• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

D. Analisis Penulis

Dari penjelasan di atas, menurut penulis hal yang menarik untuk dianalisis, ialah: Soal larangan perkawinan satu marga, apabila perkawinan tersebut sudah dilangsungkan apakah dapat mempengaruhi sah tidaknya suatu perkawinan?

Untuk membahas hal tersebut, sesuai dengan penjelasan yang sudah tertera diatas, baik mengunakan Perspektif Hukum Islam, sudah sangat jelas bahwa tidak ditemukan pelarangan perkawinan satu marga.

29

Menurut penulis bila seorang menghalangi dua insan yang semarga dan saling mencintai untuk melakukan perkawinan karena hanya larangan adat, tetapi apabila ini tidak dilarang maka Hukum adat atau aturan adat itu akan hilang karena tidak ada lagi yang melestarikan adatistiadat yang berlaku di desa tersebut.

Bahkan bagi seorang ibu sekalipun tidak boleh menghalang-halangi anak perempuannya untuk menikah, apabila memang sudah saatnya untuk menikah. Karena banyak hal yang dikhawatirkan, misalnya terjadi perbuatan yang melanggar agama, bahkan bisa dihukumkan haram.

Maka perkawinan satu marga tidak lah mempengaruhi terhadap sah atau tidaknya suatu perkawinan. Karena itu tidak menjadi persyaratan, dalam adat sendiri larangan tersebut tidak sampai menjadi sesuatu yang menyebabkan sah tidaknya perkawinan itu.

Adapun pandangan dari penulis, silaturrahmi dan kentalnya kekerabatan di kalangan masyarakat Huta Pungkut adalah hal yang menjadi landasan dilarangnya perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut, alasan larangan tersebut ialah, ditakutkan rusaknya hubungan silaturrahmi antara anak boru, mora dan kahanggi, sehingga tujuan dari

Dalian Na Tolu tidak dapat dicapai yaitu songon si ala sampagul molo magulang rap marguling, malamun rap lalu ataupun salluppat saindege30, (kalau teman lagi senang kita ikut senang, kalau teman lagi susah kita ikut merasakan atau se iya se kata). Adapun dalam setiap acara apapun Dalian

30

Na Tolu selalu telibat didalamnya,karena semua keputusan keluarga itu ada ditangan Dalian Na Tolu.

Adanya sanksi disini menurut penulis hanyalah sebuah penghargaan kepada aturan adat dan agar orang tidak mudah untuk melaksanakan perkawinan satu marga tersebut, dan mengapa masyarakat Huta Pungkut sangat kental dengan tutur Mandailing (hukuman moral) karena sanksi tersebut sudah pasti ada yang menjalankan hukuman tersebut. Sedangan sanksi atau hukuman agama itu hubungan antara manusia dan Allah.

Bicara masalah “adat” yang melarang perkawinan satu marga,

penulis mencoba menggunakan salah satu metode ijtihad yang dijadika ulama intrumen untuk mengistinbath hukum. Adapun kaidah yang digunakan atau berkaitan dengan itu ialah:

ةمكحم ةداعلا

Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum31

Alasan ulama mengunakan (penerimaan) mereka terhadap adat tersebut adalah berdasarkan kepada hadist yang berasal dari Abdullah bin

Mas’ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, ialah:32

وهف ا سح وملسملا ار ام

نسح ها د ع

Apa yang dipandang ummat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka hal tersebut disisi Allah baik

31

Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqiyah, h.94

32

Menurut penulis dengan menggunakan kaidah tersebut, tidak semua praktek larangan perkawinan satu marga tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan syara’. Bagi penulis larangan disini mengandung

kemaslahatan buat hubungan persaudaraan dan keluarga nantinya. Karena pada dasarnya perkawinan itu bukan hanya kepentingan suami istri saja, tapi lebih dari itu. Jangan sampai dengan adanya perkawinan menyebabkan retaknya gubunga di dalam bermasyarakat. Khususnya di dalam Dalian Na Tolu.

103

A. Kesimpulan

Alasan yang mendasari perkawinan satu marga dilarang dalam adat masyarakat Mandailing di desa Huta Pungkut adalah: (a) hubungan kekerabatan secara umum adalah ayah, ibu dan anak, lalu kakek, nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namaun pada masyarakat Huta Pungkut kekerabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain diluar ikatan sedarah yang secara umum disebut dengan Dalian Na Tolu , (b) menjaga

partuturan Adat Batak dan Mandailing sangat kental dengan partuturon. Tutur merupakan kata kunci dari kekerabatan dalam masyarakat Huta Pungkut, kata tutur itu pula yang akan mementukan posisi orang dalam jaringan Dalian Na Tolu , (c) peranan tutur adat

Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan sedarah, dan perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan

semarga adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bermarga sama (lubis dengan lubis ataupun marga yang lain dengan marga yang sama dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri masyarakat Huta Pungkut. Setiap masyarakat wajib berbuat atau bertindak sesuasi dengan aturan adat yang didasarkan oleh dailan na tolu termasuk dalam penyenggaraan upacara adat seperti acara kelahiran, perkawinan, kematian dan selainnya.

1. Tradisi perkawinan adat Huta Pungkut adalah: yang pertama, memastikan kata-kata si anak (lamaran), kedua, membicarakan tentang mahar yang disepakati kedua belah pihak, ketiga, memberikan mahar, keempat, menikah, kelima, memberikan nasehat dari para sesepuh, keenam doa selamat dan yang terakhir serah terima.

2. Dalam al Qur’an tidak terdapat ayat yang mengharamkan Perkawinan

satu marga atau perkawinan antar sepupu dan ini berarti keturunan dari saudara kandung dari pihak ayah maupun ibu yaitu tidak termasuk mahram. Dengan demikian seseorang boleh dan sah menikahi dengan adik atau kakak sepupu.

Adapun mahram dalam fiqh dan semarga dalam adat ialah , Anak perempuan dan termasuk didalamnya cucu perempuan sampai kebawahnya. Dikarenakan garis keturunan yang bersifat patriliniel dalam adat Mandailing, maka secara otomatis marga pun ditentukan oleh pihak ayah, misalnya ayah bermarga Lubis, maka anak-anaknya pun bermarga Lubis.

B. Saran

Karena pernikahan bukan hanya urusan individual semata, tetapi berkaitan dengan kedua pihak keluarga dan orang-orang disekitarnya, maka demi tercapainya apa yang menjadi tujuan pernikahan sebgai pembentukan keluarga sakinah mawaddah warahmah, sehingga melahirkan masyarakat yang madani, penulis memaparkan beberapa saran yang berdasarkan penelitian yang penulis lakukan.

1) Hendaknya orang tua yang mau menikahi anaknya melihat dari segi kekerabatan dan apabila tidak adanya hubungan keluarga yang seknifikan walaupun satu marga itu tidak apa-apa karena si laki-laki dan si perempuan beda nasabnya.

2) Untuk para Tokoh Adat dan Ulama mengkaji lebih dalam dan lebih teliti lagi dalam memutuskan apakah perkawinan itu boleh dilaksanakan atau tidak, dilahat dari tutur mandailing, kekerabatannya. Di zaman sekarang misalnya seorang laki-laki bermarga Lubis merantau ke Jakarta, dan di Jakarta bertemu perempuan yang marganya sama Lubis, dan ditelusuri berdasarkan garis keturunan tidak menemui titik kekerabatan diantara keduanya. Jadi para tokoh adat dan ulama jangan terfokus pada masalah semarganya saja.

106 Prenada Media Group, 2008

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,1995

Ahamad Surdirman Abbas , Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Mazhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,2006

al- ‘Asqalani, Hafidz bin Hajar, Buluq al-Maram,ttp. : Syirkah al-Nur Asiya, t.t

Al-Istranbuli, Mahmud Mahdi, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999

Al-Qur’an dan Terjemah

al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, Damaskus: Dar al-Fikr, 2007

As- Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010

As- Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010

Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama,2006

Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2008 Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2003 Hadeli , metode penelitian, Padang: Baitul Hikmah, 2001

Hadi, Sutrisno, Metodelogi Resreach, Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, PT. Citra Aditya

Bakti, 1990

Hajjaj, Abi Husein Muslim Ibnu, Shaheh Mulsim Jilid 2, Kairo: Dar al-Ihya,1918 Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang

Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978

Harahap, Basyaral Hamidy dan Nalom Siahaan, nilai-nilai Budaya Batak Toba, Mandailing dan Angkalo, Bandung : Pustaka 1982

Harahap, Basyral Hamdi, madina yang madani, Jakarta: PT. Metro Pos,2004 Heffener, Linda J. dan Danny J. Sechust, At a Glance Sistem Reproduksi, edisi

kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006

Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, Ciputat: UIN Jakarat Press,2007

L. P. Hasibuan gelar Patuan Daulat Baginda Nalobi, Pangupa Buku Nenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Berisi Falsafah Hidup, Medan: Horas Tondi Madingin, Pir Tondi Matugo, 1989

L.S. Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, Jakarta: ttp, 1987

Lubis Sutan Baringin, Hobaran Adat Jamita, Medan: CV. Media Persada, 2010 Marzuki, Peter Muhammad, Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Prenada Media

Group, 2008

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, cet. ke-9 Muhalli, Ahmad Mudjab, dan Ahmad Rodhi Hasbullah, Hadits-hadits Muttafaq

‘Alaih, Jakarta: Prenada Media, 2002

Muhammad Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.1994

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2008, cet 23

Mujieb, M.Abdul, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994

Musbikin Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan

Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarat: Prenada Media, 2004

Ramulyo Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1947 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Sa’id al-Bakri bin Assaid Muhammad Syatho Addimyati al-Misri, Hasyi’ah

i’anatut Thalibin, Singapura: Dar al-Thiba’ah al-Misriyah,tt), juz 3 Sabiq, Sayyid, fiqh Sunnah, Kuwait: Dar al-Bayan, 1986

Sahlany, Mualifah, Perkawinan dan Problematikanya, Yogyakarta: Sumbangsi Offset, 1991

Sholeh, Asruron Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Graha Pramuda, Juni 2008

Shomad, DR.ABD.Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, januari 2010 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan

(Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet ke-4, Yogyakarta: Liberti, 1999

Sudjana, Nana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, Bandung: Sinar baru aldesindo,2003

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Surakhmad, Winarno, pengantar penelitian ilmiah dasar metode dan teknik, Bandung: Tarsito,1994

Syakur, Rahman, Fikih Kita di Masyarakat, antara Teori dan Praktek, Pasuruan: Pustaka Pesantren Sidogiri, tt

Syarifuddin Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media Group, 2011 Undang-undang No. 1Tahun 1974 yang mengatur tentang Perkawinan. Lebih

lanjut, lihat Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta,1994

2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut? 3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan

satu marga?

4. Bagaimana pandangan Islam terhadap aturan adat tentang larangan perkawinan satu marga?

29 Juli 2014

1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga?

Jawaban: Jadi adat Ulu pungkut dalam perkawinan satu marga memang tidak boleh melangsungkan perkawinan satu marga, alasannya pertama merusak tatanan partuturan sebab dalam adat Ulu Pungkut itu namanya Dalian na tolu harus tetap berdiri, 1 kahanggi 2 mora dan 3 anak boru.

Jadi ketiganya itu unsurnya dari marga yang berlainan maka anak boru itu yang mengambil dari mora sebagai istrinya dan kahanggi yang menjadi temannya dalam bermusyawarah, sama-sama mufakat dalam sesuatu. Ini tidak boleh ditukar-tukar dan di adat ini dimana yang dijulu dan dimana yang dihilir dan yang di tengah-tengah, jadi yang hilir tidak boleh di julu inilah harus dijaga disusun marga. Seumpamanya lubis maka ia harus menikah dengan marga batu bara atau nasution.

Jadi mana itu dirusak susunan partuturan tutur Ulu Pungkut maka adat Ulu Pungkut tidak meladeni secara adat orang yang menikah satu marga tetapi dihurupi ia dengan agama sebab agama itu luas untuk kepentingan umat Islam tergolong sedunia sedangkan aturan adat itu hanya tatanan masyarakat yang lebih dikit atau dalam ruang lingkup yang tidak luas, aturan adat ini jika dijalankan tidak bersalahan dengan agama. Namun apabila keduanya berjalan dengan baik itu akan lebih baik lagi

tolu itu jangan sempat mora menjadi anak boru dan kahanggi menjadi mora karena akan merusak aturan tatanan Mandailing. Sedapat mungkin itu harus tetap dijaga dan diatur sampai terakhir kalinya. Tatanan partuturan itu sendiri terdiri dari orang tua (ayah ibu), abang kakak, tulang nantukang, amamng boru, kakek nenek, uda nanguda, uwak, uwak tobang bou atau namboru, dan eda. 3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu

marga?

Jawabannya: orang yang melakukan perkawinan satu marga dihukum dengan hukuman adat yang berlaku, adat yang diperlakukan adalah sesuai dengan kedekatan hubungan kedua pihak yang mengawinkan anaknya, dan seiring dengan perkembangan zaman adat yang diberlakukan pun mengalami perubahan.

Diasingkan pada zaman dulu sanksi ini ada bagi mereka yang melakukan perkawinan satu marga, diasingkan dari desa mereka atau diusir dari kediamannya. Maka dirumah adat ada gambar pahabang manuk na bontar (menerbangkan ayam putih), maksud dari gambar tersebut ialah walaupun ia diusir atau diasingkan tetap diberikan bekal dan diberikan nasehat agar suatu saat dia bisa menyadari akan kesalahannya dan ini hanya sekedar hukuman adat. Disini juga kenapa ayam putih dijadikan symbolnya karena walaupun dia ditempatkan ditempat yang gelap sekalipun akan tetap kelihatan itu maksud dari pahabang manuk na bontar.

Jawabannya: Islam itu luas untuk cakupan seluruh umat namun pandangan desa Ulu Pungkut tidak pengganggu aturan Islam itu sendiri, memang kalau bisa keduanya berjalan dengan baik itu belih bagus, itu menurut kami. Jadi kalau agama tidak ada pandangan kerena agama untuk segala suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia.

Ulu Pungkut, 29 Juli 2014

Erliyanti Lubis Sultan Baringin Lubis

29 Juli 2014

1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga?

Jawabannya: perkawinan satu marga itu tidak boleh sebab secara perasahan ibu lubis, anak lubis, dan yang diambil lubis sedikit banyak ada perasaan tidak enak, kedua sebab partuturan mandailing menurut jalur marga, haruna pepatah mandailing mandokon manurut jalur marga holongi marga partuturan.

Hubungan kerabat yang dimaksud secara umum adalah ayah, ibu dan anak, lalu kakek, nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namun pada masyarakat Ulu Pungkut kekerabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain diluar ikatan darah. Dalam adat mandailing ini disebut dengan sistem Dalian na tolu yang secara je;as harus tetap berdiri dan membuka hubungan kerabat dengan keluarga lain diluar ikatan darah yang disebabkan perkawinan. Dalian na tolu itu terdiri dari kahanggi, mora, dan anak boru.

2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut?

Jawabannya: 1. sebab merusak tata cara adat mandailing, 2 satu marga itu merusak tata cara tutur mandailing. Perkawinan satu marga dilarang alasannya karena akan merusak tata cara adat Ulu Pungkut, dan satu marga itu akan merusak tata cara tutur mandailing (Ulu Pungkut). Maka jangan sampai

3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu marga?

Jawabannya: Hukum adat atau sanksi bagi mereka yang melakukan perkawinan satu marga yaitu disirang mangolu, maksudnya adalah diceraikan oleh pihak hatobangon sa huta, hukuman disirang diberlakukan kepada orang yang melakukan perkawinan satu marga, sementara asal-usul kekerabatan masih dekat. Pemberlakuan hukuman adat ini pada saat ini sudah tidak dilakukan karena sebagian tokoh agama maupun adat yang sudah banyak mengetahu tentang ajaran agama Islam dalam hal perkawinan.

Saat ini hukuman yang masih berlaku di adat Ulu Pungkut adalah tidak bolehnya dia duduk dalam acara adat, tidak boleh mengasih solusi atau berbicara dalam forum adat, dan dalam sidang adat tidak ada kedudukan bagi orang yang menikah satu marga. Kecuali mereka hanya bisa datang dalam acara pesta dan makan-makan saja.

4. Bagaimana pandangan Islam terhadap aturan adat tentang larangan perkawinan satu marga?

Jawabannya: Dalam Islam tidak ada masalah bukan agama menentang, tetapi adat yang menentang.

Ulu Pungkut, 29 Juli 2014

Erliyanti Lubis M. Yahya Lubis

1. Bagaimana aturan adat Ulu Pungkut terhadap perkawinan satu marga?

Jawabannya: saya tidak tau banyak tentang hal tersebut karena sudah jarang sekali tokoh adat atau para sesepuh yang memberi tau tentang sejarah atau aturan adat tentang perkawinan satu marga. Setau saya itu dilarang.

2. Apa latar belakang perkawinan satu marga itu dilarang di Ulu Pungkut?

Jawabannya: Karena sejak dulu perkawinan satu marga itu dilarang disebabkan akan merusak peranan tutur adat dan tata cara adat itu sendiri. Seperti Dalian na tolu.

3. Apakah ada sanksi hukuman adat apabila melanggar aturan perkawinan satu marga?

Jawabannya: saya kurang tau tentang sanksi hukuman adatnya apa.

Ulu Pungkut, 30 Juli 2014

Erliyanti Lubis Darwis Batu bara

25, Juli 2014

1. Jumlah keseluruhan penduduk desa Ulu Pungkut ini?

Jawabannya: Menurut data sensus penduduk pada tahun 2014, penduduk desa Ulu Pungkut berjumlah 950 jiwa, yang terdiri dari 400 laki-laki dan 550 jiwa perempuan dengan jumlah kk sebanyak 150.

2. Apa agama yang diatut oleh masyarakat, dan seberapa presentasinya?

Jawabannya: Dilihat dari segi keagamaan penduduk desa Ulu Pungkut 100% beragama Islam, dan hampir dipastikan belum ada warga yang menganut agama selain agama Islam. Dan di dalam Desa tidak ada orang asing atau orang dari suku lain selain orang-orang Mandailing

3. Bagaimana tingkat pendidikan didesa Ulu Pungkut, tolong bapak berikan gambaran?

Jawabannya: Secara umum masyarakat desa Ulu Pungkut masih tergolong sangat ketinggalan bila dilihat dari segi pendidikan. Dalam berbagai tingkatan, baik tinggat perguruan tinggi maupun ditingkat sekolah menengah atas. Sungguh ironis bila melihat kondisi tersebut. SD 140 orang, SMP 50 orang, SMA atau SMK 35 orang dan yang Kuliah 10 orang.

tersedia hampir 80% petani, meliputi perkebunan dan persawahan.

Ulu Pungkut, 25 Juli 2014

Erliyanti Lubis Koji Batu bara