• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah selama 11 tahun Direktorat Agraria statusnya ditingkat- kan menjadi Kementerian / Departemen Agraria, pada tahun 1965, lembaga ini diciutkan kembali menjadi setingkat Direktorat Jenderal. Hanya saja cakupannya ditambah dengan direktorat di bidang transmigrasi sehingga namanya menjadi Direktorat Agraria dan Transmigrasi yang masih bernaung di bawah Departemen Dalam

Negeri. Alasannya Pemerintahan Orde Baru ingin menyederhanakan organisasi dalam rangka efisiensi.

Pada tahun itu juga terjadi perubahan organisasi secara mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tepat menjadi salah satu bagian dari Departemen Dalam Negeri dan berstatus Direktorat Jenderal. Sedangkan urusan transmigrasi ditarik kembali ke dalam lingkungan Departemen Veteran, Transmigrasi dan Koperasi Tahun 1972, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969 dicabut dan selanjutnya diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972, tentang Penyatuan Instansi Agraria di Daerah. Berdasarkan Keputusan itu, instansi agraria di daerah disatukan dalam satu wadah pimpinan. Di tingkat provinsi dibentuk Kantor Direktorat Agraria Provinsi, sedangkan di tingkat Kabupaten/Kotamadya dibentuk Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya.

Kantor Direktorat Agraria Provinsi secara operasional bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintahan pusat. Sedangkan secara teknis administratif tetap bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri. Demikian pula di tingkat Kabupaten/ Kotamadya Kepala Sub Direktorat Agraria secara teknis operasional bertangung jawab kepada Bupati/Walikota dalam kedudukannya selaku wakil Pemerintah Pusat. Sedangkan secara teknis administratif tetap bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri, melalui Gubernur Kepala Daerah.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 187 dan 188 Tahun 1972, susunan organisasi Direktorat Jenderal Agraria kembali berubah. Tugas pokoknya adalah merencanakan dan menyelenggarakan segala usaha dan kegiatan di bidang keagrariaan. Pada tahun 1974 dan 1975, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1974 jo Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1975 - struktur organisasi Direktorat Jenderal Agraria mengalami perubahan lagi. Prinsip perubahannya adalah menghapus Direktorat Penelitian dan

Pengembangan, sehingga susunannya menjadi: (a) Direktorat Tata Guna Tanah; (b) Direktorat Landreform; (c) Direktorat Pengurusan Hak- Hak Tanah; (d) Direktorat Pendaftaran Tanah; (e) Sekretariat Direktorat Jenderal Agraria.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1982, susunan Kantor Agraria di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kotamadya tetap tidak mengalami perubahan. Di tingkat daerah, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 133 Tahun 1978, terdapat sedikit perubahan dibanding struktur organisasi berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972. Berdasarkan Keputusan Menteri yang baru itu di tingkat provinsi kemudian disebut Direktorat Agraria Provinsi sedangkan di tingkat kabupaten kotamadya disebut Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya.

Struktur Badan Pertanahan Nasional Tahun 1988-2003.

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional, kebu- tuhan akan tanah juga semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan tanah itu sebagian diakibatkan oleh meningkatnya kegiatan pembangunan. Kebutuhan pembangunan prasarana ekonomi dan sektor industri bagi pemerintah dan dunia swasta, misalnya juga memerlukan penyediaan tanah yang memadai. Akibatnya, persoalan yang dihadapi Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, makin bertambah berat dan rumit.

Guna mengatasi permasalahan pertanahan secara terencana dan terpadu khususnya beban yang dihadapi Direktorat Jenderal Agraria berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, Status Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional.

Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, BPN menjalankan fungsi sebagai berikut: (a) Merumuskan kebijakan

perencanaan penguasaan penggunaan tanah; (b) Merumuskan kebijakan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam UUPA; (c) Melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan; (d) Melaksanakan pengurusan hak-hak tanah dalam rangka memelihara tertib administrasi di bidang pertanahan; (e) Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan; (f) Lain-lain yang ditetapkan oleh Presiden.

Tugas dan fungsi BPN sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 ( Pasal 2 dan 3, khususnya huruf f) itu dapat diketahui bahwa cakupan tugas yang diemban BPN menjadi sangat luas. Hal ini disebabkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan seperti yang diamanatkan UUPA juga berdasarkan peraturan perUndang-Undangan lain yang berkaitan dengan pertanahan serta berdasarkan kebijaksanaan dan ketetapan Presiden.

Pada 1989, Kepala BPN melalui Keputusan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/ Kotamadya menyusun organisasi aparat BPN di daerah. Kepala Kantor Wilayah bertanggung jawab langsung kepada Kepala BPN. Kantor Wilayah BPN di tingkat Provinsi dan Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kotamadya merupakan instansi vertikal dan bertanggung jawab kepada Kepala BPN ini merupakan perwujudan dari asas dekonsentrasi.

Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI jo Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1994 tentang Organisasi dan Tata Kerja Staf Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional menjadikan Kepala BPN sekaligus juga Menteri Negara.

Tahun 1999 sampai dengan 31-5-2003 merupakan masa krisis struktur BPN yang diakibatkan oleh tiga hal. Pertama, reformasi dan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah- an Daerah. Terjadilah perubahan organisasi Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional menjadi Badan Pertanahan Nasional, yang dirangkap oleh Surjadi Soedirdja selaku Menteri Dalam Negeri. Kedua, adanya tarik menarik kekuasaan antara pemerintah pusat dengan daerah, dalam hal kewenangan di bidang pertanahan. Ketiga, Pemerintah dalam hal ini Presiden berpendapat bahwa kebijakan peraturan perUndang-Undangan mengenai pertanahan secara menyeluruh perlu disempurnakan.

Keberadaan BPN ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2000 Tanggal 19-7-2000 tentang Badan Pertanahan Nasional jo. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2000 Tanggal 2-11-2000 tentang Pelaksanaan Tugas- tugas Badan Pertanahan Nasional. Namun pada tanggal 17 September 2000 juga oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Sekretaris Utama BPN telah menerbitkan lagi keputusan yaitu, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 Tanggal 17 September 2000, dan surat Sekretaris Utama Tanggal 23 September 2000. Keputusan Menteri Dalam Negeri ini menjelaskan adanya Dinas Pertanahan. Padahal dari 23 (dua puluh tiga) pasal dari Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ini tidak ada menyebutkan Dinas Pertanahan. Dinas Pertanahan terdapat hanya di dalam lampiran. Akibatnya muncullah berbagai penafsiran yang berlainan yang menyebabkan keadaan yang tidak menentu. Beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia telah membentuk Dinas Pertanahan, termasuk Dinas Pertanahan Kabupaten Garut.

Kemudian terbit Keputusan Presiden yang menyatakan antara lain sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan. Provinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, berlaku Peraturan, Keputusan, Instruksi dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada. Keputusan Presiden ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah yang mengatakan antara lain oleh karena personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen (P3)) tidak diserahkan, maka status Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota, tetap melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang mengenai Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional.

Pada tanggal 17 Mei 2001 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 yang isinya antara lain menyatakan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPN di daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perUndang-Undangan di bidang pertanahan, selambat-lambamya 2 (dua) tahun.

Selanjutnya pada tanggal 13 September 2001, pemerintah mengeluarkan lagi Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa sebagian tugas Pemerintahan yang dilaksanakan BPN di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perUndang-Undangan di bidang pertanahan, selambat-lambatnya 31 Mei 2003. Akibat terjadinya perdebatan dan tarik menarik kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan bahwa organisasi instansi vertikal dan unit pelaksana teknis di daerah yang tidak diserahkan kepada daerah, hendaknya tetap sebagaimana yang berlaku selama ini baik tugas, fungsi, besaran maupun eselonnya sampai ditetapkan kebijakan lebih lanjut terhadap unit organisasi tersebut.

Tanggal 31 Mei 2003 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 mengenai struktur Badan Pertanahan Nasional dimana Badan Pertanahan Nasional masih tetap dipertahankan keberadaannya sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam bidang pertanahan langsung kepada Presiden.

Adapun kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Provinsi meliputi: a. Pemberian ijin lokasi; Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; Penyelesaian sengketa tanah garapan; d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente; f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. pemberian ijin membuka tanah; i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, paling tidak ada 2 (dua) hal yang mendasar dan kontroversi, mengenai struktur pertanahan. Pertama, Pemerintah Daerah telah membentuk Peraturan Daerah mengenai adanya Dinas Pertanahan. Kedua, Pemerintah Pusat masih mengakui adanya Kantor Pertanahan pada tingkat Pemerintahan. Kabupaten/Kota dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi pada tingkat Pemerin- tahan Provinsi.

Demikian juga mengenai dualisme struktur yang ada pada era reformasi. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi, membentuk Dinas Pertanahan akibat dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 tentang, Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam pada itu juga Pemerintah Pusat masih mengakui keberadaan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi pada tingkat Provinsi, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun

2000, tentang Pelaksanaan tugas-tugas BPN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan uraian di atas, nampak tarik-menarik kewenangan organisasi pelaksana urusan pertanahan yang menyebabkan implementasi kebijakan pertanahan tersendat-sendat. Ketidakjelasan kedudukan dan wewenang membuat aparat BPN sebagai motor penggerak implementasi kebijakan pertanahan mengendurkan kegiatannya.

Selama pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto membawa dampak penting di bidang agraria, karena pada periode Orde Baru dengan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik dalam kebijakan- nya lebih menitikberatkan pada aspek pembangunan ekonomi.

Bangunan sistem ekonomi Indonesia pasca Orde Lama bertumpu pada hutang kepada agen-agen donasi internasional seperti World Bank, International Monetary Funds (IMF) dan Consortium Group for Indonesia (CGI). Politik hukum yang tersirat maupun tersurat dalam serangkaian produk peraturan perUndang- Undangan agraria pada kurun waktu Orde Baru dapat ditelaah dari disertasi Moh. Mahfud MD. (1998), yang menyatakan bahwa dalam konteks hukum agraria dapat disimpulkan bahwa karakteristik politik hukum agraria dalam konfigurasi politik otoriter berimplikasi pada kecenderungan produk hukum agraria yang ortodoks/konservatif/ elitis (parsial).

1. Otoritarianisme sebagai jawaban dari gerakan komunis pada dekade akhir pemerintahan Soekarno;

a. Aktualisasinya adalah menjadikan masalah Landreform hanya sebagai masalah teknis yang menjadi urusan Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, dilaksanakan sesuai program dengan tidak melanjutkan strategi agraria; b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA bukan lagi

tanah), sehingga pada akhirnya masing-masing diatur secara sektoral dengan masing-masing departemen;

c. Aturan-aturan yang mendukung strategi politik yang otoritarian dan pembangunan yang berakar faham kapitalisme dikembangkan misalnya: pendaftaran tanah dengan PRONA, Ajudikasi, pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Tanah. Disamping itu dikeluarkan pula Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.

d. Mereorganisasi organisasi masyarakat bawah dengan maksud menghapuskan partisipasi aktif organisasi petani dalam program Landreform dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Peradilan Landreform, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Landreform Penggantian organisasi massa dengan organisasi baru yang unsurnya didominasi oleh birokrasi seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesi (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI); Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di muka, maka dampak yang muncul sebagai akibat dari sistem politik, politik hukum, dan pengaturan di bidang sumber daya agraria adalah:

1. Meningkatnya angka sengketa di bidang sumberdaya agraria yang diawali sekitar tahun 1978/1979 di berbagai wilayah tanah air yang dilakukan oleh rakyat tani

2. Pemicu awal dari usaha-usaha pemisahan daerah di era posta rezim Orde Baru seperti Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Papua,Timor Leste, Riau, dan sebagainya karena ketimpangan pembagian hasil eksploitasi sumberdaya agraria antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Demikian pula sebagai implikasi negatif dari sistem sentralisasi daerah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, yang mengebiri partisipasi masyarakat di pedesaan. (Maria SW. Soemardjono, 1982: 45-46)

Menyadari akan pentingnya keberadaan, keberlanjutan serta relasi antara sumber daya alam dengan bangsa selain individu, di samping degradasi dan konflik atas sumber daya alam. Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 9 November 2001 menetapkan berupa produk hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang pada Pasal 7 dinyatakan secara tegas bahwa:

"Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia".

Walaupun secara kongkrit belum ada suatu wujud peraturan perundangundangan yang dihasilkan atas amanat ketetapan majelis ini, namun di berbagai departemen telah dilakukan langkah-langkah yang berusaha untuk menjabarkan politik hukum yang dimaksud. Namun, dari berbagai departemen yang mengawasi sumber daya agraria dan sumber daya alam, masih belum beranjak dari paradigma lama yakni sektoral dan sentralistik.Tentunya hal demikian kemudian terjadi konflik norma (conflict of norms), misalnya antara Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Demikian pula konflik norma antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan serta masih banyak peraturan perundangan lainnya. Lebih jauh lagi,

terjadi konflik kewenangan/kompetensi antar departemen/lembaga pemerintah non-departemen yang mengelola sumber daya agraria dan sumber daya alam termasuk konflik antara pemerintah pusat dan daerah mengenai pembagian hasil dari eksploitasi sumber daya agraria dan sumber daya alam. Konflik norma dan konflik kewenangan antar departemen maupun pemerintah pusat dan daerah pada gilirannya memunculkan dampak rendahnya kinerja masing-masing departemen dalam menuntaskan upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Konsistensi dan Daya Tanggap

Untuk mengetahui bagaimana dimensi konsistensi dan daya tanggap pada variabel Implementasi Kebijakan Pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang, dapat dilihat pada tabel 4.33.

Berdasarkan tabel 4.33, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi konsistensi dan daya tanggap pada konteks implementasi kebijakan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 68,33%. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval cukup/sedang. Artinya bahwa konsistensi dan daya tanggap pelaksana dari kebijakan pertanahan secara umum cukup. Hal ini ditunjukkan dengan persepsi pelaksana kebijakan yang merasa konsisten dan responsif terhadap kebutuhan sasaran (target group) dan kepentingan stakeholder serta kontrol atas distribusi sumber daya yang cukup.

Tabel 4.34

Tanggapan Responden Terhadap Konsistensi dan Daya Tanggap

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008.

Konsistensi Pelaksana Kebijakan

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa masyarakat kurang memahami kebijakan landreform maupun konsep penegasan hak.

Dari kacamata masyarakat, implementasi kebijakan pertanahan di daerah dianggap belum konsisten, karena setiap pergantian kepala desa pasti ada rencana atau janji untuk mengadakan sertifikasi. Namun realisasinya tidak ada. Baru pada tahun 2007 janji pemerin- tahan desa terealisisir.

Namun ada sebagian yang mengetahui program sertifikasi belum bisa mengikuti program akibat biaya yang dinilai terlalu mahal. Pemerintah dianggap tidak adil dalam menerapkan kebijakan redistribusi karena biaya sertifikasi tanah disamaratakan untuk semua luas lahan. Sehingga memberatkan warga yang hanya memiliki lahan kecil. Di samping itu pemerintah dianggap tidak konsisten karena tidak melakukan kebijakan tersebut secara menyeluruh, tetapi hanya pada orang-orang tertentu saja yang dekat dengan akses ke pemerintahan.

150 348 549 18 4 1066 Maksimum Total Skor

% TOTAL SKOR 1560 68,33 Frekuensi X Skor S K O R TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F % F % F % F % F % F % Konsistensi Pelaksana Kebijakan Responsivitas terhdp Kebutuhan Sasaran Responsivitas terhdp Tekanan Kelompok Kepentingan Kemampuan dalam mengendalikan Pelak- sanaan Kebijakan 7 10 10 3 8,97 12,82 12,82 3,85 25 18 22 22 32,05 23,08 28,21 28,21 40 48 43 51 51,28 61,54 55,13 65,38 2 2 3 2 2,56 2,56 3,85 2,56 4 0 0 0 5,13 0,00 0,00 0,00 78 78 78 78 100 100 100 100 KONSISTENSI DAN DAYA TANGGAP

Tidak ada tindak lanjut dari pemerintah mengenai penegasan hak tanah untuk petani. Harusnya penegasan atau pengukuhan hak tanah itu dilakukan secara merata (tidak hanya sebagian). Dan harus ada tindak lanjut melalui pengawasan yang konsisten dari pemerintah untuk jalannya kebijakan ini. Sehingga kebijakan ini dapat berjalan secara terus-menerus dan dapat dirasakan secara merata oleh semua penduduk

Namun demikian, masyarakat mendukung dan menyambut baik kebijakan redistribusi tanah, karena melaluinya bisa memperjelas atau memberikan kekuatan hukum pada tanah yang dimiliki.

Responsivitas Terhadap Kebutuhan Target Group

Pada dasarnya informan beranggapan bahwa responsivitas pemerintah cukup baik karena dengan adanya program reforma agraria mereka dapat memperoleh sertifikat dengan cepat dan murah. Kelemahannya adalah kurang pengendalian dan aksesibilitas para petani, di Garut terutama terkait dengan pencemaran lahan dan lingkungan oleh PT Chevron. Akses irigasi yang masih sangat kurang terutama di musim kemarau dimana air untuk menyiram tanaman dari mata air habis tersedot PT. Chevron sehingga tanah mereka kekeringan.

Struktur Pemilikan Tanah

Untuk mengetahui bagaimana dimensi struktur pemilikan tanah pada variabel struktur penguasaan tanah menurut tanggapan responden, berikut ini ditampilkan tabel sebagai berikut:

Tabel 4.35

Tanggapan Responden Terhadap Struktur Pemilikan Tanah

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008.

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai persentase rata-rata tanggapan responden untuk dimensi penguasaan asset tanah pada struktur penguasaan pertanahan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang sebesar 63,33 %. Jika nilai ini dirujuk pada tabel kritik berada pada interval cukup/sedang. Artinya bahwa struktur penguasaan asset tanah di Kabupaten Garut dan Kabupaten Subang secara umum cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan sebaran pemilikan tanah per kelompok Rumah Tangga Pertanian yang cukup merata, proporsi penguasaan tanah oleh orang luar (abstentee) yang tidak dominan dan intensitas pemanfaatan lahan yang cukup optimal serta aksesibilitas yang cukup untuk memperoleh tanah.

Tanah di Desa Padaawas merupakan hasil dari program landreform yang dilakukan pemerintah di tahun 70'an. Pada jaman penjajahan sebelum tahun 1945an tanah di Desa Padaawas merupakan perkebunan kina milik Belanda. Hingga sekarang terdapat tanah-tanah yang dinamai sesuai pemiliknya pada jaman dahulu,

215 284 336 134 19 988 Maksimum Total Skor

% Total Skor 1560 63,33 Frekuensi X Skor S K O R TOTAL SKOR 5 4 3 2 1 F % F % F % F % F % F % Proporsi Pemilikan Tanah per Kelompok Rumah Tangga Pertanian Proporsi Pemilikan Tanah oleh Pihak Luar Intensitas Pemanfaat- an Lahan Aksesibilitas Penguasaan Tanah 5 9 17 12 6,41 11,54 21,79 15,38 37 15 11 8 47,44 19,23 14,10 10,26 27 31 14 40 34,62 39,74 17,95 51,28 9 10 33 15 11,54 12,82 42,31 19,23 0 13 3 3 0,00 16,67 3,85 3,85 78 78 78 78 100 100 100 100 STRUKTUR PENGUASAAN ASSET TANAH

misalnya Tuan Barera (Belanda), Tuan Liong dan Tuan Ona (Jepang/Cina).

Namun pada perkembangannya, setelah jaman kemerdekaan dan Belanda pergi dari tanah air, perkebunan kina tersebut tidak ada yang mengelola sehingga kemudian tanah-tanah itu digarap dan dikuasai oleh masyarakat dan digunakan sebagai perkebunan. Menurut H. Atang, orang tuanya sempat menanam tembakau, hingga kemudian pak Atang memperkenalkan tanaman kentang pada tahun 80'an yang menjadi tanaman komoditas unggulan di daerah ini. Petani lainnya menanam sesuai dengan kemampuan modal yang dimiliki. Di samping tanah yang dikuasai orang Belanda, pada jaman itu tidak semua lahan di Desa dikuasai Belanda terdapat lahan yang memang dari awal dikuasai masyarakat pribumi yang disebut tanah milik katurunan/warisan.

Pada saat lahan telah dikuasai masyarakat pribumi, perkebunan kina mulai dibuka untuk dijadikan lahan pertanian oleh masyarakat. Setelah beberapa lama akhirnya masyarakat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mendapatkan hak milik atas tanah perkebunan tersebut dan pemerintah menyetujui dengan memberikan warga satu SK/warga (1 SK sama dengan 100-200 tumbak tergantung lokasi yang berdekatan dengan akses jalan, semakin dekat jalan semakin sempit) dan masyarakat saat itu harus menebus SK-SK tersebut dengan Harga Rp.7000,00/SK. Dengan harga tersebut banyak masyarakat yang tidak menebus SK dan mendapatkan tanah tersebut karena tidak sanggup membayar uang tebusan dan dibatasi oleh waktu yakni dalam jangka 2 hari sejak pembagian. Ada juga yang tidak mendapatkan karena lahannya/ SK-nya telah habis. Selain itu, ada juga masyarakat yang tidak berminat menebus SK karena pada saat itu tanah tersebut dianggap tidak memiliki fungsi yang baik sehingga tidak diperlukan.

Saat itu pembagian tanah dikoordinir oleh warga yang

Dokumen terkait