• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengukuran Variabel Kesejahteraan

Variabel kesejahteraan petani diukur oleh tiga dimensi yang meliputi :

1. Kemampuan ekonomi 2. Kesehatan

3. Pendidikan

Tabel 4.13.

Analisis Pengukuran Variabel Kesejahteraan Petani (Z)

Variabel kesejahteraan petani diukur oleh tiga dimensi seperti yang dijelaskan di atas. Ketiga dimensi dapat dinyatakan valid dan

2

reliable dimana semua dimensi memiliki nilai loading dan R yang lebih besar dari 0.30. Selain itu, dilihat dari nilai t hitung, semua nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel untuk tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas 77 yaitu 1.962. Ini artinya ketiga dimensi mampu mengukur dengan baik variabel kesejahteraan petani. Dari ketiga dimensi tersebut, dimensi kemampuan ekonomi paling berperan dalam mengukur kesejahteraan petani. Disusul oleh dimensi pendidikan yang berperan dalam menjelaskan keterkaitan antar variabel kesejahteraan petani dengan variabel penelitian yang lain.

Berbeda dengan analisis di atas yang menjelaskan validitas dan reliabilitas untuk setiap dimensi, berikut ini akan dijelaskan reliabilitas untuk setiap variabel penelitian. Koefisien reliabilitas untuk setiap variabel penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

DIMENSI LOADING 2 R t-VALUE KETERANGAN Kemampuan Ekonomi Kesehatan Pendidikan 0.907 0.690 0.787 0.822 0.476 0.620 17.03 6.99 8.86 Valid-Reliable Valid-Reliable Valid-Reliable

Tabel 4.14.

Koefisien Reliabilitas Setiap Variabel Penelitian

Dari tabel di atas terlihat nilai reliabilitas untuk setiap variabel penelitian lebih besar dari 0.300 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel penelitian telah diukur oleh alat ukur yang reliable. Ini menjadi satu pegangan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data reliable sehingga hasil penelitian juga memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi.

Analisis Model Struktural

Goodness of Fit Modeldiukur menggunakan R-square variabel laten dependet dengan interpretasi yang sama dengan regresi; Q- Square predictive relevance untuk model struktural, mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Nilai Q-square > 0 menunjukkan model memiliki predictive relevance; sebaliknya jika nilai Q-Square 0 menunjukkan model kurang memiliki predictive relevance. Perhitungan Q-Square dilakukan dengan rumus:

2 2 2 2

Q = 1 – ( 1 – R ) ( 1 – R ) ... ( 1- R ) 1 2 p

2 2

Dari hasil perhitungan diperoleh R = 0.520 dan R = 0.170 1 2 2

sehingga diperoleh Q = 0.602. Nilai ini lebih besar dari 0.5 sehingga model ini mampu menjelaskan lebih dari 50% variansi dari data. Ini mengindikasikan model cukup fit dengan data. Sehingga model ini dapat digunakan untuk menjawab hipotesis penelitian yang diajukan oleh peneliti yang akan dibahas di bawah ini.

CONSTRUCT COMPOSITE

RELIABILITY AVE

CRONBACH ALPHA Isi Kebijakan (X )1

Konteks Implementasi Kebijakan (X )2

Struktur Penguasaan Tanah (Y) Kesejahteraan Petani (Z) 0.87 0.82 0.74 0.84 0.53 0.60 0.60 0.64 0.82 0.66 0.38 0.72

Pengaruh Isi Kebijakan dan Konteks Kebijakan dalam

Impelementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur

Penguasaan Tanah

Hasil perhitungan koefisien jalur dari persamaan struktural menggunakan metode Partial Least Square dibantu dengan program VPLS diperoleh hasil seperti yang disajikan pada gambar 4.1 dan gambar 4.2 dan koefisien jalur dari isi kebijakan (X1) dan konteks implementasi kebijakan (X2) dalam implementasi kebijakan pertanahan terhadap struktur penguasaan tanah (Y) dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4.15.

Koefisien Jalur Dari X dan X Terhadap Y1 2

Tabel 4 di atas menunjukkan koefisien jalur dari isi kebijakan (X ) 1

terhadap penguasaan tanah (Y) sebesar 0.468. Ini artinya bahwa besar pengaruh langsung dari isi kebijakan terhadap struktur penguasaan tanah sebesar 0.468; atau secara hitungan matematis, jika terjadi perubahan pada isi kebijakan dalam implementasi kebijakan pertanahan sebesar satu simpangan baku maka akan terjadi perbaikan pada struktur penguasaan tanah sebesar 0.468 simpangan baku. Koefisien jalur ini lebih besar dari 0.30 sehingga isi kebijakan memadai dalam menjelaskan struktur penguasaan tanah. Pengaruh dari isi kebijakan terhadap struktur penguasaan tanah menunjukkan pengaruh positif yang artinya bahwa semakin baik isi kebijakan dalam implementasi kebijakan pertanahan maka semakin baik pula struktur penguasaan tanah.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dimensi yang dinilai paling berperan dalam merefleksikan isi kebijakan adalah dimensi

VARIABLE KOEFISIEN JALUR R-KRITIS KETERANGAN

X1 X2 0.468 0.306 0.30 0.30 Memadai Memadai

derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan dan dimensi jenis manfaat. Ini artinya bahwa pengaruh dari isi kebijakan implementasi kebijakan pertanahan paling dipengaruhi oleh seberapa besar derajat perubahan yang diinginkan, dimana letak keputusan yang diambil dan jenis manfaat apa yang akan diperoleh.

Selanjutnya, struktur penguasaan tanah juga dipengaruhi secara langsung oleh konteks implementasi kebijakan (X ) dengan 2

pengaruh langsung sebesar 0.30. Pengaruh langsung dari konteks implementasi dalam implementasi kebijakan pertanahan terhadap struktur penguasaan tanah (Y) lebih kecil dibandingkan dengan isi kebijakan (X). Pengaruh dari konteks implementasi kebijakan terhadap struktur penguasaan tanah sama halnya dengan isi kebijakan adalah positif ini artinya adalah perubahan struktur penguasaan tanah selaras dengan konteks implementasi kebijakan.Secara matematis angka 0.30 menyatakan bahwa jika terjadi perubahan pada konteks implementasi kebijakan sebesar satu simpangan baku, maka akan terjadi perubahan pada struktur penguasaan tanah sebesar 0.30 simpangan baku. Koefisien jalur ini lebih besar dari 0.30 sehingga isi kebijakan memadai dalam menjelaskan struktur penguasaan tanah. Dari hasil analisis dimensi sebelumnya diketahui bahwa dimensi-dimensi yang paling berperan dalam konteks implementasi kebijakan adalah dimensi karateristik kelembagaan dan penguasa serta dimensi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat. Dua dari tiga dimensi konteks implementasi kebijakan ini dinilai paling dominan mempengaruhi struktur penguasaan tanah.

Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi dari model pertama yaitu pengaruh dari isi kebijakan dan konteks implementasi dalam implementasi kebijakan pertanahan terhadap struktur penguasaan tahan dari hasil per- hitungan dengan software VPLS adalah sebesar 0.525 atau 52.5%. Hasil ini menunjukkan model dapat menjelaskan sebesar 52.5% variansi dari

data atau dengan kata lain sebesar 52.5% perubahan-perubahan dalam struktur penguasaan tanah dipengaruhi oleh variabel isi kebijakan dan konteks implementasi dalam implementasi kebijakan pertanahan dimana vairabel isi kebijakan memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan konteks implementasi kebijakan. Sedangkan sebesar 47.5% perubahan-perubahan dalam struktur penguasaan tanah dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

Tingginya pengaruh vairabel lain lebih banyak disebabkan oleh banyaknya faktor yang tidak terukur dalam menjelaskan struktur penguasaan tanah.

Untuk menarik kesimpulan umum dari penelitian ini maka dilakukan pengujian hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis I dirumuskan sebagai berikut:

H : = 0 (Tidak terdapat pengaruh isi kebijakan terhadap 0 yx1

struktur penguasaan tanah)

H : 1 yx1 0 (Terdapat pengaruh isi kebijakan terhadap struktur penguasaan tanah)

Hipotesis 2 dirumuskan sebagai berikut :

H : = 0 (Tidak terdapat pengaruh konteks implementasi 0 yx2

terhadap struktur penguasaan tanah)

H : 1 yx2 0 (Terdapat pengaruh konteks implementasi terhadap struktur penguasaan tanah)

Statistik uji yang digunakan adalah uji t, dimana thitung dapat dihitung melalui formula berikut :

, i=1,2

)

(

i i yxi yxi i

sb

t

g

g

=

Selanjutnya nilai tersebut dibandingkan dengan nilai ttabel

untuk n = 78 dengan taraf kesalahan 5% dan db = n-k-1 = 78-2-1 adalah 1,992.

Berdasarkan keterangan di atas, maka hasil perbandingan antara thitung dengan ttabel dapat dilihat pada tabel 4.16.

Tabel 4.16

Hasil Uji Keberartian Koefisien Jalur

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2008.

Hipotesis penelitian pertama (1) dikemukakan bahwa” isi kebijakan berpengaruh terhadap struktur penguasaan tanah”. Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji t diperoleh thitung = 3,466 > t tabel

= 1,992, sehingga H ditolak, yang berarti isi kebijakan berpengaruh 0

terhadap struktur penguasaan tanah.

Hipotesis penelitian kedua (2) dikemukakan bahwa ” konteks implementasi berpengaruh terhadap struktur penguasaan tanah”. Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji t diperoleh thitung = 2,111 > t tabel

= 1,992, sehingga H ditolak, yang berarti konteks implementasi 0

berpengaruh terhadap struktur penguasaan tanah. Konteks kebijakan

berpengaruh terhadap Struktur penguasaan tanah pertanian

0.306 2.111 1,992 H ditolakO

NO. KOEFISIEN JALUR t HITUNG t TABEL KESIMPULAN STATISTIK Isi kebijakan berpengaruh

terhadap Struktur penguasaan tanah pertanian 0.468 3.466 1,992 H ditolakO HIPOTESIS 1. 2.

Pengaruh Isi Kebijakan, Konteks Implementasi dalam

Impelementasi Kebijakan Pertanahan dan Struktur

Penguasaan Tanah terhadap Kesejahteraan Petani

Hasil perhitungan koefisien jalur dari persamaan struktural menggunakan metode Partial Least Square dibantu dengan program VPLS diperoleh hasil seperti yang disajikan pada dua gambar 4.1 dan gambar 4.2 dan koefisien jalur dari struktur penguasaan tanah (Y) terhadap kesejahteraan petani (Z) dalam tabel di bawah ini :

Tabel 4.17.

Efek Langsung dan Tak Langsung Dari X , X dan Y Terhadap Z1 2

Hasil analisis dengan menggunakan Partial Least Square, diperoleh koefisein jalur dari struktur penguasaan tanah (Y) terhadap kesejahteraan petani (Z) sebesar 0.412. Hasil ini menyatakan bahwa efek langsung dari struktur penguasaan tanah terhadap kesejahteraan petani. Efek ini adalah positif, artinya bahwa semakin baik struktur penguasaan tanah maka semakin baik pula kesejahteraan petani. Selain variabel struktur penguasaan tanah, variabel isi kebijakan dan konteks implementasi juga memberikan pengaruh tidak langsung melalui struktur penguasaan tanah terhadap kesejahteraan petani.

Efek tidak langsung terbesar disumbangkan oleh variabel isi kebijakan. Artinya bahwa kaitan antara isi kebijakan dengan struktur penguasaan tanah memberikan sumbangsih yang lebih besar ter- hadap peningkatan kesejahtaran petani. Sehingga untuk meningkat- kan kesejahteraan petani, prioritas utama yang harus dilakukan adalah perbaikan dalam isi kebijakan serta peningkatan struktur penguasaan tanah.

EFEK LANGSUNG EFEK TAK LANGSUNG

X1 X2 Y - - 0.412 0.193 0.126 - VARIABEL

Koefisien Determinasi

Dengan berasumsi bahwa struktur penguasaan tanah dapat menjelaskan perubahan-perubahan dari kesejahteraan petani, maka dapat ditentukan berapa besarkah dalam persentase perubahan- perubahan dari kesejahteraan petani (Z) yang bisa dijelaskan oleh variabel struktur penguasaan tanah (Y) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

2

R = b x 100%

Dari hasil perhitungan yang telah dipaparkan sebelumnya telah didapat nilai =0,412. Dengan demikian maka koefisien determinasi (R) dapat dihitung sebagai berikut :

2

R = (0.412) x 100% R = 17 %

Dari hasil perhitungan di atas dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh variabel struktur penguasaan tanah (Y) terhadap variabel kesejahteraan petani (Z) adalah sebesar 17%. Sedangkan pengaruh variabel lain adalah sebesar 83%. Tingginya pengaruh dari variabel lain terhadap kesejahteraan petani tentunya wajar karena tingkat kesejahteraan petani merupakan kondisi yang akan ditentukan oleh banyak variabel yang berperan, baik variabel internal ataupun eskternal. Variabel internal semisal banyaknya jumlah anggota keluarga, banyaknya sawah yang dimiliki, sedangkan faktor eksternal seperti mahalnya barang-barang kebutuhan pokok dan lain-lain.

Pengujian Hipotesis

Bagian ini akan menjelaskan pengujian statistik uji untuk menguji tingkat signifikansi koefisien jalur dengan menggunakan statistik uji t-student.

Hipotesis 3 :

H : = 0 (Tidak terdapat pengaruh struktur penguasaan tanah 0 zy

terhadap kesejahteraan petani)

H : 1 zy 0 (Terdapat pengaruh struktur penguasaan tanah terhadap kesejahteraan petani)

Statistik uji yang digunakan adalah uji t, dimana thitung dapat dihitung melalui formula berikut:

Selanjutnya nilai tersebut dibandingkan dengan nilai ttabel untuk n = 78 dengan taraf kesalahan 5% dan db = n-1 = 78-1 adalah 1,992.

Tabel 4.18

Hasil Uji Keberartian Koefisien Jalur

Terlihat bahwa (uji t-student) nilai thitung lebih besar daripada nilai t sehingga dengan mengambil resiko kesalahan sebesar 5 % maka tabel

dapat diambil kesimpulan bahwa struktur penguasaan tanah mempunyai pengaruh terhadap kesejahteraan petani. Dimana pengaruh ini adalah pengaruh yang positif, yang dapat kita ketahui dengan melihat tanda dari koefisien jalur yang bertanda positif, dengan tingkat pengaruh sedang (0,412).

Berdasarkan hasil pengolahan data terhadap sampel yang telah ditentukan, maka dapat dinyatakan bahwa:

)

(

zy zy

sb

t

b

b

=

NO. KOEFISIEN JALUR t HITUNG t TABEL KESIMPULAN STATISTIK Struktur penguasaan tanah pertanian berpengaruh terhadap Kesejahteraan Petani 0.412 3.882 1,992 H ditolakO HIPOTESIS 1.

1. Variabel penyebab yang telah didefinisikan dalam struktur keterkaitan memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel akibat.

2. Variabel penyebab mampu mempengaruhi secara nyata terhadap variabel akibat, baik pada saat variabel penyebab dihubungkan secara terpisah dengan variabel akibat maupun ketika variabel penyebab digabungkan secara bersama-sama lalu dihubungkan pengaruhnya terhadap variabel akibat. Hasil penelitian secara komperehensif menunjukkan bahwa isi kebijakan dan konteks implementasi pada implementasi kebijakan pertanahan berpengaruh terhadap struktur penguasaan tanah; dan kesejahteraan petani dipengaruhi secara nyata oleh variabel struktur penguasaan tanah di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang.

Pembahasan

Berikut ini akan dijelaskan gambaran mengenai Konten Kebijakan (X ), Konteks Implementasi (X ) dan Struktur Penguasaan 1 2

Tanah (Y) serta membahas bagaimana gambaran Kesejahteraan Petani (Z) melalui jawaban yang diberikan responden terhadap pertanyaan- pertanyaan yang diajukan peneliti pada saat melakukan studi lapangan yang akan disajikan dalam bentuk tabel tunggal distribusi frekuensi.

Deskripsi data hasil penelitian ini dibuat peneliti dengan memakai rumus persentase rata-rata yang dikemukakan oleh Arikunto (1996:244), sebagai berikut:

JUMLAH SKOR JAWABAN HASIL PENELITIAN JUMLAH SKOR JAWABAN IDEAL

P = x 100%

Kemudian dari hasil pengolahan data yang berupa persentase rata-rata tanggapan responden tersebut peneliti berikan nilai dikaitkan dengan kriteria penilaian menurut pendapat Arikunto (1996:244) sebagai berikut:

Tabel 4.19 Kriteria Penilaian

Setelah dilakukan penilaian berdasarkan kriteria tersebut diinterpretasikan dalam bentuk deskriptif analisis terhadap tanggapan responden yang berkaitan dengan item pernyataan dan informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara dan dokumentasi/ kepustakaan.

Pada bagian berikut ini akan diuraikan dimensi-dimensi variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner, observasi, dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti.

Implementasi Kebijakan (X)

1. Konten Kebijakan (X ) 1

Implementasi kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang dilihat dari aspek konten dan konteksnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat. Pelaksanaan kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang mengacu pada kebijakan-kebijakan yang

NO. INTERVAL KRITERIA PENILAIAN

1. 2. 3. 4. 76% - 100% 56% - 75% 40% - 55% 0% - 39% Baik Cukup/Sedang Kurang Baik Tidak Baik

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan pertanahan sebagaimana ditetapkan Pemerintah Pusat mengacu pada landasan hukum pelaksanaannya, yaitu :

1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, pasal Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 17;

2. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang

Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;

5. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Harga Ganti Rugi Tanah Kelebihan Maksimum dari Tanah Absentee atau Guntai.

Tujuan kebijakan landreform adalah untuk memperkuat hak atas tanah, yaitu menjadi hak milik serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka program landreform meliputi :

1. Larangan menguasai tanah pertanian yag melampaui batas; 2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee; 3. Redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta

tanah-tanah yang terkena larangan absentee;

4. Pengaturan tentang soal pengembalian dan penebusan tanah- tanah pertanian yang digadaikan;

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil.

Pokok ketentuan mengenai larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas maksimum diatur dalam UUPA pasal 7 yang menetapkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dari penjelasannya dapat diketahui bahwa pasal ter- sebut bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah tertumpuknya tanah di tangan orang-orang tertentu saja. Dengan terbatasnya per- sediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat pen- duduknya, konsentrasi pemilikan atau penguasaan tanah oleh golong- an tertentu ini mengakibatkan makin sempitnya tanah bagi petani, kalau tidak dapat dikatakan menyebabkan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi kebanyakan petani untuk memiliki tanah sendiri.

Pasal 7 dari UUPA bukan hanya melarang pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaan tanah. Penguasaan itu, selain dengan hak milik dapat juga dilakukan dengan cara menggadai, menyewa atau dengan melewati perjanjian bagi hasil. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 7 tersebut, maka perlu diadakan penetapan batas maksimum tanah yang boleh dikuasai oleh seseorang atau keluarganya. Ketentuan pokok tentang hal itu diatur lebih lanjut di dalam pasal 17.

Pasal 17 UUPA menyatakan bahwa didalam waktu singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dikuasai dengan sesuatu hak oleh keluarga atau badan hukum. Disebutkan pula bahwa tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, sehingga pembagian hasilnya pun akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena pemilikan tanah serta pembagian hasil tanah itu akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah karena yang bersangkutan yang telah menjadi pemiliknya.

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada tanggal 29 Desember 1960, yang disingkat dengan Perpu Nomor 56 Tahun 1960, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1961. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 ini kemudian ditetapkan Pemerintah menjadi Undang-Undang Nomor 56 tahun 1960. Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 ini merupakan Undang-Undang Landreform di Indonesia, yg mengatur 3 persoalan: 1) Penetapan luas maksimum pemilikan tanah pertanian; 2) larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian yang terlampau kecil, dan 3) pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 menyebutkan bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik tanah yang dimiliki sendiri maupun bersama-sama kepunyaan orang lain, jumlah luasnya diatur.

Persoalan lain yang diatur Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 adalah penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah. Untuk meningkatkan taraf hidup petani, maka kepada mereka perlu diberikan tanah garapan yang cukup luas. Sesuai dengan itu, dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 diatur bahwa diperintahkan kepada Pemerintah untuk mengada- kan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah per- tanian minimum 2 hektar. Pada pasal 9 dijumpai ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mencegah pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kurang dari 2 Ha. Tanpa pembatasan itu dikhawatirkan bahwa bukan saja usaha untuk mencapai jumlah luas minimum pemilikan tanah itu tidak akan tercapai, tetapi bahkan akan menjauh dari tujuan tersebut.

Untuk mengatur pemilikan tanah secara absentee dan redistribusi tanah-tanah yang melebihi batas maksimum serta tanah yang terkena larangan absentee, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa pemilik tanah diharuskan tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak. Syarat bagi pemilik tanah masih diperlukan sesuai dengan ketentuan absentee di atas, yaitu tidak keberatan jika petani pemilik atau penggarap bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan tempat tanahnya terletak, asal jarak tempat tinggal penggarap dan tanah yang bersangkutan masih memungkinkan pemilik untuk mengerjakan itu secara efisien. Karena luas tanah yang akan diredistribusikan sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah petani yang membutuhkan, maka para penggarap tanah yang bersangkutan mendapat prioritas pertama untuk memperolehnya dengan pertimbangan bahwa mereka yang telah mempunyai hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya, sehingga atas dasar prinsip tanah untuk petani, hubungan tanah tersebut tidak boleh dilepaskan dan harus dijamin kelangsungannya. Selain mereka juga dipandang yang paling membutuhkan dan paling perlu didahulukan.

Gadai adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai dari pemegang gadai. Selama uang gadai itu belum dikembalikan, maka tanah tersebut itu dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu pula hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai itu sering disebut pula sebagai penebusan kembali tanahnya, tergantung pada kemampuan dan kemauan penggadai. Pasal 7 Undang-Undang 56 Prp tahun 1960 memuat ketentuan tentang pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadai- kan. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa tanah-tanah yang sudah digadaikan selama 7 tahun harus dikembalikan kepada pemiliknya, tanpa kewajiban membayar uang tebusan. Mengenai perjanjian gadai yang belum berlangsung sampai 7 tahun, pemilik tanah berhak

meminta kembali tanahnya sewaktu-waktu setelah tanaman yang ada di atas tanah tersebut selesai dipanen dengan kewajiban membayar uang tebusan yg dihitung dengan rumus:

Perjanjian gadai sebagai suatu bentuk hubungan peminjaman uang lebih banyak merugikan penggadai dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian lembaga gadai menunjukkan praktik pemerasan sehingga dinilai sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan azas sosialisme Indonesia (Penjelasan Undang- Undang Nomor 56). Oleh karena itu, di dalam rangka pelaksanaan landreform di Indonesia, hak gadai dimasukkan ke dalam golongan hak yang sifatnya sementara yg harus diusahakan supaya dihapuskan.

Perjanjian bagi hasil adalah suatu perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dengan orang lain yang disebut penggarap, dimana penggarap diperkenankan mengu- sahakan tanah pertanian itu dengan pembagian hasil menurut imbangan yang disetujui sebelumnya. Untuk mengaturnya, peme- rintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Tujuan dikeluarkannya UUPBH adalah :1) untuk mengatur hubungan antara pemilik tanah dengan penggarap sehingga mendapat suatu imbangan pembagian hasil yang adil; 2) Untuk melindungi pihak yang lemah dan mencegah praktik-praktik yang merupakan suatu pemerasan oleh pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah; 3) untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak sehingga mereka mempunyai kedudukan yang sama kuat

Dokumen terkait