VI. ANALISIS STAKEHOLDERS
7.2 Analisis Penerapan Kebijakan
Analisis penerapan dimaksudkan untuk mengetahui apakah pelaksanaan kebijakan telah sesuai dengan rencana, sesuai dengan kriteria dan indikator yang telah ditentukan (Lampiran 2). Faktor yang menyebabkan penerapan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat berdasarkan persepsi responden secara berurutan yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien sebesar 11,18 persen; akuntabilitas sebesar 9,94 persen; transparansi sebesar 9,32 persen; responsivitas sebesar 8,07 persen; legalitas kebijakan sebesar 7,45 persen; keadilan sebesar 6,21 persen; ketepatan sebesar 5,59 persen; monitoring dan evaluasi program sebesar 4,35 persen; dan terakhir yaitu keterlibatan swasta sebesar 3,73 persen.
11.18 4.35 8.07 9.94 9.32 7.45 3.73 5.59 6.21 A B C D E F G H I Keterangan :
A. Penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien B. Monitoring dan evaluasi program
C. Responsivitas D. Akuntabilitas E. Transparansi F. Legalitas kebijakan G. Keterlibatan swasta H. Ketepatan I. Keadilan
Gambar 11. Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Penerapan Kebijakan
Gambar 11 menunjukkan urutan kriteria penyebab kurang berhasilnya kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi penerapan kebijakan yaitu :
7.2.1. Penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien. Indikatornya, yaitu program atau aktivitas telah dilaksanakan; program atau aktivitas dilaksanakan secara efektif dan efisien; sasaran atau hasil yang diinginkan telah tercapai; ketepatan alokasi sumberdana; konsistensi pelaksanaan program sesuai target operasional yang telah ditetapkan. Meskipun sebagian program atau kegiatan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional telah dilaksanakan namun ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hasil pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Analisis Hasil Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
No Program Kondisi ideal Kenyataan di lapangan
1 Pemindahan Pasar Ramayana
Seluruh pedagang eks Ramayana pindah ke Pasar Jambu Dua, Kemang dan Cimanggu
Sebagian pedagang menolak pindah dan memilih menjadi PKL 2 Pembangunan Pasar
Induk Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu
Ketiga pasar dapat berfungsi sebagai pasar grosir
Hanya Pasar Kemang yang berfungsi sebagai pasar grosir
3 Pembangunan Pasar Tanah Baru
Wilayah Tanah Baru menjadi berkembang akibat adanya pasar
Pasar Tanah Baru masih berstatus non aktif 4 Pembangunan Pasar
Pamoyanan
PKL di pusat kota berkurang dan
tersedianya fasilitas pasar tradisional di wilayah Bogor Selatan
Pasar Pamoyanan tidak dimanfaatkan karena pedagang tidak mau pindah dan masyarakat lebih suka berbelanja di Pasar Sukasari
5 Pembangunan Pasar Bubulak
Meningkatkan potensi wilayah supaya lebih berkembang
Pasar Bubulak tidak berjalan sama sekali 6 Pembangunan Pasar Katulampa Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah Katulampa Pembangunan Pasar Katulampa dibatalkan
Berdasarkan Tabel 14, kebijakan pengembangan pasar tradisional yang dilaksanakan oleh pemerintah belum berhasil mencapai sasarannya. Tidak semua program kebijakan dilaksanakan yaitu dibatalkannya pembangunan Pasar Katulampa. Hal ini dikarenakan ketidakberhasilan tiga pasar sebelumnya yang telah dibangun oleh Pemerintah, selain itu banyaknya pedagang yang menolak pindah dan lebih memilih menjadi PKL telah menimbulkan masalah baru bagi upaya pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Keberadaan PKL di tengah kota telah mengambil jalan-jalan utama di Kota Bogor sehingga menyebabkan kemacetan seperti di Jalan Surya Kencana dan Otista dan secara tidak langsung telah mempengaruhi tingkat keramaian Pasar Jambu Dua dan Cimanggu. Warga Bogor lebih suka berbelanja di Pasar Kebon Kembang dan Pasar Bogor karena banyaknya PKL yang memberikan konsumen pilihan yang lebih banyak. Hal ini mengakibatkan Pasar Jambu Dua dan Cimanggu kekurangan konsumen dan banyak pedagang yang memutuskan untuk pindah ke Pasar Kemang atau menjadi PKL juga.
7.2.2. Akuntabilitas merupakan kriteria yang menempati urutan kedua. Hal ini karena belum adanya sanksi yang tegas bagi para pelaku pelanggar kebijakan sehingga pelaksanaan dan hasil kebijakan belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Hal ini dapat ditunjukkan dari keberadaan PKL yang telah menganggu ketertiban umum. Selama ini belum ada tindakan tegas dari aparat pemerintah untuk melarang mereka berjualan di pinggir jalan. Upaya yang dilakukan hanya sebatas mengusir keberadaan PKL pada waktu-waktu tertentu saja. Setelah proses penggusuran selesai, keesokan harinya para pedagang kaki lima tersebut kembali berjualan di pinggir jalan.
7.2.3. Transparansi. Indikatornya yaitu keterbukaan informasi dalam pelaksanaan kebijakan terkait sumberdaya, alokasi dana, proses tender, jadwal pelaksanaan proyek dan hasil yang dicapai. Seluruh informasi terkait dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak disampaikan kepada masyarakat dan pedagang. Pedagang dan masyarakat hanya disosialisasikan mengenai program-program yang akan dilaksanakan dan jadwal pelaksanaan program saja, sedangkan alokasi dana dan sumberdaya serta proses tender yang digunakan dalam pelaksanaan kebijakan tidak dapat diakses secara bebas oleh masyakat.
7.2.4. Responsivitas. Indikatornya yaitu hasil kebijakan memuaskan kebutuhan publik. Pada Tabel 14, sasaran yang diharapkan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional belum tercapai sehingga kebijakan ini belum memuaskan kebutuhan publik. Para pedagang di Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu masih mengeluhkan mengenai kondisi pasar yang relatif lebih sepi dibandingkan dengan pasar-pasar lain.
7.2.5. Legalitas kebijakan. Indikatornya antara lain terdapat dasar hukum yang jelas dalam pelaksanaan program kebijakan pengembangan pasar; tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat; adanya sanksi yang tegas bagi pelaku pelanggar kebijakan, adanya peraturan mampu menjawab permasalahan pengembangan pasar tradisional. Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan sanksi yang tegas terhadap pelanggar kebijakan menjadi faktor utama dalam kriteria ini. Selama ini pengaduan dari masyarakat hanya disampaikan kepada aparat kelurahan dan kecamatan, dan dari pedagang disampaikan kepada pengelola pasar. Dengan demikian sangat besar kemungkinan bahwa pengaduan dari masyarakat dan pedagang tidak tersampaikan ke instansi yang lebih tinggi
wewenangnya. Sanksi yang tidak tegas juga terlihat dari rendahnya hukuman pada para aparat pemerintah yang tidak melakukan kegiatan operasi terhadap para PKL. Keberadaan aparat tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu saja, sehingga PKL masih bebas berjualan di pinggir jalan dan sekitar pasar.
7.2.6. Keadilan. Indikatornya yaitu manfaat kebijakan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh pihak dan keikutsertaan pedagang dalam pelaksanaan dan pengawasan program. Pedagang hanya dilibatkan dalam pelaksanaan program tapi tidak dilibatkan dalam pengawasan program.
7.2.7. Ketepatan. Indikatornya yaitu hasil kebijakan yang dicapai dapat memberikan manfaat kepada kebutuhan publik dan hasil kebijakan yang dicapai dapat memecahkan masalah. Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa hasil kebijakan yang dicapai belum memberikan manfaat kepada masyarakat dan justru terdapat beberapa masalah yang timbul setelah kebijakan dilaksanakan, yaitu keberadaan PKL di sekitar pasar yang telah mengganggu ketertiban umum.
7.2.8. Monitoring dan evaluasi program. Kegiatan monitoring dan evaluasi program dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional dilaksanakan Disperindagkop yang dibantu oleh UPTD. Namun masyarakat kurang dilibatkan dalam pemantauan dan pengawasan program kebijakan pengembangan pasar tradisional.
7.2.9. Keterlibatan swasta. Dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional ini pihak swasta dilibatkan sebagai developer dan sebagai pengelola pasar swasta. Pihak swasta sebagai developer hanya melaksanakan pembangunan pasar sesuai dengan yang telah direncanakan oleh Bapeda, sedangkan sebagai pengelola pasar
pihak swasta lebih berprinsip pada profit oriented sehingga pasar yang mereka kelola relatif lebih berkembang dibandingkan dengan pasar yang dikelola pemerintah.