• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESEJAHTERAAN PETANI, SIAPA PEDULI ? (IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERTANAHAN).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KESEJAHTERAAN PETANI, SIAPA PEDULI ? (IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERTANAHAN)."

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusifbagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:

1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4)

Sintaningrum

Pengantar:

Kesejahteraan

Petani

Siapa Peduli?

Implementasi

(5)

Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli?

Implementasi Kebijakan Pertanahan

Copyright © Sintaningrum, 2011

Editor : "Tim Editor M63 Foundation" Setting/Layout : Wins

indeks : Waluyo Zulfikar Illustrasi Cover : Prabowo Sakti

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

Diterbitkan pertama kali oleh:

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Bandung, M63 Foundation

Bekerjasama dengan Puslit KPK LPPM Unpad Jl. Cisangkuy 62 Bandung 40115 Telp/Fax. (022) 7279435

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT);

Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli?, Implementasi Kebijakan Pertanahan, cetakan 1, Bandung; Penerbit AIPI Bandung, 2011

xxiv + 220 hal. 21 cm x 14 cm

termasuk tabel, gambar, daftar pustaka, dan indeks

ISBN: 978-979-24-7449-2

I. Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli ? II. Sintaningrum

(6)

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian buku yang berjudul Kesejahteraan Petani, Siapa Peduli? Di mana buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang sebelumnya dirancang untuk disertasi.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan terutama karena keterbatasan yang dimiliki peneliti. Karenanya peneliti sampaikan permohonan maaf apabila belum dapat memenuhi harapan para pembaca. Kritik guna perbaikan tulisan ini peneliti nantikan.

Selanjutnya dengan segala hormat perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Drs. H.A. Djadja Saefullah, M.A., Ph.D; Bapak Prof. Dr. Drs. H. Asep Kartiwa, S.H., M.S. serta Bapak Prof. Dr. Herman Soewardi (Alm.) yang telah berkenan meluangkan waktu, mencurahkan pikiran dan tenaga dan membagikan ilmu pengetahuannya sebagai masukan yang berharga.

Juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(7)

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA. selaku Rektor Universitas Padjadjaran Bandung.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mahfud Arifin, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

3. Bapak Prof. Dr. H. Engkus Kuswarno, M.S., selaku Asisten Direktur I Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

4. Bapak Prof. Dr. Drs. Josy Adiwisastra, selaku penelaah yang telah memberikan banyak masukan, dukungan, dan perhatian pada peneliti.

5. Bapak Prof. Dr. Winardi, SE., selaku penelaah yang telah memberikan banyak masukan dan perhatian pada peneliti. 6. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, MS., selaku penelaah yang

telah memberikan banyak masukan dan perhatian pada peneliti. 7. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Rusidi, M.S., selaku penelaah yang telah

memberikan banyak masukan dan perhatian pada peneliti. 8. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Dedi Rosadi, M.S., yang telah memberi-kan

dukungan, perhatian dan senantiasa mengingatkan agar segera menyelesaikan studi.

9. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Tachjan, sebagai penelaah guru besar yang telah banyak memberikan masukan yang berarti buat peneliti. 10. Bapak Ir. Gunawan Sasmita, M.Sc., selaku Direktur Landreform

Badan Pertanahan Nasional dan jajarannya, yang memberi-kan kesempatan kepada peneliti untuk meninjau berbagai lokasi implementasi kebijakan landreform dan dukungan morilnya selama ini.

11. Bapak Ir. Joko Heriyadi, M.M., selaku Kabid Penatagunaan Tanah Kanwil BPN, atas dukungan dan perhatian yang diberikan. 12. Bapak Drs. Endang Suhendar, M.S. dan Bapak Tomi Setiawan, S.IP.,

(8)

13. Kepala Desa Padaawas, Kepala Desa Cibalandong Jaya dan para stafnya yang menyambut baik kedatangan peneliti dan kesediaan berbagi informasi.

14. Para petani di Desa Padaawas dan Desa Cibalandong Jaya atas penerimaan dan rasa kekeluargaan yang tertanam.

15. Saudara Indra Indrawan atas kesediaannya membantu dan menemani di saat injury time.

16. Sahabat, rekan sejawat yang tidak dapat peneliti tuliskan satu per satu atas dukungan, kerjasama, dan bantuannya.

Secara khusus penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tiada terhingga pada orang tua saya: Ayahanda almarhum, Bapak dan Ibunda Hj. Ismail Wiradinata, atas limpahan kasih sayang dan doa yang tiada putus.

Terakhir, terima kasih yang tulus peneliti sampaikan untuk suami, H. Bambang Hermanto dan anak-anak: M. Nur Indragiri, Aji Hendratmojo, Sarah Jasmine, dan Sandra Meiko Rosanne, atas kasih sayang yang tercurah, dukungan, doa dan kerelaan tersita waktunya dari perhatian yang seharusnya peneliti curahkan.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan amal Bapak, Ibu, Saudara semua dengan berlipat ganda.

Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi berharga bagi keilmuan dan kehidupan. Amin ya Robbal Alamin.<

Penulis,

(9)

Sidang pembaca sekalian, sebagaima pepatah klasik yang menyebutkan bahwa buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya, menjadi kian relevan di tengah upaya kita semua mendorong pemerintah meningkatkan kualitas manusia Indonesia.

Puslitbang Kebijakan Publik dan Kewilayahan LPPM Unpad tentu saja memiliki niat untuk selalu menyebarkan setiap butir hasil pemikiran apalagi hasil penelitian sehingga kian banyak yang membacanya akan semakin baik, sekurangnya pemikiran-pemikiran itu tidak akan berkutat di ruang-ruang sempit akademis belaka, sebab publik juga memiliki hak untuk meningkatkan daya kritisnya, menambah asupan ilmu pengetahuannya. Karena kami yakin, buku adalah gizi bagi tumbuh kembang jiwa kemanusiaan kita.

Melalui sejumlah penerbitan buku dan jurnal, Puslitbang KPK LPPM Unpad bekerjasama dengan Penerbit AIPI Bandung dan M63 Foundation, terus mencoba berkomitmen merealisasikan niatan tersebut. Buku berjudul Kesejahteraan Petani, Siapa Pedului? Implementasi Kebijakan Pertanahan karya Dr. Sintaningrum, ini semula merupakan manuskrip disertasi pada program doktor (S3) ilmu administrasi program pascasarjana FISIP Unpad. Terima kasih kepada

(10)

Prof. Djadja Saefulloh, MA.,Ph.D, yang telah berkenan memberikan kata pengantar. Juga ucapan terima kasih kepada Rektor Unpad, Prof. Dr. Ganjar Kurnia, DEA., yang selalu memotivasi dan menantang agar karya-karya mahasiswa berupa Skripsi, Tesis, dan Disertasi dapat dipublikasikan berupa buku sebagai salah satu wujud akuntabilitas insan akademik kepada publik. Terima kasih pula kepada Dekan FISIP Unpad, Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, S.H., M.S., yang senantiasa berkomitmen untuk membeli karya-karya buku yang diterbitkan guna melengkapi kepustakaan di perpustakaan FISIP Unpad.

Sedang pembaca sekalian, tegur dan sapa, kritik dan saran, dari berbagai pihak, merupakan enerji bagi kami untuk selalu bebenah diri agar edisi penerbitan-penerbitan buku selanjutnya semakin bisa mencerahkan.

Selamat membaca!<

Kepala Puslitbang

KPK LPPM Unpad

(11)

Soal pertanian dan pertanahan, di negara kita ini, merupakan problem yang belum terselesaikan secara komprehensif, terutama karena manyangkut banyak kepentingan. Dari beragam kepentingan itu ada aspek kebijakan yang semestinya dapat diandalkan sebagai perangkat solusi, khususnya bagi penciptaan kesejahteraan petani.

Namun, hingga kini, posisi tawar petani, masih belum memadai ketika harus berhadapan dengan pihak lain yang terkait dengan soal pertanian dan pertanahan. Petani belum menjadi tuan di lahan pertaniannya sendiri. Padahal, sebuah kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didasari oleh kemauan dan kemampuan dalam implementasinya, termasuk dalam hal kebijakan landreform.

Problem utamanya adalah karena petani belum sepenuhnya menjadi subyek dalam proses pembangunan yang dijalankan. Bukan semata-mata karena petani tidak memiliki posisi tawar yang memadai, tetapi juga karena para pengambil kebijakan kurang atau bahkan tidak berorientasi kepada kepentingan kaum tani. Padahal, PENGANTAR: Prof. H.A. Djadja Saefullah, MA.,Ph.D

(12)

negara ini adalah negara agraris yang penduduknya mayoritas petani. Tetapi pada kenyataannya, nasib kaum tani masih jauh dari apa yang kita inginkan. Ini adalah ironi yang seharusnya tidak terjadi.

Seberapa besar dan seberapa intensif keterlibatan kaum petani dalam pengambilan kebijakan untuk pembangunan pertanian dan pertanahan? Jika pertanyaan itu belum juga bisa dijawab maka bagaimana mungkin akan lahir sebuah kebijakan pertanian yang berpihak kepada kaum tani?

Kebijakan itu tentu saja harus juga memperhatikan soal nilai kemanusiaan. Sekurang-kurangnya harus ada muatan empati dari para perumus kebijakan terhadap nasib kaum tani sebelum kebijakan itu dibuat, terutama mengingat jasa besar kaum tani dalam kontribusinya “menyediakan” makanan pokok berupa beras dan hasil pertanian lainnya bagi manusia di Indonesia.

Lalu, siapa yang peduli kepada petani? Seberapa besar enerji pemerintah dicurahkan untuk memperbaiki kehidupan kaum tani? Menteri Pertanian, Bulog, bahkan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai organisasi petani sekalipun, harus diakui belum bisa menjadi katalisator terciptanya kehidupan petani yang memadai.

Formalisme, eufimisme, sloganisme pemerintah terhadap kaum tani, tidak sejalan dengan fakta sesungguhnya yang dirasakan oleh petani. Mungkinkah karena kebijakan yang muatannya lebih banyak diintervensi oleh kepentingan kaum pemodal, importir, bahkan kepentingan politik?

(13)

Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan umum.

Namun harus pula didasari bahwa fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, terutama untuk meningkatkan kualitas kehidupan publik, termasuk juga kaum tani. Karena itu, kebijakan di bidang kepemilikan dan/atau penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian yang dapat mensejahterakan petani menjadi sangat strategis dan mendesak. Apa pun nama kebijakan tersebut, landreform atau Undang-undang Pokok Agraria, pada dasarnya merupakan embrio kebijakan di bidang pertanahan yang harus menguntungkan para petani

(14)

Prakata...

Kata Pengantar...

Pengantar: Prof. Djadja Saefulloh...

Daftar Isi...

Daftar Tabel...

Daftar Gambar...

Daftar Grafik...

Bagian

PERTANAHAN

:

dari Konsep Hingga

Implementasi Kebijakan

Sejumlah Hasil Penelitian... Penelitian Syafwandi, 1988... Penelitian Firmansyah, 2006... Konsep Implemetasi Kebijakan...

Studi Implementasi Kebijakan...

Pendekatan Implementasi Kebijakan... 1) Pendekatan Top-Down...

2) Pendekatan Bottom-Up...

v

viii

x

xii

xiv

xv

xvi

7

7 8 8 11 16 19 20 20

Daftar Isi

(15)

Model-Model Implementasi Kebijakan... 1. Model Van Meter dan Van Horn... 2. Model George C. Edwards III...

3. Model Daniel Mazmanian & Paul A. Sabatier... 4. Model Merilee S. Grindle...

Efektivitas Implementasi...

Bagian

Landreform

dan Kebijakan Pertanahan Di

Indonesia

Kebijakan Landreform di Beberapa Negara...

Bagian

Pertanahan dan Petanian

Kesejahteraan Petani Rendah...

Pentingnya Kebijakan Pertanahan...

Konteks Jawa Barat...

Bagian

Fakta Lapangan

Kondisi Geografis Garut... Kondisi Demografis Garut... Potensi Ekonomi Garut...

a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)... b. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per

Kapita...

c. Struktur dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)...

Potensi Pertanian Garut...

Gambaran Umum Desa Padaawas... Kondisi Geografis Subang...

Kondisi Demografis Subang... Potensi Ekonomi Subang...

Gambaran Umum Desa Cibalandong Jaya...

Hasil Pengujian Instrumen Penelitian...

(16)

80 82

82

83

84

85 86

87 88

91 92 92 94 95 95

101 106 109 113 116 121 123 Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan

terhadap Struktur Penguasaan Tanah Serta Dampaknya terhadap Kesejahteraan Petani...

Analisis Model Pengukuran...

1. Analisis Pengukuran Variabel Isi Kebijakan (X1)...

2. Analisis Pengukuran Variabel Konteks... Implementasi Kebijakan (X )...2

3. Analisis Pengukuran Variabel Struktur... Penguasaan Tanah (Y)...

4. Analisis Pengukuran Variabel Kesejahteraan Petani (Z)...

Analisis Model Struktural...

Pengaruh Isi Kebijakan dan Konteks Kebijakan dalam Impelementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah...

Koefisien Determinasi...

Pengaruh Isi Kebijakan, Konteks Implementasi dalam Impelementasi Kebijakan Pertanahan dan Struktur Penguasaan Tanah terhadap

Kesejahteraan Petani...

Koefisien Determinasi,,,,, Pengujian Hipotesis... Pembahasan...

Implementasi Kebijakan (X)... 1. Konten Kebijakan (X )...1

1) Pihak-pihak yang Kepentingannya Terpengaruh Kebijakan...

2) Jenis Manfaat Kebijakan...

3) Derajat Perubahan yang Diinginkan... 4) Letak Pengambilan Keputusan... 5) Pelaksana Program...

(17)

Kesesuaian Tujuan Pegawai dengan Tujuan Kebijakan...

Komitmen Pelaksana... Kerjasama Antar Pelaksana... Sumber-sumber Keuangan... Kecukupan jumlah dana... Sarana dan Prasarana...

Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat...

Political will...

Karakteristik Kelembagaan dan Penguasa... Periode Sebelum Lahirnya UUPA 1960... Periode setelah lahirnya UUPA 1960....

1. Masa Tahun 1960-1965....

Panitia Pertimbangan Landreform...

Yayasan Landreform...

Pengadilan Landreform...

2. Masa Tahun 1965-1988....

Struktur Badan Pertanahan Nasional Tahun 1988-2003...

Konsistensi dan Daya Tanggap... Konsistensi Pelaksana Kebijakan...

Responsivitas Terhadap Kebutuhan Target Group.... Struktur Pemilikan Tanah...

Sebaran Penguasaan Tanah per Kelompok Rumah Tangga Pertanian...

Penggunaan Tanah...

Proporsi penguasaan tanah oleh orang luar (abstentee)...

(18)

Konteks Kebijakan... Reorientasi Pembangunan... Reforma Agraria...

Bagian

Penguasaan Tanah dan Kesejahteraan

Petani

Penguasaan Tanah (Land Tenure)...

Kesejahteraan Petani...

Bagian

Catatan Peneliti

Daftar Pustaka...

Indeks...

5

6

186 189 191

197

197 200

203

207

(19)

Tabel 2.1. Batas Penguasaan Maksimum...

Tabel 3.1. Rekapitulasi Data Redistribusi Tanah Objek Landreform

di Propinsi Jawa Barat...

Tabel 4.1. Komposisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut...

Tabel 4.2. Mata Pencaharian Penduduk Desa Padaawas Kabupa-ten Garut...

Tabel 4.3. Pemilikan Tanah...

Tabel 4.4. Komposisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Subang...

Tabel 4.5. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Konten Kebijakan (X )...1

Tabel 4.6. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Konteks Imple-mentasi (X )...2

Tabel 4.7. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Struktur Penguasaan (Y)...

Tabel 4.8. Hasil Analisis Validitas Item Variabel Kesejahteraan Petani (Z)...

Tabel 4.9. Hasil Uji Reliabilitas Instrument Variabel X , X ,Y dan Z...1 2 42

57

65

69

70

71

76

78

78

79

80

(20)

Tabel 4.10. Analisis Pengukuran Variabel Isi Kebijakan (X )...1

Tabel 4.11. Analisis Pengukuran Variabel Konteks Implementasi Kebijakan (X )...2

Tabel 4.12. Analisis Pengukuran Variabel Penguasaan Tanah (Y)...

Tabel 4.13. Analisis Pengukuran Variabel Kesejahteraan Petani (Z)...

Tabel 4.14. Koefisien Reliabilitas Setiap Variabel Penelitian...

Tabel 4.15. Koefisien Jalur dari X dan X Terhadap Y...1 2

Tabel 4.16. Hasil Uji Keberartian Koefisien Jalur...

Tabel 4.17. Efek Langsung dan Tak Langsung dari X , X dan Y 1 2 Terhadap Z...

Tabel 4.18. Hasil Uji Keberartian Koefisien Jalur...

Tabel 4.19. Kriteria Penilaian...

Tabel 4.20. Tanggapan Responden Terhadap Pihak-pihak yang Kepentingannya Terpengaruh Kebijakan...

Tabel 4.21. Tanggapan Responden Terhadap Jenis Manfaat Kebijakan...

Tabel 4.22. Tanggapan Responden Tentang Derajat Perubahan yang Diinginkan...

Tabel 4.23. Tanggapan Responden Terhadap Letak Pengambilan Keputusan...

Tabel 4.24. Unsur Pelaksana Landreform Menurut Kepmendagri Nomor 38 Tahun 1981...

Tabel 4.25. Tanggapan Responden terhadap Pelaksana Program....

Tabel 4.26. Tugas Pelaksana Landreform Menurut Kepres Nomor 55 Tahun 1980...

Tabel 4.27. Tanggapan Responden Terhadap Sumber Daya...

Tabel 4.28. Keadaan Pegawai Berdasarkan Pendidikan... 82

83

84

85

86

87

90

91

93

95

103

106

109

114

117

118

119

122

(21)

Tabel 4.29. Keadaan Pegawai berdasarkan Masa Kerja...

Tabel 4.30. Keadaan Pegawai berdasarkan Jenjang Kepangkatan....

Tabel 4.31. Jumlah dan Kualitas Prasarana dan Sarana...

Tabel 4.32. Tanggapan Responden Terhadap Kekuasaan, Kepen-tingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat...

Tabel 4.33. Tanggapan Responden Terhadap Karakteristik Kelem-bagaan dan Penguasa...

Tabel 4.34. Tanggapan Responden Terhadap Konsistensi dan Daya Tanggap...

Tabel 4.35. Tanggapan Responden Terhadap Struktur Pemilikan Tanah...

Tabel 4.36. Tanggapan Responden Terhadap Penggunaan Tanah....

Tabel 4.37. Tanggapan Responden Terhadap Kemampuan Ekonomi...

Tabel 4.38. Tanggapan Responden Terhadap Kesehatan...

Tabel 4.39. Tanggapan Responden Terhadap Pendidikan...

Tabel 4.40. Perbedaan Karakteristik Lokasi Implementasi Kebijak-an PertKebijak-anahKebijak-an...

124

125

129

130

133

154

156

166

171

177

179

(22)

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran...

Gambar 1.2. Communication Model of Intergovernmental Policy Implementation...

Gambar 1.3. Model Proses Implementasi Kebijakan oleh Van Meter & Van Horn...

Gambar 1.4. Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi...

Gambar 1.5. Variabel-variabel Proses Implementasi Kebijak-sanaan...

Gambar 1.6. Implementasi Sebagai Proses Politik dan Adminis-trasi...

Gambar 4.2. Nilai Loading Model Struktural...

Gambar 4.3. Nilai t-value Model Struktural... 6

19

26

27

29

30

81

81

(23)

Grafik 4.1. Sebaran Penguasaan Tanah di Desa Padaawas...

Grafik 4.2. Sebaran Penguasaan Tanah di Desa Cibalandong Jaya....

Grafik 4.3. Sebaran Penggunaan Tanah di Desa Padaawas...

Grafik 4.4. Sebaran Penggunaan Tanah di Desa Cibalandong Jaya...

Grafik 4.5. Pendapatan Rata-rata Petani Desa Padaawas...

Grafik 4.6. Pendapatan Rata-rata Petani Desa Cibalandong Jaya...

Grafik 4.7. Indeks Nilai Tukar Petani...

Grafik 4.8. Tingkat Pendidikan Petani di Desa Padaawas...

Grafik 4.9. Tingkat Pendidikan Petani di Desa Cibalandong Jaya... 164

165

167

168

171

174

176

180

180

(24)

Pentingnya pelaksanaan kebijakan pertanahan sebagai prasyarat pembangunan pedesaan pertama kali mengemuka pada pertengahan abad ke-20 yang lalu sejalan dengan agenda pembangunan di negara-negara berkembang pasca kemerdekaan. Pentingnya pelaksanaan tersebut terkait dengan kondisi kehidupan masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang pada saat itu, terutama Asia dan Amerika Latin, yang ditandai dengan terpusatnya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok tuan tanah. Di Amerika Latin, masalah petani berurat akar pada sistem latifundia-minifundia, sementara di Asia masalah lebih terlihat pada timpangnya pemilikan dan penguasaan tanah dan fragmentasi pemilikan tanah. Myrdal sebagaimana dikutip oleh Todaro (1991) menyatakan bahwa memburuknya kondisi pedesaan di Asia yang terkait dengan pola pemilikan tanah tradisional yang disebabkan oleh: 1) pengaruh dari bangsa Eropa; 2) pengenalan transaksi menggunaakan uang (monetisasi); 3) pertumbuhan penduduk yang sangat cepat.

Pakar ekonomi dan pembangunan pedesaan sepakat bahwa masalah ketimpangan penguasaan tanah merupakan kendala dalam pembangunan pertanian dan oleh karenanya kebijakan pertanahan telah dipandang sebagai prasyarat dalam upaya pembangunan

Bagian 1

(25)

pertanian di negara berkembang. Adapun wujud pelaksanaannya sangat bervariasi dari region yang satu ke region yang lain. Hingga saat ini, pentingnya pelaksanaan kebijakan pertanahan masih terus mengemuka dan merupakan suatu kebutuhan di banyak negara berkembang, terutama di negara-negara dimana sektor pertanian masih cukup penting, baik dari sisi penyerapan tenaga kerja maupun dari kontribusinya terhadap pendapatan negara. Beberapa negara yang saat ini melaksanakan kebijakan pertanahan dalam bentuk landreform di antaranya Vietnam, Zimbabwe, Mexico, Skotlandia, dan lain-lain. Bagaimana negara-negara tersebut melaksanakan landreform sangat tergantung kepada tujuan pelaksanaan landreform di negara tersebut, permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki negara tersebut. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa konsep landreform berkembang dari pemikiran pentingnya aspek pemerataan dan pembukaan akses yang adil terhadap sumber daya agraria serta kesempatan kerja. Dalam hal ini, landreform diyakini sebagai upaya menata struktur penguasaan tanah dalam meletakkan dasar kegiatan pembangunan ekonomi berikutnya (Donner 1972). Pada tahun 1970-an, FAO (sebagaimana dikutip oleh Todaro 1991) menyatakan bahwa bagi negara-negara dunia ketiga landreform merupakan prasyarat untuk pembangunan dan hal tersebut merupa-kan hal mendesak karena: 1) semakin memburuknya ketidakmerataan pendapatan dan pengangguran di pedesaan; 2) pertumbuhan penduduk yang cepat telah menyebabkan memburuknya ketimpang-an yketimpang-ang sudah ada; 3) teknologi mutakhir dketimpang-an potensial dalam pertanian (revolusi hijau) terutama dimanfaatkan oleh pemilik tanah luas yang kuat di pedesaan, dan sebagai akibatnya adalah semakin bertambahnya kekuatan, kemakmuran dan kemampuan mereka untuk menentang reformasi yang akan datang.

(26)

berkembang. Asumsinya adalah bahwa memperbesar akses terhadap tanah dan keamanan penguasaan (tenure security) serta sustaina-bilitasnya akan meningkatkan kesejahteraan, termasuk keamanan pangan. Artinya, peningkatan akses terhadap tanah akan memper-besar akses kepada food security. Hal yang sama dikemukakan oleh Thiesenhusen (1995) bahwa pelaksanaan landreform akan membawa dampak positif dalam upaya membangun ketahanan pangan, mengurangi polarisasi sosial, meningkatkan investasi, pengentasan kemiskinan, meningkatan lapangan kerja dan pemerataan. Asumsinya adalah bahwa memperbesar akses terhadap tanah dan jaminan keamanan penguasaannya (tenure security) maka akan dapat dicapai suatu upaya meningkatkan kesejahteraan, termasuk keamanan pangan. Artinya, peningkatan akses terhadap tanah akan memper-besar akses kepada food security. Program landreform harus diletakkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya meningkatkan kapasitas ketahanan pangannya. Sehingga komunitas memiliki kemandirian dalam ketahanan pangan dan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan politik dan ekonomi di tingkat nasional (Harianto dalam Suara Pembaruan, 09/10/2001).

Selama perjalanan sejarah yang panjang konsep landreform menjadi berkembang, sesuai dengan konteks waktu, kondisi fisik lingkungan alam, dan sistem politik serta orientasi kebijakan pemerintah di masing-masing negara. Meskipun demikian, inti pengertiannya tetap sama, yaitu: “Suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera.”

(27)

sosialis, “landreform”nya bersifat kolektivist; di negara-negara non-sosialis pada umumnya bersifat redistributive).

Sensus Pertanian 2003 jelas menggambarkan bagaimana sebetulnya potret petani di Indonesia. Persentase petani gurem (yang menguasai dan atau mengusahakan lahan kurang dari 0,5 hektare) terus bertambah. Tepatnya dari 10,8 juta (52,7%) pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta (56,5 %) di tahun 2003. Di Pulau Jawa sendiri sebagaimana yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani gurem meningkat dari 69,8% pada tahun 1993 menjadi 74,9% tahun 2003. Kecenderungan angka itu semakin meningkat seiring derasnya laju fragmentasi lahan sebagai dampak meningkatnya jumlah penduduk dan belum terwujudnya reformasi agraria secara adil. Dilihat dari sisi penguasaan lahan, ternyata kondisinya pun tidak jauh berbeda. Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, lahan di bawah 0,5 hektare dikuasai 51,55% rumah tangga Petani.

Data di atas jelas memberikan informasi potret petani Indonesia, pantas disebut memprihatinkan. Sekarang ini ber-kembang fenomena "aging agricultural". Ini jelas sebuah kecenderungan yang perlu secara khusus mendapat perhatian tersendiri. Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya sektor pertanian negeri ini jika 50% lebih pelakunya mereka yang sudah berusia lanjut. Apabila tidak tertangani dengan baik, dikhawatirkan yang akan muncul kemudian fenomena "no-hope agricultural", terutama bagi generasi muda dalam lingkup masyarakat pertanian itu sendiri.

(28)

Kecamatan dan Desa yang bertugas menyelenggarakan pimpinan, pelaksanaan, pengawasan, bimbingan serta koordinasi. Dalam setiap tingkatan panitia, selalu ada wakil dari organisasi tani. Kepres ini selanjutnya diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Landreform. Struktur organisasi pelaksana landreform tidak berubah, hanya susunan anggotanya mengalami perubahan. Pada awal tahun pembentukannya, panitia ini bekerja, terlihat dari surat, edaran dan rekomendasi yag dikeluarkannya, namun pada tahun-tahun belakangan ini panitia tidak terdengar lagi gaungnya. Kebijakan landreform tetap dilaksanakan oleh Seksi Landreform yang ada secara struktural pada Kanwil BPN Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, namun melemah kegiatannya.

Untuk mengatasi masalah struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah yang menunjukkan adanya ketimpangan yang pada akhirnya menyebabkan petani tidak dapat bangkit dari kondisi kemiskinan, Siswono (dalam Wiradi, 2002 : 12) mengajukan beberapa usulan yaitu: 1) memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh tanah, khususnya dari negara; 2) terjaminnya batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah yang sesuai dengan skala ekonomi rumah tangga petani; 3) diperlukan pembukaan areal-areal pertanian baru yang dapat didistribusikan kepada petani kecil dan buruh kecil; 4) efisiensi penggunaan tanah; 5) terjaminnya kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah; 6) pembatasan maksimum dan minimum penguasaan tanah; dan 7) membudayakan pengelolaan usaha tani berwawasan agribisnis.

(29)

ini. Pelaksanaan landreform tetap harus dilakukan selama struktur pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah masih timpang yang berdampak pada rendahnya kesejahteraan sebagian besar masyarakat, khususnya para petani. Data menunjukkan pelaksanaan kebijakan landreform selama ini jauh dari efektif, karenanya diperlukan pemikiran lebih jauh untuk memungkinkan pelaksanaannya lebih baik dan efektif. Perubahan perlu diupayakan, bisa dilakukan dengan cara :

1. Mengadakan dari belum ada; 2. Memperbaiki;

3. Memperkuat yang ada agar lebih fungsional dalam melindungi rakyat; atau

4. Menggantikannya dengan sesuatu yang sama sekali baru.

Dengan berpijak pada model implementasi kebijakan dari Merilee S. Grindle, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Kebijakan

Pertanahan

Implementasi Kebijakan Pertanahan

Content of Policy: 1.Interest affected

2.Type of benefits

3.Extent of change envisioned

4.Site of decision making

5.Program implementers

6.Resources committed

Context of Implementation: 1.Power, interest, and

strategies of actors involved

2.Institution and regime characteristic

3.Compliance and responsiveness

Struktur Penguasaan Tanah: 1. Struktur

Pemilikan tanah 2. Struktur

Penggunaan tanah

(30)

Sejumlah Hasil Penelitian

Penelitian dengan dengan judul Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten (1959-1965) merupakan studi tentang suatu peristiwa (case study) yang terjadi di daerah Klaten. Skope temporalnya adalah antara tahun 1959 sampai dengan 1965. Permasalahan yang diteliti adalah ketidakseimbangan di dalam penguasaan tanah yang seringkali berhubungan erat dengan menumpuknya hasil produksi pertanian di tangan beberapa orang petani saja, sehingga menimbul-kan akibat yang luas, antara lain di dalam bentuk ketegangan-ketegangan sosial (social unrest).

Di dalam menggarap beberapa keterangan yang diperoleh, peneliti memakai metode deduktif dan induktif. Dari beberapa peris-tiwa yang terjadi, peneliti mencari segi persamaannya (generalisasi). Tetapi dari beberapa peristiwa yang sama yang terjadi di beberapa tempat, dicari keunikannya masing-masing. Penelitian ini betujuan mengungkapkan kenyataan-kenyataan yang ada di dalam masyarakat.

Pada tahun 1960-1965 di daerah Klaten timbul gerakan petani yang ditujukan pada pemerintah dan tuan tanah yang pada umumnya disebabkan karena uang sewa yang terlalu rendah. Protes bertujuan untuk menentang pemaksaan dari tuan tanah, antara lain berbentuk gerakan untuk menguasai secara sepihak tanah yang sebenarnya masih berada di tangan orang lain. Mereka menempuh cara kekerasan sehingga gerakan ini disebut dengan aksi sefihak atau aksef.

(31)

Penelitian Syafwandi, 1988

Penelitian Syafwandi berjudul ”Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Landreform di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kab. Bogor”. Masalah yang ditelitinya adalah: 1) Bagaimana mengefektifkan pelaksanaan landreform sebagai salah satu alat untuk mengembang-kan wilayah, dan 2) Bagaimana mengefektif-mengembang-kan dan mengefisienmengembang-kan pemanfaatan lahan pertanian objek landreform sedemikian rupa sehingga nilai produktivitas dan kelestarian lingkungan dicapai secara optimal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode explanatory. Aspek yang dievaluasi terdiri dari : aspek fisik lahan pertanian, aspek produktivitas lahan pertanian, dan aspek partisipasi petani. Kesimpulan penelitiannya adalah pelaksanaan landreform telah cukup efektif (berpengaruh positif, baik secara langsung maupun tidak langsung) terhadap:

a. Aspek fisik lahan, yakni berupa pemerataan distribusi lahan pertanian, kejelasan status penguasaan tanah; peningkatan sistim irigasi; terciptanya kelestarian pola tata guna lahan; peningkatan penghematan tenaga; peningkatan intensitas pemanfaatan lahan; peningkatan penggunaan pupuk di Desa Tajurhalang.

a. Aspek produktivitas lahan pertanian, yakni berupa peningkatan pendapatan penduduk Desa Tajurhalang; berpengaruh terhadap pemilihan mata pencaharian.

b. Aspek partisipasi petani, berupa peningkatan kesadaran petani terhadap keberadaan program landreform; peningkatan tingkat penyuluhan pertanian serta meningkatnya dukungan petani terhadap program landreform.

Penelitian Firmansyah, 2006

(32)

pemanfaatan ruang belum efektif atau belum sesuai dengan yang direncanakan. Hal ini menunjukkan dimensi-dimensi dalam imple-mentasi kebijakan rencana tata ruang dalam kondisi yang belum optimal. Penelitian bermaksud mengkaji dan menganalisis pengaruh implementasi kebijakan tata ruang terhadap efektivitas pemanfaatan ruang di Propinsi Jawa Barat.

Teori utama yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah Model Implementasi Kebijakan dari Edward III. Model ini mengukur keberhasilan implementasi kebijakan diukur dari pemenuhan 4 dimensi, yakni: komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur organisasi.

Metode penelitian yang dilakukan dengan menggunakan desain eksplanasi (explanatory research) yang berupaya menjelaskan hubungan kausal antara 2 variabel yang ditelitinya, yaitu variabel implementasi kebijakan sebagai variabel bebas dan efektivitas pemanfaatan ruang sebagai variabel terikat. Teknis analisis yang ditempuh dengan menggunakan analisis regresi linear multipel dan analisis jalur (path analysis).

Pada akhirnya peneliti menyimpulkan bahwa secara keseluruh-an implementasi kebijakkeseluruh-an renckeseluruh-ana tata rukeseluruh-ang secara signifikkeseluruh-an berpengaruh terhadap efektivitas pemanfaatan ruang di Propinsi Jawa Barat. Sub variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap efektivitas pemanfaatan ruang adalah sub variabel: komunikasi, sumber daya, dan sikap pelaksana. Sedangkan sub variabel struktur birokrasi tidak berpengaruh secara signifikan.

(33)

Dari uraian tentang ketiga penelitian di atas, dapat diketahui bahwa:

1. Terdapat persamaan antara penelitian pertama dan kedua di atas, yaitu melihat bagaimana penerimaan petani terhadap kebijakan landreform. Keduanya lebih melihat dari sudut pandang grassroot atau kelompok sasaran.

2. Perbedaan keduanya adalah pada fokus penelitian. Fokus penelitan pertama lebih pada aspek konflik sosial yang terjadi akibat ketimpangan struktur penguasaan tanah, sehingga dasar teori untuk menganalisisnya adalah teori konflik sosial. Sementara penelitian kedua lebih dikaitkan dengan aspek pengembangan wilayah dan produktivitas pertanian. Dasar teori yang digunakan-nya adalah teori tentang keseimbangan spatial.

3. Kesimpulan penelitian yang dihasilkan oleh kedua peneliti berbeda. Soegijanto menyimpulkan bahwa pelaksanaan landreform belum efektif, sementara Syafwandi menyimpulkan landreform telah ber-hasil dilaksanakan di Kabupaten Bogor. Kesimpulan yang berbeda ini bisa dimaklumi mengingat kurun waktu penelitian yang berbeda dari keduanya.

4. Penelitian Sjafwandi dan Soegijanto belum melihat aspek kapasitas organisasi pelaksana sebagai unsur yang diduga berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan landreform. Aspek inilah yang membedakannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Hal lain yang membedakannya adalah landasan teori utama (grand theory) yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah kebijakan publik. Dengan menerapkan teori ini di lapangan, ingin diketahui pula pengaruhnya terhadap struktur penguasaan tanah.

(34)

menggunakan path analysis, sedangkan peneliti menggunakan LISREL.

6. Walaupun penelitian ini dan penelitian Firmasyah terdapat persamaan ingin mengetahui besaran pengaruh implementasi kebijakan, namun pijakan teorinya berbeda. Penelitian ini tidak menggunakan model Edward III, namun menggunakan model implementasi kebijakan dari Merilee S. Grindle. Selain itu, penelitian ini menindaklanjuti temuan hasil penelitian Firmansyah tentang pentingnya dimensi isi kebijakan (policy content) dan lingkungan (konteks) dalam mengimplementasi-kan suatu kebijakan.

Konsep Implemetasi Kebijakan

Dari pengalaman pembangunan yang dialami berbagai negara diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program-program pembangunan, baik yang bersifat mendukung maupun yang menghambat pencapaian tujuan. Faktor tersebut bersumber dari internal organisasi sendiri maupun dari eksternal atau dari lingkungan organisasi. Diantaranya berupa sumber daya manusia, struktur organisasi, hubungan kerja antar organisasi, komitmen para pelaksana, sistem pelaporan yang kurang lancar; sikap politisi yang kurang mendukung sampai faktor lain yang sifatnya kebetulan. Upaya untuk memahami adanya gap atau perbedaan antara apa yang diharapkan tercapai dengan apa yang sesungguhnya terlaksana atau yang diwujudkan dan diterima oleh masyarakat sebagai "outcome" dari kebijakan telah menim-bulkan kesadaran mengenai pentingnya studi implementasi.

(35)

governmental activity. It involves, therefore, the creation of a “policy delivery system”, in which specific means are designed and pursued in the expectation of arriving at particular ends”.

Menurut Lane (1993 : 102), implementasi dapat dinyatakan dalam formula formal sebagai berikut:

(DF1) Implementation = F (Intention, Output, Outcome)

Dimana implementasi mengacu pada proses menghasilkan output dan outcome yang kongruen dengan maksud awalnya. Dengan demikian implementasi memiliki pengertian ganda, yaitu: (1) “eksekusi” di satu sisi dan, (2) “fulfil” atau penyelesaian (accomplishment) di sisi lain.

Konsep implementasi berimplikasi kepada penilaian ( assess-ment) dan salah satu tugas besar dari analisis implementasi adalah untuk mengevaluasi implementasi. Konsep implementasi mencakup dua hal pokok yaitu program kebijakan (policy) yang kemudian akan menghasilkan outcomes. Tujuan-tujuan dari kebijakan dirumuskan oleh berbagai aktor dalam proses politik, sehingga definisi implementasi harus mengemukakan aktor-aktor yang terlibat dalam proses. Aktor-aktor ini meliputi dua kelompok yaitu formator dan implementator.

Dengan mengembangkan formula awal, maka implementasi dapat dikemukakan dalam formula berikut:

(DF2)Implementation = F (Policy, Outcome, Formator, Implementor, Initiator, Time).

Berdasarkan definisi implementasi tersebut, maka terdapat dua konsep dalam implementasi yang memiliki fokus yang berbeda, yaitu: “1. Implementasi sebagai tujuan akhir atau pencapaian kebijakan

(36)

keberhasilan implementasi (fungsi penyelesaian/accomplishment function).

2. Implementasi sebagai proses atau eksekusi kebijakan yang memberikan fokus pada prosesnya (fungsi sebab akibat/causal function)” (Lane, 1993 : 91).

Wujud lain implementasi dikemukakan Grindle yang meman-dang implementasi sebagai outcome. Implementasi sebagai outcome dari bentuk kebijakan secara umum dikemukakan oleh Grindle (1980 : 7): “In addition, because policy implementation is considered to depend on program outcome. It is difficult to separate the fate of policies from that of their constituent programs…… Its success of failure can be evaluated in terms of the capacity actually to deliver programs as designed. In turn, overall policy implementation can be evaluated by measuring program outcomes againts policy goals “.

Implementasi kebijakan adalah fungsi dari implementasi program dan tergantung dari outcome program. Dengan demikian, dalam kajian proses implementasi kebijakan sangat penting dilakukan kajian terhadap program-program yang telah didesain untuk mencapai tujuan kebijakan. “……that policy implementation is a function of program implementation and is dependent upon its outcome. As a consequence, the study of the process of policy implementation almost necessary involves investigation and analysis of concrete action programs that have been designed as a means of achieving broader policy goals“ (Grindle. 1980 : 6).

(37)

Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahap-an dari proses kebijakan publik (public policy process). Beberapa ahli mengatakan bahwa proses implementasi kebijakan lebih penting dari seluruh kegiatan proses kebijakan, seperti halnya dikemukakan Udoji : “the execution of policies is important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue prints in file jackets unless they are implemented” (Udoji, 1981 : 31).

Kegiatan implementasi kebijakan merupakan kegiatan penja-baran suatu rumusan kebijakan yang bersifat makro (abstrak) menjadi tindakan yang bersifat konkrit (mikro) atau dengan kata lain melaksanakan keputusan (rumusan) kebijakan yang menyangkut aspek manajerial dan teknis. Proses implementasi baru dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, serta dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut.

Implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok) swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya. Pada suatu saat tindakan-tindakan ini berusaha mentransformasikan keputusan-keputusan menjadi pola-pola operasional serta melanjut-kan usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik besar maupun kecil yang diamanatkan keputusan-keputusan kebiajakan tertentu. Mazmanian dan Sabatier (1983:4) menyatakan bahwa: “To understand what actually happens after program is enacted or formulated is the subject of policy implementation. Those events and activities that occur after the issuing of authoritative public policy directives, which included both the effort to administer and the substantive impacts on people and events.”

(38)

mengadministrasikannya dan untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Lebih lanjut Mazmanian dan Sabatier mengemukakan bahwa: “This definition encompasses not only the behavior of the administrative body which has responsibility for the program and the compliance of target groups, but also the web of direct and indirect political, economic, and social forces that bear intended and unintended-of the program”.

Definisi ini menekankan tidak hanya melibatkan perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melak-sanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat dan akhirnya berdampak, baik pada yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, dari suatu program. Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Keterkaitan yang sangat kuat antara perumusan kebijakan dan implementasi dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn (1984 : 198): “……..there is no sharp divide between (a) formulating a policy and (b) implementing that policy. What happens at the so – called “implementation” stage will influence the actual policy outcome. Conversely the probability of a successful outcome (which we define for the moment as that outcome desired by the initiators of the policy) will be increased if thought is given as the policy design stage to potential problems of implementation”.

Karenanya, perumusan kebijakan harus dilakukan dalam “perspektif” implementasi, agar kebijakan tersebut dapat diimple-mentasikan secara efektif.

(39)

“1. Pendekatan kepatuhan

Pendekatan ini beranggapan bahwa implementasi kebijakan akan berhasil apabila para pelaksananya mematuhi petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh birokrasi-atas yang menetapkan kebijakan tersebut. Evaluasi implementasi kebijakan yang menggunakan pendekatan ini akan banyak melakukan analisis perilaku organisasi. 2. Perspektif “apa yang terjadi” (“what's happening”).

Pendekatan ini memotret pelaksanaan kebijakan atau program dari segala hal. Pendekatan ini berasumsi bahwa implementasi kebijakan melibatkan dan dipengaruhi oleh segala ragam variabel dan faktor. Dengan demikian, apa yang terlibat dan berlangsung di dalam implementasi jauh lebih penting untuk ditangkap dan dikaji ketimbang selalu mempersoalkan sesuai tidaknya implementasi dengan keharusan-keharusan yang semestinya dilakukan”.

Ketidakberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan yang sering dijumpai antara lain disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya, struktur organisasi yang kurang memadai dan kurang efektif, dan atau karena komitmen di kalangan pelaksana. Faktor-faktor politik atau waktu yang kurang tepat serta bermacam alasan lainnya, turut pula mempengaruhi sebuah kebijakan atau program hingga tidak dapat terlaksana dengan baik.

Studi Implementasi Kebijakan

(40)

penelitian. Generasi pertama menghasilkan hal-hal yang bernilai sebagai berikut:

1. Menggeser fokus perhatian dari bagaimana sebuah catatan tagihan (bill) menjadi suatu hukum ke bagaimana sebuah hukum menjadi sebuah program.

2. Mendemonstrasikan kompleksitas dan dinamika alamiah implementasi;

3. Menunjukkan subsistem suatu kebijakan yang penting dan kesulitan-kesulitannya dalam membuat koordinasi dan pengawasan;

4. Identifikasi sejumlah faktor-faktor yang harus dihitung untuk hasil-hasil terprogram, biasanya dengan pengecualian-pengecualian pendek.

5. Menganalisa beberapa perlakuan pathologis yang secara berkala mempengaruhi para aktor.

Kritik yang disampaikan pada Studi Generasi Pertama adalah atheoritical, per kasus khusus (case spesific), tidak kumulatif dan terlalu pesimis.

Studi-studi Implementasi Kebijakan Generasi Kedua dibangun dari hasil kerja-kerja pendahulunya. Generasi ini memberikan kontribusi dalam pengembangan kerangka analisis yang mengarah-kan penelitian pada fenomena kompleks implementasi kebijamengarah-kan. Fokus penelitian generasi kedua adalah pada variabel-variabel prediktor yang sama (Goggin, 1990 : 14) yaitu:

1. Bentuk dan isi kebijakan (policy form and content)

2. Organisasi dan sumber-sumber dayanya (organizations and their resources)

(41)

Kontribusi yang diberikan studi-studi Generasi Kedua dalam pengembangan kerangka studi adalah :

1. Penguatan bahwa implementasi itu bervariasi sepanjang waktu, melintasi kebijakan-kebijakan, dan dari satu daerah ke daerah lainnya.

2. Identifikasi kandidat untuk menjelaskan variasi-variasi itu. 3. Konfrontasi sejumlah masalah-masalah sulit digabungkan

dalam proses penelitian yang sistematis.

4. Menekankan pentingnya periode waktu, mulai dan sepanjang implementasi berlangsung.

Inspirasi Penelitian Generasi Ketiga diperoleh dari kontribusi pemikiran generasi pertama dan kedua. Merupakan bentuk optimisme tentang masa depan untuk mengelaborasi suatu teori tentang bagaimana dan mengapa kita berpikir implementor berperilaku seperti yang mereka perbuat dan mulai menyelidiki validitasnya melalui observasi yang sistematik tentang bagaimana implementasi secara aktual dipraktekan.

(42)

Gambar 1.2.

Communication Model of Intergovernmental Policy Implementation

(Sumber: Goggin et. al. 1990 : 32)

Pendekatan Implementasi Kebijakan

Lane mengemukakan bahwa konsep implementasi memiliki dua aspek, yaitu (Lane, 1993 : 102)

“1. Hubungan antara tujuan (objective) dan hasil (outcome), yang merupakan sisi tanggung jawab (responsibility side).

2. Proses untuk membawa kebijakan kedalam efek yang merupa-kan sisi kepercayaan (trust side)”.

Berdasarkan sisi tanggung jawab dan kepercayaan tersebut dalam proses kebijakan terdapat dua model, yaitu (Lane, 1993 : 103):

“1. Top–down model yang memberikan tekanan berlebih pada sisi tanggung jawab (responsibility).

2. Bottom-up model yang menekankan pada sisi kepercayaan (trust side), yang berusaha untuk memberikan kebebasan kepa-da implementor, sebagai alat untuk menangani ketikepa-dakpastian dengan fleksibilitas dan pembelajaran”.

Independent Variables Intervening Variables Dependent Variables

Federal-Level Inducement and Constraints

Feedback

State

Capacity State Implementation

State Decisional Outcome

State and Local-Level Inducements and Constraints

(43)

Kedua pendekatan di atas diuraikan sebagai berikut :

1) Pendekatan Top-Down

Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan dilakukan secara tersentralisasi dan dimulai dari aktor di tingkat pusat, serta keputusannya pun diambil pada tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan publik) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur-adminstratur atau birokrat-birokrat pada level bawahnya (street-level bureaucrats). Intinya adalah sejauh-mana tindakan para pelaksana (administratur dan birokrat) sesuai dengan prosedur dan tujaun yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat.

Sabatier mengemukakan (Sabatier, 1993 : 267) bahwa ciri penting dari pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini dimulai dengan suatu keputusan kebijakan oleh pejabat pemerintah (seringkali pemerintah pusat), dan kemudian mempertanyakan:

1. Sejauh mana tindakan-tindakan pegawai pelaksana dan kelompok sasaran konsisten dengan keputusan kebijakan ? 2. Sampai sejauh mana tujuan-tujuan dapat dicapai, atau sampai

seberapa jauh dampak-dampak konsisten dengan tujuan ? 3. Apa faktor-faktor utama yang mempengaruhi output dan

dam-pak kebijakan, baik yang berkaitan dengan kebijakan pejabat maupun faktor-faktor lain yang signifikan secara politis?

4. Bagaimana kebijakan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam suatu rentang waktu atas dasar pengalaman ?

2) Pendekatan Bottom-Up

(44)

area lokal (local areas) dan menanyakan kepada mereka tentang tujuan-tujuan (goals), strategi-strategi (strategies), aktivitas-aktivitas (activities), dan kontak-kontak (contacts). Pendekatan ini kemudian menggunakan kontak-kontak sebagai kendaraan untuk mengem-bangkan suatu teknik jaringan (network technique) untuk mengiden-tifikasi aktor-aktor lokal, regional dan nasional yang terlibat dalam perencanaan (planning), pembiayaan (financing), dan eksekusi (execution) dari program-program pemerintahan (governmental) dan non pemerintah (non-gevernmental) yang relevan (Sabatier, 1993: 277).

Model-Model Implementasi Kebijakan

Menurut Lane (1993 : 94), terdapat beberapa model imple-mentasi yaitu sebagai berikut :

1. Implementasi sebagai administrasi yang sempurna (Implementation is perfect administration)

Model ini dikemukakan oleh Hood yang merumuskan model implementasi yang menghasilkan implementasi kebijakan yang sempurna. Model administrasi sempurna ini mensyaratkan adanya struktur otoritas: hirarki (hierarchy), kepatuhan (obedience), kendali (control) dan koordinasi sempurna (perfect coordination).

Kritik terhadap model yang sifatnya top-down ini adalah adanya kompleksitas intra atau inter organizational.

2. Implementasi sebagai Manajemen Kebijakan (implementation as

policy management)

Model yang dikembangkan oleh Sabatier dan Mazmanian menge-mukakan kondisi-kondisi yang mempengaruhi keberhasilan implementator :

a. Technonolgy,

b. Tujuan-tujuan yang tidak ambiguity (bermakna ganda), c. Keahlian (skill),

(45)

3. Implementasi sebagai evolusi (implementation as evolution)

Wildavsky memperkenalkan teori proses implementasi sebagai redefinisi dari objectives (tujuan) dan reinterpretasi dari outcomes, itulah evolusi. Konsep evolusi dari implementasi berimplikasi bahwa proses implementasi tidak dapat secara sederhana dipisahkan dari tahapan-tahapan dari perumusan kebijakan, objectives dan outcomes. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi adalah tanpa akhir (endless). Implementasi akan selalu berevolusi, tak dapat dihindari merupakan reformulasi sebagaimana juga pelaksanaan kebijakan.

4. Implementasi sebagai pembelajaran (implementation as Learning)

Implementasi dimodelkan sebagai suatu proses pembelajaran tanpa akhir (an endless learning process) dimana implementator melalui proses pencarian yang kontinyu muncul dengan fungsi tujuan yang telah diperbaiki dari teknologi program yang lebih dapat diandalkan. Tidak ada suatu akhir yang alamiah dari proses implementasi kebijakan, karena masing-masing tahapan berarti suatu perbaikan dalam kaitan dengan tahapan terdahulu, dimana berdasarkan perubahan waktu, tujuan-tujuan asli sudah ditransfor-masikan (Wildavsky).

5. Implementasi sebagai struktur (implementation as structure)

Hjern dan Porter menyatakan bahwa struktur implementasi terdiri atas himpunan dari anggota-anggota di dalam organisasi yang melihat program sebagai kepentingan utama mereka. Secara jelas, struktur implementasi meliputi kumpulan para aktor, yaitu unit-unit yang melaksanakan program-program.

6. Implementasi sebagai outcome (implementation as outcome)

Implementasi yang dinyatakan sebagai: “putting policy into effect“ menekankan pada pengertian implementasi sebagai outcome.

7. Implementasi sebagai suatu perspektif (implementation as perspective)

(46)

kebijakan. Yang disebut perspektif implementasi di sini adalah suatu jenis ilmu administrasi yang bersifat praktis. Menurut William, perspektif implementasi adalah perspektif para praktisi.

8. Implementasi sebagai Pemetaan Bagian Belakang (Implementation

as Backward Mapping)

Proses implementasi melibatkan sejumlah partisipan. Menurut Elmore (1978), analisis implementasi sebenarnya membutuhkan perhatian yang lebih difokuskan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk menghasilkan outcomes pada basis kegiatan hari per hari (day-to-day basis).

Perspektif pemetaan dari belakang bertujuan untuk membalikkan kecenderungan model implementasi dengan pendekatan top-down. Dengan demikian model ini merupakan model yang menggunakan pendekatan bottom-up.

9. Implementasi sebagai Simbolisme (Implementation as Symbolism)

Fudge dan Barret menyatakan bahwa perspektif implementasi tidak dapat diterima begitu saja. Studi-studi proses implemen-tasi menyatakan bahwa tidak hanya implementor yang dapat menolak perubahan atau pendekatan bahwa tujuan dan program menurut interpretasi mereka, tetapi juga pembuat kebijakan (policy maker) dapat menganggap penting atau menguntungkan untuk mengabaikan eksekusi kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa proses implementasi merupakan suatu simbolisme secara politik (political symbolism).

10. Implementasi sebagai Bermakna Ganda (Implementation as

Ambiguity)

(47)

11. Implementasi Implementasi sebagai Koalisi (Implementation as Coalition)

Sabatier (1986) mengemukakan bahwa proses implementasi terdiri dari apa yang disebut koalisi advokasi: aktor-aktor/pelaku dari berbagai organisasi publik dan private yang sharing keyakinan dan yang berusaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan umum mereka. Dalam model ini implementasi dipahami sebagai proses jangka panjang dimana koalisi (private dan public) berinteraksi dan belajar tentang teknologi dan outcome program.

1. Model Van Meter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975) disebut sebagai A Model of The Policy Implementation Process, Proses implementasi menurut mereka adalah sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejawantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk mencapai kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi, yang belangsung dalah hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.

Ada enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Model ini menunjukkan hubungan antara variabel-variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable) mengenai kepentingan-kepentingan, serta hubungan di antara variabel bebas (Gambar 1.3).

Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut: (Winarno, 2002 :110)

a) Ukuran-ukuran Dasar dan Tujuan-tujuan Kebijakan

(48)

b) Sumber-sumber Kebijakan

Sumber-sumber kebijakan mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

c) Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan Implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsis-tensi dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan tersebut.

d) Karakteristik Badan-badan Pelaksana

Karakteristik badan-badan administratif akan mempengaruhi pencapaian kebijakan, dimana karakteristik ini tidak terlepas dari struktur birokrasi. Komponen ini meliputi ciri-ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil. Beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan adalah:

1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

2) Tingkat pengawasan hirarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana. 3) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di

antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif) 4) Vitalis suatu organisasi.

5) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka“, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi.

6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan “atau“ pelaksana keputusan”.

e) Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

(49)

f) Kecenderungan Pelaksana (Implementors)

Terdapat tiga unsur tanggapan pelaksana yang dapat mempenga-ruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yaitu :

§Kognisi (pemahaman) tentang kebijakan

§Arah kecenderungan-kecenderungan pelaksana terhadap

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan (penerimaan, netral, penolakan)

§Intensitas tanggapan

Variabel-variabel tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

Gambar 1.3.

Model Proses Implementasi Kebijakan oleh Van Meter & Van Horn

(Sumber: Wahab, 2002 : 80)

2. Model George C. Edwards III

Menurut Edward III, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.

Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Sumber-sumber Kebijakan

Komunikasi antar Organisasi dan Ke-giatan Pelaksanaan

Lingkungan: Ekonomi, Sosial dan Politik

Ciri Badan Pelaksana

Sikap Para Pelaksana

(50)

The study of policy implementation is crucial for the study of public administration and public policy. Policy implementation, as we have seen, is the stage of policy making between the establisment of a policy and the consequences of the policy for the people whom it affects” (Edward III, 1980 : 1).

Selanjutnya dalam bukunya “Implementing Public Policy“ tersebut, Edward mengemukakan terdapat 4 (empat) faktor atau variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumber daya, sikap/kecenderungan dan struktur birokrasi:

……..four critical factors or variables in implementing public policy: communication, resources, dispositions or attitudes, and bureaucratic structure” (Edwards III, 1980 : 10).

Faktor-faktor tersebut di samping secara langsung mempenga-ruhi implementasi, secara tidak langsung mereka juga mempengamempenga-ruhi implementasi melalui dampak/pengaruh satu terhadap lainnya.

A side from directly affecting implementation, however, they also indirectly affect it through their impact on each other. In other words, communications affect resources, dispositions, and bureaucratic structures, which in turn influence implementation” (Edwards III, 1980 : 147).

Gambar 1.4.

Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi

Sumber : Edwards III, 1980 : 148

Resources

Communications

Resources Dispositions

Implementation Bureaucratic

(51)

3. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Sabatier dan Mazmanian memberikan perhatian yang lebih pada birokrasi. Kedua ahli berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapai-nya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dia menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis). Karena itulah model ini disebut sebagai model top-down. Dengan asumsi tersebut, maka tujuan dan sasaran program harus jelas dan konsisten, karena ini merupakan standar evaluasi dan sarana yang legal bagi birokrasi pelaksana untuk mengerahkan sumberdaya.

Model yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Sabatier disebut A Framework for Implementation Analysis (Kerangka Analisis Implementasi). Model ini terdiri atas 3 variabel bebas (Independent Variable) dan 1 variabel terikat (Dependent Variable). Variabel bebas (Independent Variable) meliputi :

a) Mudah tidaknya masalah dikendalikan

b) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses imple-mentasi secara tepat

c) Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi implementasi.

Sedangkan variabel terikat (Dependent Variabel) yaitu tahapan dalam proses implementasi (Wahab, 2002 : 81).

(52)

Gambar 1.5.

Variabel-variabel Proses Implementasi Kebijaksanaan

4. Model Merilee S. Grindle

Grindle menyatakan bahwa proses umum implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah dispesifikasikan, program-program tindak telah di desain, dan ketika dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-syarat dasar (Basic Conditions) untuk eksekusi suatu kebijakan publik.

Menurut Grindle pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari 2 hal :

(53)

1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang dirancang (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat 2 faktor, yaitu :

a. Impact atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok

b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Lebih lanjut dikatakanya bahwa keberhasilan suatu imple-mentasi kebijakan publik amat ditentukan oleh tingkat implemen-tability kebijakan itu sendiri, yang terdiri dari isi kebijakan (Content of Policy) dan konteks implementasi (Context of implementation) yang terkait dengan formulasi kebijakan.

Gambar 1.6.

Implementasi Sebagai Proses Politik dan Administrasi

(54)

Isi kebijakan (content of policy) yang mempengaruhi proses implementasi adalah :

1. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi (interests affected); Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Dasar pemikirannya adalah bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti akan berkaitan dengan banyak kepentingan. Sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implemen-tasinya. Hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.

Dalam konteks ini terdapat kelompok sasaran (target group), yaitu sekelompok orang atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang dan jasa atau yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Mereka diharapkan dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap pola-pola interaksi yang ditentukan oleh kebijakan.

Sampai seberapa jauh mereka dapat mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang diimplementasikan bergantung kepada kesesuaian isi kebijakan (program) dengan harapan mereka. Selanjutnya karakteristik yang dimiliki oleh mereka (kelompok sasaran) seperti: besaran kelompok sasaran, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia dan keadaan sosial-ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi. 2. Tipe manfaat (type of benefits)

Dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplemen-tasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Manfaat yang dirasakan itu dapat terbagi maupun tidak terbagi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

(55)

4. Letak pengambilan keputusan (site of decision making)

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan. Karenanya, harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan

5. Pelaksana program (program implementors)

Harus sudah terdata dan terpapar pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel untuk menjalankan suatu kebijakan. Dalam implementasi kebijakan publik, organisasi (birokrasi) publik yang berperan dominan sebagai implementor, kinerjanya secara internal akan ditentukan oleh kapasitas organisasi yang dimilikinya.

Menurut Goggin, et al. (1990 : 120): “Organizational or administrative capacity refers to an institutional ability to take purposeful action”. Adapun “Organizational and administrative capacity is a function of the structural, the personnel, and the financial characteristics of state agency”.

(56)

6. Sumber daya yang digunakan (resources committed)

Pelaksana kebijakan harus didukung oleh sumber-sumber daya yang memadai agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Resource (sumber daya) bertalian dengan aset yang perlu dimiliki organisasi, baik aset dalam bentuk bahan dasar (raw material) yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa, maupun aset yang berupa orang (personil), finansial, bakat manajerial, keterampilan dan kemampuan fungsional. Hal ini dikemukakan pula oleh Edwards III (1980:11), bahwa: “Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information; the authority; and facilities (including building, equipment, land, and supplies)”. Maksudnya, sumber daya yang penting mencakup staf yang cukup (jumlah dan mutu); informasi yang cukup untuk pengam-bilan keputusan; kewenangan yang jelas guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab; dan kecukupan fasilitas yang dibutuhkan seperti bangunan, peralatan, tanah, dan perbekalan.

Sumberdaya finansial merupakan aspek penting lainnya untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Kapasitas finansial dimiliki oleh setiap level pemerintahan. Sumbernya bisa

Gambar

Gambar 1.2.Communication Model of Intergovernmental Policy Implementation
Gambar 1.3.
Gambar 1.4.Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Implementasi
Gambar 1.5.Variabel-variabel Proses Implementasi Kebijaksanaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang penulis lakukan, pelaksanaan Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional(SIMTANAS) di Kantor Pertanahan Kabupaten Labuhanbatu, bisa

Dari penelitian yang penulis lakukan, pelaksanaan Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional(SIMTANAS) di Kantor Pertanahan Kabupaten Labuhanbatu, bisa

Dari penelitian yang penulis lakukan, pelaksanaan Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional(SIMTANAS) di Kantor Pertanahan Kabupaten Labuhanbatu, bisa

terbentuk dalam beberapa peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tersusun dari berbagai hubungan kejadian dalam cerita. Hubungan yang terjadi adalah hubungan sebab

Format siaran langsung (live report) adalah laporan berita televisi yang mengajak penonton menyaksikan suatu peristiwa secara langsung dari tempat dimana suatu peristiwa terjadi

Segi ekonomi terdiri dari indikator pendapatan rumah tangga Sajogyo (1997) dan pengeluaran rumah tangga BPS (2017) sedangkan yang termasuk dalam segi sosial adalah 9

Ermawan (2014) menyebutkan ada beberapa faktor yang menjadi penghambat kesejahteraan siswa dari segi internal, diantaranya yaitu disebabkan oleh 1).. prestasi yang memadai, 4).

dalam kuliah John Bonyton tahun 2000, adalah “suatu fenomena dimana agen-agen ekonomi di bagian manapun di dunia jauh lebih terkena dampak peristiwa yang terjadi di tempat lain di