• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Hasrat Libido Tinggi Sebagai

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP HASRAT LIBIDO

A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Hasrat Libido Tinggi Sebagai

1. Putusan No. 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn

Salah satu hikmah poligami yaitu untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa harus menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.85

Pada kasus ini, Hakim Pengadilan Agama menolak permohonan pemohon tentang izin poligam. Alasan hakim menolak permohonannya adalah:

a. Syarat alternatif dan komulatif

Dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk melakukan poligami harus terpenuhi dua syarat, yaitu syarat yang bersifat alternatif dan komulatif.

1) Syarat yang bersifat alternatif merupakan alasan bolehnya poligami sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2). Artinya bahwa bila salah satu saja syarat tersebut dapat dibuktikan, maka pengadilan dapat mengabulkan permohonan izin poligami. Syaratnya adalah:

a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Artinya bahwa pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan izin poligami jika semua persyaratan tersebut telah terpenuhi. Permohonan izin poligami hanya diberikan apabila telah memenuhi alasan alternatif untuk

melakukan poligami, yaitu terbukti bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, atau isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Disini telah terbukti bahwa Termohon tidak sanggup melayani/menuruti keinginan Pemohon untuk melakukan hubungan badan (hubungan sex) setiap hari.

Hakim menganalisis apakah Termohon yang tidak sanggup melayani/menuruti keinginan Pemohon untuk melakukan hubungan badan (hubungan sex) setiap hari dapat dikategorikan sebagai isteri yang tidak

dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri?86

Dalam Pasal 83 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, kewajiban utama isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada pemohon di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam, seperti yang telah dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah (1): 286 :

اَهَع ۡس ُو الاِا ا سۡفَن ُهّٰللا ُف ِلَكُي َلا

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Hakim mengutip buku tafsir Al-Mishbah, volume 1, halaman 751, yang ditulis M. Quraish Shihab dan selanjutnya mengambil pendapat tersebut. terkait dengan ayat tersebut tugas-tugas yang dibebankan Allah SWT kepada manusia adalah tugas yang lapang, mudah dilaksanakan, bahkan setiap orang yang mengalamai kesulitan dalam pelaksanaan satu tugas, oleh satu dan lain faktor, kesulitan tersebut melahirkan kemudahan yang

dibenarkan walau sebelumnya tidak dibenarkan.87

Dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 80 Ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan bahwa kewajiban pemohon dalam memberi nafkah kepada isterinya

86Salinan Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn. H.16

disesuaikan dengan kemampuan/penghasilannya. Oleh karena itu kewajiban seorang isteri dalam melayani pemohon termasuk dalam melayani hubungan badan (hubungan sex) juga sesuai dengan kemampuan isteri.

Di sini hakim tidak menemukan bukti bahwa sang isteri tidak dapat sama sekali melayani hubungan badan (hubungan sex), sang isteri hanya tidak dapat melayani keiinginan pemohon untuk berhubungan badan (hubungan sex) setiap hari. Faktanya selain menjadi ibu rumah tangga sang isteri juga mempunyai pekerjaan sambilan yang hasilnya untuk menopang kebutuhan rumah tangga dengan si pemohon. Melihat kondisi tersebut adalah wajar dan manusiawi kalau kondisi fisik si isteri tidak mendukung untuk melayani keinginan pemohon dalam melakukan hubungan badan (hubungan sex) setiap hari.

Berdasarkan pertimbangan di atas, tidak terbukti si isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemohon tidak berhasil membuktikan bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau isteri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan, yang merupakan syarat alternatif permohonan izin Poligami. Bahkan si isteri

sudah mempunyai 2 anak.88

Syarat yang bersifat komulatif merupakan syarat dalam mengajukan permohonan poligami harus dipenuhi syarat-syarat dalam Pasal 5 :

1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

2) adanya kepastian bahwa pemohon mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

3) adanya jaminan bahwa pemohon akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Selanjutnya hakim menganalisis, meskipun dalam pasal Pasal 5 ayat (1) huruf b mensyaratkan ada jaminan untuk berlaku adil terhadap istri-istri dan anak terutama dalam keperluan hidup dan si pemohon menyanggupinya. Padahal penghasilan pemohon lebih kurang sebesar Rp5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan. Dan pemohon mempunyai seorang istri dan dua orang anak yang masih membutuhkan biaya.

Berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) untuk seorang lajang di wilayah Kabupaten Tuban tahun 2018 adalah sebesar Rp 2.650.000 (dua juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan.

Mengacu pada pertimbangan tersebut, mengkalkulasikan biaya yang diperlukan untuk dapat hidup layak sebuah rumah tangga yang terdiri dari seorang pemohon, dua orang isteri dan tiga orang anak, di Kabupaten Tuban belum mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka sebagaimana yang di syaratkan oleh Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

merupakan syarat komulatif permohonan izin Poligami.89

Tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan dan menurut Hukum Islam sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Pada azasnya untuk mewujudkan perkawinan tersebut seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri, kecuali dalam kondisi tertentu seorang laki-laki diperbolehkan untuk memiliki lebih dari seorang isteri. Kondisi tertentu yang membolehkan seorang laki-laki beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud di atas adalah karena dalam perkawinan tersebut terdapat halangan untuk dapat mewujudkan syarat standar kebahagian hidup berumah tangga (bagi pemohon isteri), misalnya isteri tidak dapat

sama sekali melayani hubungan badan (hubungan sex), isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Melakukan poligami dimana kondisi isteri masih mampu melayani hubungan badan (hubungan sex), isteri dapat melahirkan keturunan dan kemampuan ekonomi pemohon yang dikhawatirkan gagal mewujudkan tujuan perkawinan yang bahagia, kekal, sakinah mawaddah dan warahmah, bahkan akan menimbulkan ketidak harmonisan antara isteri dan pemohon, antara isteri dan calon isteri kedua pemohon akibat dari terbaginya perhatian, nafkah dan kasih sayang yang diberikan pemohon. Menghindari kemungkinan adanya kerusakan harus lebih didahulukan daripada kemungkinan memperoleh kebaikan, sesuai dengan kaidah fiqhiyah dalam kitab Ashbah Wan Nadhaair halaman 62 yang berbunyi

ِحِلاَصَملا ِبْلَج ىَلَع ٌدَقُم ِدِساَفَملا ُء ْرد

Artinya : “Menolak kemafsadatan itu adalah lebih utama dari pada menarik

kemaslahatan”.90

Berdasarkan pertimbangan di atas, meski isteri tidak keberatan apabila pemohon poligami, pemohon telah menyatakan dapat berlaku adil, namun syarat komulatif yaitu kemampuan ekonomi pemohon tidak terpenuhi dan syarat alternatif poligami sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terpenuhi.

Majelis Hakim Tingkat Pertama khawatir jika mengabulkan izin poligami akan terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, tidak terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Karena lebih baik menghindarkan kerusakan / kerugian daripada upaya membawakan kebaikan.

Salah satu asas dari perkawinan adalah asas monogami, dimana seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri begitupun sebaliknya

(dalam waktu tertentu). Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 “Pada azasnya dalam

suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pemohon”.91

Asas monogami di sini bersifat terbuka dan tidak mutlak. Berbeda dengan aturan pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa asas monogami bersifat mutlak. Asas monogami bersifat mutlak diartikan bahwa seorang pemohon dapat mempunyai lebih dari seorang istri, bila

dikehendaki dan sesuai dengan hukum agama si pemohon.92

2. Putusan No. 83/Pdt.G/2019/PTA.Sby

Dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk melakuakan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang bersangkutan mengizinkan seseorang laki-laki beristeri lebih dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai syarat yang telah ditentukan dan diputuskan oleh

Pengadilan.93

Pada kasus ini pengadilan tingkat banding mengabulkan permohonan pemohon untuk berpoligami serta memberi izin kepada pemohon untuk menikah lagi dengan seorang perempuan bernama calon isteri kedua. Alasan pemohon untuk berpoligami adalah :

a. Pemohon sudah sangat akrab dengan calon isteri selama 2 tahun dan khawatir berbuat maksiat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

b. Isteri telah mengetahui hubungan pemohon dengan calon isteri kedua dan isteri telah rela dan menyetutujui maksud pemohon untuk poligami.

91Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3.

92Dahlan Hasyim, Tinjauan Teoritis Asas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan, Jurnal Mimbar, Volume XXIII No. 2, (April-Juni 2007), h. 301.

93C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.226

c. Isteri tidak sanggup dalam melayani kebutuhan biologis pemohon yang setiap hari meminta berhubungan badan.

d. Pemohon sanggup mencukupi kebutuhan lahir bathin isteri dan berlaku adil terhadap isteri-isteri nya apabila sudah diberi izin oleh Pengadilan Tinggi Agama.

e. Pemohon mempunyai usaha wiraswasta dan penghasilan tiap bulan sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).

f. Pemohon sanggup memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang.

g. Pemohon dan isteri selama dalam perkawinan telah memperoleh

harta bersama sebagaimana dalam surat permohonan.94

Menurut ketentuan undang - undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal ( 4 ) dikutip lengkap sebagai berikut Pasal 4 :

a. Dalam hal seorang pemohon akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang - undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

b. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang pemohon yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan Dan dijelaskan juga dalam Pasal 5 :

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat ( 1 ) Undang - undang ini, harus dipenuhi syarat - syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri - isteri.

b. Adanya kepastian bahwa pemohon mampu menjamin keperluan hidup isteri - isteri dan anak - anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa pemohon akan berlaku adil

terhadap isteri - isteri dan anak - anak mereka.95

Pemohon mengaku bahwa isteri tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis yang setiap hari membutuhkannya, kemudian isteri memberi jawaban tertulis dalam persidangan sebagaimana yang tertera di berita acara sidang tanggal 17-10-2018 dan tanggal 07-11-2018, isteri mengakui tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan biologis pemohon yang setiap hari minta dilayani berhubungan badan (hubungan sex). Jawaban isteri adalah analogis dengan pasal 4 ayat (2) huruf (a) dan itu adalah pengakuan murni dalam persidangan yang telah menjadi fakta tetap, maka menurut hukum acara adalah bukti sempurna yang mengikat dan harus diterima seutuhnya, menurut pasal 174 HIR, oleh karena itu Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa Pengakuan Termohon / Terbanding dalam sidang telah memenuhi syarat alternatif poligami pasal 4 ayat (2) huruf (a).

Karena salah satu syarat alternatif umtuk menikah lagi/poligami telah terpenuhi, maka syarat alternatif lain sebagaimana bunyi pasal 4 ayat (2) tidak perlu dibuktikan tentang ada atau tidak adanya syarat alternatif selainnya. Pada berita acara sidang tanggal 17-10-2018 isteri telah menyetujui dan tidak keberatan pemohon untuk menikah lagi, dan telah dikuatkan dengan bukti surat pernyataan persetujuan isteri berupa bukti tertulis P.6 yang telah ditanda tangani isteri dan dibenarkan olehnya

dalam persidangan, maka bukti tersebut adalah bukti kuat dalam perkara ini.

Majelis hakim tingkat banding menyatakan syarat kumulatif poligami pasal 5 ayat (1) huruf (a) telah terbukti dan dinyatakan telah terpenuhi. Pemohon juga menyatakan sanggup menjamin keperluan hidup idteri-isteri maupun anak-anaknya dengan penghasilan minimal Rp. 5.000.000,. (Lima Juta Rupiah) dengan dikuatkan dengan bukti tertulis P.9, P.10 dan didukung bukti-bukti tertulis P.12, P.13, dan P.14 yang kesemua tersebut merupakan bukti otentik tentang kepemilikan harta, serta keterangan 2 (dua) orang saksi yaitu Sucahyo Wiyono bin Nur Hadi dan saksi Cahyono bin Kasan, yang keduanya telah menerangkan dibawah sumpah atas pengetahuan sendiri bahwa pemohon adalah seorang kontraktor yang berpenghasilan perbulan antara Rp.5.000.000 (lima juta rupiah) sampai Rp. 6.000.000, (enam juta rupiah) yang keterangan kedua orang saksi tersebut saling menguatkan satu sama lainnya adalah bukti kuat menurut pasal 170 dan pasal 171 ayat (1) HIR. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka Majelis Haktim Tingkat Banding berpendapat, bahwa pemohon adalah orang yang mampu secara finansial untuk menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anaknya oleh karena itu maka syarat kumulasi kedua pasal 5 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 telah terpenuhi menurut

ketentuan hukum.96

Syarat berlaku adil untuk pelaku poligami, sebagaimana Pemohon / Pembanding dalam perkara ini telah ditentukan hukum Islam sudah jelas dalam Q.S An-Nisa (4) : 3:

اوُلِدْعَت الاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإَف ۖ َعاَب ُر َو َث َلاُث َو ٰىَنْثَم ِءاَسِ نلا َنِم ْمُكَل َباَط اَم اوُحِكْناَف

ةَد ِحا َوَف

Artinya : “Nikahilah olehmu wanita - wanita yang kamu sukai dua, tiga atau empat. Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, nikahilah satu saja”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa apabila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka tidak diperbolehkan poligami, sedangkan dalam perkara ini, telah terbukti pemohon dapat berlaku adil, oleh karena itu tidak perlu dikhawatirkan jika pemohon tidak dapat berlaku adil. Oleh karena itu dinyatakan tidak ada halangan bagi pemohon untuk menikah lagi dari sudut pandang perilaku adil atas isteri-isterinya. Calon isteri kedua juga mengaku bahwa ia tidak ada hubungan mahrom dengan pemohon maupun dengan isteri pertama. Diriwayat dari Abu Hurairah r.a. :

َهِتَلاَخ َو ِةَأ ْرَمْلا َنْيَب َلا َو اَهِتامَع َو ِةَأ ْرَمْلا َنْيَب ُعَمْجُي َلا َلاَق Artinya : “Tidak boleh mengumpulkan / memadu seorang perempuan dengan bibi (saudara perempuan ayah) dan begitu juga antara perempuan

dan bibi (saudara perempuan ibu)”97

Calon isteri kedua membenarkan bahwa antara calon pemohon sudah

menganal cukup lama yaitu 4 tahun, demikian pula calon isteri kedua

pemohon sudah kenal akrab dengan isteri pertama pemohon, maka dari itu pemohon untuk menghindari perilaku yang dilarang Agama Islam dan dilindungi Undang-Undang mohon kepada Pengadilan Tinggi Agama agar diizinkan poligami dan menurut Majelis Hakim Tingkat Banding adalah sebagai warga negara yang beragama Islam dengan beritikad baik, maka patut mendapat perlindungan hukum. Menurut Majelis Hakim Tingkat Banding adalah upaya menghindari mafsadat/kerusakan menurut norma hukum dan susila maupun norma agama. Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dan diambil sebagai pendapat sendiri dari Qo’idah Fiqhiyah dalam Kitab Asybah wan Nadhaair halaman 62 sebagai berikut :

ِحِلاَصَملا ِبْلَج ىَلَع ٌدَقُم ِدِساَفَملا ُء ْرَد

Artinya : “Menolak kemafsadatan itu adalah lebih utama dari pada menarik kemaslahatan”.

Pengadilan Agama sebagai institusi yang diberi kewenangan memeriksa dan mengadili perkara tersebut yang sekaligus wakil sulthon / Kuasa Negara harus memberi kemaslahatan kepada warga negara yang mohon pelayanan kepadanya, demikian jugua pemohon yang secara prosedural telah memenuhui tata cara yang ditentukan hukum acara. Pemohon mengajukan izin poligami agar terhindar dari kemafsadatan atas dirinya dan keluarganya. Maka dari itu, tugas pengadilan adalah memberi kemaslahatan / kebaikan melalui keputusannya. Majelis Hakim Tingkat Banding juga mengutip qoi’dah fiqhiyah dalam kitab Asybah wan Nadhaair halaman 83 :

ِةَحَلْصَمْلاِب ٌط ْوُنَم ِةايِعا ارلا ىَلَع مِاَمِ ْلأا ُف ُّرَصَت

Artinya : “Pelayanan / pengurusan pemerintah terhadap rakyatnya itu

sesuai dengan kemaslahatan”.98

Pada pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat dengan Majelis Hakim Tingkat Peretama, oleh sebab itu Majelis Hakim Tingkat Banding harus membatalkan putusan Pengadilan Agama Tuban nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn. tanggal 12 Desember 2018 Masehi bertepatan dengan tanggal 04 Robiul Akhir 1440 Hijriyah dan Memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan

seorang perempuan bernama calon isteri kedua.99

B. Analisis Perbedaan Putusan Hakim

Dokumen terkait