i
PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG
DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
NOPIANA
NIM 21110022
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,
arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : NOPIANA
Nim : 21110022
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul : PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG. Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian persetujuan pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH
Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722 http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@iainsalatiga.ac.id
PENGESAHAN
PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
OLEH NOPIANA NIM :21110022
Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 18 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. ______________
Sekretaris Penguji : Haryo Aji Nugroho,S.Sos., MA. ______________
Penguji I : Farkhani, S.HI., MH. ______________
Penguji II : Luthfiana Zahriani, SH., MH. ______________
Salatiga, 18 April 2015
Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertandatangan dibawah ini;
Nama : NOPIANA
Nim : 21110022
Jurusan : Ahwal Al- Syakhsiyyah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi :PERKEMBANGAN PERNIKAH ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah
Salatiga, 18 April 2015
Yang menyatakan
v
MOTO
DALAM KEHIDUPAN ADA DUA PILIHAN,
INGIN JADI ORANG YANG KALAH ATAU INGIN JADI
ORANG YANG MENANG?
KARNA HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN, KItA SENDIRI
YANG MENENTUKAN PILIHAN TERSEBUT.
vi
PERSEMBAHAN
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada:
1. Kepada Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang
dengan sabar dan tak pernah lelah membimbing, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini
2. Keluarga besar, terutama ibu Tukiyem dan bapak Yoto
Kasno yang tak henti-hentinya memberikan dukungan
serta Do’anya.
3. Kakakku Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu
mendukung dan mendoakanku
4. Keponakanku Adesya Nauvalin Fikiria Rabani.
5. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno yang selalu memberi
semangat kepadaku untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabatku Khaya Ulin Najah yang menemaniku
menyelesaikan skripsi ini.
7. Temanku Ulya Liala Mubarokah yang selalu menemaniku
vii
8. Dan kepada Teman teman yang selalu memberi motivasi
seperti Rita, Ari, Ita, Leni dan Rissa
viii
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا للها مسب
Alkhamdulillah Wa Syukurillah Puji syukur senantiasa penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang Maha Rahmandan Maha Rahim yang telah
mengangkat manusia dengan berbagai keistimewaan. Dan hanya petunjuk dan
tuntunan-Nya, penulis mempunyai kemampuan dan kemauan sehingga penulisan
skripsi ini bisa terselesaikan
Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis
menyadari bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi
merupakan tugas yang berat. Akhirnya dengan berbekal kekuatan dan kemauan
dan bantuan semua pihak, maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terimakasih
yang tiadataranya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd Selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal
ix
4. Bapak Moh Khusen M.Ag., M.A. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah sabar dan banyak memberikan bimbingan dan arahan agar
penulis menjadi pribadi yang lebih baik.
5. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang meluangkan waktunya
untuk membimbing saya untuk penyelesaian skripsi ini
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian
administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi.
7. Bapak Kasno dan Ibu Tukiyem tercinta, terimakasih atas segala doa dan
yang tiada henti terlantun untuk keberhasilan putrinya.
8. Kakakku tersayag Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu
memberi semangat dan dukungan.
9. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno terimakasih atas Do‟a dan dukunganya.
10.Om Tutur dan Bulek Maryatai yang memberikan do‟a dan dukungannya
11.Lex Tugimin Supriyadi yang selalu menduungku
12.Bpak Sumadi al Bakah dan ibu Harni yang selalu mendukung dan
mendoakanku
13.Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2010, terutama Ulin, Ulya, Rita,
Ari, Ita, Leni terimakasih atas segala kebersamaannya selama ini.
14.Bapak-ibu narasumber yang telah bersedia memberikan keterangannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Nama-nama yang
dipakai adalah nama samaran sesuai permintaan narasumber.
15.Bapak Sutrimo selaku Kepala Desa Jetak yang telah memberikan izin
x
16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang telah
memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya penyusunan skripsi
ini.
Dengan segenap kesadaran penulis mengakui bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis
atas segala respon, saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Akhirnya
hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga apa yang
tertulis dalam Skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri
dan para pembaca pada umumnya. Amin yarobbal „Alamin.
Salatiga, 18 April 2015
Penulis
Nopiana
xi ABSTRAK
Nopiana, PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA
JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG. Skripsi.
Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal AL-Syakhshiyyah. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A
Kata Kunci : Pernikahan adat tumpeng
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan dan mengetahui pressepsi masyarakat di Desa Jetak dalam pelaksanaan pernikahan adat tanpa shigot akad ijab qobul dan mahar. Pertanyaan utama yang ingin di jawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana kondisi sosial keagamaan Desa Jetak? 2) bagaimana perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak? 3) Sejauh mana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fiqih dan undang-undang?
Untuk menjawab pertanyaaan tersebut maka peneliti menggunakan metode
field research (penelitian lapangan). pengumpulan data melalui obsevasi dan wawancara terhadap perangkat Desa, Pemangku adat, pemuka Agama dan pelaku pernikahan adat tumpeng dan beberapa buku untuk mendukung penelitian ini.
Masyarakat yang memangkuat dengan tradisi kejawennya membuat perkembangan keagamaan di Desa Jetak melambat, kurangnya pemuka agama atau ustad untuk memberikan pengetahuan agama kepada masyarakat menjadi salah satu faktor utama, selain itu tingkat pendidikan, faktor ekonomi masyarakat yang rendah juga berpengaruh terhadap perkembangan pernikahan adat tumpeng di desa Jetak. Di Desa Jetak ini pernah berkembang tradisi pernikahan tumpeng
dimana pernikahan orang Islam tanpa menggunakan syari‟at ijab qobul dan
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
PENGESAHAN KELULUSAN...………..……….... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……… iv
MOTTO ……… v
PERSEMBAHAN………. vi
KATA PENGANTAR ………... vii
ABSTRAK ………. x
DAFTAR ISI ……… xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….... 1
B. Penggasan Istilah ……….. 4
C. Rumusan Masalah ……….... 5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………... 5
E. Metode Penelitian………. 6
xiii
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka ………. .. 12
B. Kerangka Pemikiran ………. .. 18
1. Pengertian Perkawinan dan Manfaat perkawinan…………... .. 18
2. Dasar Hukum Pernikahan……….………... 22
a. Pernikahan Dalam Hukum Islam……….... 22
1). Rukun dan Syarat Pernikahan……….... 25
2). Akad dan Syarat Ijab Kabul………... 28
3). Mahar Menurut Hukum Islam……….... 33
b. Pernikahan Dalam Hukum Positif………... 35
3. Hikmah dan Manfaat Nikah………... 39
4. Pengertian dan Pernikahan Adat………... 42
a. Pengertian Pernikahan Adat………... 42
b. Hukum Adat Ditaati Oleh Masyarat……….. 46
c. Kelebihan Dan Fungsi Adat……….. 47
d. Kelemahan Hukum Adat………... 48
BAB III: HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Penduduk Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ………... 49
1. Desa Getasan Dalam Lintas Sejarah... 49
2. Letak Geografis dan Kondisi Administratif Desa Jetak…….... 51
xiv
a. Populasi Desa Jetak... 52
b. Tingkat Pendidikan ……….. 53
c. Pekerjaan Dan Usia Kerja………... 54
d. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat………... 55
B. Pofil Pelaku Pernikahan Adat Tumpeng………... 57
C. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak…...………... 60
D. Faktor Terjadinya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak…….... 70
E. Persepsi Masyarakat Jetak Tentang Pernikahan Adat Tumpeng... 73
F. Dampak Pernikahan Adat Tumpeng... 77
G. Perubahan Budaya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak... 78
BAB IV: ANALISIS A. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak... 83
B. Pelaksanaan Pernikahan Adat Tumpeng Dalam Tinjauan Ilmu Fiqh... 84
C. Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Menurut Undang-Undang No1 Tahun 1974……… 86
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ………. 90
B. Saran ……….. 92
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu pernikahan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta kasih
dan sayang. Karena dalam pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan
yang dalam sebuah rumah tangga, pernikahan merupakan sebuah ritual
yang sangat sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling
mencintai, dua keluarga yang sebelumnya belum saling mengenal antara
satu dengan yang lainnya tanpa ada lagi batasan yang
menghalangi.”Pernikahan adalah satu sunatullah yang umum berlaku
pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan, tumbuhan” (Sabiq,
1990 : 6). Dengan pernikahan manusia dapat membentuk keluarga dan
memgembangkan keturunan yang baik.
Salah satu tujuan syari‟at Islam adalah memelihara kelangsungan
perkawinan yang sah, menurut agama dan diakui oleh undang-undang dan
diterima sebagai budaya masyarakat
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa
pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sedangkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP)
2
seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangg yang sakinah, mawaddah,
warahmah. Meskipun demikian banyak pihak-pihak yang dengan sengaja
mencoba untuk mengotori dan memanfaatkan sesuatu yang sakral ini
hanya untuk mendapatkan keuntungan baik yang berupa materi maupun
hanya untuk sekedar dapat terpenuhi hasrat biologisnya semata, atau
mungkin dengan alasan-alasan yang lain. Oleh karena itu berbagai
permasalahanpun akhirnya muncul.
Syarat sah pernikahan harus diperhatikan baik menurut agama
maupun hukum Negara. Dalam fiqh sunnahnya, Sabiq, (1990 : 78)
menyebutkan ada dua sarat sahnya pernikahan. Pertama, perempuannya
halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri Kedua, aqad
nikahnya dihadiri para saksi. Dalam Kitab al-Fiqh „Ala al-
Al-Arba‟ah.Imam Safi‟i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang
saksi, dan sighat (ijab qabul) (Jaziri,1999 : 12).
Di Indonesia pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukun
dan syarat yang telah ditentukan oleh KHI dan Undang-Undang No 1
tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan yang sah menurut KHI salah
satunya bila memenuhi hukum Islam dan dicatatkan sesuai dengan pasal
3
Undang-Undang No 1 tahun 1979 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan
perkawinan. Pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan syarat rukun
nikah dalam Islam, tanpa dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dinamakan pernikahan siri (Nurhaidi, 2003 : 5). Penikahan siri
adalah sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif di
Indonesia. Pernikahan harus dicatatkan Pencatat Nikah (PPN) di KUA
bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang non
muslim, sehingga mempunyai bukti yang otentik. Padahal jika mereka
tahu dan sadar akan hukum pernikahan sirri ini akan banyak menimbulkan
persoalan-persoalan yang kelak mungkin terjadi bukan hanya bagi istri
tetapi akan mungkin berdampak pula dengan anak yang dilahirkannya.
Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan wajib
menyerahkan mahar kepada istrinya. Berdosa bila seseorang suami tidak
menyerahkan mahar kepada istrinya. Meskipun UU perkawinan tidak
mengatur sama sekali tentang mahar dalam perkawinan, namun KHI
mengatur tentang keharusan membayar mahar dalam pasal 30 adapun
pasal 30 menyatakan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentukdan jenisnya
disepakati oleh kedua belah bihak”(Syarifudin, 2006 : 97).
Namun pada prakteknya yang terjadi di masyarakat Desa Jetak
Kecamatan Getasan biasanya melangsungkan pernikahan dengan cara
4
yang biasaya berhak untuk menikahkan. Dan pernikahan adat ini tidak
menggunakan ijab dan qhobul dan mahar.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan mendalami
lebih lanjut fenomena yang terjadi di Desa Jetak Kecamatan Getasan
dalam skripsi yang berjudul “PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT
TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN,
KABUPATEN SEMARANG”
B. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kekliruan dalam penafsiran judul di atas maka
penulis perlu menjelaskan sebagai berikut:
1. Pernikahan adat tumpeng
Pernikahan adat tumpeng adalah pernikahan adat umat muslim
Desa Jetak dengan pemotongan nasi tumpeng tanpa ijab qobul
dan mahar tanpa sesuai syari‟at Islam
2. Tinjauan normatif dan sosiologis
Tinjuan normatif yang dimaksud di sini adalah
norma-norma islam atau hukum Islam yang mengantur tentrng
pernikahan dan bagaiamana hukum Islam memandang
pernikahan adat tumpeng yang terjadi masyarakat. Sedangkan
tinjauan sosiologisnya adalah pendekatan untuk mengetahui
5
pernikahan adat tumpeng yang ada di desa mereka dan
ketentuan hukum Islam
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi kehidupan sosial keagamaan masyarakat
Desa Jetak?
2. Bagaimanakah perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng
di Desa Jetak?
3. Sejauhmana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa
Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fikih
dan undang-undang?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan urian rumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah kehidupan sosial agama
masyarakat Desa Jetak,
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan tradisi pernikahan
6
3. Untuk mengetahui sejauhmana pertentangan pernikahan adat
tumpeng terhadap syariat pernikahan Islam menurut tinjauan
fiqih dan undang-undang,
E. Metode penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah
field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung
kelapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas
yaitu bagaimana tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang
baik untuk melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi
masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif,
karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara
menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan
dari peneliti sebagai instrument kunci.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah (Moleong, 2009 : 6).
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan
7
pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu
masyarakat Jawa muslim dengan adat tumpeng dan perkembangannya
Desa Jetak .
Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan
penyelidikan dengan melihat fenomena masyarakat atau peristiwa
sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di
masyarakat (Soekanto, 1986 : 4-5).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dialakukan di wilayah Desa Jetak, kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena di
wilayah Desa jetak ini cukup banyak terjadi praktek pernikahan adat
tumpeng, sebagian besar masyarakat melakukan praktik pernikahan
adat tumpeng.
3. Sumber Data
a. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya
baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam
bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh
8
tumpeng, pemangku adat, pemuka agama, masyarakat dan
perangkat desa.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek
penelitian, hasil peneliti dalam bentuk laporan, bentuk skripsi
dan peraturan perundang-undangan (Ali, 2009 : 106).
4. Prosedur Pengumpulan Data
a. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998 : 115). Peneliti melakukan wawancara terhadap
pelaku nikah adat tumpeng dan anggota keluarga yang tinggal satu
rumah dengan mereka untuk mendapatkan data
sebanyak-banyaknya sesuai dengan fokus penelitian. Wawancara juga
dilakukan dengan pelaku, tokoh masyarakat dan tokoh agama guna
mengetahui pandangan mereka tentang nikah adat tumpeng. Semua
itu dilakukan untuk mengetahui keadaan sosial keagamaan
masyarakat dan prosesi tradisi pernikahan adat tumpeng.
9
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan dan buku. Metode ini sumber
datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode
dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tapi benda mati
(Arikunto, 1998 : 236).
Hal tersebut dilakukan peneliti untuk mencari data
mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari
kantor kelurahan Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang. Metode tersebut digunakan sebagai pelengkap dalam
memperoleh data. Dokumen yang dimaksud seperti data monografi
dari kelurahan dan buku-buku mengenai pernikahan dan
pernikahan adat yang menunjang penelitian ini.
5. Analisis Data dan keabsahan data
Selama pengumpulan data dilapangan data sudah mulai
dianalisis dengan mengklasifikasikan data sesuai fokus penelitian
sehingga dapat diketahui kekurangan agar segera dapat
melengkapi. Semua data terkumpul dan terklasifikasi secara rinci
digunakan untuk memeparkan pola atau struktur dari masalah yang
dikaji dengan penginterpretasikan data untuk menjawab masalah
penelitian
Data yang berhasil diperoleh akan dicek keabsahannya
10
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian
(Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan
karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekliruan yang
terlewati oleh penulis. Pengecekan dilakukan dengan cara
membandingkan (croos cek) hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan
satu dengan informan yang lain, maupun membandingkan hasil
wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
F. Sistematika Penulisan
BAB 1: Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Tinjuan umum dan kerangka pemikiran tentang pernikahan adat
tumpeng, dalam bab ini memaparkan tentang pernikahan
tumpeng perpektif UU No. 1 Tahun 1974, pernikahan adat
prespektif KHI dan perkawinan adat menurut hukum Islam.
BAB III: Pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak memaparkan seluruh
hasil yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis dan
kondisi lingkungan Desa Jetak, sejarah Desa Jetak, struktur
sosial dan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Desa
11
BAB IV: Tinjauan hukum Islam dan undang-undang di Indonesia terhadap
pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak. Bab ini menganalisis
praktek pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak, faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya pernikahan adat tumpeng,
mengulas penyebab yang melatar belakangi pasangan suami istri
melakukan pernikahan adat tumpeng, serta prespektif
masyarakat setempat tentang pernikahan adat tumpeng.
BAB V: Penutup; Bab ini berisi kesimpulan dan saran sebagaimana hasil
12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka
Studi tentang pernikahan adat telah banyak dilakukan. Beberapa
studi tentang pernikahan adat diantaranya karya Isroi (2012), Wicaksono
(2012), Syarif (2010), Eka (2013), Mochammad (2013). Penelitian Isro‟i
(2012) dengan judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram dengan
Adat Jawa Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok
Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Pada studi ini
menggunakan pendekatan historis. Pendekatan ini memungkinkan penulis
mengetahui asal mula adanya larangan menikah di bulan Muharram. Jenis
penelitian adalah penelitian kualitatif dimana sumber data menggunakan
sumber hasil observasai, wawancara.Penelitian ini membahas tentang
faktor-faktor yang mendorong masyrakat tidak melakukan pernikahan
pada bulan Muharram dan pandangan hukum Islam terhadap pernikahan
yang dilakukan pada bulan Muharram. Sehingga penelitian ini hanya
membahas tentang dasar larangan menikah pada bulan Muharram saja.
Adapun hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menurut hukum Islam
tentang lrangan menikah pada bulan Muharram itu tidak benar, karena
menikah merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan oleh agama Islam.
Waktu pelaksanaan pernikahan tersebut di dalam hukum Islam tidak ada
dalil yang menyebutkan waktu tertentu. Selain itu dalam hukum Islam
13
Studi kedua dilakukan oleh Wicaksono (2012) dengan judul “
Fenomena Pertukaran Istri dan Berbagai Dampaknya( Studi Kasus di
Dukuh Gumul, Desa Ngasinan, Kecamatan Susukan Kab Semarang)”.
Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research),
sumber data yang diperoleh data primer dan data sekunder, teknik
pengumpulan data adalah dengan wawancara dan obsevasi. Penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa: pertama pertukaran istri di Dukuh Gumul
adalah keadaan dimana satu kelompok penduduk di Dukuh tersebut yang
sudah beristri dan saling menukarkan istri masing-masing. Pertukaran istri
ini bermotif mencari keturunan, faktor ekonomi lemah, untuk ritual dan
fungsi rekreatif. Yang kedua dampak yang ditimbulkan dari pertukaran
istri yang terjadi di Dukuh Gumul adalah status keturunan anak yang
dilahirkan menjadi rancu dan tidak jelas. Ketiga tentang reaksi pasif warga
terhadap perilaku pasangan yang melakukan pertukaran istri tersebut.
Masyarakat tidak mengambil tindakan menasehati atau memberi larangan
terhadap apa yang mereka lakukan. Reaksi masyarakat sekitar terhadap
pasangan yang melakukan pertukaran istri cenderung hanya bersifat
preventif baiak lewat pertemuan-pertemuan rutin warga.
Peneliti tentang pernikahan adat ketiga oleh Syarif (2010) dengan
judul Larangan Melangkai Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing
(Desa Sirambes Kecamatan Panyambungan Barat Mandaling Natal).
Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Syarif melakukan
14
pengumpulan dokumen arsip Dalam penelitian ini terdapat 3 poin penting,
yaitu: pertama adalah setatus hukum perkawinan melangkahi kakak, dalam
fikih maupun Kompilasi Hukum Islam tidak ada larangan melangkahi
kakak dalam perkawinan, karena dalam undang-undang tidak
melarangnya, pernikahannya tetap sah, karena ini hanya ada dalam
peraturan adat disuatu desa saja. Yang kedua tanggapan masyarakat dan
para pemuka agama di Desa Sirambas, masyarakat masih mempertahankan
kebiasaan adat yang berlaku di desanya, walapun larangan pernikahan
melangkahi kakak sudah dianggap hal yang tidak tabu lagi, tetapi ada
beberapa orang tua yang masih melarang anaknya dengan alasan tersebut.
Pernikahan melangkahi kakak boleh dilakukan, tetapi mempelai harus
memberikan sesuatu untuk diberikan kepada kakaknya, walau tidak
ditentukan besarannya, dengan suka rela dan tidak memberatkan pihak
laki-laki. yang ketiga pandangan menurut fikih dan KHI, dalam fikih tidak
melarang pernikahan melangkahi kakak, hanya saja seseorang yang sudah
saatnya untuk menikah harus menyegerakannya, bahkan untuk menolak
lamaran yang sudah sekufu pun tidak dibenarkan, oleh karena itu melarang
seorang yang akan menikah adalah perbuatan yang diharamkan. Karena
ajuran untuk menikah sangat jelas dalam Al-qur‟an dan Hadis. Menurut
KHI, dalam KHI tidak ada larangan melangkahi kakak maupun adik,
sedangkan tentang uang pelangkahan ada 2 kategori yang diatur, pertama
apabila uang pelangkahan tersebut dianggap sebagai persyaratan maka itu
15
sekedar pemberian yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada
kakaknya, tanpa pemberian patokan, sehingga tidak memberatkan keluarga
laki-laki maka ini sesuai kaidah fikih tidaklah bertentangan dengan hukum
Islam.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Eka (2013) yang berjudul
Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat Di Desa Ketapang
Kecamatan SungkaiSelatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung
Dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode
kualitataif, dengan melakukan penelitian langsung ke lokasi penelitian,
sumber data yang didapatkan dengan data primer dan data sekunder,
pengumpulan data dengan metode observasai, wawancara, analisis data
yang dibagi menjadi dua yaitu: deduktif dan kualitatif. Faktor-faktor yang
melatarbelakangi tradisi kawin lari ini adalah tidak direstuinya orang tua,
syarat-syarat pembayaran dan pembiayaan yang terlalu tinggi, laki-laki
dan perempuan telah melakukan zina, faktor budaya atau tradisi adat.
Tradisi kawin lari ini dianggap jalan yang paling baik, karena pasangan
telah melakukan keputusan sepihak tanpa merundingkan dengan orang tua
mereka. Jika dilihat dengan perspektif hukum Islam adalah: pertama,
hukum Islam memerintahkan bagi kaum perempuan untuk keluar rumah
tanpa disertai dengan muhrimnya. Kedua, bertentangan dengan perintah
untuk berbakti kepada orang tua karena dengan adanya kawin lari orang
tua merasa kecewa dan sakit hati terhadap apa yang telah diperbuat oleh
16
muhrimnya untuk tinggal bersama karena dikhawatirkan akan terjadi
hal-hal yang mendekati zina. Keempat, tuntunan agama Islam uang mahar
pemberian calon suami kepada calon istri disesuaikan dengan kemampuan
calon suami dan tidak boleh memberatkannya
Penelitian terakhir yang berkaitan dengan adat dilakukan oleh
Mochammad (2013) dengan berjudul Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan
Dengan Sistem Pitungan Jawa (Studi Kasus Di Desa Jetak, Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang). Penelitian ini mengunakan metode filed
research kualitatif untuk melakukan penelitian seputar tata cara seseorang
menetukan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab qabul dan
mengetahui persepsi masyarakat. Hasil temuan penelitian ini adalah
mengenai:
1. Alasan-alasan para pelaku pelaksanaan ijab kabul terikat oleh
waktu, yaitu:
a. Masyarakat menggunakan waktu dalam menentukan
pelaksanaan ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi
turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu.
b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam pelaksanaan
ijab qabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar
dari semua ancaman marabahaya.
c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu
pelaksanaan ijab qabul pernikahan, mereka harus
17
juga harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya
waktu baik, jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan
marabahaya.
2. Persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang
pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan
waktu sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alasan supaya
mendapat kemantaban sampai beralasan untuk melestarika warisan
nenek moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang
tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul dengan sistem
perhitungan waktu karena mereka beralasan dalam syari‟at Islam
tidak ada.
3. Ilmu fikih menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan
masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah
ilmu yang bersumber dari nash Al Qur‟an dan Hadist, sedangkan tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih
dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. Ajaran yang masuk di
tanah Jawa yang di bawakan oleh para wali juga tidak lepas dari
tradisi-tradisi Jawa. Para wali memasukkan ajaran Islam ke Jawa
dengan muatan-muatan budaya Jawa. Jadi dengan adanya
budaya-budaya Jawa tidak bisa ditolak langsung dengan aturan ilmu fikih
yang bersumber dari syari‟at Islam. Tradisi tersebut termasuk dalam „urfal-fasid karena dalam pelaksanaannya masih
18
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti mengenai pernikahan adat. Ada perbedaan dengan penelitian yang
saya teliti. Jika penelitian yang telah dilakukan berkutat dengan larangan
menikah di bulan Muharram dan pernikahan yang terikat dengan pitungan,
maka penelitian saya ini menyangkut pernikahan tanpa ijab qobul dan
mahar, dengan judul Perkembangan Pernikahan Adat Tumpeng Desa
Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.
B.
Kerangka Pikiran
1.
Pengertian Pernikahan
Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk
mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Al Qur‟an menjuluki pernikahan dengan mitsaqanghalizhan, janji yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan
perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai
perempuan (istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus
19
dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW.
menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah
sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang,
disamping wali nikah meskipun tentang status hukumnya apakah dia
sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan
oleh para ulama (fuqaha) (Amin, 2005: 50).
Meneruskan keturunan adalah sunatullah yang berlaku pada semua
makhluk untuk melangsungkan hidupnya. Beberapa penulis juga terkadang
menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia,
“perkawinaan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhan,
hewan dan manusia. Berbeda dengan menikah hanya digunakan pada
manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat
istiadat dan terutama menurut agama. Menurut Islam nikah adalah akad
atau ikatan karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab
(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qobul (pernyatan
penerimaan dari pihak laki-laki). Adapun menurut syarak, nikah adalah
akad serah terima antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan
untuk saling memuaskan satu samama lainnya dan untuk membentuk
sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
20
Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan
sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadist
Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur‟an dengan arti kawin,
(Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa‟ ayat 3:
َٰىَُۡثَي ِءٓاَغُِّنٱ ٍَِّي ىُكَن َباَط اَي ْإُحِكَٱَف َٰىًَََٰتٍَۡنٱ ًِف ْإُطِغۡقُت الََّأ ۡىُتۡفِخ ٌِۡإَٔ
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 115).
Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur‟an dalam arti
kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:
َ اللَّٱ ِقاتٱَٔ َكَج َۡٔص َكٍَۡهَع ۡكِغ ۡيَأ ٍَِّۡهَع َت ًَۡعََۡأَٔ ٍَِّۡهَع ُ اللَّٱ َىَعََۡأ ٓيِزاهِن ُلُٕقَت ۡرِإَٔ
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak-anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 673).
Nikah, menurut bahasa: al jam‟u dan al dhamu yang artinya
kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang
21
menyetubuhi istri atu suami. Definisi yang hampir sama dengan di atas
juga di kemukakan oleh rahmat hakim bahwa kata nikah berasal dari
bahasa arab “nikahun”, yang merupakan masdar atau asal kata dari kata
kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian di terjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga
dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.
Sehingga pernikahan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang
luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan
timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban
untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya (Afandi,
1997 : 93).
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dengan seorang
perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia
dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang
sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur oleh syari‟ah.Adapun tujuan pernikahan dibagi menjadi lima hal
yaitu:
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan
keturunan serta memberkembangkan suku-suku bangsa manusia.
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
22
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis yang
pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
e. Menumbuhkan kesungguhan berusha mencari rezeki penghidupan
yang halal, dan memeperbesar rasa tangguang jawab (Ramulyo,
1996 : 227).
2.
Dasar Hukum Pernikahana. Pernikahan Menurut Hukum Islam
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban
yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut, (Tihami dan
Sohari, 2010 : 8) di dalam Al Qur‟an ada beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur‟an surat An-Nuur32:
ْإَُُٕكٌَ ٌِإ ۡۚۡىُكِئٓاَيِإَٔ ۡىُكِداَبِع ٍِۡي ٍٍَِحِه َٰاصنٱَٔ ۡىُكُِي َٰىًٌََََٰ ۡلۡٱ ْإُحِكََأَٔ
ُىُِِٓ ۡغٌُ َءٓاَشَقُف
ٞىٍِهَع ٌعِع ََٰٔ ُ اللَّٱَٔ ۗۦِِّه ۡضَف ٍِي ُ اللَّٱ
٣٣
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 549).
23
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kaTuhan-mu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 114).
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan
akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan
sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan
bahwa hukum asal perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal
perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh
agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu,
maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah
(Syarifuddin, 2006 : 43).
Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah
tergantung pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu,
ahkamal-24
khamsah (hukum yang lima) sesuai perubahan keadaan,(Tihami
dan Sohari, 2010 : 10). yaitu:
Nikah wajib.
Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan
haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah.
Nikah haram.
Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal,
dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
Nikah sunnah.
Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
25
yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini,
yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW. Menganjurkan
para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya
melakukan pernikahan; sementara pada sisi yang lain, Nabi
melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang
selamanya) (Amin, 2005 : 93).
1). Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin
laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan atau (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat
saah sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/
perempuan harus beragama Islam. Sah yitu pekerjaan atau ibadah
yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang di dalamnya
26
persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad
(Tihami&Sahrani, 2009 : 12).
Syarat syah pernikahan memiliki beberapa rukun-rukun
yang harus dilakukan yaitu: Pertama, untuk melangsungkan
pernikahan harus ada mempelai yang dinikahkan. Mempelai harus
laki-laki dan perempuan. Adapun syarat mempelai laki-laki adalah:
seorang laki-laki, bukan berasal dari mahram calon istri, tidak
terpaksa atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang
ihram. Sedangkan Syarat istri adalah: Perempuan, Tidak ada
halangan syarak yaitu tidak bersuami bukan mahram dan tidak
sedang iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya dan
Tidak sedang berihram.
Kedua adalah mempelai harus ada yang menikahkan. Orang
yang menikahkan disebut wali. Syarat wali dalah: Baligh, berakal,
merdeka, laki-laki Islam, adil dan tidak sedang ihram atau
umrah.Wali nikah ada tiga jenis yaitu wali mujbir, wali nasab dan
wali hakim. Wali mujbir adalah mereka yang mempunyi garis
keturunnan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka
yang termasuk wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas
menurut garis pariental.Sedangkan wali nasab adalah saudara
laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta garis keturunannya
27
adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan dua belah pihak
(calon suami istri). Walinikah termasuk syarat dan rukun nikah.
Ketiga, dalam pernikahan harus hadir dua orang saksi yang
menyaksikan pernikahan tersebut. Saksi harus memenuhi ketentuan
persyaratan sesuai dalam agama Islam. Adapun syarat menjadi
saksi nikah adalah: Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki, Islam,
Adil, Mendengar dan melihat (tidak bisu), Mengerti maksud ijab
qobul, Kuat ingatannya, Berakhlak baik, Tidak sedang menjadi
wali. Adanya dua orang saksi dan syarat-syarat menjadi saksi
termasuk salah satu dari rukun dan syarat pernikahan. Keempat
adalah harus adanya shigot ijab qobul.
Dari empat rukun nikah di atas yang paling penting adalah
ijab qobul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud syarat pernikahan adalah syarat yang
berhubungan dengan rukun-rukun pernikahan yaitu syarat-syarat
bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul. Akad nikah atau
pernikahan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukun nikah
menjadikan pernikahan tidak sah menurut hukum
(Tihami&sahrani, 2009 : 12).
28
Rukun yang pokok dalam perkawinan ridhonya laki-laki
dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup
berkeluarga karena perasaan ridho dan setuju bersifat kewajiban
yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena itu harus ada
perlambangan yang tegas untuk menunjukan kemauan mengadakan
perikatan bersuami istri, perlambangan itu di utarakan dengan
kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad (Sabiq, 1980 :
53).
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua
pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan
qobul, ijab adalah perjanjian penyerahan dari pihak pertama
sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak ke dua
(Sayarifuddin, 2006 : 61). Ijab qobul merupakan senyawa yang
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya,
bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus diucapkan
secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang dan diselang
dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses
ijab qobul (Amin, 2005 : 54).
Menurut Sabiq (1980: 53) akad yang mempunyai
akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat
29
Pertama, Calon mempelai laki-laki dan wali calon
pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan
akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa atau
berakal sehat. Itulah sebabnya kenapa orang gila dan anak kecil
yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan
salah, serta perbuatan yang manfaat dan madhorot, akad nikah
tidak dianggap sah. Dalam rangka syarat mumayyiz inilah fiqih
munakahad dan Undang-ungang perkawinan harus selalu saja
mencantumkan batas-batas minimal usia kawin (nikah).
Kedua, Ijab qabul dalam satu majelis maksudnya, akad
nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian
harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam
kalimat lain, ikrar ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas
atau pernyatan lain yang tidak ada relevansinya dengan
kelangsungan akad nikah itu sendiri.
Ketiga, Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan
ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang
menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
Keempat, Para pihak yang melakukan akad nikah
(mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan
atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan
30
masing-masing pihak.Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak
memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi
pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,
akad nikah dianggap tidak sah.
a) Kata-kata dalam Ijab Qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan
kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang
melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata yang samar atau kabur (Sabiq, 1980 :
55).
b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan
dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang
berakad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab.
Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak
paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya
dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi
orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab
qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab.
kata-31
kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana
juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak
menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia
mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang yang tidak pandai
bahasa Arab ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, karena
bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya
menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.
Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang
maknanya sama dengan lafadz Arab yang digunakan dalam
ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab
tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul bahasa Arab ini.
Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa
Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi
orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya
dengan mengucapkan takbir shalat (Sabiq, 1980 : 57).
c) Ijab Qabul Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana
dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual
belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu
mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah
satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah,
sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang
32
qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak
lainnya (Sabiq, 1980 : 59).
d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak bias
hadir tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka
wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada
pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain
ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan
para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau
menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan
kepada mereka didalam majelisnya bahwa akad nikahnya telah
diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih
dalam satu majlis (Sabiq, 1980 : 59).
3). Mahar Menurut Hukum Islam
Secara istilah mahar diartikan sebagai “ harta yang
menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah
atau dukhul”
Allah ta‟ala berfirman dalam QS.Al-Ahzab:50
اٍُّْ َس ضُجُأ َتٍَْتاَء ًِتهانا َكْجأَْسَأ اَُْهَهْح َا ااَ ِا ًُِّباُن ا آٌَُّ َا اٌَ
33
“hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan
maskawinnya,”(QS. Al-ahzab:50).
Mahar tidak memeiliki batas tertinggi atau terendah.
Rasululllah saw bersabda: “mahar yang paling baik adalah
mahar yang paling mudah” Rasulullah saw bersabda:
“perempuan yang paling besar berkahnya adalah perempuan
yang paling ringan maharnya”.hal ini karena mahar bukanlah
harga untuk membeli kenikmatan bagi laki-laki, namun
pemberian (nihlah), yaitu pemberian yang tidak memerlukan
balasan. Allah berfirman:
“berikanlah maskawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan,,,,,” (QS. An-nisa‟:4).
Mahar ada dua jenis macam yaitu: musamma dan
mahar mistil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati
oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam
akad.
Mahar mistil adalah mahar yang seharusnya diberikan
kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan
perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya,
agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama
34
Tidak adanya pernikahan syighar dalam Islam
dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi
َلاَق
ِو َلاْع ِ ْلَّا ًِف َس اَغِش َلَّ:َىاهَعَٔ ٍَِّْهَع ُاللِ َمَص ِاللِ ُلُٕع َس
Arinya: “ Rasulullah saw berkata tidak ada syighar
dalam Islam”
Dalam ketentuan pasal 14 KHI tersebut tidak
disebutkan mahar sebagai rukun nikah. Pasal 34 KHI ayat (1)
menentukan bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam
perkawinan. Meskipun mahar bukan merupakan merupakan
rukun nikah, tetapi pasal 30 KHI menentukan bahwa calon
mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon
mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelai
perempuan dan calon mempelai laki-laki. Ketentuan pasal 30
dan 34 KHI sesuai dengan mahar yang ditentukan dalam surat
An- nisaa ayat 4 dan ayat 20, dan surat Al-baqorah ayat 236
(Djubaidah, 2010 : 130).
Hukum memberikan mahar dalam Islam adalah wajib.
Karena itu Islam mengharamkan pernikahan syighar.
Rasullullah saw melarang pernikahan syighar yang
digambarkan sebagai berikut:
laki-35
laki yang pertama, tanpa ada mahar di antara mereka
berdua.”(Washfi,2005 : 315).
b. Pernikahan Dalam Hukum Positif
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa.
Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah
undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prrinsip dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini mennnnjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menurut Undang-undang,
perkawinan itu ialah ikatan antara seseorang pria dan seorang
wanita (Hadikusuma, 2007: 6).
Dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai
negara berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama adalah
ketuhana Yang Maha Esa, maka pernikahan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peran
36
Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan
merupakan suatu perbuatan hukum di samping perbuatan
keagamaan sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu
menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau
kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan
keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan
dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan
kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan
bagaimana perkawinan itu harus dilakukan. Kemudian dalam
pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bagi umat Islam
pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan Islam. Begitu pula bagi penganut agama yang lain
yang diakui di Indonesia (Syahuri, 2013 : 23).
Undang-undang ini juga menentukan bahwa pernikahan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal
6 ayat 1). Hal ini dikarenakan pernikahan mempunyai maksud
agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia, dan sesuai pula dengan hak asai manusia, maka suatu
pernikhan harus memdapat persetujuan dari kedua calon suami
37
No, 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam
pernikahan yaitu:
Pertama, Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling
membantu, melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan material dan sepiritual.
Kedua, Pernikahan yang sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu; dan
disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlakku. Pencatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
Ketiga,Undang-undang ini menganut asas monogami.
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, seorang
suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang dengan syarat
yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan diputuskan oleh
38
Keempat, calon suami istri harus matang secara jiwa dan
raganya untuk melangsungkan pernikahan, agar dapat
mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. untuk
itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami yang
masih di bawah umur. Di samping itu, pernikahan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan yaitu batas umur
yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah
mengakibatan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Oleh sebab
itu undang-undang ini menentukan batas umur seseorang untuk
melangsungkan perkawinan, untuk wanita yaitu 16 tahun dan
untuk laki-laki yaitu 19 tahun.
Kelima, Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga yang kekal dan sejahtera. Maka Undang-undang ini
mengandung prinsip mempersukar terjadinya perceraian untuk
dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
Keenam, Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
39
dan diputuskan bersama oleh suami istri
(Sosroatmojo&Aulawi, 1978 : 35).
Untuk menjamin kepastian hukum maka pernikahan
berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan
yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak
mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada
(Sudarsono, 2005 : 9).
3.
Hikmah PernikahanIslam menganjurkan dan menyegerakan kawin sebagaimana
tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya
sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia (Sabiq, 1980 : 18).
Adapun hikmah nikah adalah:
Pertama, Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling
kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar.
Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah
manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan
yang jahat. Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik
dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.
40
melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang
halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS.Ar-Ruum: 21
ٗج ََٰٔ ۡصَأ ۡىُكِغُفََأ ٍِّۡي ىُكَن َقَهَخ ٌَۡأ ٓۦِِّتٌََٰاَء ٍِۡئَ
ىُكٍََُۡب َمَعَجَٔ آٍََۡنِإ ْإُُُٓك ۡغَتِّن ا
ٌَُٔشاكَفَتٌَ ٖو َٕۡقِّن ٖتٌََٰٓ َلۡ َكِن ََٰر ًِف اٌِإ ًۡۚتًَ ۡحَسَٔ ٗةادَٕاي
٣١
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 644).
Kedua, Menikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi
mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
Ketiga, Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh
pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayangyang merupakan
sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
Keempat, Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung
anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam
memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.Ia akan cekatan bekerja,
karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya,
sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
41
Kelima, Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan
mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai
dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam
menangani tugas-tugasnya.
Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam
direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling
menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat
lagi bahagia.
4.
Adat dan Pernikahan Adata. Pengertian Pernikahan Adat
Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg
(dilakukan terus menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Jika
kebiasaan itu telah bertahan selama bertahun-tahun dan telah berurat
akar di dalam hati nurani anggota masyarakatnya, ia menjadi
kebudayaan (Rato, 2011 : 1).
Hukum adat berasal dari kata „Hukum‟ dan „adat‟ kata „Hukum‟
berasal kata bahasa arab huk‟m dan kata „adat‟ berasal dari kata adah.