• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan satu marga dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut perspektif hukum islam"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

ERLIYANTI LUBIS

1110044100050

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

Erliyanti Lubis. NIM 1110044100050. Pernikahan Satu Marga dalam Adat Mandailing Di desa Huta Pungkut Perspektif Hukum Islam. Program

Studi Hukum Keluarga Islam, Konsenterasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah

dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1435/2014 M. .

Studi ini menjelaskan tentang perkawinan satu marga dalam perspektif hukum Islam. Pertanyaan penting adalah apa yang mendasari perkawinan satu marga itu dilarang di adat Mandailing. Dalam hukum adat di Mandailing desa Huta Pungkut perkawinan satu marga itu dianggap masih satu darah atau satu keterunan yang sama. Oleh karena itu disini penulis ingin mengetahui penyebab tidak boleh menikah dengan satu marga di desa Huta Pungkut.

Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang objek yang menjadi penelitian penulis, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif sosiologis. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan skunder, dan teknik pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara.

Jika dilihat dari segi hukum Islam, baik didalam kitab-kitab fiqh, undang-udang perkawinan dan kompilasi hukum Islam tidak ada sebuah aturan yang mengatur tentang perkawinan satu marga. UU hanya mengatur tentang sah atau tidaknya perkawinan dilihat dari segi agama dan catatan sipil (syarat dan rukun) perkawinan. Sedangkan dalam adat Mandailing perkawinan itu dilarang karena dianggap masih satu keturunan yang sama (sedarah), untuk menjaga hubungan kekerabatan dan tutur Mandailing yang sudah ada sejak dahulu yang disebut dengan Dalian Na Tolu.

Kata Kunci : Pernikahan Adat dalam Perspektif Hukum Islam Pembimbing : Hotnida Nasution,M.Ag

(6)

vi

يح رلا نمح رلا ها سب

نيملاعلا ر ها دمحلا نيمجا ه حص و هلا ىلع و نيلسملا و ءاي ن اا فرشا ىلع اسلا و ةاصلا و

Berkat rahmat dan ‘inayah Allah SWT, sebagai Dzat yang maha indah dan

terpuji, dimana segala pujian dijagad raya ini dipersembahkan untuk-Nya, takkan pernah terasa cukup untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih atas segala rahmat dan cinta yang diberikan kepada hamba-Nya.

Salam sejahtera semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi kita Muhammad SAW yang menjadi panutan bagi ummat Islam, yang selalu dinantikan syafaatnya dihari pembalasan.

Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur yang tiada terhingga yang menunjukkan betapa Allah telah memberikan rasa kasih sayang-Nya kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pernikahan Satu Marga dalam Adat Mandailing Di desa Huta Pungkut Perspektif Hukum

Islam”.

(7)

vii

2. Kamarusdiana, S. Ag, MH., sebagai Ketua Program studi Ahwal al-syahsiyyah, yang telah membimbing dan memberikan pelayanannya kepada penulis. Kepada ibu Sri Hidayati, M. Ag, sebagai Sekertaris Jurusan terimakasih atas pelayanan dan bantuannya kepada penulis

3. Hotnida Nasution, M. Ag yang telah membimbing penulis selama melakukan penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang cukup memuaskan.

4. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, yang telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan telah memberikan saran, arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya, untuk memndidik penulis agar kelak menjadi manusia

yang berguna di dunia dan di akhirat, semoga do’a dan didikannya

menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.

6. Pegawai Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bahan-bahan yang menjadikan referinsi dalam penulisan skripsi ini.

(8)

viii dan doa kepada penulis.

8. Tulang (om) Soleh, Suardi,Sahril dan seluruh keluarga besar dari ayah dan mama yang telah memberikan semangat, pinansial kepada penulis agar biasa menyelesaikan skripsi dengan baik, terima kasih kepada Bou Maida yang sudah membantu penulis untuk melakukan observasi, dan Uwa yang telah memberikan ternsportasi untuk penulis.

9. Teman-teman Jurusan Peradilan Agama angkatan 2010, Sahro Batubara,S.Sy, Abiyati A.N, S.Sy, Ema Pratwi, S.Sy, Ratih, Aulia, Lulu, Syoraya N, dan teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang selalu menjadi guru, teman berdiskusi, Neneng, Naiya, Irfan, Yudis teman seperjuangan dalam sidang skripsi, semoga apa yang menjadi cita-cita kita akan tercapai. Untuk teman-teman KKN BETA angkatan 2010.

10.Bapak Kepala Desa Muara Saladi (Naja Muddin) yang telah memberikan izin dan kemudahan kepada penulis, Kepala Desa Huta Pungkut (Koji) yang menjadi objek penelitian dan sensus penduduk, ustadz Yayah Lubis (tokoh ulama), Sultan Baringin Lubis (tokoh adat), terima kasih atas bantuan dan telah memberikan waktu dan pikirannya buat penulis, sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar.

(9)

ix perjuangan.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, penulis berdoa semoga Allah SWT, senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya. Harapan terakhir penulis skripsi ini bermanfaat buat pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 20 Desember 2014

(10)

x

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Study Review... 10

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ... 17

B. Syarat dan Rukun Pernikahan ... 29

C. Tujuan Perkawinan ... 43

BAB III SEJARAH DAN POTRET DESA HUTA PUNGKUT

(11)

xi

c. Sosial Desa Huta Pungkut ... 59 B. Agama dan Tinggat Pendidikan Masyarakat desa Huta

Pungkut ... 60 C. Tata Cara Perkawinan yang berlaku di desa Huta Pungkut 62 a. Pengertian Adat ... 62 b. Perkawinan Adat Mandailing ... 64 c. Perkawinan Masyarakat Desa Huta Pungkut ... 72

BAB IV PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT

MANDAILING DI DESA HUTA PUNGKUT PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

A. Asal-usul Marga dalam Adat Mandailing ... 77 B. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan Ulama

dan Tokoh Adat desa Huta Pungkut ... 80 C. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan

Hukum Islam ... 89 D. Analisis Penulis ... 99

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 103 B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan yang melarang perkawinan dalam satu marga. Bongbong: pagar atau penghalang yang tak boleh dilewati. Bagi masyarakat semarga,

berlaku ketentuan “Si sada anak, si sada boru”. Maksudnya, mempunyai

hak bersama atas putra dan putri. Pelanggaran terhadap hukum tersebut akan membawa risiko yang berat, bahkan dapat mengakibatkan lahirnya marga baru1.

Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka dalam hidup persekutuan atau pergaulan semarga, telah digariskan sikap tingkah laku yang harus dianut, yang disebut dengan ungkapan “Manat mardongan

tubu”. Maksudnya, haruslah berhati-hati serta teliti dalam kehidupan saudara semarga2.

Fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam masyarakat Batak, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi, pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan , dan lain-lain. Misalnya, dalam adat pergaulan sehari-hari, dalam adat parsabutuhaon,

parhulahulaon, dan parboruon (hubungan kekerabatan dalam masyarakat

1

http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html, di akses pada tanggal 13 mai 2014, pukul 13:06.

2

(13)

Dalihan Na Tolu), adat hukum, milik, kesusilaan, pemerintahan, dan sebagainya.

Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan sedarah, dan perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan

semarga adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bermarga sama (lubis dengan lubis ataupun marga yang lain dengan marga yang sama dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri masyarakat Huta Pungkut. Setiap masyarakat wajib berbuat atau bertindak sesuasi dengan aturan adat yang didasarkan oleh dailan na tolu termasuk dalam penyenggaraan upacara adat seperti acara kelahiran, perkawinan, kematian dan selainnya3.

Dalam suku Mandailing (halak hita) menganut patrilineal, yaitu mengikuti keturunan sebelum bapak atau orang tua lelakinya, oleh karena itu hanya laki-laki saja yang menyambung marga bapaknya dan bukan marga dari pihak ibunya, maka nama-nama marga atau clan nama-nama suku mandailing, baik pria dan wanita suku mandailing memakai marga berasal dari nama marga bapaknya (orang tua laki). Bagi wanita suku Mandailing yang bermarga tetap memakai marga bapaknya (orangtua laki) dan tidak memakai marga suaminya setelah menikah4.

Orang Mandailing sebagi penganut garis keturunan partrilineal yang menempatkan anaknya yang laki-laki sebagai tumpuan (dalian)

3

http://hojotmarluga.wordpress.com/dalihan-na-tolu-dan-budaya-kerja/, di akses pada tanggal 9 April 2014, pukul 22:18.

4

(14)

harapan untuk meneruskan keturunannya dikemudian hari. Dengan perkataan lain secara filosofis orang mandailing memandang atau memberi nilai budaya terhadap anaknya yang laki-laki (dalian) sebagai tumpuan bagi kelestarian eksistensinya parallel dengan ini Dalian Na Tolu (DNT) masyarakat Mandailing dalam bereksistensi. Orang Mandailing menganut adat eksogami marga artinya seorang laki-laki Mandailing pantang kawin dengan perempuan dari “marga”5sendiri. Adapun perkawinan yang dianjurkan dalam masyarakat batak pada umunnya ialah “manyunduti”6 tanpa terkecuali masyarakat mandailing.

Perkawinan dalam kehidupan manusia sesuatu yang dianggap sakral. Di mana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat hubungan antara dua insan yang berlaian jenis. Sebab, dengan cara inilah diharapkan proses regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang syah7. Dan tujuan lain dari perkawinan yang merupakan hak dan kewajiban bersama suami-istri ialah terpenuhinya kebutuhan biologis atua seks.

Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar, menuntut adanya solusi yang jitu untuk

5

Marga pada haikatnya adalah nama cikal bakal suatu kelompok kerabat dalam suku Batak, baik Karo, Toba, Angkola dan Mandailing, yang berdasarkan garis keturuan ayah atau laki-laki nama ciakla bakal itu diwariskan secara turun menurun.

6

Melakukan perkawinan berulang searah dari satu bibit, pihak penerima boru (dara) dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (mora). Ideal sifatnya jika seorang pria adapat menikah dengan anak perempuan yang orang tuanya kakak atau adik (tulang) ibu dari calon mempelai pria.

7

(15)

mengatasinya. Apabila jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang sesat (jahat). Maka Perwakinan merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai yntuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks in8i. Sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Rum yang mempunya makna atau arti sebagi berikut:



















































“dan diantara tanda-tanda kekuasaan -Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan menjadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(al-Rum:21)

Selanjutnya dalam hadist juga dijelaskan sebagi berikut:

Yang artinya: “Rosulullah SAW bersabda: “ hai para pemuda!

Siapa saja kamu yang sudah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan

(mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan, dan siapa yang belum

(tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa,karena puasa itu adalah

obat (pengekang) bagimya” 9(HR. Muslim)

8

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 69.

9

(16)

Islam mendorong untuk membentuk keluarga. Islam mengajak manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhuan keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.

Kehidupan manusia secara individu berada dalam putaran kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil. Bahkan telah membutuhkan unsur-unsur kekuatan, memperhatikan pada tempat-tempat berkumpul, tolong-menolong dalam menanggung beban, menghadapi kesulitan, dari segenap kebutuhan aturan keluarga10.

Disisi lain perkawinan bertujuan besar dan asasi sebagai sarana untuk melanggengkan kelangsungan ras manusia dan membangun peradapan dunia, sehingga terbentuklah sebuah keluarga yang sakinah mawaddh warahmah sebagai cerminan yang terbentuknya sebuah masyarakat yang madani.

Selain itu perkawinan merupakan salah satu kebutuhan jasmani dan rohani yang sudah menjadi sunnatullah, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin yang berbeda yang saling mengenal satu sama lain dan setuju

untuk melangsungkan hidup bersama, disyari’atkannya perkawinan ialah

untuk menjaga keturunan serta mencapai hidup yang lebih terang.

10

[image:16.595.121.518.215.577.2]
(17)

Perkawinan merupakan pertemuan teratur antara laki-laki dan perempuan dibawah satu atap untuk membangun cita-cita bersama yang disebut kehidupan berumah tangga demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu baik yang bersifat biologis, social, ekonomi dan budaya bagi keduanya secara bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan.

Selain itu pula perkawinan bertujuan besar dalam membina akhlak manusia dari perilaku penyimpangan yang menyalahi agama. Bila seorang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, maka sangat dianjurkan untuk nikah, apabila dikhawatirkan terjerumus kepada hal-hal yang melanggar agama.

Sedangkan dalam hukum adat, perkawinan tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya kekerabatan yang rukun dan damai11.

Selain agama, negara juga memberikan perhatian yang serius terhadap perkawinan, hal ini dapat dilihat dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga menjelaskan tentang perkawinan. Besarnya perhatian agama

11

(18)

dan negara terhadap perkawinan di Indonesia ini adalah untuk tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah karena dari keluarga inilah lahir masyarakat yang madani dan menjadi sebuah bangsa yang besar dan berperadaban yang baik.

Meski demikian agama dan negara telah memberikan perhatian secara rinci dalam hal perkawinan baik itu dalam hal syarat-syarat yang harus dipenuhi, sampai hal-hal yang dilarang dalam perkawinan. Yang dituliskan atau tertera dalam al-Qur’an al-Hadits atau yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, maupun dalam UU perkawinan dan KHI. Adapun demikian, dalam praktek pelaksanaannya perkawinan tidak selamanya lepas dari pengaruh kebudayaan dimana perkawinan itu dilaksanankan. Di Mandailing Natal misalnya, walaupun daerah ini tergolong masyarakat yang sangat religious dalam mengamalkan ajaran Islam, bahkan diberi julukan srambi Mekkahnya Sumatra Utara12 . Akan tetapi dalam praktek perkawinan masih berbaur dengan adat istiadat yang memang sudah ada dan tertanam dalam jiwa masyarakatnya.

Praktek perkawinan di Mandailing Natal memang masih tegolong unik, bila dibandingkan dengan praktek perkawinan di daerah lain di

Indonesia. Misalnya saja tradisi “mamodomi boru” (menemani calon istri),

artinya ada seorang gadis dari pihak keluarga perempuan yang menemani

12

(19)

calon istri tersebut tidur dirumah calon suami sebelum dilangsungkan perkawinan, hal tersebut dilakukan agar menghindari terjadinya fitnah13.

Adapun tradisi mengaririt boru dalam adat Mandailing, yaitu menjajaki guna memperoleh informasi apakah seorang gadis telah menerima pinangan atau telah dijodohkan dengan orang lain14. Di dalam adat Mandailing dilarangnya perkawinan satu marga, bagi orang yang melakukan atau melarang hokum adat ini maka akan dikenakan hukuman dan perkawinannya di batalkan dengan perceraian.

Sedangkan dalam literature fiqh klasik dan konterporer dan dalam KHI, tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang laki-laki perempuan yang satu marga dengannya, disini tidak dikenal dengan adanya perkawinan satu marga atau kawin sumbang. Karena hal ini hanyalah praktek perkawinan yang menggunakan hukum adat istiadat. Sehingga muncul sesuatu persoalan apakah perkawinan tersebut syah atau tidak bila dilaksanakan.

Dari permasalahan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan ditungkan dalam bentuk karya ilmiah, untuk itu permasalahan ini akan diangkat sebagai kajian skripsi yang berjudul “(Pernikahan Satu

Marga dalam Adat Mandailing Di Desa Huta Pungkut Perspektif

Hukum Islam)”.

13Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung, “Mamodomi Boru” artikel di akses pada tanggal

25 Oktober 2013 dari http://www.panyabungan.pagetl/Adat-mandailing.htm.

14

(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Perumusan Masalah

Pertanyan utama penelitian adalah apa yang menjadi alasan dasar dari larangan perkawinan satu marga dalam adat masyarakat di desa Huta Pungkut. Oleh karena itu pertanyan penelitian ini adalah:

1) Bagaimana tradisi perkawinan dalam adat Mandailing di Desa Huta Pungkut?

2) Bagaimana kawin semarga dalam perspektif hukum Islam ?

C. Tujuan dan manfaat penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui alasan apa yang mendasari larangan perkawinan satu marga dalam masyarakat adat Mandailing di desa Huta Pungkut 2) Untuk dapat mengetahui bagaimana gambaran tradisi perkawinan

dalam adat Mandailing di desa Huta Pungkut .

3) Untuk mengetahui bagaimna perkawinan semarga dalam perspektif hukum Islam.

Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagi berikut:

a. Secara akademis

(21)

perkembangan penelitian-penelitian yang tema dan kajian yang hampir sama dengan yang dilakukan oleh penulis ini.

b. Secara praktis

Diharapkan dapat memberikan pencerahan buat masyarakat Mandailing khususnya dan batak pada umumnya terhadap persoalan perkawinan satu marga. Dan dapat memberikan kontribusi khazanah bagi lembaga-lembaga yang menengani masalah perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang ditetapkan agama.

D. Riview Research

Permasalahan seputar perkawinan dalam adat masyarakat akhir-akhir mulai sering dijadikan bahan perbincanagan dan perdebat yang menarik untuk disimak. Setelah sekian lama adat sebagai penghalang pernikahan dua insan yang saling mencintai. Namun, setelah masyarkat terbangun dari mimpi panjangnya, bermunculan tulisan-tulisan baik yang mendukung maupun yang menolak eksistensinya serta membicarakan dan mengupas peran adat dengan segala deminsi yang melingkupinya.

Namun dari sekian banyak tulisan yang penulis temukan baik berupa buku artikel, makalah, maupun skripsi, tulisan yang relevan dengan penelitian ini adalah:

(22)

batak Mandailing, padahal diantara kedua adat terdapat perbedaan yang signifikan15.

Perbedaan yang mendasar antara Hilman Hadikusuma dengan penelitian ini dalah penelitian in mencoba mendalami dalam Pernikahan satu marga dalam adat masyarakat Mandailing dalam Perspektif Hukum Islam.

Rahmat Hidayat yang kemudian dituangkannya dalam bentu

Skripsi yang berjudul “Perkawinan satu suku dalam masyarakat

Minangkabau menurut pandanagan Hukum Islam (Studi kasus Kecamatan

Banuhampu Sumatra Barat)”.

Dari hasil penelitian penulis menyatakan bahw afalsafah hidup

orang minang yang dikenal dengan adat basandi syara’: syara’ basandi

kitabullah, namun tidak sejalan dengan realita di lapangan, adat masih dominan dalam menentukan pasangan hidup16.

Tulisan diatas memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena objek kajian kedua penelitian ini tampaknya ditemukan kesamaan, yaitu pengertian satu suku pada masyarakat Minang dengan semarga pada masyarakat Mandailing.

Dapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian ynag dilakukannya adalah dari segi adatnya, adat yang berlaku pada masyarakat

15

Pernyataan di atas berdasarkan hasil analisi penulis terhadap isi buku yang ditulisnya, dan untuk lebih jelasnya baca : Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h.105-108.

16

(23)

Mandailing tidak sama dengan adat yang diterapkan pada masyarakat Minang itu bias dilihat dari berbagai aspek, dengan perbedaan kedua adat tersebut secara otomatis kaitannya dengan hokum Islam pun akan berbeda.

E. Metode penelitian

1) Jenis penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis peneltian lapangan (fielder search), yatiu mengumpulkan data-data dengan cara langsung turun ke lapangan untuk mendaptakan informasi yang akurat tentang objek yang menjadi penelitian penulis, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif deskriptif.

2) Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer dan data skunder. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat (Kepala Desa, Tokoh Adat, Tokoh Agama) dan masyarakat desa Tanah Godang Mandailing Natal, dan dokmen-dokumen yang berupa undang-undang, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, KHI, serta dokumrn non Undang-undang, misalnya sensus penduduk, dan lain-lain.

(24)

seminar, jurnal-jurnal laporan penelitian, artikel, majalah dan koran17, yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

3) Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya pengupukan data untuk memahami realitas yang ada serta untuk lebih memfokuskan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data-data yang maksimal:

a) Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara tertutup dan terbuka terhadap tokoh adat, tokoh agama dan sebagaian anggota masyarakat serta pemerintah pihak pemerintahan.

b) Observasi: dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan observasi partisipasi (participant observation) yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melaui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden. c) Dokumen: Dalam penelitian ini penulis menggumpulkan

sejumlah besar informasi atau data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk surat-surat, catatan harian, data tersimpan di website, dan lain-lain dan sebgainya.

17

(25)

4) Metode Analisi Data

Dalam menganalisi data yang telah terhimpun, penulis menggunakan beberapa metode yaitu:

a) Metode induktif, yaitu pengambilan data yang dimuali dari kesimpulam atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat umum18. Dimana menganalisa data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum,oleh karena itu dalam penelitian sebagaian isi dari skripsi ini, penulis perdasarkan literature tentang konsep ekfektivitas hokum Islam terhadap perkawinan satu marga di Mandailing, kemudian dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulam secara umum.

b) Metode deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan umum yang bersifat khusus19.

c) Metode komparatif, yaitu metode perbandingan, bahwa penyidikan deskriptif yang berusaha mencari dan memecahkan melalui analisa tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat yakni yang meneliti fakta tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan dengan yang lain, adapun penyelidikan ini persifat komparatif20.

18

Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung: Sinar baru aldesindo,2003), cet 7, h. 7.

19

Sutrisno Hadi, Metodelogi Resreach, (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007), h. 26.

20

(26)

d) Analisis Reflektif, yaitu kombinasi yang kuat antara berfikir dedukatif dan indukatif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empiric secara bolak balik kritis21. Dalam metode analisis ini akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan inforamsi untuk dibandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literature atau alternative tersebut. Sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa berurutan, maka akan penulis sistematisir sedemikian rupa,hingga menjadi beberapa bagian yang mempunyai kaitan dan saling melengkapi serta membentuk satu kesatuan yang utuh da nada garis besarnya. Pembahasan skripsi ini diklasifikasikan menjadi 5 bab, yaitu:

Pada Bab Pertama Pendahuluan memuat: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Study Review, dan terakhir adalah Sistematika Penulisan.

Bab Kedua Hukum Perkawinan Di Indonesia . Bab ini penulis akan membahas secara umum tentang: Pengertian Perkawinan, Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Larangan Perkawinan, Tujuan Perkawinan, dan Hikamh Perkawinan.

Bab Ketiga Potret Masyarakat Desa Huta Pungkut. Membahas tentang: Kondisi geografis dan sosial di desa Huta Pungkut , agama dan

21

(27)

tingkat Pendidikan masyarakat, serta tata cara perkawinan yang berlaku di adat Mandailing pada desa Huta Pungkut.

Bab Keempat asal usul marga dalam masyarakat Mandailing yang dilihat dari Nasab dalam fiqh yang mendasari larangan perkawinan satu marga di adat Mandailing: Pandangan Masyarakat, Ulama dan Tokoh Adat: pandangan Hukum Islam, serta analisis penulis tentang keduanya.

(28)

17

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau Pernikahan dalam literature Fiqh bahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (ح اēĞ) dan zawaj (جاĤæ).1 Prof.muhammad Amin Suma dalam bukunya, sebagaimana beliau mengutip dari pendapat Abdur Rahman al-Jaziri menjelaskan , bahwa kata “kawin” paling tidak didekati dari tiga aspek pengertian, yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syari’i) dan makna fiqh

(hukum). Namun dari pembahasan ini hanya ingin mencabarkan pengertian “kawin” dengan menggunakan paling tidak dua dari tiga pendekatan tersebut diatas, yakni dari sudut pandan lughawi dan makna fiqh (hukum).2 Adapun pendekatan dengan makna ushuli yang menitikberatkan pembahasannya pada filsafat hukum Islam tidak menjadi pembahsan dalam tulisan ini, demi untuk mempersingkat penulisan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia,3 perkawinan berasal dari

kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga

dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 35.

2

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 41.

3

(29)

Sedangkan dalam kamus istilah fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.4

Secara terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.5 Pengertian lain dari nikah sendiri adalah suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami istri yang sah mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat Islam.

Secara bahasa nikah itu “bergabung” (ęض), “hubungan

kelamin” (ءøĤ) dan juga “akad” (دقع). Adanya dua kemungkinnan arti

ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung arti tersebut.6 Kata nikah yang bermakna hubungan kelamin terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat230:

















































































4

M. Abdul Mujieb, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h.249.

5 Asruron Ni’am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha Pramuda, Juni 2008), cet. ke-1, h.3.

6

(30)

Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak

yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetaui”7

Dari ayat tersebut mengandung arti “hubungan kelamin” dan

bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasa nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.

Adapun dalam al-Qur’an terdapat kata nikah dengan arti akad, seperti firman Allah dalam suratan-Nisa’ ayat 22:













































Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”8

Ayat di atas seolah ingin menegaskan bahwa hakikat dari perkawinan itu adalah akadnya. Asalkan saja seorang ayah sudah melangsungkan akad pernikahan dengan seorang perempuan, sekalipun belum pernah disetubuhi, maka tidak ada kebolehan bagi anak-anaknya untuk menikahi perempuan tersebut.

7

Al-Quran Al-karim, Surat al-Baqarah ayat 230.

8

(31)

Meskipun dalam arti terminologis terdapat beberapa definisi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dalam sudut pandang dikalangan para ulama. Salah satu diantaranya adalah:

عاتěتسا كėĚ ديċيĖ عراشĖا ġعض Ĥ دقع

ÊاåěĖا عاتěتسا ĕحĤ ÊاåěĖ اب ĕج åĖا

ĕجåĖاب

Artinya: “Akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan

bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki”9

Di kalangan para ulama Syafi’iyah definisi yang dipakai

adalah:

جيçتĖا Ĥا حاēĞ اا ظċėب ءøĥĖا Ëحاب ا ĝě÷تي دقع

Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud

membolehkan hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”10

Definisi perkawinan dari golongan Syafi’iyah sebagaimana

yang disebutkan di hadits di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila hubungan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak ada kebolehan.

Hampir berdekatan dengan ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yaitu:

ادصق ËعتěĖ ا كėĚ ديċي دقع

9

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 8.

10

(32)

Artinya: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan

secara sengaja”11

Dalam definisi lain dari perkawinan Muhammad Abu Ishrah, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat:

Čĥقح ĝĚ اěģيēĖ اĚ دحيĤ اěģĞĤاعتĤ ÊاåěĖاĤ ĕجåĖا ĝيب ÊåشعĖا ĕح ديċي دقع

ÌاÉجاĤ ĝĚ ġيėع اĚĤ

Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara laki-laki dan perempuan dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta memenuhi kewajiban bagi masing-masing”

Dari defenisi ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, yaitu adanya saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong.

Definisi lainya yang dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya al-Akhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut:

عĤåشěĖا ġجĥĖا ىėع åخااب ĝيدقاعĖا ĝĚ ĕك ع اتěتسا ĕح ديċي دقع

Artinya: “Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenang -senang (berhubungan badan) antara dua orang yang berakad dengan cara yang disyariatkan”12

Maksud dari makna dua orang yang berakad disini adalah antara calon suami dengan calon istrinya.

Dari Defenisi-defenisi yang di ungkapkan para ulama terdahulu sebagaimana yang terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik yang tertulis di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan

11

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), hal. 6514.

12

(33)

melakukan hubungan kelamin setelah terjadi akad perkawinan itu.13 Oleh karena itu ulama kontemporer mencoba memperluas jangkauan defenisi ataupun pengertian perkawinan, misalnya defenisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur dalam bukunya Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy,14 yang berbunyi: “Akad yang

membolehkan bergaul antara lai-laki dengan perempuan dalam

tuntutan naluri kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk

kedua belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “Pernikahan yaitu

akad yang kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksankannya merupakan ibadah”. Sedangkan dalam Bab Ketentuan Umum pada pasal 1 huruf c disebutkan bahwa akad ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya serta di saksikan oleh dua orang saksi.

Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang berbunyi dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai:15

“Ikatan lahir dan batim seorang pria dengan seorang wanita sebagai

13

Ibid.

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 39.

15

(34)

suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”16. Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertama, sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian. Disini juga tidak hanya dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari sifat social sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga.17

Dari semua perumusan defenisi perkawinan diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”, disini dijelaskan bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.

2. Ungkapan “sebagai suami istri” maksudnya adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan

hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Disini juga mempunyai defenisi yang bertujuan perkawinan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan tahlil.

16

Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Ciputat: UIN Jakarat Press,2007), h. 4.

17

(35)

4. Penyebutan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.18

Jadi dari semua penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa perkawinan itu adalah “suatu akad yang membolehkan hubungan suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah,mawaddah,

kekal dan diridhoi Allah SWT”

b. Dasar Hukum Perkawinan

Melihat dari hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dengan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan adalah boleh atau mubah. Namun melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak semata-mata dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu mubah.19

Perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan

dianjurkan oleh syara’ yang sekaligus merupakan sunnah Rasulullah

saw, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari anas20, yang berbunyi:

Ğا ĝع Ĥ

ها ىضر كĖ اĚ ĝب س

ها دěح ęėسĤ ġيėع ها ىėى صÉğĖا Ĝا ġğع

فاĤ Ęĥىا ĘاĞاĤ ,ىėىا اĞا صğēĖ :ĔاقĤ ġيėع ىğثاĤ

ĝěف , ءاسğĖا جĤçتاĤ åط

.صğĚ سيėف صتğس ĝع بغر

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 40.

19

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 43.

20

(36)

Hadist diatas seirama dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 2121 :























































Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir”.

Dari hadist dan ayat di atas, perintah dan anjuran untuk menikah tertulis dengan sangat jelas, bahkan dalam hadist tersebut tertulis bahwa siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah umatku. Dengan demikian, hukum asaldari perkawinan adalah mubah tetapi melaksanakannya adalah sunnah22 dan agama Islam sangat menganjurkannya, karena perkawinan itu mempunyai banyak manfaat dan menolak madharat bagi yang melaksanakannya. Bahkan Islam juga menganjurkan agar umatnya saling membantu dalam mencari jodoh sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:









































21

Al-Quran al-Karim, Surat Ar-Rum (30), ayat: 21.

22

Sunnah dalam hal ini berarti ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Sunnah dilihat dari tiga sisi dan esensinya yaitu sunnah

Qauliayah, sunnah Fi’iliyah, dan sunnah Taqririyah, (Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih,

(37)

Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui”.23

Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama itu adalah golongan Zhahiriyah yang mengatkan hukum perkawinan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardu. Dasar dari pendapat golongan Zhahiriyah ini adalah perintah Allah dan Rasul mengandung kaidah setiap sighat “amar” itu menunjukkan wajib secara mutlak, yakni satu kali menikah untuk seumur hidup walaupun yang bersangkutan impoten.

Ulama Syafi’iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan

itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, yaitu sebagai berikut:

a. Sunnah bagi orang-orang yang berkeinginan untuk nikah, telah pantas nikah dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan.

b. Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya.

23

(38)

Sedangkan ulama Hanafiyah menambahkan hukum perkawinan secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:

a. Wajib bagi orang-orang yang sudah pantas untuk nikah,berkeinginan untuk nikah dan memiliki perlengkapan untuk nikah, ia takut terjerumus berbuat zina kalau ia tidak nikah.

b. Makruh bagi orang yang dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya itu.

Ulama lain menambahkan hukum perkawinan selain pendapat

Syafi’iyyah dan Hanafiyah sebagaimana berikut ini:

a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukkan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’ dan akan merusak kehidupan pasangannya.

b. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk nikah dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.

(39)

makruh dan haram sesuai dengan kondisi dan rinciannya sebagimana berikut24:

a. Sunnah bagi orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan perkawinan, akan tetapi ia tidak takut atau tidak khawatir akan terjebak ke dalam perbuatan terlarang b. Wajib bagi mereka yang telah mampu nikah, nafsunya telah

mendesak, dan takut akan terjerumus kedalam lemabah perzinahan kalau ia tidak nikah. Seperti dalam kaidah Ushul Fiqh sebagai berikut: “Tidak sempurna suatu yang wajib tanpa adanya yang

lain, maka sesuatau itu wajib adanya”

c. Haram bagi orang yangtidak mampu memenuhi nafkah bathin dan lahir kepada istrinya, serta nafsunya pun tidak mendesak. Haram juga bagi seseorang yang menikahi wanita atas niat untuk menyakiti.

d. Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya.

e. Mubah bagi oarng yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir

24

(40)

akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istrinya.

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Indonesia adalah Negara majemuk yang didalamnya terdapat bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Oleh karena itu, adanya peraturan yang mengatur kepentingan masing-masing warga sangatlah penting terutama dalam masalah perkawinan25. Sebagaimana yang dibuat dalam Undang-undang perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya26. Sedangkan perkawinan yang syah menurut hukum Islam adalah yang dilakukan dan telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Sebab, dalam Islam perkawinan bukanlah semata-mata sebagai kontrak perdata saja atau sekedar penghalalan zakar, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.

Rukun itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)27, dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Dan pengertian syarat itu sendiri sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian

25

Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan Bab I pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa Perkawinan adalah syah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

28

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 538.

27

(41)

pekerjaan itu, seperti mahar. Atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam28.

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, dikalangan para ulama berbeda pendapat diantaranya, menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat yaitu, (1) sighah (ijab dan qabul), (2) calon suami, (3) calon isti dan (4) wali. Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) istri (suami dan istri ini di syaratkan bebas dari masa iddah atau sedang ihram) dan (5)

sighah29.

Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalanganan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam memahami fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan: akad perkawinan,laki-laki dan perempuan yang akan nikah, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.

Ulama Hanafiyah melihat perkawinan dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi rukun dalam perkawinan dari Hanafiyah adalah akad nikah

28

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet ke-2, h. 46.

29

(42)

yang dilangsungkan oleh dua belah pihak, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan dalam syarat perkawinan30. Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada:

a. Syuruth al-in’iqad, yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung kepada akad, maka syarat disini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri. Bila syarat-syarat itu tertinggal, maka akad perkawinan dipastikan batal.

b. Syuruth al-shihhah, sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat harus dipenuhi untuk menimbulkan sebab akibat hukum, apabila tidak dipenuhi syarat tersebut maka tidak sah perkawinan tersebut, seperti adanya mahar dalam suatu perkawinan. c. Syuruth al-nufuz, menentukan suatau kelangsungan perkawinan.

Adanya akbiat hukum setalah berlangsungnya dan syahnya suatu perkawinan tergantung dengan syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka menyebabkan fasad-nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk itu.

d. Syuruth al-luzum, syarat yang menetukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepada kelanjutan berlangsungnya suatu

30

(43)

perkawinan sehingga tidak dapat dibatalkan. Seperti calon suami

sekufu dengan istrinya31.

Menurut ulama Syafi’iyah32

yang dimaksud dengan perkawinan adalah keseluruhan yang secara berlangsung berkaitan perkawinan dan segala urusannya, bukan hanya akad nikah saja. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu adalah:

a. Calon mempelai laki-laki

Beragama Islam, bukan mahramnya, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan33

b. Calon mempelai perempuan

Beragama meskipun Yahudi atau Nasrani, jelas orangnya, bukan mahramnya, dapat diminta persetujuannya

c. Wali dari mempelai perempuan

Laki-laki, telah baligh (dewasa), muslim, orang merdeka, berpikir baik, adil34

d. Dua orang saksi

Berakal, baligh, muslim, melihat dan mendengar serta memahami akan akad nikah

31

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 60. dan untuk lebih jelasnya lihat Wahbah al-Zuhsili VII, 6533.

32

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 61.

33

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, h. 62.

34

(44)

e. Ijab dan qabul

Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, dan menerima bagi calon mempelai, antara ijab dan qabul bersambung, maksudnya jelas dan ada empat orang diantaranya calon mempelai, wali dari perempuan dan dua orang saksi

Disini mahar menurut ulama Syafi’iyah hanya sebagai syarat

karena mahar tersebut tidak mesti disebutkan dalam akad nikah dan tidak mesti diserahkan waktu akad itu berlangsung.

Akad nikah itu sendiri adalah perjanjian yang berlangsung antara dua belah pihak yang berakad dalam bentuk ijab dan qabul. Disni para ulama berbeda pendapat, ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul selain dua lafaz (nikah dan zawaj) yang mengandung arti kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah (pemberian), at-tamlik (memiliki), al-atiyyah (pemberian), dan lainnya. Tetapi dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi35. Adapun alasan yang dikemukakan adalah

a) Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur’an suarat al-Ahzab ayat 50:





























































































35 Asruron Ni’am Sholeh,

(45)

















































































36



Artinya: “Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan

bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b) Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rosulullah Saw yang

diriwayatkan oleh sahl bin Sa’ad ra.

Yang artinya: “Sabda Rosulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata

kepadanya: “Aku telah memilikkan (menikahkan) kamu dengannya,

dengan apa yang kamu hafal dari ayat al-Qur’an”. (HR. Bukhari) c) Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung asas saling rela dan

menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti

perkataan, “ saya menikahkan”, “memberikan”, atau lainnya sambil

menyebutkan mahar.

36

(46)

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, yang mengatakan

bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena keduanya telah disebutkan dalam al-Qur’an37. Karena itu cukup hanya menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz lain. Adapun alasannya adalah:

a) Penggunaan dua lafaz sudah terdapat dalam al-Qur’an

b) Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan Jabir bin ‘Abdillah ra:

Artinya “Bertakwalah kamu kepada Allah dalam urusan perempuan,

karena sesungguhnya kalian mengambil mereka sebagai amanah

Allah dan halal bagimu menggauli mereka karena kalimat Allah”. c) Menggunakan kata qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena

nikah termasuk ibadah, maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz diatas38

Namun dalam UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali39. Mungkin UU Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagai perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Namaun dalam KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 2740, 28 dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh.

37

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008), cet 23 h.311.

38 Asruron Ni’am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.23.

39

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undang-undang Perkawinan, h. 63.

(47)

Membahas mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat dikalangan ulama. Pendapat pertama oleh jumhur ulama bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash

al-Qur’an dan hadist. Adapun nash al-Qur’an disebutkan dalam surat

al-Baqarah ayat 232:























Artinya: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”

Ayat diatas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak

maka wewenang “menghalangi” dalam ayat diatas tidak punya arti apa-apa

bagi seorang wali. Dan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari ra, yang artinya “Bahwa perkawinan tidak sah kecuali dengan adanya wali”. Maksud hadist ini adalah sebuah perkawinan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang perempuan atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahinya, dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rosulullah

Saw. “bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seijin walinya maka

nikahnya tidah sah” (HR. Abu Dawud)41

Dan yang kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa perempuan berakal yang sudah baligh, baik gadis maupun janda, dapat menikahkan dirinya dan anak perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang

41

(48)

lain. Karena wali dalam hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja42. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf.

Meskipun UU perkawinan tidak menjelaskan wali sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan, UU perkawinan ada menyinggung wali nikah dalam pembatalan perkawinan pada pasal 26. Dan dalam KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap dan

keseluruhan mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah.

Wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, 22 dan 2343.

Dua orang saksi para ulama sepakat keberadaan sanksi sebagai salah satu syarat sah nikah berdasarkan nash hadist. Sebagimana yang

disabdakan Rosulullah Saw. yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra:

ا

دĥģشباا حاēĞ

tidah sah perkawinan kecuali ada saksi

Dan selanjutnya hadits riwayat ‘Aisyah ra “nikah tidak sah tanpa adanya dua orang saksi dan apabila perkawinan diadakan tanpa dua

orang saksi maka perkawinna itu batil, dan maka apabila mereka

berselisih maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punya

wali” (HR. at-Tirmidzi)

Al-Ghazali dalam bukunya Menyingkap Hakikat Perkawinan tidak membedakan antara syarat dan rukun perkawinan. Di dalam bukunya

42 Asruron Ni’am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet. ke-1, h.23.

43

(49)

mempunyai empat rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi syahnya perkawinan, yaitu:

1) Adanya izin dari calon istri atau dari penguasa negri apabila tidak ada wali yang sah

2) Adanya asas kerelaan dari calon mempelai perempuan. Hal ini berlaku bagi perempuan yang janda dan telah cukup umur (baligh). Atau seorang gadis yang telah cukup umur apabila yang bertindak sebagai walinya bukan ayah kandungnya sendiri atau kakeknya

3) Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai orang-orang baik (yakni orang yang adil). Apabila keadaan keduanya tidak dikenal, boleh juga diterima kesaksian mereka selama hal itu sangat diperlukan 4) Adanya lafal ijab qabul yang tersambung (tidak terputus antara

keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya).

Ijab dan qabul dengan lafal “menikahkan”,”mengawinkan” atau

dalam bahasa lain yang mengandung makna seperti itu. Lafal ijab dan

qabul harus di ucapakan oleh dua orang laki-laki dewasa, yaitu calon suami dan wali dari calon isrti atau wakil-wakil dari keduanya.44

Selanjutnya disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagi peraturan yang diakui dan dijadikan landasan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan ketentuan perkawinan, sebagai berikut:

44

(50)

1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan dua belah pihak

2. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua

3. Dalam hal salah satu dari kedua orang tua te

Gambar

gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhuan
Tabel 1 Kondisi Pendidikan24
gambaran? Jawabannya: Secara umum masyarakat desa Ulu Pungkut masih

Referensi

Dokumen terkait

Selain cara kekeluargaan yang melibatkan kedua orang tua dari kedua belah pihak dan tokoh atau ulama setempat, percerain dapat terjadi hanya dengan kesepakatan

Kemudian disimpan di depan orang tua calon pengantin laki-laki, dan perwakilan natoni adat dari pihak perempuanpun menyampaikan maksud okomama yang ada di depan

diserahkan kepada orang tua wanita, agar pada saat pernikahan uang ilang itu dapat diserahkan kepada pihak ninik mamak atau keluarga laki-laki sebagai syarat membawa

Pada prinsipnya akad nikah dapat dilakukan dengan bahasa apapun asalkan dapat menunjukan kehendak pernikahan yang bersangkutan dan dapat dipahami oleh para pihak yang

Perkawinan semarga dengan alasan ini juga terjadi akibat dari ketidaktahuan satu sama lain (laki-laki dan perempuan) akan marga masing-masing yang masih dalam satu

Pemahaman masyarakat Bandar Lampung akan makna sebuah pernikahan tersebut adalah sesuai dengan makna dan arti pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Nomor

Sekaligus penentuan pemberian Doi‟ Nai‟ yang akan diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai wanita apabila lamaran tersebut diterima

“Menurut informan yang berinisial WY selaku masyarakat menyatakan bahwa, mappaci itu saklar untuk orang kerena itu puncat dimana orang mendoakan mempelai untuk menjadi keluarga