• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERNIKAHAN ADAT TUMPENG MENURUT UNDANG NO 1 TAHUN 1974 UNDANG NO 1 TAHUN 1974

Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Dalam Tinjauan Fikih dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974

C. ANALISIS PERNIKAHAN ADAT TUMPENG MENURUT UNDANG NO 1 TAHUN 1974 UNDANG NO 1 TAHUN 1974

Dalam undang undang No 1 Tahun 1974 dan KHI telah diatur

segala sesuatu tentang pernikahan. Dalam pasal 2 (1) undang-undang No 1

Tahun 1974 pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan pasal 2 (2)

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Hal ini tidak dilaksanakan dalam pernikahan adat tumpeng

karena tidak adanya pencatatan pernikahan yang dilakukan baik oleh

pasangan yang menikah maupun oleh pemerintah Desa. Dan pasal 14

Inpres No1 Tahun 1991 tentang KHI tentang rukun nikah jelas dikatakan

harus ada calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki, Wali nikah,

Dua orag saksi, ijab dan qabul. Beberapa hal dalam pernikahan adat yang

tidak sesuai dengan ketentuan di atas adalah tidak adanya shigot ijab qobul

dan dan fungsi wali dalam pernikahan ini. Jika pernikahan ini dilakukan

secara diam-diam maka tidak ada saksi yang hadir untuk dimintai

pertanggungjawaban. Dalam pasal 40 Undang-undang No 1 Tahun 1974

menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih

dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada

Pengadilan. Sedangkan dalam pernikahan adat tumpeng tidak mengajukan

permohonan ke Pengadilan karenan memang dalam pernikahan ini

memang tidak ada pencatatan. Dan Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal

85

umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai

umur 16(enam belas) tahun dan dalam peraturan Mentri Agama No 11

tahun 2007 tentang pencatatan nikah Bab IV pasal 8 apabila seorang calon

suami belum berusia 19 tahun dan seorang calon istri belum berusia 16

tahun harus mendapat dispensasi dari pengadilan. Dalam kasus pernikahan

adat ini paling banyak praktik pernikahan adat dikarenakan faktor usia

yang masih di bawah umur dan ketidakmauan untuk mengajukan

dispensasi di Pengadilan. Dan pasal 30 KHI menentukan bahwa calon

mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai

perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah

pihak, yaitu calon mempelali laki-laki dan perempuan. Namun dalam

pernikahan adat tumpeng ini tidak menggunakan mahar.

Dalam pasa 5l sampai 59 KHI mengtur tentang poligami dan

syarat poligami dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan

izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorng apabila: a)

istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b) istri mendapat

cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c) istri tidak

dapat melahirkan keturunan. Dalam pernikahan adat ini pelaku pernikahan

adat tumpeng ada beberapa yang berpologami dengan cara pernikahan adat

ini karena pihak laki-laki tidak mengajukan permohonan ke Pengadilan

86

Sedangkan pernikahan adat tumpeng ini dilakukan dengan

sederhana dan tidak dicatatkan karena dengan pemotongan nasi tumpeng

sudah sah pernikahan mereka tanpa adanya ijab qobul dan mahar untuk

mempelai perempuan namun pernikahan ini berbeda dengan pernikahan

siri, jika pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat pernikahan namun

titak atau belum dicatatkan Kantor Urusan Agama (KUA). Tetapi dalam

kasus pernikahan adat ini jelas pernikahan adat ini tidak memenuhi rukun

dan syarat pernikahan. Pernikahan semacam ini hampir sama denga samen

laven (kumpul kebo).

Sebenarnya rancangan undang-undang mengenai samen leven

yang berlaku untuk seluruh warga Indonesia baru merupakan wacana ,

karena baru dirumuskan dalam rancangan undang-undang Republik

Indonesia tentang Kitap Undang-undang Pidana Tahun 2008

RUU-KUHAP 2008 akan tetapi masih sebagai ius constituendum. Bahwa setiap

orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar

pernikahan yang sah, dipidana dengan pidana penjara 5 tahun. Hukum

yang bersifat komulatif yaitu hukuman denda dan penjara dan hukuman

denda sebesar Rp 75.000.000,00 menurut pasal 8 RUU-KUHP 2008.

Dengan adanya peraturan perundang-undangan ini sebenarnya dapat

dijadikan patokan untuk mencegah adanya praktik pernikahan yang seperti

nikah tumpeng ini, karena memang berlawanan dengan syari‟at Agama

87

Aturan pernikahan menurut Agama Islam dan Undang-undang

pernikahan bahwa pernikahan yang syah harus tercapaianya syarat dan

rukun nikah dan pernikahan itu dilakukan dengan cara yang benar yaitu

dengan terjadinya ijab dan qabul diantara kedua belah pihak dan

pemberian mahar. Pernikahan semacam ini sama saja dengan pelegalan

sex saja. Karena tidak adanya kekuatan hukum yang menaungi pernikahan

tersebut dan tidak adanya kepastian setatus yang jelas. Karena pernikahan

ini haya diakui dan dianggap sah oleh lingkungan saja, dan banyak

kerugian yang muncul setelah pernikahan adat tumpeng ini. Karena

biasanya nasab anak yang lahir dari pernikahan adat ini jatuhnya ke ibunya

dan diakui anak setelah ibunya menikah resmi dengan pasangan hidup

yang baru. Bahkan berakibat pada saat pembagian waris karena anak tidak

dapat meminta dan menuntut haknya kepada ayahnya karena tidak adanya

88 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang digunakan

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah.

Kesimpulan tersebut antara lain:

1. Kehidupan sosial keagamaan masyarakat Desa Jetak salah satu yang

melatar belakangi pernikahan adat tumpeng adalah pengetahuan

keagamaan yang masih sangat minim, kurangnya pemuka agama yang

berkompeten, tingkat pendidikan yang masih rendah dikarenakan

masih banyak masyarakat yang tidak bersekolah atau yang bersekolah

hanya sampai tingkat SD, dan faktor ekonomi juga mejadi salah satu

alasan yang melatar belakangi pernikahan adat tumpeng karena

masyarakat Desa Jetak mayoritas bertani sehinga masyarakat lebih

memilih menikahkan anaknya dengan pernikahan adat tumpeng

karena tidak adanya biaya,

2. Di desa ini pernah berlaku pernikahan adat tumpeng. Pernikahan

tersebut sekarang tidak mendominasi lagi. Tumpeng yang dulu

digunakan sebagai bukti sahnya pernikahan pasangan mempelai saat

ini hanya digunakan sebagai pelengkap prosesi adat. Pernikahan adat

tumpeng yang masih digunakan di desa Jetak adalah pernikahan yang

89

ketika hendak menikah secara resmi dan untuk dianggap sah oleh

negara maupun oleh agama yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat

yaitu Islam.

3. Pertentangan pernikahan adat tumpeng dengan syariat dan ditinjau

dari fiqih dan Undang-undang. Dalam pernikahan yang masih

menggunakan pernikahan adat tumpeng ini melanggar

ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal pasal 2

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku, pasal 14 Inpres No 1 tahun 1991 tentang rukun nikah jelas

dikatakan harus ada calon mempelai wanita, calon mempelai laki-laki,

wali nikah, dua orang saksi dan ijab qobul. Pasal 30 KHI bahwa calon

mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon mempelai

perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua

belah pihak yaitu calon mempelai laki-laki dan calon mempelai

wanita. Pasal 40 undang-undang No 1 Tahun 1974 apabila seorang

laki-laki bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib

mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan dan KHI

pasal 55-59 terutama pasal 57 tentang Peradilan Agama hanya

memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari

seorang apabula: istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagi

istri, istri terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan

90

hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun dan peraturan

Mentri Agama No 11 tahun 2007 pasal 8 apabila calon suami belum

berusia 19 tahun dan seorang istri belum berusia 16 tahun harus

mendapat dispensasi dari pengadilan.

B. Saran

1. Pemuka agama lebih intensif memperkenalkan dan mengajarkan

aturan-aturan atau ketentuan yang ada dalam agama Islam. Hal ini

dilakukan agar masyarakat lebih mengetahui bagaimana

hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an. Ajaran yang disampaikan tidak

sertamerta menyalahkan atau menghilangkan adat yang telah ada

terlebih dahulu agar tidak muncul berbagai konflik dalam masyarakat.

2. Kepada KUA sebagai lembaga negara yang mengurusi pernikahan

masyarakat serta penyuluh keagamaan Islam yang bekerja sama

dengan para pemuka agama lebih gencar melakukan usaha

pendalaman ilmu agama dan pendampingan pada saat pelaksanan

kegiatan keagamaan. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah

mengadakan pelayanan pembaharuan pernikahan bagi pasangan yang

melakukan pernikahan adat tumpeng yang menginginkan pernikahan

mereka resmi dan diakui oleh agama dan negara.

3. Kepada pemerintah Desa agar lebih mendukung dan berperan serta

91

penyuluhan keagamaan. Dukungan yang diberikan seharusnya bisa

mengawal berjalannya hukum pernikahan positif serta adat yang ada

agar dapat berjalan beriringan dan seimbang. Pemerintah desa juga

dapat mencegah adanya konflik dalam masyarakat yang muncul akibat

perubahan yang terjadi dalam hukum adat mereka.

4. Kepada masyarakat desa Jetak, dengan adanya pemeluk agama yang

beragam dan adanya tradisi adat, diharapkan masyarakat dapat terus

rukun dan dapat menjalankan kewajiban sebagai umat beragama dan

sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai adat di

lingkungannya.

5. Perguruan Tinggi Islam, termasuk di dalamnya adalah IAIN Salatiga

merupakan lembaga yang sangat besar peranannya untuk memajukan

ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan Islam. Untuk itu

hendaknya IAIN Salatiga memiliki kompetensi di bidangnya. Dimulai

dari sarana dan prasarana, administrasi, serta pelayanan akademik agar

mencetak lulusan-lulusan yang kompeten di bidang ilmu pengetahuan

Islam pula.

6. Penulis berharap agar jurusan syariah khususnya program studi ahwal

al-syakhshiyyah membuka peluang yang sebesar-besarnya kepada

mahasiswa untuk melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan

kajian sosiologis kemasyarakatan. Hal ini bertujuan untuk membuka

wawasan mengenai permasalahan sosial yang ada di masyarakat yang