakukan analisis tataniaga pada perdagangan beras yang ada. Analisis yang dilakukan terdiri identifikasi tentang lembaga dan saluran tataniaga beras, marjin tataniaga,

(31)

Analisis Kualitatif Analisis Kuantitatif

 Analisis saluran tataniaga  Analisis lembaga dan fungsi

tataniaga yang dilakukan  Analisis struktur pasar  Analisis perilaku pasar

 Analisis efisiensi tataniaga

Analisis marjin tataniaga Analisis farmer’s share

tataniaga

[image:31.595.93.501.60.773.2]

Analisis rasio keuntungan dan biaya

Gambaran tataniaga komoditi beras di Desa Kenduren

Rekomendasi solusi kepada petani dan lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga beras di Desa Kenduren

ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN

 Adanya gap harga yang besar di tingkat produsen dan konsumen beras di Kabupaten Demak

 Permasalahan dalam ketersediaan beras di Kabupaten Demak  Fungsi BULOG yang belum optimal

 Beras menjadi bahan pangan utama penduduk Indonesia  Pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan akan beras

 Permintaan yang tinggi menimbulkan peluang untuk peningkatan ekonomi petani dan pihak yang terlibat dalam industri beras.

 Peningkatan produksi padi dari tahun 2007-2009 di Kabupaten Demak.  Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah penyangga ketahanan

(32)

IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan Wedung merupakan kecamatan dengan produksi padi terbesar di Kabupaten Demak pada tahun 2009. Tujuan dipilihnya Desa Kenduren adalah diharapkan akan ditemukan dinamika aktivitas tataniaga beras yang mampu merepresentasikan keadaan secara umum di Kabupaten Demak. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga April tahun 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder bersumber dari studi literatur buku-buku yang relevan dan hasil penelitian, artikel yang terkait dengan topik penelitian, data dan informasi dari Badan Pusat Statistik Indonesia, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, United State Departement of Agriculture (USDA), Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Badan Penyuluh Pertanian, Perpustakaan IPB, dan lain-lain.

Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan pada tiga tahap. Tahap pertama terdiri atas petani sebanyak 30 responden. Sedangkan, responden untuk analisis pemasaran ditentukan dengan metode snowball sampling dengan mengikuti alur tataniaga mulai dari petani padi sampai ke tingkat konsumen. Dari tingkat produsen atau petani akan diketahui kemana aliran produk dan lembaga-lembaga apa saja yang terlibat dalam pemasaran produk sampai ke konsumen. Metode ini digunakan berdasarkan kepada informasi dari responden sebelumnya sehingga responden yang terpilih di saluran pemasaran akan disesuaikan dengan pola pemasaran yang terjadi di lokasi penelitian.

(33)

responden sebagai distributor dan lima retail. Tingkat ketiga terdiri atas konsumen individu sebanyak 30 orang yang berada wilayah kota. Pemilihan responden petani dilakukan dengan metode snowball sampling dan jumlah sebanyak 30 sampel berdasarkan kaidah uji statistika yang mensyaratkan jumlah sampel minimum agar data menyebar normal.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan selama bulan Maret hingga April tahun 2011. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi langsung, wawancara, kuesioner, internet, penggunaan literatur dari jurnal, skripsi, buku, dan lain sebagainya.

Penentuan responden petani padi dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan pengumpulan informasi tataniaga beras menggunakan teknik snowball sampling dari petani padi hingga konsumen akhir dengan tujuan tidak akan ada saluran tataniaga yang terputus. Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan untuk mengamati, memahami, dan menganalisis kondisi petani, tengkulak, RMU, subdrive BULOG, grosir, ritel, dan konsumen individu. Wawancara yang dilakukan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner. Browsing data sekunder dilakukan pada situs-situs di internet yang berkaitan dengan isu-isu terkini terkait penelitian, jurnal, artikel, dan tulisan ilmiah yang dapat mendukung penelitian.

4.4. Metode Pengolahan Data

(34)

4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam proses penyampaian produk dari produsen kepada konsumen akhir. Analisis saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak ini dapat dilakukan dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga tersebut. Pengamatan dan analisis dilakukan mulai dari petani produsen sampai ke konsumen akhir. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh jenis barang akan berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Semakin panjang rantai saluran tataniaga, maka saluran tersebut semakin tidak efisien karena marjin tataniaga yang tercipta antara produsen dan konsumen akan semakin besar (Limbong & Sitorus 1987).

4.4.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), analisis ini dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik, maupun fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi pasar. Analisis fungsi-fungsi tataniaga diperlukan antara lain untuk mengetahui fungsi-fungsi atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat serta mengetahui kebutuhan biaya dan fasilitas yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dari analisis lembaga dan fungsi tataniaga ini akan dapat dihitung besarnya marjin tataniaga.

4.4.3. Analisis Struktur Pasar

(35)

semakin mendekati kesempurnaan dalam persaingan. Adanya kesepakatan dalam sesama pelaku tataniaga menunjukkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna.

4.4.4. Analisis Perilaku Pasar

Perilaku pasar didefinisikan bagaimana pelaku pasar dari petani hingga konsumen akhir dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan penjualan dan pembelian pada pasar. Tingkah laku pasar dapat diamati dengan melihat praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar, sistem penentuan, dan pembayaran harga, serta bagaimana kerjasama yang dilakukan diantara lembaga tataniaga (Dahl & Hammond 1977).

4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga

Dalam kajian analisis efisiensi tataniaga beras di Kabupaten Demak ini digunakan tiga pendekatan yaitu analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan dan biaya. Namun dalam penentuan saluran yang paling efisien terkadang ketiga pendekatan tersebut tidak menunjukkan hasil yang sama. Oleh karena itu dalam menganalisis diperlukan pandangan lain yang dapat mendukung hasil akhir.

4.4.5.1. Analisis Marjin Tataniaga

(36)

Mi = Pi– Pi-1 ...(1) Mi = Bi + πI ...(2) Dengan demikian,

Pi– Pi-1 = Bi + πI

Maka besarnya marjin tataniaga dengan menggunakan (1) dan (2) adalah sebagai berikut:

mi= Σ Mi………(3)

Dengan demikian keuntungan lembaga tataniaga pada tingkat ke-i adalah : πi = Pi– Pi-1 + Bi

Keterangan:

Mi = Marjin pada lembaga tataniaga ke-i

Pi = Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i

Pi-1 = Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i atau harga pembelian pada lembaga tataniaga ke-i

Bi = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i

πI = Keuntungan yang diperoleh pada lembaga tataniaga ke-i mi = Total marjin tataniaga

Dalam pasar persaingan sempurna, perjalanan suatu produk selalu melibatkan banyak lembaga tataniaga. Marjin tataniaga total yang terjadi merupakan penjumlahan marjin tataniaga dari setiap lembaga tataniaga.

4.4.5.2. Analisis Farmer’s Share

Indikator lain untuk menentukan efisiensi operasional tataniaga suatu komoditas adalah melalui perhitungan farmer’s share. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya produksi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (Pr).

Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):

Keterangan : Fs = Farmer’s share

(37)

4.4.5.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

Tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Dengan semakin meratanya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):

Keterangan : πi = keuntungan lembaga tataniaga Ci = biaya tataniaga

4.5. Definisi Operasional Penelitian

Definisi operasional ini ditujukan unutk membatasi ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, definisi oprasional ini digunakan untuk menjelaskan setiap variabel yang akan dianalisis dalam penelitian.

a) Tataniaga adalah semua kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen;

b) Padi adalah tumbuhan padi termasuk dalam golongan tumbuhan Graminae yang memiliki ciri khusus berupa batang yang tersusun dari beberapa ruas yang dapat menghasilkan gabah yang menjadi bahan dasar untuk menghasilkan beras;

c) Beras adalah produk hasil pengolahan gabah yang merupakan hasil utama tanaman padi;

d) Hasil produksi adalah hasil produksi fisik berupa gabah kering panen (GKP) dalam satuan kg/ha/musim atau kg/ha/tahun;

(38)
(39)

V

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Wilayah dan Topografi

Kabupaten Demak berada di bagian utara Propinsi Jawa Tengah yang terletak antara 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 kilometer di sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten Demak memiliki luas 897,43 km2. Secara administratif Kabupaten Demak terbagi menjadi 14 kecamatan dan 247 desa. Kabupaten Demak mempunyai batas wilayah secara administratif sebagai berikut:

1) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara, 2) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus, 3) sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, 4) sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang, dan 5) sebelah barat dengan Laut Jawa dan Kota Semarang.

Kabupaten Demak merupakan daerah dengan produksi padi terbesar di Propinsi Jawa Tengah, dengan produksi padi pada tahun 2009 sebesar 571,330 ton dengan produktivitas sebesar 5,85 ton per hektar. Produksi, luas panen, dan produktifitas padi Kabupaten Demak per Kecamatan dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 7. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi Kabupaten Demak Tahun 2005-2009

2005 2006 2007 2008 2009

Produksi

(ton) 520,109 500,649 517,463 563,737 571,330

Luas Panen

(ha) 93,184 92,304 91,516 92,575 97,610

Produktifitas

(ton/ha) 5,58 5,42 5,65 6,09 5,85

Sumber : Badan Pusat Statistik Demak 2010(b)

(40)

kenaikan sebesar 4,8 persen selama kurun waktu lima tahun terakhir dari 5,5 ton/ha pada tahun 2005 menjadi 5.8 ton/ha pada tahun 2009. Sedangkan data luas wilayah, luas sawah, dan produksi padi, menurut kecamatan di Kabupaten Demak dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Luas Wilayah, Luas Sawah, dan Total Produksi Padi Kabupaten Demak per Kecamatan Tahun 2009

Kecamatan Luas Wilayah (km2) Luas Sawah (ha) Produksi (ton)

Mranggen 7.222 854 9.673

Karangaen 6.695 786 20.011

Guntur 5.753 3.218 37.609

Sayung 7.869 3.379 29.387

Karangtengah 5.155 3.572 36.109

Bonang 8.324 5.349 56.452

Demak 6.113 4.057 51.594

Wonosalam 5.788 3.773 38.925

Dempet 6.161 4.562 51.591

Gajah 4.783 3.438 47.391

Karanganyar 6.776 4.945 56.698

Mijen 5.029 3.634 34.310

Wedung 9.876 5.457 63.269

Kebonagung 4.199 3.315 38.530

Jumlah 89.743 50.360 571.330

Sumber : Badan Pusat Statistik Demak 2010(b)

Kecamatan Wedung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Demak. Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Jepara, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mijen, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bonang, serta sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa.

[image:40.595.113.513.212.426.2]
(41)

Jumlah penduduk Kecamatan Wedung berdasarkan hasil Registrasi Penduduk 2009 adalah sebanyak 80.109 orang yang terdiri atas 38.924 laki-laki dan 41.185 perempuan. Jumlah penduduk ini berkurang sebanyak 718 orang atau sekitar 0,88 persen dari tahun sebelumnya. Secara berurutan, penduduk terbanyak berada di Desa Wedung dengan jumlah penduduk 9.952 orang. Sedang jumlah penduduk terkecil terdapat di Desa Kendalasem sebanyak 1.541 orang. Menurut kelompok umur, sebagian besar penduduk Kecamatan Wedung termasuk dalam usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 49.219 orang (61,44 persen), dan selebihnya 27.647 orang (34,51) berusia di bawah 15 tahun dan 3.243 orang (4,05 persen) berusia 65 tahun keatas.

Dilihat dari mata pencaharian penduduk Kecamatan Wedung di atas 10 tahun 2009, buruh tani merupakan mata pencaharian utama dengan jumlah terbanyak yaitu 11.974 orang. Urutan ke dua dan tiga adalah petani sendiri dengan jumlah 9.947 orang dan 5.871 orang sebagai nelayan. Kemudian disusul secara berurutan yaitu pedagang dengan jumlah 2.564 jiwa, buruh bangunan sebanyak 695 orang, buruh industri sebanyak 558 orang, pegawai negeri / ABRI sebanyak 370 orang, pensiunan 84 orang, dan 20.004 lainnya.

Dari sisi sosial, data tahun 2009 menunjukkan penduduk usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan. Data tersebut meliputi 9.955 orang tidak/belum sekolah, 6.651 belum tamat SD, 9.098 tidak tamat SD, 25.948 SD, 6.404 SLTP, 3.981 SLTA, dan 744 akademi/PT. Terdapat 49 Sekolah Dasar (SD)/sederajat, 15 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/sederajat, dan 9 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)/sederajat. Sedang jumlah guru berturut-turut adalah 544 orang untuk SD, 318 untuk SLTP, dan 183 untuk SLTA. Sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Wedung terdiri dari 2 Puskesmas, 5 Puskesmas pembantu, 2 poliklinik desa, dan 2 rumah bersalin serta tenaga medis yaitu 3 dokter, 14 paramedis, 12 bidan, dan 26 dukun bayi.

(42)

tersebut, pengangkutan dan komunikasi sebesar 6,55 persen dan 6,35 persen, bangunan sebesar 5,54 persen dan 5,59 persen, industri pengolahan sebesar 3,87 persen dan 3,74 persen, lembaga keuangan dan persewaan sebesar 2,86 persen dan 2,89 persen, pertambangan dan penggalian sebesar 1,53 persen dan 1,57 persen, dan listrik, gas, dan air bersih sebesar 1,24 persen dan 1,23 persen.

5.2. Deskripsi Karakteristik Petani Responden

Dalam penelitian ini, petani yang diambil menjadi sampel berjumlah 30 orang. Semua petani merupakan penduduk Desa Kenduren yang merupakan desa dengan produksi padi terbesar di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.

Responden petani dikategorikan dalam beberapa variabel karakteristik petani. Karakteristik yang ada pada responden petani meliputi kelompok umur, status usahatani, lama usahatani, pendidikan terakhir, dan luas lahan yang dikuasai. Karakteristik tersebut disertakan karena diperlukan untuk mengetahui korelasi antar karakteristik dan dianggap perlu untuk dikaji (Lampiran 2).

5.2.1. Kategori Umur Petani Responden

Rata-rata usia petani responden dikategorikan dalam empat kelompok besar yaitu 15-29 tahun, 30-44 tahun, 45-59 tahun, dan >60 tahun. Jumlah responden petani pada rentang usia 45-59 tahun memiliki jumlah terbesar yaitu 13 orang atau 43,33 persen dan enam orang berusia di atas 60 tahun dengan persentase 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian berusia lanjut. Tidak adanya regenerasi dikarenakan rendahnya minat dan motivasi pemuda di lokasi penelitian untuk bekerja sebagai petani.

5.2.2. Kategori Pendidikan Formal Petani Responden

(43)

jumlah petani di lokasi penelitian yang sudah berusia lanjut dimana sebagian besar dari mereka tidak berlatar belakang pendidikan tinggi.

5.2.3. Kategori Pengalaman Usahatani Petani Responden

Kategori lama usahatani ≤10 tahun memiliki sebaran terbesar yaitu 11 orang petani atau dengan persentase sebesar 36,67 persen. Rendahnya pengalaman menyebabkan sulitnya petani untuk mendapatkan akses menjual hasil panen sehingga hanya tergantung pada tengkulak.

5.2.4. Kategori Luas Lahan yang Diusahakan Petani Responden

Sebaran responden terbesar terdapat pada kategori 1-1,99 ha yaitu sebanyak 17 orang responden petani dengan persentase 56,67 persen. Sebaran responden pada rentang tersebut menunjukkan bahwa petani cukup memiliki peran besar dalam penggunaan lahan pertanian. Hal ini didukung dari luasnya lahan pertanian di lokasi penelitian dan posisi pekerjaan petani yang masih menjadi prioritas.

5.2.5. Kategori Status Penguasaan Lahan Petani Responden

(44)

5.2.6. Kategori Sifat Usahatani Petani Responden

Terdapat 29 responden petani menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian utama dengan persentase sebesar 96,67 persen. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian adalah petani. Luasnya lahan pertanian dan aspek histori bahwa bertani merupakan mata pencaharian yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadikan usahatani padi sebagai pekerjaan utama masyarakat.

5.3. Deskripsi Karakteristik Pedagang Responden

Responden pedagang yang ada dalam penelitian ini meliputi tengkulak, RMU, Subdivre BULOG, grosir, dan ritel. Masing-masing pedagang memiliki besar sebaran yang berbeda. Pada responden pedagang diketahui karakteristik yang terdiri dari lama usaha dan volume perdagangan. Dua variabel ini dapat menunjukkan bagaimana aktivitas tataniaga yang terjadi pada masing-masing pedagang. Berikut telah disajikan data mengenai sebaran responden berdasarkan lama usaha dan volume perdagangan.

5.3.1. Responden Tengkulak

Responden tengkulak terdiri dari lima orang. Kelima tengkulak memiliki pengalaman yang sama dan pada rentang waktu yang terlama yaitu di atas 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa 100 persen tengkulak yang ada di lokasi penelitian memiliki pengalaman usaha yang sudah cukup lama sehingga volume perdagangan yang dilakukan dapat mencapai kuantitas yang cukup besar.

(45)

5.3.2. Responden Rice Milling Unit (RMU)

Responden RMU berjumlah tiga orang. Pada kategori lama usaha kurang dari lima tahun, 5-10 tahun, dan 11-15 tahun masing-masing satu orang dengan persentase 33,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa RMU di lokasi penelitian memiliki sebaran yang merata dan rata-rata belum memiliki pengalaman usaha yang lama.

Berdasakan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa selain terdapat RMU yang telah lama berdiri, juga terdapat RMU yang belum lama didirikan. Namun aktivitas dari masing-masing RMU berbeda. Aktif tidaknya RMU dalam beroperasi ditentukan oleh kekuatan permodalan dan akses pada ketersediaan produk. Pada RMU yang memiliki kemampuan akses terhadap produk, mereka tetap dapat beroperasi meskipun gabah langka akibat panen raya karena RMU tersebut dapat mencari gabah ke lain daerah untuk tetap menjaga keberlanjutan usahanya.

Untuk responden RMU, terdapat dua orang responden dengan persentase 66,67 persen memiliki volume perdagangan di bawah 100 ton dan angka ini merupakan rentang yang terkecil. Kecilnya volume perdagangan RMU berhubungan dengan pengalaman usaha RMU dan akses terhadap produk yang diperjualbelikan.

5.3.3. Responden Grosir

Untuk responden grosir, terdapat dua responden grosir yang masing-masing memiliki sebaran dengan persentase 50 persen. Sebaran tersebut terdapat pada rentang 5-10 tahun dan 16-20 tahun. Grosir di lokasi penelitian tidak terdapat dalam jumlah banyak. Hal ini dikarenakan grosir melakukan perdagangan dalam volume yang besar dan membutuhkan perputaran modal yang besar

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2.  Kurva Margin Tataniaga
Tabel 6.  Karakteristik dan Struktur Pasar
Gambaran tataniaga komoditi beras di Desa Kenduren
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saluran tataniaga III merupakan saluran yang memiliki marjin tataniaga terbesar karena lembaga tataniaga yang terlibat cukup banyak, perlakuan yang dilakukan setiap

Sistem tataniaga yang terbentuk di Kecamatan Hatu-Builiko meliputi tiga saluran tataniaga yang berbeda-beda yaitu saluran tataniaga I terdiri dari petani,

Terdapat lima lembaga dalam sistem tataniaga ubi jalar di Desa Purwasari, yaitu petani selaku produsen ubi jalar, pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul

Sistem tataniaga yang terbentuk di Kecamatan Hatu-Builiko meliputi tiga saluran tataniaga yang berbeda-beda yaitu saluran tataniaga I terdiri dari petani,

VI ANALISIS SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA ... Lembaga Tataniaga ... Sistem Tataniaga ... Saluran Tataniaga ... Fungsi-Fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga ...

Nilai farmer’s Share saluran tataniaga 1 lebih besar dibandingkan saluran tataniaga 2 yang artinya perbandingan selisih harga diterima petani dengan yang diterima

Saluran tataniaga bawang merah di Desa Siboras, Kecamatan Pematang Silimahuta, Kabupaten Simalungung terdiri dari 2 yaitu Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pengecer –

Berdasarkan nilai rasio keuntungan dan biaya pada beras varietas unggul baru saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran tataniaga (6) karena memiliki