TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRAN
B. Kerangka Pikiran 1. Pengertian Pernikahan
2. Dasar Hukum Pernikahan
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis yang
pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan
kasih sayang.
e. Menumbuhkan kesungguhan berusha mencari rezeki penghidupan
yang halal, dan memeperbesar rasa tangguang jawab (Ramulyo,
1996 : 227).
2.
Dasar Hukum Pernikahana. Pernikahan Menurut Hukum Islam
Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban
yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut, (Tihami dan
Sohari, 2010 : 8) di dalam Al Qur‟an ada beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur‟an surat An-Nuur32:
ْإَُُٕكٌَ ٌِإ ۡۚۡىُكِئٓاَيِإَٔ ۡىُكِداَبِع ٍِۡي ٍٍَِحِه َٰاصنٱَٔ ۡىُكُِي َٰىًٌََََٰ ۡلۡٱ ْإُحِكََأَٔ
ُىُِِٓ ۡغٌُ َءٓاَشَقُف
ٞىٍِهَع ٌعِع ََٰٔ ُ اللَّٱَٔ ۗۦِِّه ۡضَف ٍِي ُ اللَّٱ
٣٣
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 549).
23
آَُِۡي َقَهَخَٔ ٖةَذِح ََٰٔ ٖظۡفاَ ٍِّي ىُكَقَهَخ يِزانٱ ُىُكابَس ْإُقاتٱ ُطااُنٱ آٌََُّأٌََٰٓ
آََج َۡٔص
ۦِِّب ٌَُٕنَءٓاَغَت يِزانٱ َ اللَّٱ ْإُقاتٱَٔ ۡۚٗءٓاَغََِٔ ا ٗشٍِثَك ٗلَّاَجِس آًَُُِۡي اثَبَٔ
اٗبٍِقَس ۡىُكٍَۡهَع ٌَاَك َ اللَّٱ اٌِإ َۡۚواَح ۡسَ ۡلۡٱَٔ
١
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kaTuhan-mu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989 : 114).
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan
akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan
sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan
bahwa hukum asal perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal
perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh
agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu,
maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah
(Syarifuddin, 2006 : 43).
Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah
tergantung pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu,
ahkamal-24
khamsah (hukum yang lima) sesuai perubahan keadaan,(Tihami
dan Sohari, 2010 : 10). yaitu:
Nikah wajib.
Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan
haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah.
Nikah haram.
Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal,
dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
Nikah sunnah.
Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan
haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada
membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
25
yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum
wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini,
yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW. Menganjurkan
para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya
melakukan pernikahan; sementara pada sisi yang lain, Nabi
melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang
selamanya) (Amin, 2005 : 93).
1). Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin
laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan atau (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat
saah sholat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/
perempuan harus beragama Islam. Sah yitu pekerjaan atau ibadah
yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang di dalamnya
26
persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad
(Tihami&Sahrani, 2009 : 12).
Syarat syah pernikahan memiliki beberapa rukun-rukun
yang harus dilakukan yaitu: Pertama, untuk melangsungkan
pernikahan harus ada mempelai yang dinikahkan. Mempelai harus
laki-laki dan perempuan. Adapun syarat mempelai laki-laki adalah:
seorang laki-laki, bukan berasal dari mahram calon istri, tidak
terpaksa atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang
ihram. Sedangkan Syarat istri adalah: Perempuan, Tidak ada
halangan syarak yaitu tidak bersuami bukan mahram dan tidak
sedang iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya dan
Tidak sedang berihram.
Kedua adalah mempelai harus ada yang menikahkan. Orang
yang menikahkan disebut wali. Syarat wali dalah: Baligh, berakal,
merdeka, laki-laki Islam, adil dan tidak sedang ihram atau
umrah.Wali nikah ada tiga jenis yaitu wali mujbir, wali nasab dan
wali hakim. Wali mujbir adalah mereka yang mempunyi garis
keturunnan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka
yang termasuk wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas
menurut garis pariental.Sedangkan wali nasab adalah saudara
laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta garis keturunannya
27
adalah wali yang ditunjuk dengan kesepakatan dua belah pihak
(calon suami istri). Walinikah termasuk syarat dan rukun nikah.
Ketiga, dalam pernikahan harus hadir dua orang saksi yang
menyaksikan pernikahan tersebut. Saksi harus memenuhi ketentuan
persyaratan sesuai dalam agama Islam. Adapun syarat menjadi
saksi nikah adalah: Baligh, Berakal, Merdeka, Laki-laki, Islam,
Adil, Mendengar dan melihat (tidak bisu), Mengerti maksud ijab
qobul, Kuat ingatannya, Berakhlak baik, Tidak sedang menjadi
wali. Adanya dua orang saksi dan syarat-syarat menjadi saksi
termasuk salah satu dari rukun dan syarat pernikahan. Keempat
adalah harus adanya shigot ijab qobul.
Dari empat rukun nikah di atas yang paling penting adalah
ijab qobul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud syarat pernikahan adalah syarat yang
berhubungan dengan rukun-rukun pernikahan yaitu syarat-syarat
bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul. Akad nikah atau
pernikahan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukun nikah
menjadikan pernikahan tidak sah menurut hukum
(Tihami&sahrani, 2009 : 12).
28
Rukun yang pokok dalam perkawinan ridhonya laki-laki
dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup
berkeluarga karena perasaan ridho dan setuju bersifat kewajiban
yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena itu harus ada
perlambangan yang tegas untuk menunjukan kemauan mengadakan
perikatan bersuami istri, perlambangan itu di utarakan dengan
kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad (Sabiq, 1980 :
53).
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua
pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan
qobul, ijab adalah perjanjian penyerahan dari pihak pertama
sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak ke dua
(Sayarifuddin, 2006 : 61). Ijab qobul merupakan senyawa yang
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya,
bahkan dalam pengucapannya selalu disyaratkan harus diucapkan
secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang dan diselang
dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses
ijab qobul (Amin, 2005 : 54).
Menurut Sabiq (1980: 53) akad yang mempunyai
akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat
29
Pertama, Calon mempelai laki-laki dan wali calon
pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan
akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa atau
berakal sehat. Itulah sebabnya kenapa orang gila dan anak kecil
yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan
salah, serta perbuatan yang manfaat dan madhorot, akad nikah
tidak dianggap sah. Dalam rangka syarat mumayyiz inilah fiqih
munakahad dan Undang-ungang perkawinan harus selalu saja
mencantumkan batas-batas minimal usia kawin (nikah).
Kedua, Ijab qabul dalam satu majelis maksudnya, akad
nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian
harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam
kalimat lain, ikrar ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas
atau pernyatan lain yang tidak ada relevansinya dengan
kelangsungan akad nikah itu sendiri.
Ketiga, Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan
ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang
menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas.
Keempat, Para pihak yang melakukan akad nikah
(mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan
atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan
30
masing-masing pihak.Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak
memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi
pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan,
akad nikah dianggap tidak sah.
a) Kata-kata dalam Ijab Qabul
Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan
kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang
melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata yang samar atau kabur (Sabiq, 1980 :
55).
b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan
dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang
berakad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa Arab.
Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak
paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya
dengan bahasa ini.
Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi
orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab
qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab.
Demikianlah salah satu dari pendapat Imam Syafi‟i. Menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan
kata-31
kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana
juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak
menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia
mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang yang tidak pandai
bahasa Arab ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, karena
bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya
menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu.
Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang
maknanya sama dengan lafadz Arab yang digunakan dalam
ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab
tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul bahasa Arab ini.
Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa
Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi
orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya
dengan mengucapkan takbir shalat (Sabiq, 1980 : 57).
c) Ijab Qabul Orang Bisu
Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana
dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual
belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu
mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah
satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah,
sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang
32
qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak
lainnya (Sabiq, 1980 : 59).
d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir)
Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak bias
hadir tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka
wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada
pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain
ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan
para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau
menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan
kepada mereka didalam majelisnya bahwa akad nikahnya telah
diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih
dalam satu majlis (Sabiq, 1980 : 59).
3). Mahar Menurut Hukum Islam
Secara istilah mahar diartikan sebagai “ harta yang
menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad nikah
atau dukhul”
Allah ta‟ala berfirman dalam QS.Al-Ahzab:50
اٍُّْ َس ضُجُأ َتٍَْتاَء ًِتهانا َكْجأَْسَأ اَُْهَهْح َا ااَ ِا ًُِّباُن ا آٌَُّ َا اٌَ
33
“hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan
maskawinnya,”(QS. Al-ahzab:50).
Mahar tidak memeiliki batas tertinggi atau terendah.
Rasululllah saw bersabda: “mahar yang paling baik adalah
mahar yang paling mudah” Rasulullah saw bersabda: “perempuan yang paling besar berkahnya adalah perempuan yang paling ringan maharnya”.hal ini karena mahar bukanlah harga untuk membeli kenikmatan bagi laki-laki, namun
pemberian (nihlah), yaitu pemberian yang tidak memerlukan
balasan. Allah berfirman:
ا ٗغۡفََ ُُِّّۡي ٖء ًَۡش ٍَع ۡىُكَن ٍَۡبِط ٌِئَف ۡۚٗتَه ۡحَِ آٍِِتََٰقُذَص َءٓاَغُِّنٱ ْإُتاَءَٔ
ٍَُِْٓ ُُِٕهُكَف
ٗ
ٌِٓشاي ا
ٗ ا
٤
“berikanlah maskawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan,,,,,” (QS. An-nisa‟:4).
Mahar ada dua jenis macam yaitu: musamma dan
mahar mistil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati
oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam
akad.
Mahar mistil adalah mahar yang seharusnya diberikan
kepada perempuan atau diterima oleh perempuan, sama dengan
perempuan lain, umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya,
agamanya, kegadisannya, kejandaannya, dan negerinya sama
34
Tidak adanya pernikahan syighar dalam Islam
dijelaskan pula dalam hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi
َلاَق
ِو َلاْع ِ ْلَّا ًِف َس اَغِش َلَّ:َىاهَعَٔ ٍَِّْهَع ُاللِ َمَص ِاللِ ُلُٕع َس
Arinya: “ Rasulullah saw berkata tidak ada syighar
dalam Islam”
Dalam ketentuan pasal 14 KHI tersebut tidak
disebutkan mahar sebagai rukun nikah. Pasal 34 KHI ayat (1)
menentukan bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam
perkawinan. Meskipun mahar bukan merupakan merupakan
rukun nikah, tetapi pasal 30 KHI menentukan bahwa calon
mempelai laki-laki wajib membayar mahar kepada calon
mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu calon mempelai
perempuan dan calon mempelai laki-laki. Ketentuan pasal 30
dan 34 KHI sesuai dengan mahar yang ditentukan dalam surat
An- nisaa ayat 4 dan ayat 20, dan surat Al-baqorah ayat 236
(Djubaidah, 2010 : 130).
Hukum memberikan mahar dalam Islam adalah wajib.
Karena itu Islam mengharamkan pernikahan syighar.
Rasullullah saw melarang pernikahan syighar yang
digambarkan sebagai berikut:
“ada seorang laki-laki yang menikahkan laki-laki lain dengan anak perempuannya, dengan syarat si laki-laki lain tersebut harus menikahkan anak perempuannya dengan
laki-35
laki yang pertama, tanpa ada mahar di antara mereka
berdua.”(Washfi,2005 : 315).
b. Pernikahan Dalam Hukum Positif
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketentuan Yang Maha Esa.
Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah
undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus
menampung prinsip-prrinsip dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini mennnnjadi pegangan dan telah
berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menurut Undang-undang,
perkawinan itu ialah ikatan antara seseorang pria dan seorang
wanita (Hadikusuma, 2007: 6).
Dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai
negara berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama adalah
ketuhana Yang Maha Esa, maka pernikahan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peran
36
Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan
merupakan suatu perbuatan hukum di samping perbuatan
keagamaan sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu
menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau
kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan
keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan
dengan ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan
kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan
bagaimana perkawinan itu harus dilakukan. Kemudian dalam
pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bagi umat Islam
pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan Islam. Begitu pula bagi penganut agama yang lain
yang diakui di Indonesia (Syahuri, 2013 : 23).
Undang-undang ini juga menentukan bahwa pernikahan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal
6 ayat 1). Hal ini dikarenakan pernikahan mempunyai maksud
agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia, dan sesuai pula dengan hak asai manusia, maka suatu
pernikhan harus memdapat persetujuan dari kedua calon suami
37
No, 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam
pernikahan yaitu:
Pertama, Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling
membantu, melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan material dan sepiritual.
Kedua, Pernikahan yang sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu; dan
disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlakku. Pencatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
Ketiga,Undang-undang ini menganut asas monogami.
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, seorang
suami boleh mempunyai istri lebih dari seorang dengan syarat
yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan diputuskan oleh
38
Keempat, calon suami istri harus matang secara jiwa dan
raganya untuk melangsungkan pernikahan, agar dapat
mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. untuk
itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami yang
masih di bawah umur. Di samping itu, pernikahan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan yaitu batas umur
yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah
mengakibatan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Oleh sebab
itu undang-undang ini menentukan batas umur seseorang untuk
melangsungkan perkawinan, untuk wanita yaitu 16 tahun dan
untuk laki-laki yaitu 19 tahun.
Kelima, Tujuan pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga yang kekal dan sejahtera. Maka Undang-undang ini
mengandung prinsip mempersukar terjadinya perceraian untuk
dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
Keenam, Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan