• Tidak ada hasil yang ditemukan

Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan Ulama dan Tokoh Adat, desa Huta Pungkut

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

B. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan Ulama dan Tokoh Adat, desa Huta Pungkut

a. Menurut Pandangan Ulama dan Tokoh adat desa Huta Pungkut

Masyarakat batak pada umumnya dan masyarakat Huta Pungkut pada khususnya mengatut paham perkawinan eksogami dengan patriarkhat, yang mengharuskan perkawinan dengan beda marga, dengan kata lain perkawinan merupakan hal yang tabu apabila seseorang kawin dengan se-marga dengannya.6

6

Banyak kita mendengar seseorang mengunakan marganya sebagai satu pengaruh terhadap orang lain karena marga memiliki suatu pengaruh yang amat sangat terhadap sistem kekerabatan

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan tokoh adat dan tokoh agama yang ada di wilayah Huta Pungkut, maka dapat dipahami bahwa alasan yang mendasar larangan perkawinan semarga adalah: a) Hubungan Kerabat

Yang dimaksud dengan hubungan kerabat secara umum adalah ayah, ibu dan anak, lalu kakek, nenek, saudara ayah dan saudara ibu. Namaun pada masyarakat Huta Pungkut kekrabatan itu lebih luas lagi dengan keluarga lain diluar ikatan sedarah. Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan

yang dihubungkan dengan Dailan Na Tolu. Dan hal ini lah yang dijadikan suatu kekuatan politik di Negara kita ini. (Sutan Baringin Lubis, wawancara: 29 Juli 2014).

dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat Kekerabatan pada masyarakat Huta Pungkut memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali

persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Hubungan kerabat itu dalam adat mandailing secara umum disebut dengan sistem Dalian Na Tolu yang secara jelas harus tetap berdiri dan membuka hubungan kekerabatan dengan keluarga lain diluar ikatan darah yang disebabkan perkawinan. Dalian Na Tolu itu terdiri dari kaanggi, kedua mora, ketiga anak boru, dimana anak boru itulah yang mengambil atau dibuat dari mora sebagai istrinya, dan kaanggi ialah teman atau orang yang bisa diajak untuk bermusyawarah dan bermufakat atas segala hal.7

Jadi dari ketiganya itu tidak ada yang boleh untuk ditukar-tukar, diadat Huta Pungkut ini dimana yang dihulu dan dimana yang di hilir dan ditengah-tengah itu tidak boleh ditukar-tukar. Sebab secara perasaan itu ayah lubis anak lubis yang di ambil lubis sedikit banyaknya itu ada perasaan tidak enak di dalam hati. Maka yang dibolehkan dalam adat adalah ayah lubis anak lubis yang di ambil boleh dari marga lain seperti nasution, batu bara siregar ataupun yang lainnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa alasan yang mendasari kenapa perkawinan satu marga itu dilarang di adat Huta Pungkut karena kekerabatan, atau yang lebih popurernya karena

dongan sabutuho (saudara kandung).

7

b) Untuk menjaga Partuturon8

Adat Batak dan Mandailing sangat kental dengan Partuturon.

Tutur merupakan kata kunci dari kekerabatan dalam masyarakat Huta Pungkut, kata tutur itu pula yang akan mementukan posisi orang dalam jaringan Dalian Na Tolu.

Disini setiap seseorang betemu dengan sesame alak hita, maka ucapan yang pertama kali keluar adalah pertanyaan dan jawaban tentang marga masing-masing. Dan dari itulah orang tersebut tahu tutur yang tepat, dan kebiasan inilah yang disebut

tarombo.

Adapun tatanan partuturan Huta Pungkut sebagaimana yang disebutkan oleh Sutan Baringin Lubis:

a) Amang (ayah) dan Inang/uma(ibu), keduanya istilah yang digunakan oleh anak menyapa orang tua mereka, dan orang tua mereka meyapa amang dan inang kepada anaknya

b) Abang dan kakak pangilan yang lebih kecil kepada yang lebih besar, dan panggilan yang tua untuk yang lebih kecil dengan anggi (adik), sedangkan perempuan memangil saudara dengan ito atau iboto

c) Tulang dan nantulang, tulang itu pangilan kepada saudara ibu dan nantulang itu sendiri sebutan untuk istrinya. Adapun kepada

8

Partuturon, berasal dari kata tutur, yaitu istilah sapaan yang dipakai ketika akan menyapa orang lain.

orang yang memanggil tulang sang tulang dan nantulang memanggilnya dengan bere atau babere

d) Amang boru, ialah pangilang seorang istri kepada orang tua suaminya, dan saudara ayah, adapun terhadap ibu suami dan istri saudara ayah istri memanggil namboru

e) Ompung atau oppung(kakek-nenek) pangilan untuk kedua orang tua dari ayah dan ibu, sebaliknya mereka akan memanggil pahoppu (cucu)

f) Uda dan nanguda, pangilan kepada saudara kecil ayah dan istrinya dipangil nanguda

g) Uwak dan uwak tobang, panggilan kepada saudara ayah yang lebih besar

h) Bou atau namboru panggilan kepada saudari ayah, dan kepada suaminya memanggil amang boru

i) Eda panggilan seorang istri kepada saudari suami dan sebaliknya9

Perkawinan satu marga dilarang alasannya karena akan merusak tata cara adat Huta pungkut, dan satu marga itu akan merusak tata cara tutur Mandailing (Huta pungkut). Maka dari itu jangan sampai yang kahanggi menjadi mora, mora menjadi anak boru, dan anak boru menjadi kahanggi10. Atau yang hulu ke hilir yang hilir ke hulu, jadi adat kita sangat menjaga susunan peradatan

9

Sultan Baringin Lubis (tokoh adat) (wawancara: 29 Juli 2014).

10

tutur Huta Pungkut, dan sedapat mungkin akan terus dijaga dan dijalankan aturan dalam tatanan mandailing.

Adapun hasil dari wawancara dengan salah satu masyarakat desa yang mengatakan hampir sama dengan tokoh adat dan tokoh agama yaitu Perkawinan satu marga itu tidak boleh dan dilarang sejak dulu sebab akan merusak peranan tutur adat dan tata cara adat itu sendiri. Pepatah Mandailing mandokon manurut jalur margai ngolongi margai partuturon, satu margai marusak tata cara adat dan tutur adat yang disebut dengan Dalian Na Tolu.11

Dari penjelasan diatas dapat ditangkap bahwa pemeliharaan partuturan sebagai alasan dilarangnya perkawinan satu marga dalam adat Huta Pungkut.

Sanksi Adat terhadap Perkawinan Satu Marga Pada Masyarakat Huta Pungkut. Adapun dalam hal Perkawinan, Masyarakat Huta Pungkut mengenal Setidaknya dua jenis Perkawinan yang dilarangan, yaitu:

a. Kawin Sumbang, yaitu seseorang yang menikah dnegan satu

marga, misalnya si A (laki-laki) bermarga silegar, dan si B (perempuan) bermarga sama dengan si A yaitu silegar dan mereka melakukan perkawinan maka itu disebut kawin sumbang b. Kawin Pabalik Hudon, yang dimaksud adalah laki-laki mengawini seorang perempuan, tapi perempuan itu anak

11

namborunya, atau dengan istilah lain seorang perempuan yang mengawini anak tulangnya.12

Perkawinan sattu marga dalam adat Mandailing merupakan perkawinan yang tabu dan masu dalam katagori perkawinan yang dilarang, namun walaupun dia merupakan perkawinan yang dilarang terhadap beberapa di antara anggota masyarakatyang melanggar

aturan ini sehingga mereka disebut dengan “Na So Mamboto Adat

atau orang yang tidak tahu dengan adat istiadat serta sopan santun. Orang yang melangsungkan perkawinan satu marga dihukum dengan hukuman adat yang berlaku, adat yang diperlakukan adalah sesuai dengan kedekatan hubungan kekeluargaan kedua pihak yang mengawinkan anaknya, dan seiring dengan perkembangan zaman adat yang diberlakukan pun mengalami perbubahan, adapun bentuk-bentuk hukuman adat yang diberikan terhadap orang yang melakukan perkawinan satu marga adalah13:

1. Disirang Mangolu (dicerikan)

Maksudnya adalah diceraikan oleh pihak hatobangon sa huta, hukuman disirang diberlakukan kepada orang yang melakukan perkawinan satu marga, sementara asal-usul kekerabatan masih dekat.pemberlakuan hukuman adat ini pada saat ini sudah tidak dilakukan karena sebagian tokoh agama

12

L.S. Diapari gelar Patuan Naga Humala Parlindungan, Perkembangan Adat Istiadat Masyarakat Suku Batak Tapanuli Selatan Suatu Tinjauan, (Jakarta: ttp, 1987), h.128.

13

maupun adat yang sudah banyak mengetahui tentang ajaran agama Islam dalam hal Perkawinan14.

Adapun pepatah atau ungkapan dalam adat Huta Pungkut

sebagai berikut “Na hancit ma antong naso markula dongan,

suada dongan tu si martulo, na hancit ma antong na mambuat dongan samargai dongan, ruhut ni adat angkon disirang mangolu15

2. Diasingkan

Dulu ada sanksi ini bagi mereka yang melakukan perkawinan satu marga yaitu diasingkan dari desa mereka atau juga diusir dari kediamannya. Maka dirumah adat ada gambar pahabang manuk na bontar (ayam putih), maksud dari gambar tersebut ialah walaupun dia diusir atau diasingkan tetap diberikan bekal dan diberi nasehat agar suatu saat dia bisa menyadari kesalahannya dan ini hanya sekedar hukuman adat. Disini juga kenapa ayam putih menjadi simbolnya karena walupun dia ditempat gelap sekalipun akan tetap kelihatan itu maksud dari pahabang manuk nabontar.16

Saat ini hukuman yang masih berlaku di adat Huta Pungkut adalah tidak bolehnya dia duduk dalam acara adat, tidak boleh mengasih solusi atau berbicara dalam forum adat, dan dalam

14

M. Yahya Lubis (wawancara : 29 Juli 2014).

15

Maksud dari ungkapan diatas adalah alangkah sakitnya kawin dengan satu marga, gara-gara adat harus diceraikan diwaktu masih sama-sama hidup.

16

sidang adat tidak ada kedudukan bagi orang yang menikah satu marga. Kecuali mereka hanya bisa datang dalam acara pesta dan makan-makan saja17.

Menurut penulis ada beberapa faktor terjadinya perubahan adat terhadap yang melemah dalam hukuman adat, yaitu berkembangnya pola piker masyarakat, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap perinsip pokok dan tujuan diberlakukan sanksi adat, kurangnya minat masyarakat terhapat adat dianggap menghalangi perkembanagan, dan yang terakhir adalah tempat yaitu semakin majunya teknologi dan informasi di sebuah tempat turut serta memberikan pengaruh terhadap keruntuhan adat, misalnya eksistensi adat di perdesaan dan perkotaan itu berbeda.