• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia adalah Negara majemuk yang didalamnya terdapat bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Oleh karena itu, adanya peraturan yang mengatur kepentingan masing-masing warga sangatlah penting terutama dalam masalah perkawinan25. Sebagaimana yang dibuat dalam Undang-undang perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya26. Sedangkan perkawinan yang syah menurut hukum Islam adalah yang dilakukan dan telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Sebab, dalam Islam perkawinan bukanlah semata-mata sebagai kontrak perdata saja atau sekedar penghalalan zakar, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.

Rukun itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)27, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Dan pengertian syarat itu sendiri sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian

25

Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa Perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

28

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 538.

27

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: kencana prenada media group, 2006), cet ke-2, h. 45.

pekerjaan itu, seperti mahar. Atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam28.

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, dikalangan para ulama berbeda pendapat diantaranya, menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat yaitu, (1) sighah (ijab dan qabul), (2) calon suami, (3) calon isti dan (4) wali. Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) istri (suami dan istri ini di syaratkan bebas dari masa iddah atau sedang ihram) dan (5)

sighah29.

Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalanganan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam memahami fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan: akad perkawinan,laki-laki dan perempuan yang akan nikah, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.

Ulama Hanafiyah melihat perkawinan dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi rukun dalam perkawinan dari Hanafiyah adalah akad nikah

28

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet ke-2, h. 46.

29

Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.14.

yang dilangsungkan oleh dua belah pihak, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan dalam syarat perkawinan30. Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada:

a. Syuruth al-in’iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung kepada akad, maka syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri. Bila syarat-syarat itu tertinggal, maka akad perkawinan dipastikan batal.

b. Syuruth al-shihhah, sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat harus dipenuhi untuk menimbulkan sebab akibat hukum, apabila tidak dipenuhi syarat tersebut maka tidak sah perkawinan tersebut, seperti adanya mahar dalam suatu perkawinan. c. Syuruth al-nufuz, menentukan suatau kelangsungan perkawinan.

Adanya akbiat hukum setalah berlangsungnya dan syahnya suatu perkawinan tergantung dengan syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka menyebabkan fasad-nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk itu.

d. Syuruth al-luzum, syarat yang menetukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepada kelanjutan berlangsungnya suatu

30

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 59.

perkawinan sehingga tidak dapat dibatalkan. Seperti calon suami

sekufu dengan istrinya31.

Menurut ulama Syafi’iyah32

yang dimaksud dengan perkawinan adalah keseluruhan yang secara berlangsung berkaitan perkawinan dan segala urusannya, bukan hanya akad nikah saja. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu adalah:

a. Calon mempelai laki-laki

Beragama Islam, bukan mahramnya, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan33

b. Calon mempelai perempuan

Beragama meskipun Yahudi atau Nasrani, jelas orangnya, bukan mahramnya, dapat diminta persetujuannya

c. Wali dari mempelai perempuan

Laki-laki, telah baligh (dewasa), muslim, orang merdeka, berpikir baik, adil34

d. Dua orang saksi

Berakal, baligh, muslim, melihat dan mendengar serta memahami akan akad nikah

31

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 60. dan untuk lebih jelasnya lihat Wahbah al-Zuhsili VII, 6533.

32

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 61.

33

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, h. 62.

34

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), cet ke-2, h. 93.

e. Ijab dan qabul

Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, dan menerima bagi calon mempelai, antara ijab dan qabul bersambung, maksudnya jelas dan ada empat orang diantaranya calon mempelai, wali dari perempuan dan dua orang saksi

Disini mahar menurut ulama Syafi’iyah hanya sebagai syarat

karena mahar tersebut tidak mesti disebutkan dalam akad nikah dan tidak mesti diserahkan waktu akad itu berlangsung.

Akad nikah itu sendiri adalah perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Disni para ulama berbeda pendapat, ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul selain dua lafaz (nikah dan zawaj) yang mengandung arti kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah (pemberian), at-tamlik (memiliki), al-atiyyah (pemberian), dan lainnya. Tetapi dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi35. Adapun alasan yang dikemukakan adalah

a) Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur’an suarat al-Ahzab ayat 50:





























































35 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.22.































































36



Artinya: “Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan

bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b) Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rosulullah Saw yang

diriwayatkan oleh sahl bin Sa’ad ra.

Yang artinya: “Sabda Rosulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata

kepadanya: “Aku telah memilikkan (menikahkan) kamu dengannya,

dengan apa yang kamu hafal dari ayat al-Qur’an”. (HR. Bukhari) c) Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung asas saling rela dan

menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti

perkataan, “ saya menikahkan”, “memberikan”, atau lainnya sambil

menyebutkan mahar.

36

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, yang mengatakan

bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena keduanya telah disebutkan dalam al-Qur’an37

. Karena itu cukup hanya menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz lain. Adapun alasannya adalah:

a) Penggunaan dua lafaz sudah terdapat dalam al-Qur’an

b) Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan Jabir bin ‘Abdillah ra:

Artinya “Bertakwalah kamu kepada Allah dalam urusan perempuan,

karena sesungguhnya kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah dan halal bagimu menggauli mereka karena kalimat Allah”. c) Menggunakan kata qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena

nikah termasuk ibadah, maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz diatas38

Namun dalam UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali39. Mungkin UU Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagai perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Namaun dalam KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 2740, 28 dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh.

37

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008), cet 23 h.311.

38 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.23.

39

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 63.

40 Adapun isi dari pasal 27 “ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu”.

Membahas mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat dikalangan ulama. Pendapat pertama oleh jumhur ulama bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash

al-Qur’an dan hadist. Adapun nash al-Qur’an disebutkan dalam surat

al-Baqarah ayat 232:















Artinya: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”

Ayat diatas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak

maka wewenang “menghalangi” dalam ayat diatas tidak punya arti apa-apa

bagi seorang wali. Dan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari ra, yang artinya “Bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan adanya wali”. Maksud hadist ini adalah sebuah perkawinan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang perempuan atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahinya, dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rosulullah

Saw. “bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seijin walinya maka

nikahnya tidah sah” (HR. Abu Dawud)41

Dan yang kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa perempuan berakal yang sudah baligh, baik gadis maupun janda, dapat menikahkan dirinya dan anak perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang

41

Syamsu al-Haq al-‘Azami Abadi, Aunu al-Ma’bud Syah Sunah Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1995), cet ke-2, jilid 6, h. 72.

lain. Karena wali dalam hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja42. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf.

Meskipun UU perkawinan tidak menjelaskan wali sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan, UU perkawinan ada menyinggung wali nikah dalam pembatalan perkawinan pada pasal 26. Dan dalam KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap dan

keseluruhan mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah.

Wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22 dan 2343.

Dua orang saksi para ulama sepakat keberadaan sanksi sebagai salah satu syarat sah nikah berdasarkan nash hadist. Sebagimana yang

disabdakan Rosulullah Saw. yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra:

ا

دĥģشباا حاēĞ

tidah sah perkawinan kecuali ada saksi

Dan selanjutnya hadits riwayat ‘Aisyah ra “nikah tidak sah tanpa adanya dua orang saksi dan apabila perkawinan diadakan tanpa dua orang saksi maka perkawinna itu batil, dan maka apabila mereka berselisih maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punya

wali” (HR. at-Tirmidzi)

Al-Ghazali dalam bukunya Menyingkap Hakikat Perkawinan tidak membedakan antara syarat dan rukun perkawinan. Di dalam bukunya

42 Asruron Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.23.

43

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 80.

mempunyai empat rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi syahnya perkawinan, yaitu:

1) Adanya izin dari calon istri atau dari penguasa negri apabila tidak ada wali yang sah

2) Adanya asas kerelaan dari calon mempelai perempuan. Hal ini berlaku bagi perempuan yang janda dan telah cukup umur (baligh). Atau seorang gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah kandungnya sendiri atau kakeknya

3) Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai orang-orang baik (yakni orang yang adil). Apabila keadaan keduanya tidak dikenal, boleh juga diterima kesaksian mereka selama hal itu sangat diperlukan 4) Adanya lafal ijab qabul yang tersambung (tidak terputus antara

keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya).

Ijab dan qabul dengan lafal “menikahkan”,”mengawinkan” atau

dalam bahasa lain yang mengandung makna seperti itu. Lafal ijab dan

qabul harus di ucapakan oleh dua orang laki-laki dewasa, yaitu calon suami dan wali dari calon isrti atau wakil-wakil dari keduanya.44

Selanjutnya disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagi peraturan yang diakui dan dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ketentuan perkawinan, sebagai berikut:

44

1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan dua belah pihak

2. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua

3. Dalam hal salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang masih mampu menyatakan kehendaknya

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang

disebutkan dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengarkan orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini 6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang

hukum maisng-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain45

45

Sedangkan menurut Ijma’ Ulama Indonesia dalam Hukum KHI menjelaskan bahwa rukun perkawinan itu ada lima dan masing-masing itu memiliki syarat-syarat tertentu. Sebagaimana berikut:

a. Calon mempelai laki-laki (calon suami)46, dan syarat-syaratnya: 1. Bukan mahram dari calon istri

2. Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri 3. Orangnya tertentu, jelas

b. Calon mempelai wanita (calon istri) 1) Tidak ada halangan hukum, yaitu

Tidak sedang bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah

2) Merdeka atas kemauan sendiri47 3) Jelas orangnya

Dalam pasal 15 KHI ayat 1 “untuk kemaslahatan rumah tangga dan

keluarga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan

calon istri berumur 16 tahun”

c. Wali nikah, dan syaratnya 1. Laki-laki

2. Islam 3. Baligh

46

Disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 ditentukan juga bahwa calon suami minimal berumur 19 tahun.

47

Dalam pasal 16 KHI dijelaskan bentuk persetujuan calon istri dapat perupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat.

4. Sehat akalnya

d. Dua orang saksi, syaratnya: 1. Laki-laki

2. Islam 3. Adil

4. Sehat akalnya

5. Dapat mendengar dan melihat 6. Akil baligh

7. Bebas, tidak dipaksa e. Ijab dan Kabul, syaratnya:

1. Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima akad dan saksi)

2. Akad dilakukan sendiri oleh wali

3. Kabulnya diucapkan sendiri oleh calon suami

Syarat-syarat perkawinan selain yang ada diatas adalah syarat mengenai berikut:

a) Perempuan yang bukan mahram

Secara hukum, perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk dijadikan sebagai istri. Jadi, perempuan itu bukanlah perempuan yang haram untuk dinikahi, baik haram untuk sementara waktu ataupun haram untuk selamanya.

b) Mahar

Secara istilah mahar adalah “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah atau dukhul”. Mahar secara ekplisit dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4, sebagai

berikut:



















 











Artinya: “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”

Asbabul nuzul dari ayat ini yaitu pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Dan dari penjelasan surat

an-nisa’ tersebut para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya

wajib berdasarkan al-Qur’an. Sedangkan sebagian ulama menetapkan sebagai syarat sahnya nikah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayatul al-Mujtahidnya. Ulama kalangan Malikiyah menempatkan mahar sebagai rukun dari rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad dilangsungkan. Berbeda dengan wabah Al-Zuhaily dalam kitabnya “ al-fiqh al-Islam wa Adillatuhu” yang menjelaskan bahwa mahar itu bukanlah rukun dan juga syarat dari perkawinan, melainkan atsar atau akibat hukum dari perkawinan. Dengan penjelasan dalam kitabnya:

كر سيĖ ġĞ ا

ĥĢ اěĞاĤ جاĤçĖا ø Ĥ åش ĝĚ اط åشاĤ اğ

åثا

Ġراثا ĝĚ

“bahwasanya mahar bukanlah rukun dan juga syarat dari

beberapa syarat perkawinan, akan tetapi mahar merupakan akibat hukum dari beberapa atsra-atsar perkawinan”

Selain terdapat rukun dan syarat tersebut yang harus dipenuhi, dalam suatu ikatan perkawinan juga terdapat beberapa asas yang harus diaksanakan48, diantaranya adalah: a) sukarela antara kedua calon mempelai dan keluarganya, b) persetujauan antara kedua belah pihak, c) kebebasan memilih pasangan, d) kemitraan suami istri, e) untuk selama-lamanya, f) monogamy terbuka, maksudnya diperbolehkan poligami asalkan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan.