• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisondari dikaji berdasarkan input, budidaya, dan output. Input yang digunakan pada buncis organik dan buncis non-organik terdiri dari benih, pupuk, pestisida, ajir, peralatan, dan tenaga kerja. Terdapat beberapa perbedaan input antara buncis organik dan buncis non-organik baik berupa jenis, jumlah penggunaan, dan harga perolehan, terutama pada input pupuk dan pestisida. Tahapan budidaya antara buncis organik dan buncis non-organik secara umum sama, perbedaan signifikan terdapat pada tahapan pengolahan lahan yaitu pada saat pemupukan. Output yang dihasilkan oleh buncis organik dan buncis konvensonal berupa polong buncis, terdapata perbedaan produktivitas yang signifikan yaitu 0.331 kg/m2 pada buncis organik dan 0.812 kg/m2 dengan tingkat afkir 46.5 persen pada buncis organik.

Nilai pendapatan atas biaya tunai buncis organik sebesar Rp734.550 dan buncis non-organik sebesar Rp1.187.616. Nilai pendapatan atas biaya total buncis organik sebesar Rp125.971 dan buncis non-organik sebesar Rp636.663. Baik pendapatan tunai maupun pendapatan total buncis organik dan buncis non-organik bernilai positif, hal tersebut menunjukan usaha buncis organik dan buncis non- organik menguntungkan. Namun, baik pendapatan tunai maupun pendapatan total buncis non-organik lebih tinggi dibandingkan buncis organik. Berdasarkan nilai R/C terhadap biaya tunai, nilai R/C buncis organik (2.34) lebih tinggi dibandingkan R/C buncis non-organik (1.94) hal tersbut karena input pada komponen biaya tunai buncis organik lebih sedikit dibandingkan buncis non- organik. Berdasarkan nilai R/C terhadap biaya total kedua sistem budidaya menguntungkan karena bernilai di atas 1. Nilai R/C buncis non-organik yaitu sebesar 1.35, nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai R/C buncis organik sebesar 1.11. Arti dari nilali R/C atas biaya total tersebut adalah keuntungan yang diperoleh dari usahatani sebesar Rp0.11 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan untuk buncis organik, dan sebesar Rp0.35 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan untuk buncis non-organik. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai pendapatan dan R/C terhadap biaya total selama satu musim tanam pada luas lahan 1000 m2 studi kasus di Desa Cisondari, usahatani buncis non-organik lebih menguntungkan dibandingkan buncis organik karena penerimaan buncis organik lebih rendah dari pada buncis non-organik disebabkan karena nilai produktivitas buncis organik rendah dan tingkat afkir yang tinggi.

Pada tataniaga buncis organik terdapat 3 lembaga yang terlibat yaitu petani, pedagang grosir sayuran organik (I,II,III) dan ritel modern, serta 6 lembaga pada buncis non-organik yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir lokal, pedagang grosir non lokal, pedagang pengecer lokal, dan pedagang pengecer non lokal. Terdapat 3 saluran tataniaga pada buncis organik, dan 6 saluran tataniaga buncis non-organik. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis organik dan buncis non-organik terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas dengan aktivitas berbeda-beda di setiap lembaga tataniaganya. Struktur pasar pada lembaga tataniaga buncis organik terdiri dari oligopsoni murni di tingkat petani dan gudang sayur orgnanik, serta olipoli murni di tingkat ritel modern. Sedangkan tataniaga buncis non- organik menghadapi struktur pasar oligopsoni murni pada petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir, serta struktur pasar cenderung pasar kompetitiv pada pedagang pengecer. Perilaku pasar pada lembaga tataniaga buncis organik dicirikan dengan sistem penjualan dan pembelian pre order dan konfirmasi, penentuan harga secara administratif, serta sistem pembayaran kemudian hari yang dibayar setiap 15 hari sekali dan bentuk kerjasama sistem kepercayaan dan langganan (petani dan Pengolah dan distributor), kontrak tertulis (Pengolah dan distributor dan ritelmodern). Sedangkan pada tataniaga buncis non-organik dicirikan dengan sistem pembelian dan penjualan bermacam-macam disesuaikan kondisi dan keadaan, penentuan harga berdasarkan harga pasar, serta sistem pembayaran dibayar dikemudian setelah buncis laku di pasar.

Pada tataniaga buncis organik efisiensi operasional tataniaga ditinjau berdasarkan nilai marjin tataniaga dan farmer’s share karena nilai rasio π/c pada masing-masing saluran tidak dapat teridentifikasi. Hal tersebut dikarenakan

terdapat kekurangan penelitian yaitu nilai keuntungan dan biaya di tingkat retail modern tidak dapat teridentifikasi. Berdasarkan nilai marjin dan farmer’s share pada tataniaga buncis organik semua saluran relatif belum efisien. Namun terdapat satu saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu saluran III karena nilai marjin tataniaganya merupakan nilai marjin terkecil dan nilai farmer’s share yang diperoleh merupakan nilai farmer’s share terbesar diandingka dengan saluran lainnya. Pada tataniaga buncis non-organik keenam saluran relatif belum efisien jika ditinjau dari marjin tataniaga dan farmer’s share

serta rasio π/c yang dihasilkan. Namun terdapat satu saluran yang yang relatif

lebih efisien dibandingkan dengan lainnya yaitu saluran IV, meskipun bukan merupakan nilai farmer’s share tertinggi dan nilai marjin tataniaga terendah

namun rasio π/c pada saluran IV lebih menyebar rata dan volume jual buncis non-

organik pada saluran ini masih berpotensi untuk ditingkatkan. Saran

Sebaiknya petani buncis organik lebih intensif dalam proses budidaya buncis organik, terutama dalam hal pemberantasan hama dan penyakit agar dapat menekan tingkat afkir pada buncis organik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengatur jadwal penyemprotan pestisida alami lebih rutin. Selain itu sebaiknya petani lebih teliti dalam proses pemanenan agar tidak ada buncis yang cacat karena kesalahan pemanenan sehingga tidak lolos sortasi.

Sebaiknya pihak pedagang grosir sayuran organik baik yang berbentuk kelompok tani maupun unit usaha dapat meninjau harga yang diperoleh petani apakah sudah sesuai atau belum jika tanggungan risiko buncis organik afkir dimasukan sebagai biaya diperhitungkan pada analisis usahatani buncis organik. Atau alternatif lainnya pihak pedagang grosir sayuran organik melakukan fungsi fasilitas berupa grading agar petani mendapatkan insentif untuk menanggung risiko buncis afkir. Selain itu sebaiknya pihak pedagang grosir sayuran organik melatih tenaga kerja bagian sortasi agar tidak ada buncis kualitas baik yang terlewat.

Sebaiknya pihak ritel modern tepat waktu dalam melakukan pembayaran setiap periode (15 hari sekali), karena keterlambatan tersebut akan berdampak pada pembayaran dari pihak gudang sayuran kepada petani. Sehingga penghasilan petani akan tertunda dan berpengaruh juga terhadap minat petani untuk membudidayakan buncis organik. Alternatif lainnya adalah pihak gudang yang memiliki modal lebih banyak dapat menanggung pembayaran ke petani walaupun pihak ritel modern menunda pembayaran.

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti analisis optimalisasi dan efisiensi input pada usahatani buncis organik agar dapat diketahui alokasi yang baik dalam penggunaan input demi mendapatkan hasil yang optimal.

Dokumen terkait