• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grindle menyatakan bahwa proses umum implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah dispesifikasikan, program- program tindak telah di desain, dan ketika dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-syarat dasar (Basic Conditions) untuk eksekusi suatu kebijakan publik.

Menurut Grindle pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari 2 hal :

1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang dirancang (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat 2 faktor, yaitu :

a. Impact atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok

b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Lebih lanjut dikatakanya bahwa keberhasilan suatu imple- mentasi kebijakan publik amat ditentukan oleh tingkat implemen- tability kebijakan itu sendiri, yang terdiri dari isi kebijakan (Content of Policy) dan konteks implementasi (Context of implementation) yang terkait dengan formulasi kebijakan.

Gambar 1.6.

Implementasi Sebagai Proses Politik dan Administrasi

Isi kebijakan (content of policy) yang mempengaruhi proses implementasi adalah :

1. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi (interests affected); Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Dasar pemikirannya adalah bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti akan berkaitan dengan banyak kepentingan. Sejauhmana kepentingan- kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implemen- tasinya. Hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.

Dalam konteks ini terdapat kelompok sasaran (target group), yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Mereka diharapkan dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola interaksi yang ditentukan oleh kebijakan.

Sampai seberapa jauh mereka dapat mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang diimplementasikan bergantung kepada kesesuaian isi kebijakan (program) dengan harapan mereka. Selanjutnya karakteristik yang dimiliki oleh mereka (kelompok sasaran) seperti: besaran kelompok sasaran, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia dan keadaan sosial- ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi. 2. Tipe manfaat (type of benefits)

Dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplemen- tasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Manfaat yang dirasakan itu dapat terbagi maupun tidak terbagi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

3. Derajat perubahan yang ingin dicapai (extent of change envisioned) Yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah seberapa besar perubahan yang hendak dicapai melalui suatu implementasi kebijakan. Harus ada skala yang jelas untuk pencapaiannya.

4. Letak pengambilan keputusan (site of decision making)

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan. Karenanya, harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan

5. Pelaksana program (program implementors)

Harus sudah terdata dan terpapar pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel untuk menjalankan suatu kebijakan. Dalam implementasi kebijakan publik, organisasi (birokrasi) publik yang berperan dominan sebagai implementor, kinerjanya secara internal akan ditentukan oleh kapasitas organisasi yang dimilikinya.

Menurut Goggin, et al. (1990 : 120): “Organizational or administrative capacity refers to an institutional ability to take purposeful action”. Adapun “Organizational and administrative capacity is a function of the structural, the personnel, and the financial characteristics of state agency”.

Kapasitas Organisasi (organizational Capacity) menurut Goggin (1990 : 119-132) dibangun dari 3 unsur penting, yaitu: struktur organisasi, personel, dan sumber daya finansial. Menurutnya, struktur organisasi yang terintegrasi lebih memudahkan tindakan kebijakan. Koordinasi akan lebih mudah dilakukan. Harus ada saluran komunikasi yang jelas agar pesan sampai pada berbagai level pemerintahan. Harus ditetapkan berapa banyak unit pelaksana dalam setiap level yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan, termasuk juga menjalin kerjasama dengan unit lain di luar pemerintah. Yang dimaksud dengan Personnel adalah para pelaksana yang profesional, memiliki keterampilan dan terutama komitmen yang tinggi terhadap berhasilnya pencapaian tujuan implementasi kebijakan. Selain itu, harus ada kesesuaian tujuan personnel dan tujuan pelaksanaan kebijakan.

6. Sumber daya yang digunakan (resources committed)

Pelaksana kebijakan harus didukung oleh sumber-sumber daya yang memadai agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Resource (sumber daya) bertalian dengan aset yang perlu dimiliki organisasi, baik aset dalam bentuk bahan dasar (raw material) yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa, maupun aset yang berupa orang (personil), finansial, bakat manajerial, keterampilan dan kemampuan fungsional. Hal ini dikemukakan pula oleh Edwards III (1980:11), bahwa: “Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information; the authority; and facilities (including building, equipment, land, and supplies)”. Maksudnya, sumber daya yang penting mencakup staf yang cukup (jumlah dan mutu); informasi yang cukup untuk pengam-bilan keputusan; kewenangan yang jelas guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab; dan kecukupan fasilitas yang dibutuhkan seperti bangunan, peralatan, tanah, dan perbekalan.

Sumberdaya finansial merupakan aspek penting lainnya untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Kapasitas finansial dimiliki oleh setiap level pemerintahan. Sumbernya bisa berasal dari pendapatan pemerintah maupun pajak. Semakin kuat kapasitas finansial pemerintah, semakin tinggi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Kecukupan sumber daya tersebut di atas perlu dimiliki oleh suatu organisasi agar ia dapat melaksanakan tugas pekerjaan dan tanggung jawabnya dengan baik sesuai dengan yang telah ditetapkan atau dipolakan.

Konteks kebijakan (context of policy) menurut Grindle meliputi: 1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat

(power, interests, and strategies of actors involved)

Dalam suatu kebijakan perlu juga diperhitungkan kekuatan atau kekuasaan, kepentingan dan strategi yang digunakan oleh aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu

kebijakan. Jika hal ini tidak diperhitungkan besar kemungkinan kebijakan tidak berjalan sesuai rencana.

2. Karakteristik institusi dan regim yang berkuasa (institution and regim characteristics)

Lingkungan dimana suatu kebijakan diimplementasikan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. Karenanya perlu dikenali karakteristik lembaga dan regim yang berkuasa yang akan turut mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan.

3. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana (compliance and responsiveness)

Yang dimaksud adalah sejauhmana kepatuhan dan respon para pelaksana dalam menanggapi kebijakan yang diimplementasi- kan.

Setelah pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi dan konteks kebijakan diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan; juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh lingkungan sehingga tingkat perubahan yang diharapkan terjadi.

Efektivitas Implementasi

Dalam suatu proses implementasi kebijakan, menurut Dunsire (Wahab, 2002 : 61) terdapat apa yang dinamakan implementation gap, yaitu:

“Suatu istilah yang dimaksudkan untuk menjelaskan suatu keadaan di mana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuatan kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijakan)”.

Besar kecilnya perbedaan tersebut sedikit banyak akan tergantung pada apa yang oleh Williams (Wahab, 2002 : 61) disebut sebagai “Implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity ialah kemampuan suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai”.

Berkaitan dengan kegagalan implementasi kebijakan (policy failure), menurut Hogwood dan Gunn (1984 : 197) dapat dibagi pengertian dalam 2 kategori, yaitu non-implementation (tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil).

Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasa- annya, sehingga betapapun gigihnya usaha mereka, hambatan- hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian, kekuasaan, bencana alam dan sebagainya) kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Implementasi program yang ditujukan untuk memecahkan masalah dipengaruhi oleh: “the nature of the problems” itu sendiri. Hal- hal yang berkaitan dengan sifat masalah yang mempengaruhi

implementasi adalah : (Howlett dan Ramesh, 1995 : 154)

”1. Keputusan-keputusan kebijakan meliputi berbagai tingkatan kesulitan-kesulitan teknis selama implemetasi.

2. Keragaman masalah yang ditujukan oleh suatu program pemerintah dapat membuat kesulitan implementasi.

3. Ukuran kelompok sasaran (target group). Semakin besar dan beragam targetgroup, semakin sulit dipengaruhi perilakunya. 4. Besaran perubahan perilaku kelompok sasaran yang dibutuh-

kan oleh kebijakan akan menentukan tingkat kesulitan yang dihadapi oleh implementasi”.

Hogwood dan Gunn (1984 : 199) mengemukakan beberapa prakondisi (prasyarat) yang harus dipenuhi untuk implementasi kebijakan secara sempurna, yaitu sebagai berikut:

“1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan kendala serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber- sumber (resources) yang cukup memadai.

3. Tersedianya kombinasi sumber daya (resource) yang dibutuhkan. 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasarkan atas teori

sebab-akibat yang valid.

5. Hubungan sebab akibat bersifat langsung dan terdapat hanya sedikit (jika ada) mata rantai penghubungnya.

6. Hubungan ketergantungan harus kecil (minimal). 7. Adanya pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10. Pihak-pihak yang memiliki otoritas dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna”.

Efektivitas implementasi kebijakan secara keseluruhan ter- gantung pada beberapa faktor. Berhasil tidaknya implementasi

kebijakan di satu pihak sangat ditentukan oleh isi kebijakan itu sendiri seperti sumber daya, personil, manajemen serta aturan, dan di pihak lain oleh lingkungan kebijakannya (Wibawa, 1994 : 41).

Peter Drucker (Rosenbloom dan Kravchuk, 2005 : 359) mengidentifikasi beberapa kondisi yang merupakan kesalahan dalam implementasi, sebagai berikut:

”1. Kurangnya kejelasan, terutama tujuan-tujuan yang terukur. 2. Beberapa tujuan menjadi sasaran sekaligus pada saat yang

bersamaan, dengan tidak adanya kejelasan prioritas.

3. Asumsi bahwa personal dan pendanaan dapat menyelesaikan masalah kompleks.

4. Kebijakan atau program dilaksanakan pada skala yang tinggi (grand scale).

5. Kegagalan untuk belajar dari feedback.

6. Ketidakmampuan untuk keluar dari kebijakan atau program ketika hal tersebut menjadi tidak penting lagi atau gagal mencapai hasil-hasil yang diinginkan”.

Berdasarkan pengalaman yang ditunjukkan di Afrika, ditemu- kan bahwa ketidakefektifan proses kebijakan publik, terutama implementasi kebijakan disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Shellukindo, 1992 : 43) :

“1. Tidak cukupnya analisis kebijakan, sehingga kurang dipahami secara jelas implikasi kebijakan baik secara politis maupun kaitannya dengan sumber daya.

2. Kurangnya kemampuan tim manajemen untuk mengimple- mentasikan kebijakan.

3. Tidak mantapnya komitmen, dimana antusiasme untuk imple- mentasi kebijakan berkurang dengan munculnya kebijakan baru yang lebih populer.

Beberapa cara-cara yang dapat ditempuh oleh pembuat kebijakan untuk memperbaiki implementasi kebijakan adalah sebagai berikut (Howlett dan Ramesh, 1995 : 156) :

“1. Pembuat keputusan harus menyatakan tujuan-tujuan kebijakan dan urutan kepentingan tujuan tersebut sejelas mungkin. 2. Kebijakan harus didukung secara implisit dan eksplisit oleh

teori kausal yang kuat.

3. Kebijakan harus didukung oleh alokasi sumber dana yang cukup.

4. Kebijakan harus menyusun prosedur-prosedur yang jelas bagi badan-badan pelaksana (implementing agencies).

Tugas-tugas implementasi harus dialokasikan kepada badan- badan yang memiliki pengalaman dan komitmen yang relevan”.<

Bila ditelusuri kembali perjalanan sejarah, maka akan tampak bahwa persoalan tanah bermula ketika penguasa kolonial melakukan intervensi atas penguasaan tanah dalam rangka pemenuhan kepentingan tertentu. Lahirnya UU Agraria Kolonial 1870 pada hakekatnya bertujuan untuk memudahkan perusahaan perkebunan swasta menguasai tanah dalam jumlah yang besar. Pengembangan perkebunan besar kemudian mengubah secara drastis struktur penguasaan tanah pedesaan, karena tanah-tanah pertanian subur yang digarap oleh rakyat diambil alih perusahaan-perusahaan swasta.

Pada awal kemerdekaan, persoalan-persoalan agraria warisan kolonial menjadi salah satu agenda utama pembahasan pemerintah. Pada titik itulah dimulai upaya untuk membangun kesepakatan dan negosiasi antara masyarakat dan negara mengenai penguasaan, pemilikan dan peruntukkan sumber-sumber agraria. Begitu banyak kelompok berkepentingan terhadap sumber-sumber agraria, sehingga proses pembahasan harus melalui perdebatan sengit dan waktu cukup panjang. Lahirlah UUPA 1960 yang dianggap paling optimal dan diharapkan mampu membawa Indonesia kepada tatanan masyarakat yang lebih baik, paling tidak dibandingkan masa kolonial.

Bagian 2

Landreform dan Kebijakan

UUPA sebagai bidang hukum yang mengatur kepentingan dan pola interaksi sosial berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah mengandung muatan realitas sosial yang berkembang pada saat pembentukannya dan yang diinginkan di masa yang akan datang. Realitas sosial yang mendasari pembentukan UUPA diantaranya adalah:

(1) Nilai kebersamaan atau kegotongroyongan yang kemudian menjadi pilihan mendasar dari setiap usaha di bidang keagrariaan;

(2) Pengaruh hukum adat dalam penetapan prinsip atau asas- asasnya karena hukum adat masih hidup dan berlaku dalam masyarakat;

(3) Ciri kehidupan masyarakat yang bersifat agraris yang mewarnai orientasi ketentuan-ketentuan dan tujuannya yakni peningkat- an kesejahteraan petani; dan

(4) Kondisi politik pemerintahan yang masih memerlukan penanganan secara sentralistis yang kemudian mewarnai pelaksanaan kewenangan dari Hak Menguasai Negara. (Sumardjono, 2001 : 198).

Harapannya adalah terwujudnya cita-cita untuk menciptakan adanya pemerataan pemilikan dan penguasaan tanah kepada semua orang dan kelompok, mencegah terakumulasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil orang, menyeimbangkan manfaat yang dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat dari setiap pemilikan dan pemanfaatan tanah, dan memberikan jaminan kepastian serta perlindungan kepada setiap penguasaan tanah baik oleh individu maupun kelompok dan masyarakat adat.

Kini setelah diimplementasikan selama empat dekade, UUPA dihadapkan pada perkembangan sosial, politik, dan ekonomi yang sebagian berbeda dengan kenyataan yang ada pada waktu UUPA dibentuk. Terdapat kecenderungan nilai-nilai sosial mengarah pada

individualisme. Maria (2001:200) menyatakan bahwa terdapat kesenjangan pada tataran normatif maupun empiris.

Dalam tataran normatif, kesenjangan itu ditandai oleh ketidak- konsistenan antara visi dan semangat dari prinsip-prinsip UUPA dengan penjabaran implementasinya dalam peraturan pelaksanaan- nya. Sejumlah peraturan pelaksanaan (policy implementation) mencerminkan ketidakkonsistenan, misalnya:

1. Pemberian tanah yang sangat luas kepada pengusaha di sektor perkebunan, kehutanan dan properti sehingga menimbulkan akumulasi penguasaan tanah;

2. Ketentuan yang mendorong pemahaman bahwa tanah merupakan komoditi (nilai ekonomis semata) dan mengabaikan nilai lainnya seperti nilai religius serta fungsi sosial atas tanah; 3. Ketentuan yang mendorong pengabaian terhadap hak-hak

tradisional atas tanah masyarakat adat; dan

4. Peraturan yang memberi peluang terjadinya pengabaian dan kemerosotan kesejahteraan pemegang hak atas tanah yang terkena pengambilalihan untuk kepentingan pembangunan. Dalam tataran empiris, upaya mengubah struktur pengua-saan tanah yang sudah dimulai sebelum dan beberapa tahun setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria tidak dapat terus dilaksanakan secara efektif. Kekurangberhasilan itu terkait dengan kebijakan makro pembangunan sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 yang diubah dan disempurnakan dengan UU No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 8 Tahun 1968 yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan UU No 12 Tahun 1971 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang diorientasikan pada pertumbuhan ekonomi.

Sebagai konsekuensi atas berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria 1960, kemudian ditetapkan beberapa peraturan pelaksana, yang terpenting diantaranya adalah dikeluarkannya Perpu No.

56/1960 (kemudian dikenal dengan UU Landreform) yang menetapkan pembatasan maksimal dan minimal penguasaan tanah pertanian menurut tingkat kepadatan penduduk, seperti tercantum pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1.

Batas Penguasaan Maksimum

Sumber: Perpu No. 56/1960.

Gunnar Mydral (Sein Lin, 1974:1)dalam Konferensi Landreform Dunia di Roma tahun 1966 menyatakan bahwa: 'By landreform we understand a planned, legal, and institutional reorganization of the relation between man and land'.

Pengertian tentang landreform ada 2 macam (Soegijanto Padmo, 2000): yaitu landreform dalam arti luas dan dalam arti sempit. Di dalam pengertian secara luas landreform adalah perombakan hukum agraria yang lama untuk diganti dengan yang baru, serta penyelesaian persoalan-persoalan agraria disebut pula sebagai Agraria Reform Indonesia. Berarti landreform yang meliputi bidang yang lebih luas daripada pembaharuan hukum agraria saja. Di dalam arti sempit, landreform menunjukkan perubahan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Landreform dalam arti sempit ini merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Landreform dalam penelitian ini adalah dalam artinya yang sempit.

DI DAERAH-DAERAH YANG: SAWAH (Ha) TANAH KERING (Ha)

1. Tidak Padat 2. Padat : a. Kurang Padat b. Cukup Padat c. Sangat Padat 15 10 7.5 5 20 12 9 6

Pengertian landreform dinyatakan oleh PBB (dalam Sein Lin, 1974 : 1) sebagai berikut: “Landreform is regarded as comprising an integrated programme of measures designed to eliminate obstacles to economic and social development arising out of defects in the agrarian structure. While improvement of the land tenure structure is the crux of land reform, it needs to be supported by such measure as : (a) the provision of opportunities for ownership; (b) measures to promote land settlement and security of tenure; (c) improvement of tenant coditions, e.g., by reduction of excessive rent or share payments; (d) improvement of employment conditions and opportunities for agricultural labour; (e) protection of cultivators living under tribal, communal and other traditional forms of tenure; (f) organization of farms of economic size and land consolidation; (g) land title registration; (h) extension of agricultural credit and reduction of indebtedness; (i) promotion of cooperative organizations (credit, marketing, processing, supply of requisites, production, etc..., used by farmers); (j) organization of farm machinery services; (k) fiscal and financial policy in relation to land reform, including tax measures to promote improved land utilization and distribution; (l) measures concerning land tenure as related to aspects of pastures and forestry; (m) measures to promote the equitable use of limited water supplies; and (n) other related measures such as the establishment or expansion of agricultural research for educational services“.

Sardjowo (dalam Soegijanto, 2000) menyatakan bahwa tujuan landreform di Indonesia adalah: 1) untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula. Merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner guna merealisir keadilan sosial; 2) untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani. Supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; 3) untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap WNI; 4) Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar- besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas

minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian ada pemberian perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. MPRS di dalam ketetapannya No II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama, 1961- 1969 pada pasal 4 ayat 3 menyebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan. Wakil PM bidang Ekonomi dan Pembangunan Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tgl 12 April 1966 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pertanian rakyat maka soal landreform merupakan suatu hal yang penting untuk memperbesar kepastian hukum mengenai pemilikan tanah buat para petani, sehingga dengan demikian akan memperbesar kegairahan bekerja baginya. Diharapkan pelaksanaan landreform dapat mempertinggi produksi pertanian dan mempertinggi hasil yang jatuh ke tangan petani yang berhak menerimanya.

Sejalan dengan pendapat di atas Maxwell and Niebo sebagaimana dikutif oleh Wibawa (2002 : 321) menyatakan bahwa landreform merupakan kunci dalam pengentasan kemiskinan dan instabilitas di negara berkembang. Asumsinya adalah bahwa mem- perbesar akses terhadap tanah dan keamanan penguasaannya (tenure security) dan sustainabilitas akan meningkatkan kesejahteraannya, termasuk keamanan pangan. Artinya, peningkatan akses terhadap tanah akan memperbesar akses kepada food security.

Terjadinya krisis ekonomi yang diawali tahun 1997 mengisyarat- kan bahwa betapa penguasaan tanah dapat memberikan jaminan pangan (food security) bagi penduduk pedesaan pada saat sektor nonpertanian tidak lagi memberikan kapastian pendapatan. Bahkan di beberapa daerah terjadi eksodus tenaga kerja perkotaan ke sektor pertanian (pedesaan). Hal ini kemudian menyadarkan banyak pihak bahwa selama kita tidak memiliki struktur industri yang tangguh, maka penguasaan tanah merupakan faktor penting. Demikian pula, kita tidak

akan dapat memiliki struktur industri yang tangguh tanpa menata terlebih dahulu sektor pertanian. Dalam hal ini, landreform merupakan jalan menuju terwujudnya sektor pertanian yang tangguh dan berkeadilan.

Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa tujuan landreform di Indonesia adalah untuk memperkuat hak atas tanah, yaitu menjadi hak milik serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka program landreform meliputi:

1. Larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas; 2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee; 3. Redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta

tanah-tanah yang terkena larangan absentee;

4. Pengaturan tentang soal pengembalian dan penebusan tanah- tanah pertanian yang digadaikan;

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil.

Kebijakan Landreform di Beberapa Negara

Sebenarnya, ide tentang perlunya pelaksanaan landreform bukan hanya di Indonesia, tetapi juga merupakan suatu kebutuhan di

Dokumen terkait