• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG - Test Repository"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG

DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh

Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

NOPIANA

NIM 21110022

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

(2)

ii

NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,

arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : NOPIANA

Nim : 21110022

Jurusan : Syari‟ah

Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Judul : PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT

TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG. Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan

dalam sidang munaqasyah.

Demikian persetujuan pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian

(3)

iii

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH

Jl. NakulaSadewa 5 No. 9 Telp. (0298) 3419400 Faks. 323433 Salatiga 50722 http://www.iainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@iainsalatiga.ac.id

PENGESAHAN

PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG

OLEH NOPIANA NIM :21110022

Telah dipertahankan di depan Sidang Munaqosyah Skripsi Fakultas Syari‟ah,

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Rabu tanggal 18 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. ______________

Sekretaris Penguji : Haryo Aji Nugroho,S.Sos., MA. ______________

Penguji I : Farkhani, S.HI., MH. ______________

Penguji II : Luthfiana Zahriani, SH., MH. ______________

Salatiga, 18 April 2015

Dekan Fakultas Syari‟ah

Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertandatangan dibawah ini;

Nama : NOPIANA

Nim : 21110022

Jurusan : Ahwal Al- Syakhsiyyah

Fakultas : Syari‟ah

Judul Skripsi :PERKEMBANGAN PERNIKAH ADAT

TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah

Salatiga, 18 April 2015

Yang menyatakan

(5)

v

MOTO

DALAM KEHIDUPAN ADA DUA PILIHAN,

INGIN JADI ORANG YANG KALAH ATAU INGIN JADI

ORANG YANG MENANG?

KARNA HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN, KItA SENDIRI

YANG MENENTUKAN PILIHAN TERSEBUT.

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada:

1. Kepada Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang

dengan sabar dan tak pernah lelah membimbing, sehingga

penulis dapat menyelesaikan tulisan ini

2. Keluarga besar, terutama ibu Tukiyem dan bapak Yoto

Kasno yang tak henti-hentinya memberikan dukungan

serta Do’anya.

3. Kakakku Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu

mendukung dan mendoakanku

4. Keponakanku Adesya Nauvalin Fikiria Rabani.

5. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno yang selalu memberi

semangat kepadaku untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabatku Khaya Ulin Najah yang menemaniku

menyelesaikan skripsi ini.

7. Temanku Ulya Liala Mubarokah yang selalu menemaniku

(7)

vii

8. Dan kepada Teman teman yang selalu memberi motivasi

seperti Rita, Ari, Ita, Leni dan Rissa

(8)

viii

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا للها مسب

Alkhamdulillah Wa Syukurillah Puji syukur senantiasa penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT, yang Maha Rahmandan Maha Rahim yang telah

mengangkat manusia dengan berbagai keistimewaan. Dan hanya petunjuk dan

tuntunan-Nya, penulis mempunyai kemampuan dan kemauan sehingga penulisan

skripsi ini bisa terselesaikan

Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis

menyadari bahwa tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi

merupakan tugas yang berat. Akhirnya dengan berbekal kekuatan dan kemauan

dan bantuan semua pihak, maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terimakasih

yang tiadataranya kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd Selaku Rektor Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Salatiga

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

3. Bapak Sukron Makmun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal

(9)

ix

4. Bapak Moh Khusen M.Ag., M.A. selaku dosen pembimbing akademik

yang telah sabar dan banyak memberikan bimbingan dan arahan agar

penulis menjadi pribadi yang lebih baik.

5. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A yang meluangkan waktunya

untuk membimbing saya untuk penyelesaian skripsi ini

6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan perpustakaan dan bagian

administrasi yang telah membantu proses penyusunan skripsi.

7. Bapak Kasno dan Ibu Tukiyem tercinta, terimakasih atas segala doa dan

yang tiada henti terlantun untuk keberhasilan putrinya.

8. Kakakku tersayag Eka Daryati dan Eko Budi Santoso yang selalu

memberi semangat dan dukungan.

9. Imamku Rohmat Ihsan Suwarno terimakasih atas Do‟a dan dukunganya.

10.Om Tutur dan Bulek Maryatai yang memberikan do‟a dan dukungannya

11.Lex Tugimin Supriyadi yang selalu menduungku

12.Bpak Sumadi al Bakah dan ibu Harni yang selalu mendukung dan

mendoakanku

13.Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2010, terutama Ulin, Ulya, Rita,

Ari, Ita, Leni terimakasih atas segala kebersamaannya selama ini.

14.Bapak-ibu narasumber yang telah bersedia memberikan keterangannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Nama-nama yang

dipakai adalah nama samaran sesuai permintaan narasumber.

15.Bapak Sutrimo selaku Kepala Desa Jetak yang telah memberikan izin

(10)

x

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang telah

memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya penyusunan skripsi

ini.

Dengan segenap kesadaran penulis mengakui bahwa masih

banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis

atas segala respon, saran dan kritik dari pembaca yang budiman. Akhirnya

hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan semoga apa yang

tertulis dalam Skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri

dan para pembaca pada umumnya. Amin yarobbal „Alamin.

Salatiga, 18 April 2015

Penulis

Nopiana

(11)

xi ABSTRAK

Nopiana, PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT TUMPENG DI DESA

JETAK, KECAMATAN GETASAN, KABUPATEN SEMARANG. Skripsi.

Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal AL-Syakhshiyyah. Institut Agama

Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A

Kata Kunci : Pernikahan adat tumpeng

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan dan mengetahui pressepsi masyarakat di Desa Jetak dalam pelaksanaan pernikahan adat tanpa shigot akad ijab qobul dan mahar. Pertanyaan utama yang ingin di jawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana kondisi sosial keagamaan Desa Jetak? 2) bagaimana perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak? 3) Sejauh mana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fiqih dan undang-undang?

Untuk menjawab pertanyaaan tersebut maka peneliti menggunakan metode

field research (penelitian lapangan). pengumpulan data melalui obsevasi dan wawancara terhadap perangkat Desa, Pemangku adat, pemuka Agama dan pelaku pernikahan adat tumpeng dan beberapa buku untuk mendukung penelitian ini.

Masyarakat yang memangkuat dengan tradisi kejawennya membuat perkembangan keagamaan di Desa Jetak melambat, kurangnya pemuka agama atau ustad untuk memberikan pengetahuan agama kepada masyarakat menjadi salah satu faktor utama, selain itu tingkat pendidikan, faktor ekonomi masyarakat yang rendah juga berpengaruh terhadap perkembangan pernikahan adat tumpeng di desa Jetak. Di Desa Jetak ini pernah berkembang tradisi pernikahan tumpeng

dimana pernikahan orang Islam tanpa menggunakan syari‟at ijab qobul dan

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

PENGESAHAN KELULUSAN...………..……….... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……… iv

MOTTO ……… v

PERSEMBAHAN………. vi

KATA PENGANTAR ………... vii

ABSTRAK ………. x

DAFTAR ISI ……… xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….... 1

B. Penggasan Istilah ……….. 4

C. Rumusan Masalah ……….... 5

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………... 5

E. Metode Penelitian………. 6

(13)

xiii

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka ………. .. 12

B. Kerangka Pemikiran ………. .. 18

1. Pengertian Perkawinan dan Manfaat perkawinan…………... .. 18

2. Dasar Hukum Pernikahan……….………... 22

a. Pernikahan Dalam Hukum Islam……….... 22

1). Rukun dan Syarat Pernikahan……….... 25

2). Akad dan Syarat Ijab Kabul………... 28

3). Mahar Menurut Hukum Islam……….... 33

b. Pernikahan Dalam Hukum Positif………... 35

3. Hikmah dan Manfaat Nikah………... 39

4. Pengertian dan Pernikahan Adat………... 42

a. Pengertian Pernikahan Adat………... 42

b. Hukum Adat Ditaati Oleh Masyarat……….. 46

c. Kelebihan Dan Fungsi Adat……….. 47

d. Kelemahan Hukum Adat………... 48

BAB III: HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Penduduk Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ………... 49

1. Desa Getasan Dalam Lintas Sejarah... 49

2. Letak Geografis dan Kondisi Administratif Desa Jetak…….... 51

(14)

xiv

a. Populasi Desa Jetak... 52

b. Tingkat Pendidikan ……….. 53

c. Pekerjaan Dan Usia Kerja………... 54

d. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat………... 55

B. Pofil Pelaku Pernikahan Adat Tumpeng………... 57

C. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak…...………... 60

D. Faktor Terjadinya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak…….... 70

E. Persepsi Masyarakat Jetak Tentang Pernikahan Adat Tumpeng... 73

F. Dampak Pernikahan Adat Tumpeng... 77

G. Perubahan Budaya Pernikahan Adat Tumpeng di Desa Jetak... 78

BAB IV: ANALISIS A. Tradisi Pernikahan di Desa Jetak... 83

B. Pelaksanaan Pernikahan Adat Tumpeng Dalam Tinjauan Ilmu Fiqh... 84

C. Analisis Pernikahan Adat Tumpeng Menurut Undang-Undang No1 Tahun 1974……… 86

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ………. 90

B. Saran ……….. 92

DAFTAR PUSTAKA

(15)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu pernikahan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta kasih

dan sayang. Karena dalam pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan

yang dalam sebuah rumah tangga, pernikahan merupakan sebuah ritual

yang sangat sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling

mencintai, dua keluarga yang sebelumnya belum saling mengenal antara

satu dengan yang lainnya tanpa ada lagi batasan yang

menghalangi.”Pernikahan adalah satu sunatullah yang umum berlaku

pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan, tumbuhan” (Sabiq,

1990 : 6). Dengan pernikahan manusia dapat membentuk keluarga dan

memgembangkan keturunan yang baik.

Salah satu tujuan syari‟at Islam adalah memelihara kelangsungan

perkawinan yang sah, menurut agama dan diakui oleh undang-undang dan

diterima sebagai budaya masyarakat

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa

pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalizan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Sedangkan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP)

(16)

2

seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan adalah untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangg yang sakinah, mawaddah,

warahmah. Meskipun demikian banyak pihak-pihak yang dengan sengaja

mencoba untuk mengotori dan memanfaatkan sesuatu yang sakral ini

hanya untuk mendapatkan keuntungan baik yang berupa materi maupun

hanya untuk sekedar dapat terpenuhi hasrat biologisnya semata, atau

mungkin dengan alasan-alasan yang lain. Oleh karena itu berbagai

permasalahanpun akhirnya muncul.

Syarat sah pernikahan harus diperhatikan baik menurut agama

maupun hukum Negara. Dalam fiqh sunnahnya, Sabiq, (1990 : 78)

menyebutkan ada dua sarat sahnya pernikahan. Pertama, perempuannya

halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri Kedua, aqad

nikahnya dihadiri para saksi. Dalam Kitab al-Fiqh „Ala al-

Al-Arba‟ah.Imam Safi‟i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang

saksi, dan sighat (ijab qabul) (Jaziri,1999 : 12).

Di Indonesia pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi rukun

dan syarat yang telah ditentukan oleh KHI dan Undang-Undang No 1

tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan yang sah menurut KHI salah

satunya bila memenuhi hukum Islam dan dicatatkan sesuai dengan pasal

(17)

3

Undang-Undang No 1 tahun 1979 pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan

perkawinan. Pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan syarat rukun

nikah dalam Islam, tanpa dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) dinamakan pernikahan siri (Nurhaidi, 2003 : 5). Penikahan siri

adalah sah menurut agama tetapi “cacat” menurut hukum positif di

Indonesia. Pernikahan harus dicatatkan Pencatat Nikah (PPN) di KUA

bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi yang non

muslim, sehingga mempunyai bukti yang otentik. Padahal jika mereka

tahu dan sadar akan hukum pernikahan sirri ini akan banyak menimbulkan

persoalan-persoalan yang kelak mungkin terjadi bukan hanya bagi istri

tetapi akan mungkin berdampak pula dengan anak yang dilahirkannya.

Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan wajib

menyerahkan mahar kepada istrinya. Berdosa bila seseorang suami tidak

menyerahkan mahar kepada istrinya. Meskipun UU perkawinan tidak

mengatur sama sekali tentang mahar dalam perkawinan, namun KHI

mengatur tentang keharusan membayar mahar dalam pasal 30 adapun

pasal 30 menyatakan bahwa “Calon mempelai pria wajib membayar mahar

kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentukdan jenisnya

disepakati oleh kedua belah bihak”(Syarifudin, 2006 : 97).

Namun pada prakteknya yang terjadi di masyarakat Desa Jetak

Kecamatan Getasan biasanya melangsungkan pernikahan dengan cara

(18)

4

yang biasaya berhak untuk menikahkan. Dan pernikahan adat ini tidak

menggunakan ijab dan qhobul dan mahar.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan mendalami

lebih lanjut fenomena yang terjadi di Desa Jetak Kecamatan Getasan

dalam skripsi yang berjudul “PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT

TUMPENG DI DESA JETAK, KECAMATAN GETASAN,

KABUPATEN SEMARANG”

B. Penegasan Istilah

Agar tidak terjadi kekliruan dalam penafsiran judul di atas maka

penulis perlu menjelaskan sebagai berikut:

1. Pernikahan adat tumpeng

Pernikahan adat tumpeng adalah pernikahan adat umat muslim

Desa Jetak dengan pemotongan nasi tumpeng tanpa ijab qobul

dan mahar tanpa sesuai syari‟at Islam

2. Tinjauan normatif dan sosiologis

Tinjuan normatif yang dimaksud di sini adalah

norma-norma islam atau hukum Islam yang mengantur tentrng

pernikahan dan bagaiamana hukum Islam memandang

pernikahan adat tumpeng yang terjadi masyarakat. Sedangkan

tinjauan sosiologisnya adalah pendekatan untuk mengetahui

(19)

5

pernikahan adat tumpeng yang ada di desa mereka dan

ketentuan hukum Islam

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi kehidupan sosial keagamaan masyarakat

Desa Jetak?

2. Bagaimanakah perkembangan tradisi pernikahan adat tumpeng

di Desa Jetak?

3. Sejauhmana pertentangan pernikahan adat tumpeng di Desa

Jetak dengan syariat pernikahan Islam menurut tinjauan fikih

dan undang-undang?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan urian rumusan masalah di atas maka tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah kehidupan sosial agama

masyarakat Desa Jetak,

2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan tradisi pernikahan

(20)

6

3. Untuk mengetahui sejauhmana pertentangan pernikahan adat

tumpeng terhadap syariat pernikahan Islam menurut tinjauan

fiqih dan undang-undang,

E. Metode penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah

field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung

kelapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas

yaitu bagaimana tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang

baik untuk melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi

masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif,

karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara

menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan

dari peneliti sebagai instrument kunci.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan

dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah (Moleong, 2009 : 6).

Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan

(21)

7

pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu

masyarakat Jawa muslim dengan adat tumpeng dan perkembangannya

Desa Jetak .

Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan

penyelidikan dengan melihat fenomena masyarakat atau peristiwa

sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di

masyarakat (Soekanto, 1986 : 4-5).

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dialakukan di wilayah Desa Jetak, kecamatan

Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena di

wilayah Desa jetak ini cukup banyak terjadi praktek pernikahan adat

tumpeng, sebagian besar masyarakat melakukan praktik pernikahan

adat tumpeng.

3. Sumber Data

a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya

baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam

bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh

(22)

8

tumpeng, pemangku adat, pemuka agama, masyarakat dan

perangkat desa.

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek

penelitian, hasil peneliti dalam bentuk laporan, bentuk skripsi

dan peraturan perundang-undangan (Ali, 2009 : 106).

4. Prosedur Pengumpulan Data

a. Metode Wawancara

Metode wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(Arikunto, 1998 : 115). Peneliti melakukan wawancara terhadap

pelaku nikah adat tumpeng dan anggota keluarga yang tinggal satu

rumah dengan mereka untuk mendapatkan data

sebanyak-banyaknya sesuai dengan fokus penelitian. Wawancara juga

dilakukan dengan pelaku, tokoh masyarakat dan tokoh agama guna

mengetahui pandangan mereka tentang nikah adat tumpeng. Semua

itu dilakukan untuk mengetahui keadaan sosial keagamaan

masyarakat dan prosesi tradisi pernikahan adat tumpeng.

(23)

9

Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal

atau variabel yang berupa catatan dan buku. Metode ini sumber

datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode

dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tapi benda mati

(Arikunto, 1998 : 236).

Hal tersebut dilakukan peneliti untuk mencari data

mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan data dari

kantor kelurahan Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang. Metode tersebut digunakan sebagai pelengkap dalam

memperoleh data. Dokumen yang dimaksud seperti data monografi

dari kelurahan dan buku-buku mengenai pernikahan dan

pernikahan adat yang menunjang penelitian ini.

5. Analisis Data dan keabsahan data

Selama pengumpulan data dilapangan data sudah mulai

dianalisis dengan mengklasifikasikan data sesuai fokus penelitian

sehingga dapat diketahui kekurangan agar segera dapat

melengkapi. Semua data terkumpul dan terklasifikasi secara rinci

digunakan untuk memeparkan pola atau struktur dari masalah yang

dikaji dengan penginterpretasikan data untuk menjawab masalah

penelitian

Data yang berhasil diperoleh akan dicek keabsahannya

(24)

10

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian

(Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan

karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekliruan yang

terlewati oleh penulis. Pengecekan dilakukan dengan cara

membandingkan (croos cek) hasil pengamatan dengan data

hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan

satu dengan informan yang lain, maupun membandingkan hasil

wawancara dengan dokumen yang berkaitan.

F. Sistematika Penulisan

BAB 1: Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus

penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Tinjuan umum dan kerangka pemikiran tentang pernikahan adat

tumpeng, dalam bab ini memaparkan tentang pernikahan

tumpeng perpektif UU No. 1 Tahun 1974, pernikahan adat

prespektif KHI dan perkawinan adat menurut hukum Islam.

BAB III: Pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak memaparkan seluruh

hasil yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis dan

kondisi lingkungan Desa Jetak, sejarah Desa Jetak, struktur

sosial dan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Desa

(25)

11

BAB IV: Tinjauan hukum Islam dan undang-undang di Indonesia terhadap

pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak. Bab ini menganalisis

praktek pernikahan adat tumpeng di Desa Jetak, faktor-faktor

yang mempengaruhi terjadinya pernikahan adat tumpeng,

mengulas penyebab yang melatar belakangi pasangan suami istri

melakukan pernikahan adat tumpeng, serta prespektif

masyarakat setempat tentang pernikahan adat tumpeng.

BAB V: Penutup; Bab ini berisi kesimpulan dan saran sebagaimana hasil

(26)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

Studi tentang pernikahan adat telah banyak dilakukan. Beberapa

studi tentang pernikahan adat diantaranya karya Isroi (2012), Wicaksono

(2012), Syarif (2010), Eka (2013), Mochammad (2013). Penelitian Isro‟i

(2012) dengan judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram dengan

Adat Jawa Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok

Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Pada studi ini

menggunakan pendekatan historis. Pendekatan ini memungkinkan penulis

mengetahui asal mula adanya larangan menikah di bulan Muharram. Jenis

penelitian adalah penelitian kualitatif dimana sumber data menggunakan

sumber hasil observasai, wawancara.Penelitian ini membahas tentang

faktor-faktor yang mendorong masyrakat tidak melakukan pernikahan

pada bulan Muharram dan pandangan hukum Islam terhadap pernikahan

yang dilakukan pada bulan Muharram. Sehingga penelitian ini hanya

membahas tentang dasar larangan menikah pada bulan Muharram saja.

Adapun hasil penelitian ini disimpulkan bahwa menurut hukum Islam

tentang lrangan menikah pada bulan Muharram itu tidak benar, karena

menikah merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan oleh agama Islam.

Waktu pelaksanaan pernikahan tersebut di dalam hukum Islam tidak ada

dalil yang menyebutkan waktu tertentu. Selain itu dalam hukum Islam

(27)

13

Studi kedua dilakukan oleh Wicaksono (2012) dengan judul “

Fenomena Pertukaran Istri dan Berbagai Dampaknya( Studi Kasus di

Dukuh Gumul, Desa Ngasinan, Kecamatan Susukan Kab Semarang)”.

Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research),

sumber data yang diperoleh data primer dan data sekunder, teknik

pengumpulan data adalah dengan wawancara dan obsevasi. Penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa: pertama pertukaran istri di Dukuh Gumul

adalah keadaan dimana satu kelompok penduduk di Dukuh tersebut yang

sudah beristri dan saling menukarkan istri masing-masing. Pertukaran istri

ini bermotif mencari keturunan, faktor ekonomi lemah, untuk ritual dan

fungsi rekreatif. Yang kedua dampak yang ditimbulkan dari pertukaran

istri yang terjadi di Dukuh Gumul adalah status keturunan anak yang

dilahirkan menjadi rancu dan tidak jelas. Ketiga tentang reaksi pasif warga

terhadap perilaku pasangan yang melakukan pertukaran istri tersebut.

Masyarakat tidak mengambil tindakan menasehati atau memberi larangan

terhadap apa yang mereka lakukan. Reaksi masyarakat sekitar terhadap

pasangan yang melakukan pertukaran istri cenderung hanya bersifat

preventif baiak lewat pertemuan-pertemuan rutin warga.

Peneliti tentang pernikahan adat ketiga oleh Syarif (2010) dengan

judul Larangan Melangkai Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing

(Desa Sirambes Kecamatan Panyambungan Barat Mandaling Natal).

Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Syarif melakukan

(28)

14

pengumpulan dokumen arsip Dalam penelitian ini terdapat 3 poin penting,

yaitu: pertama adalah setatus hukum perkawinan melangkahi kakak, dalam

fikih maupun Kompilasi Hukum Islam tidak ada larangan melangkahi

kakak dalam perkawinan, karena dalam undang-undang tidak

melarangnya, pernikahannya tetap sah, karena ini hanya ada dalam

peraturan adat disuatu desa saja. Yang kedua tanggapan masyarakat dan

para pemuka agama di Desa Sirambas, masyarakat masih mempertahankan

kebiasaan adat yang berlaku di desanya, walapun larangan pernikahan

melangkahi kakak sudah dianggap hal yang tidak tabu lagi, tetapi ada

beberapa orang tua yang masih melarang anaknya dengan alasan tersebut.

Pernikahan melangkahi kakak boleh dilakukan, tetapi mempelai harus

memberikan sesuatu untuk diberikan kepada kakaknya, walau tidak

ditentukan besarannya, dengan suka rela dan tidak memberatkan pihak

laki-laki. yang ketiga pandangan menurut fikih dan KHI, dalam fikih tidak

melarang pernikahan melangkahi kakak, hanya saja seseorang yang sudah

saatnya untuk menikah harus menyegerakannya, bahkan untuk menolak

lamaran yang sudah sekufu pun tidak dibenarkan, oleh karena itu melarang

seorang yang akan menikah adalah perbuatan yang diharamkan. Karena

ajuran untuk menikah sangat jelas dalam Al-qur‟an dan Hadis. Menurut

KHI, dalam KHI tidak ada larangan melangkahi kakak maupun adik,

sedangkan tentang uang pelangkahan ada 2 kategori yang diatur, pertama

apabila uang pelangkahan tersebut dianggap sebagai persyaratan maka itu

(29)

15

sekedar pemberian yang diberikan oleh keluarga laki-laki kepada

kakaknya, tanpa pemberian patokan, sehingga tidak memberatkan keluarga

laki-laki maka ini sesuai kaidah fikih tidaklah bertentangan dengan hukum

Islam.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Eka (2013) yang berjudul

Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat Di Desa Ketapang

Kecamatan SungkaiSelatan Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung

Dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini menggunakan metode

kualitataif, dengan melakukan penelitian langsung ke lokasi penelitian,

sumber data yang didapatkan dengan data primer dan data sekunder,

pengumpulan data dengan metode observasai, wawancara, analisis data

yang dibagi menjadi dua yaitu: deduktif dan kualitatif. Faktor-faktor yang

melatarbelakangi tradisi kawin lari ini adalah tidak direstuinya orang tua,

syarat-syarat pembayaran dan pembiayaan yang terlalu tinggi, laki-laki

dan perempuan telah melakukan zina, faktor budaya atau tradisi adat.

Tradisi kawin lari ini dianggap jalan yang paling baik, karena pasangan

telah melakukan keputusan sepihak tanpa merundingkan dengan orang tua

mereka. Jika dilihat dengan perspektif hukum Islam adalah: pertama,

hukum Islam memerintahkan bagi kaum perempuan untuk keluar rumah

tanpa disertai dengan muhrimnya. Kedua, bertentangan dengan perintah

untuk berbakti kepada orang tua karena dengan adanya kawin lari orang

tua merasa kecewa dan sakit hati terhadap apa yang telah diperbuat oleh

(30)

16

muhrimnya untuk tinggal bersama karena dikhawatirkan akan terjadi

hal-hal yang mendekati zina. Keempat, tuntunan agama Islam uang mahar

pemberian calon suami kepada calon istri disesuaikan dengan kemampuan

calon suami dan tidak boleh memberatkannya

Penelitian terakhir yang berkaitan dengan adat dilakukan oleh

Mochammad (2013) dengan berjudul Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan

Dengan Sistem Pitungan Jawa (Studi Kasus Di Desa Jetak, Kecamatan

Getasan Kabupaten Semarang). Penelitian ini mengunakan metode filed

research kualitatif untuk melakukan penelitian seputar tata cara seseorang

menetukan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab qabul dan

mengetahui persepsi masyarakat. Hasil temuan penelitian ini adalah

mengenai:

1. Alasan-alasan para pelaku pelaksanaan ijab kabul terikat oleh

waktu, yaitu:

a. Masyarakat menggunakan waktu dalam menentukan

pelaksanaan ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi

turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu.

b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam pelaksanaan

ijab qabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar

dari semua ancaman marabahaya.

c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu

pelaksanaan ijab qabul pernikahan, mereka harus

(31)

17

juga harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya

waktu baik, jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan

marabahaya.

2. Persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang

pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan

waktu sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alasan supaya

mendapat kemantaban sampai beralasan untuk melestarika warisan

nenek moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang

tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul dengan sistem

perhitungan waktu karena mereka beralasan dalam syari‟at Islam

tidak ada.

3. Ilmu fikih menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan

masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah

ilmu yang bersumber dari nash Al Qur‟an dan Hadist, sedangkan tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih

dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. Ajaran yang masuk di

tanah Jawa yang di bawakan oleh para wali juga tidak lepas dari

tradisi-tradisi Jawa. Para wali memasukkan ajaran Islam ke Jawa

dengan muatan-muatan budaya Jawa. Jadi dengan adanya

budaya-budaya Jawa tidak bisa ditolak langsung dengan aturan ilmu fikih

yang bersumber dari syari‟at Islam. Tradisi tersebut termasuk dalam „urfal-fasid karena dalam pelaksanaannya masih

(32)

18

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa

peneliti mengenai pernikahan adat. Ada perbedaan dengan penelitian yang

saya teliti. Jika penelitian yang telah dilakukan berkutat dengan larangan

menikah di bulan Muharram dan pernikahan yang terikat dengan pitungan,

maka penelitian saya ini menyangkut pernikahan tanpa ijab qobul dan

mahar, dengan judul Perkembangan Pernikahan Adat Tumpeng Desa

Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang.

B.

Kerangka Pikiran

1.

Pengertian Pernikahan

Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam

Kompilasi Hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk

mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Al Qur‟an menjuluki pernikahan dengan mitsaqanghalizhan, janji yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan

perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai

perempuan (istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus

(33)

19

dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW.

menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Dan itulah

sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang,

disamping wali nikah meskipun tentang status hukumnya apakah dia

sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap diperdebatkan

oleh para ulama (fuqaha) (Amin, 2005: 50).

Meneruskan keturunan adalah sunatullah yang berlaku pada semua

makhluk untuk melangsungkan hidupnya. Beberapa penulis juga terkadang

menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia,

“perkawinaan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin

atau bersetubuh. Istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhan,

hewan dan manusia. Berbeda dengan menikah hanya digunakan pada

manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat

istiadat dan terutama menurut agama. Menurut Islam nikah adalah akad

atau ikatan karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab

(pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qobul (pernyatan

penerimaan dari pihak laki-laki). Adapun menurut syarak, nikah adalah

akad serah terima antara laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan

untuk saling memuaskan satu samama lainnya dan untuk membentuk

sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang

(34)

20

Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua

kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan

sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadist

Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur‟an dengan arti kawin,

(Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa‟ ayat 3:

َٰىَُۡثَي ِءٓاَغُِّنٱ ٍَِّي ىُكَن َباَط اَي ْإُحِكَٱَف َٰىًَََٰتٍَۡنٱ ًِف ْإُطِغۡقُت الََّأ ۡىُتۡفِخ ٌِۡإَٔ

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya

(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 115).

Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur‟an dalam arti

kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37:

َ اللَّٱ ِقاتٱَٔ َكَج َۡٔص َكٍَۡهَع ۡكِغ ۡيَأ ٍَِّۡهَع َت ًَۡعََۡأَٔ ٍَِّۡهَع ُ اللَّٱ َىَعََۡأ ٓيِزاهِن ُلُٕقَت ۡرِإَٔ

Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap

Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak-anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 673).

Nikah, menurut bahasa: al jam‟u dan al dhamu yang artinya

kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang

(35)

21

menyetubuhi istri atu suami. Definisi yang hampir sama dengan di atas

juga di kemukakan oleh rahmat hakim bahwa kata nikah berasal dari

bahasa arab “nikahun”, yang merupakan masdar atau asal kata dari kata

kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian di terjemahkan

dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga

dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.

Sehingga pernikahan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang

luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan

timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban

untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban

untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya (Afandi,

1997 : 93).

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan

hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dengan seorang

perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia

dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang

sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah

diatur oleh syari‟ah.Adapun tujuan pernikahan dibagi menjadi lima hal

yaitu:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta memberkembangkan suku-suku bangsa manusia.

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

(36)

22

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis yang

pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan

kasih sayang.

e. Menumbuhkan kesungguhan berusha mencari rezeki penghidupan

yang halal, dan memeperbesar rasa tangguang jawab (Ramulyo,

1996 : 227).

2.

Dasar Hukum Pernikahan

a. Pernikahan Menurut Hukum Islam

Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur

hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut

penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban

yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut, (Tihami dan

Sohari, 2010 : 8) di dalam Al Qur‟an ada beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur‟an surat An-Nuur32:

ْإَُُٕكٌَ ٌِإ ۡۚۡىُكِئٓاَيِإَٔ ۡىُكِداَبِع ٍِۡي ٍٍَِحِه َٰاصنٱَٔ ۡىُكُِي َٰىًٌََََٰ ۡلۡٱ ْإُحِكََأَٔ

ُىُِِٓ ۡغٌُ َءٓاَشَقُف

ٞىٍِهَع ٌعِع ََٰٔ ُ اللَّٱَٔ ۗۦِِّه ۡضَف ٍِي ُ اللَّٱ

٣٣

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian

diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 549).

(37)

23

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada

Tuhan-mu yang telah menciptakan kaTuhan-mu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 114).

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan

akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan

sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan

bahwa hukum asal perkawinan itu adalah boleh atau mubah.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan

sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal

perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh

agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu,

maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah

(Syarifuddin, 2006 : 43).

Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah

tergantung pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu,

(38)

ahkamal-24

khamsah (hukum yang lima) sesuai perubahan keadaan,(Tihami

dan Sohari, 2010 : 10). yaitu:

Nikah wajib.

Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan

menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu,

yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan

haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah.

Nikah haram.

Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal,

dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.

Nikah sunnah.

Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu

tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan

haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada

membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

(39)

25

yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan

dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum

wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.

Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini,

yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW. Menganjurkan

para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya

melakukan pernikahan; sementara pada sisi yang lain, Nabi

melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang

selamanya) (Amin, 2005 : 93).

1). Rukun dan Syarat Sah Pernikahan

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah

atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk

dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin

laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah

atau tidaknya suatu pekerjaan atau (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat

saah sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/

perempuan harus beragama Islam. Sah yitu pekerjaan atau ibadah

yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang di dalamnya

(40)

26

persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad

(Tihami&Sahrani, 2009 : 12).

Syarat syah pernikahan memiliki beberapa rukun-rukun

yang harus dilakukan yaitu: Pertama, untuk melangsungkan

pernikahan harus ada mempelai yang dinikahkan. Mempelai harus

laki-laki dan perempuan. Adapun syarat mempelai laki-laki adalah:

seorang laki-laki, bukan berasal dari mahram calon istri, tidak

terpaksa atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang

ihram. Sedangkan Syarat istri adalah: Perempuan, Tidak ada

halangan syarak yaitu tidak bersuami bukan mahram dan tidak

sedang iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya dan

Tidak sedang berihram.

Kedua adalah mempelai harus ada yang menikahkan. Orang

yang menikahkan disebut wali. Syarat wali dalah: Baligh, berakal,

merdeka, laki-laki Islam, adil dan tidak sedang ihram atau

umrah.Wali nikah ada tiga jenis yaitu wali mujbir, wali nasab dan

wali hakim. Wali mujbir adalah mereka yang mempunyi garis

keturunnan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka

yang termasuk wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas

menurut garis pariental.Sedangkan wali nasab adalah saudara

laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta garis keturunannya

(41)

27

adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan dua belah pihak

(calon suami istri). Walinikah termasuk syarat dan rukun nikah.

Ketiga, dalam pernikahan harus hadir dua orang saksi yang

menyaksikan pernikahan tersebut. Saksi harus memenuhi ketentuan

persyaratan sesuai dalam agama Islam. Adapun syarat menjadi

saksi nikah adalah: Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki, Islam,

Adil, Mendengar dan melihat (tidak bisu), Mengerti maksud ijab

qobul, Kuat ingatannya, Berakhlak baik, Tidak sedang menjadi

wali. Adanya dua orang saksi dan syarat-syarat menjadi saksi

termasuk salah satu dari rukun dan syarat pernikahan. Keempat

adalah harus adanya shigot ijab qobul.

Dari empat rukun nikah di atas yang paling penting adalah

ijab qobul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.

Sedangkan yang dimaksud syarat pernikahan adalah syarat yang

berhubungan dengan rukun-rukun pernikahan yaitu syarat-syarat

bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul. Akad nikah atau

pernikahan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukun nikah

menjadikan pernikahan tidak sah menurut hukum

(Tihami&sahrani, 2009 : 12).

(42)

28

Rukun yang pokok dalam perkawinan ridhonya laki-laki

dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup

berkeluarga karena perasaan ridho dan setuju bersifat kewajiban

yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena itu harus ada

perlambangan yang tegas untuk menunjukan kemauan mengadakan

perikatan bersuami istri, perlambangan itu di utarakan dengan

kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad (Sabiq, 1980 :

53).

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua

pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan

qobul, ijab adalah perjanjian penyerahan dari pihak pertama

sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak ke dua

(Sayarifuddin, 2006 : 61). Ijab qobul merupakan senyawa yang

tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya,

bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus diucapkan

secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang dan diselang

dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses

ijab qobul (Amin, 2005 : 54).

Menurut Sabiq (1980: 53) akad yang mempunyai

akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat

(43)

29

Pertama, Calon mempelai laki-laki dan wali calon

pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan

akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa atau

berakal sehat. Itulah sebabnya kenapa orang gila dan anak kecil

yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan

salah, serta perbuatan yang manfaat dan madhorot, akad nikah

tidak dianggap sah. Dalam rangka syarat mumayyiz inilah fiqih

munakahad dan Undang-ungang perkawinan harus selalu saja

mencantumkan batas-batas minimal usia kawin (nikah).

Kedua, Ijab qabul dalam satu majelis maksudnya, akad

nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian

harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam

kalimat lain, ikrar ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas

atau pernyatan lain yang tidak ada relevansinya dengan

kelangsungan akad nikah itu sendiri.

Ketiga, Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan

ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang

menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.

Keempat, Para pihak yang melakukan akad nikah

(mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan

atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan

(44)

30

masing-masing pihak.Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak

memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi

pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,

akad nikah dianggap tidak sah.

a) Kata-kata dalam Ijab Qabul

Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan

kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang

melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang

timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh

menggunakan kata-kata yang samar atau kabur (Sabiq, 1980 :

55).

b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab

Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan

dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang

berakad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab.

Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak

paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya

dengan bahasa ini.

Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi

orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab

qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab.

(45)

kata-31

kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana

juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak

menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia

mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang yang tidak pandai

bahasa Arab ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, karena

bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya

menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.

Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang

maknanya sama dengan lafadz Arab yang digunakan dalam

ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab

tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul bahasa Arab ini.

Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa

Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi

orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya

dengan mengucapkan takbir shalat (Sabiq, 1980 : 57).

c) Ijab Qabul Orang Bisu

Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana

dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual

belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu

mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah

satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah,

sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang

(46)

32

qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak

lainnya (Sabiq, 1980 : 59).

d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)

Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak bias

hadir tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka

wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada

pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain

ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan

para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau

menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan

kepada mereka didalam majelisnya bahwa akad nikahnya telah

diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih

dalam satu majlis (Sabiq, 1980 : 59).

3). Mahar Menurut Hukum Islam

Secara istilah mahar diartikan sebagai “ harta yang

menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah

atau dukhul”

Allah ta‟ala berfirman dalam QS.Al-Ahzab:50

اٍُّْ َس ضُجُأ َتٍَْتاَء ًِتهانا َكْجأَْسَأ اَُْهَهْح َا ااَ ِا ًُِّباُن ا آٌَُّ َا اٌَ

(47)

33

“hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan

maskawinnya,”(QS. Al-ahzab:50).

Mahar tidak memeiliki batas tertinggi atau terendah.

Rasululllah saw bersabda: “mahar yang paling baik adalah

mahar yang paling mudah” Rasulullah saw bersabda:

“perempuan yang paling besar berkahnya adalah perempuan

yang paling ringan maharnya”.hal ini karena mahar bukanlah

harga untuk membeli kenikmatan bagi laki-laki, namun

pemberian (nihlah), yaitu pemberian yang tidak memerlukan

balasan. Allah berfirman:

berikanlah maskawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh

kerelaan,,,,,” (QS. An-nisa‟:4).

Mahar ada dua jenis macam yaitu: musamma dan

mahar mistil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati

oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam

akad.

Mahar mistil adalah mahar yang seharusnya diberikan

kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan

perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya,

agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama

(48)

34

Tidak adanya pernikahan syighar dalam Islam

dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi

َلاَق

ِو َلاْع ِ ْلَّا ًِف َس اَغِش َلَّ:َىاهَعَٔ ٍَِّْهَع ُاللِ َمَص ِاللِ ُلُٕع َس

Arinya: “ Rasulullah saw berkata tidak ada syighar

dalam Islam”

Dalam ketentuan pasal 14 KHI tersebut tidak

disebutkan mahar sebagai rukun nikah. Pasal 34 KHI ayat (1)

menentukan bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam

perkawinan. Meskipun mahar bukan merupakan merupakan

rukun nikah, tetapi pasal 30 KHI menentukan bahwa calon

mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon

mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya

disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelai

perempuan dan calon mempelai laki-laki. Ketentuan pasal 30

dan 34 KHI sesuai dengan mahar yang ditentukan dalam surat

An- nisaa ayat 4 dan ayat 20, dan surat Al-baqorah ayat 236

(Djubaidah, 2010 : 130).

Hukum memberikan mahar dalam Islam adalah wajib.

Karena itu Islam mengharamkan pernikahan syighar.

Rasullullah saw melarang pernikahan syighar yang

digambarkan sebagai berikut:

(49)

laki-35

laki yang pertama, tanpa ada mahar di antara mereka

berdua.”(Washfi,2005 : 315).

b. Pernikahan Dalam Hukum Positif

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa.

Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah

undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus

menampung prinsip-prrinsip dan memberikan landasan hukum

perkawinan yang selama ini mennnnjadi pegangan dan telah

berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menurut Undang-undang,

perkawinan itu ialah ikatan antara seseorang pria dan seorang

wanita (Hadikusuma, 2007: 6).

Dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai

negara berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama adalah

ketuhana Yang Maha Esa, maka pernikahan mempunyai

hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian

sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau

jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peran

(50)

36

Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan

merupakan suatu perbuatan hukum di samping perbuatan

keagamaan sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu

menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau

kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan

keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan

dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan

kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan

bagaimana perkawinan itu harus dilakukan. Kemudian dalam

pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bagi umat Islam

pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum

perkawinan Islam. Begitu pula bagi penganut agama yang lain

yang diakui di Indonesia (Syahuri, 2013 : 23).

Undang-undang ini juga menentukan bahwa pernikahan

harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal

6 ayat 1). Hal ini dikarenakan pernikahan mempunyai maksud

agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan

bahagia, dan sesuai pula dengan hak asai manusia, maka suatu

pernikhan harus memdapat persetujuan dari kedua calon suami

(51)

37

No, 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam

pernikahan yaitu:

Pertama, Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling

membantu, melengkapi agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan material dan sepiritual.

Kedua, Pernikahan yang sah bilamana dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu; dan

disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlakku. Pencatan

tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,

misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam

surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan.

Ketiga,Undang-undang ini menganut asas monogami.

Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, seorang

suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang dengan syarat

yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan diputuskan oleh

(52)

38

Keempat, calon suami istri harus matang secara jiwa dan

raganya untuk melangsungkan pernikahan, agar dapat

mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada

perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. untuk

itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami yang

masih di bawah umur. Di samping itu, pernikahan mempunyai

hubungan dengan masalah kependudukan yaitu batas umur

yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah

mengakibatan laju kelahiran yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Oleh sebab

itu undang-undang ini menentukan batas umur seseorang untuk

melangsungkan perkawinan, untuk wanita yaitu 16 tahun dan

untuk laki-laki yaitu 19 tahun.

Kelima, Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk

keluarga yang kekal dan sejahtera. Maka Undang-undang ini

mengandung prinsip mempersukar terjadinya perceraian untuk

dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan

tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

Keenam, Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan

hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga

maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan

(53)

39

dan diputuskan bersama oleh suami istri

(Sosroatmojo&Aulawi, 1978 : 35).

Untuk menjamin kepastian hukum maka pernikahan

berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan

yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang

dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.

Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak

mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada

(Sudarsono, 2005 : 9).

3.

Hikmah Pernikahan

Islam menganjurkan dan menyegerakan kawin sebagaimana

tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya

sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia (Sabiq, 1980 : 18).

Adapun hikmah nikah adalah:

Pertama, Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling

kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar.

Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah

manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan

yang jahat. Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik

dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini.

(54)

40

melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang

halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS.Ar-Ruum: 21

ٗج ََٰٔ ۡصَأ ۡىُكِغُفََأ ٍِّۡي ىُكَن َقَهَخ ٌَۡأ ٓۦِِّتٌََٰاَء ٍِۡئَ

ىُكٍََُۡب َمَعَجَٔ آٍََۡنِإ ْإُُُٓك ۡغَتِّن ا

ٌَُٔشاكَفَتٌَ ٖو َٕۡقِّن ٖتٌََٰٓ َلۡ َكِن ََٰر ًِف اٌِإ ًۡۚتًَ ۡحَسَٔ ٗةادَٕاي

٣١

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 644).

Kedua, Menikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi

mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.

Ketiga, Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling

melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh

pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayangyang merupakan

sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

Keempat, Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung

anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam

memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.Ia akan cekatan bekerja,

karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya,

sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat

(55)

41

Kelima, Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan

mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai

dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam

menangani tugas-tugasnya.

Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga

dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam

direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling

menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat

lagi bahagia.

4.

Adat dan Pernikahan Adat

a. Pengertian Pernikahan Adat

Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg

(dilakukan terus menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Jika

kebiasaan itu telah bertahan selama bertahun-tahun dan telah berurat

akar di dalam hati nurani anggota masyarakatnya, ia menjadi

kebudayaan (Rato, 2011 : 1).

Hukum adat berasal dari kata „Hukum‟ dan „adat‟ kata „Hukum‟

berasal kata bahasa arab huk‟m dan kata „adat‟ berasal dari kata adah.

Gambar

Tabel 3.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Jetak
Tabel 3.2 Jumlah Sarana Ibadah
Tabel 3.3 Daftar Waktu-Waktu Yang dianggap Tepat Untuk

Referensi

Dokumen terkait

Ali Salman, B.HSc(UIAMalaysia), M.Sc (UIAMalaysia), DFal (UKMalaysia) Chang Peng Kee, SmSa (UKMalaysia), MBA (Bath, UK), PhD (UPMalaysia) Fauziah Ahmad, BA (George Mason),

Screen Share secara otomatis akan berfungsi sebagai perangkat kamera USB ketika sumber HDMI telah terhubung Tampilkan konten berbagi di tampilan eksternal dengan menggunakan

Penambahan pereaksi Nash akan mengubah larutan menjadi berwarna kuning akibat terhidrolisis ke bentuk enol setelah pemanasan dan untuk memenuhi syarat agar dapat

Adapun produk selulosa sebagai adsorben untuk mengikat zat pewarna Rhodamin B, Metanil Yellow dan Tartrazin yang digunakan yaitu selulosa tanpa melalui dewaxing

dimana atau menghitung pajak sendiri (MPS) yang dilalukan oleh para pengusaha/pemilik hiburan tersebut dan dari segi kualitas atau Jumlah pegawai yang ada masih

Subjek kanak-kanak daripada kedua-dua kumpulan menghasilkan struktur KRO dengan menggugurkan kata relatif ‘yang’ sama seperti menghasilkan struktur KRS yang merupakan

Jumlah wawancara yang dilakukan disesuaikan dengan data yang diperoleh, apakah dianggap telah memenuhi Rini Yuniati, 2013 Karir sebagai Motivasi dan Pengembangan Diri Wanita

siswa yang kecerdasan spasialnya tinggi menghasilkan prestasi belajar yang sama dengan siswa yang berkecerdasan spasial sedang , 5) pada model pembelajaran kooperatif tipe