• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn dan No

A. Deskripsi Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PTbn

2. Pertimbangan Hukum

Di dalam putusan perkara izin poligami nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon dan Termohon telah hadir sendiri dipersidangan, kemudian Ketua Majelis memberikan nasehat kepada Pemohon, supaya mengurungkan niatnya untuk berpoligami karena beristeri lebih dari satu berat beban dan tanggung jawabnya.

Maksud dan tujuan permohonan Pemohon pada pokoknya adalah sebagaimana telah diuraikan diatas.

70 Salinan Putusan Nomor 1749/Pdt.G/2018/PA.Tbn. H.10 & H.11

Pengadilan Agama Tuban akan terlebih dahulu dipertimbangkan dalam mengadili perkara tersebut dan apakah Pemohon memiliki legal standing dalam perkara a quo.

Berdasarkan Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka perkara a quo menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama Tuban.

Bukti P.2 yang selanjutnya akan diuraikan di bawah, terbukti Termohon bertempat tinggal di wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Tuban, maka perkara ini merupakan kewenagan relatif Pengadilan Agama Tuban.

Berdasarkan bukti P.1, dihubungkan dengan bukti P.2, P.3, dan P.7, yang selanjutnya akan diuraikan di bawah, Pemohon adalah seorang yang telah beristerikan Termohon, dan Pemohon hendak menikah lagi dengan seorang perempuan bernama XXX, dengan demikian Pemohon memiliki kapasitas hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara a quo.

Majelis Hakim telah mengusahakan perdamaian namun tidak berhasil, dan telah diupayakan perdamaian melalui Mediasi, dengan mediator bernama H. ANSHOR, S.H., Hakim Pengadilan Agama Tuban, akan tetapi juga tidak berhasil.

Pokok perkara ini adalah Pemohon memohon agar diberi izin untuk menikah lagi (poligami) dengan seorang perempuan bernama XXX.

Pemohon sangat berambisi untuk melakukan poligami pada pokoknya adalah karena Termohon tidak mampu melayani/menuruti keinginan Pemohon yang setiap hari minta untuk melakukan hubungan badan (hubungan sex).

Dalil Pemohon di atas adalah jawaban tertulis pada tanggal 10 Oktober 2018 diakui oleh Termohon dan Termohon juga menyatakan tidak keberatan jika Pemohon akan menikah lagi dengan calon istri yang kedua tersebut.

Calon isteri kedua Pemohon juga tidak keberatan menjadi isteri kedua Pemohon. Penghasilan Pemohon setiap bulan sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan Termohon membenarkan Pemohon memperoleh penghasilan setiap bulan sekitar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Untuk menguatkan dalil permohonannya Pemohon mengajukan alat bukti tertulis berupa P.1 s/d P.14 dan dua orang saksi, bukti tertulis tersebut berupa fotokopi sesuai dengan surat aslinya dan bermaterai, kecuali bukti P.12 (tidak dapat dicocokkan dengan aslinya), oleh karena itu majelis berpendapat bukti tertulis tersebut telah memenuhi syarat formil bukti tertulis oleh karena itu dapat dipertimbangkan lebih lanjut.

Alat bukti (P.1, P.2, P.3, P.4. P.5, P.6, P.7, P.12 dan P.13) tersebut merupakan fakta autentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dan isinya tersebut tidak dibantah, maka nilai kekuatan pembuktianya adalah bersifat sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata dan Pasal 164

HIR,72 dan alat bukti (P.8, P.9, P.10, P.11 dan P.14) bukan merupakan fakta

autentik, akan tetapi masuk kategori surat lain yang bukan akta, karenanya Majelis Hakim menilai kekuatan pembuktiannya sebagai bukti pendukung dalil-dalil permohonan Pemohon, sebagaimana ketentuan Pasal 1881 Ayat (2) KUHPerdata.

Permohonan Pemohon yang mendalilkan Termohon adalah isteri sahnya, disamping telah diakui oleh Termohon juga dikuatkan dengan bukti P.1. P.2 dan P.3, oleh karena itu terbukti bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami

isteri yang sah sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Termohon mengakui tidak mampu melayani/menuruti keinginan Pemohon yang setiap hari minta untuk melakukan hubungan badan (hubungan sex). Bukti P.8 membuktikan bahwa Termohon menyatakan secara tertulis kesediaannya untuk dimadu. Bukti P.4, P.5, P.6 dan P.11 membuktikan bahwa calon isteri kedua Pemohon adalah seorang janda cerai hidup bernama XXX. Bukti P.8, P.9 dan P.10 membuktikan bahwa Pemohon telah memenuhi sebagian syarat komulatif untuk mengajukan permohonan izin poligami, berdasarkan bukti P.12, P.13 dan P.14 serta pengakuan Pemohon dan Termohon, terbukti Pemohon dan Termohon memiliki harta bersama sebagaimana disebutkan dalam surat permohonan Pemohon. Berdasarkan bukti-bukti sebagaimana telah diuraikan di atas ditemukan fakta hukum sebagai berikut:

a. Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak bernama Ummi Chusnul Innayah umur 17 tahun

dan Rizky Akbar Putra Pamungkas umur 5 tahun.73

b. Bahwa Pemohon ingin menikah lagi (poligami) dengan seorang wanita janda cerai yang bernama XXX yang telah mempunyai seorang anak bernama XXX.

c. Bahwa penghasilan Pemohon lebih kurang Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan.

d. Bahwa terbukti Termohon tidak sanggup menuruti/melayani keinginan Pemohon yang minta berhubungan badan (hubungan sex) setiap hari.

e. Bahwa Pemohon dan Termohon memiliki harta bersama berupa: 1 (satu) unit rumah di perumahan Perumnas Tasikmadu, Kecamatan Palang. 1 (satu) unit mobil sedan corona. 1 (satu) unit sepeda motor

honda. Selanjutnya, akan dipertimbangkan petitum permohonan Pemohon sebagai berikut:

1) Petitum nomor satu, majelis hakim akan mengabulkan apabila permohonan pemohon telah memenuhi syarat formil dan materiil surat permohonan dan dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonannya.

2) Petitum nomor dua, majelis hakim akan mempertimbangkan apakah ada alasan hukum yang memungkinkan Pemohon untuk melakukan poligami.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk melakukan poligami harus terpenuhi dua syarat, yaitu syarat yang bersifat alternatif yang merupakan alasan bolehnya poligami sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2), dan syarat yang bersifat komulatif yang merupakan syarat dalam mengajukan permohonan poligami sebagaimana dalam Pasal 5.

Syarat yang bersifat alternatif bermakna bahwa bila salah satu saja syarat tersebut dapat dibuktikan, maka pengadilan dapat mengabulkan permohonan izin poligami, sedangkan syarat yang bersifat komulatif bermakna bahwa pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan izin poligami jika semua persyaratan tersebut telah terpenuhi. Pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, permohonan izin poligami hanya diberikan apabila telah memenuhi alasan alternatif untuk melakukan poligami, yaitu terbukti bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, atau isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Disini telah terbukti bahwa Termohon tidak sanggup melayani/menuruti keinginan Pemohon untuk melakukan hubungan badan (hubungan sex) setiap hari. Pertanyaannya adalah apakah Termohon yang tidak sanggup melayani/menuruti keinginan Pemohon untuk melakukan hubungan badan (hubungan sex) setiap hari dapat

dikategorikan sebagai isteri yang tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri?

berdasarkan Pasal 83 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, kewajiban utama isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Allah berfirman dalam Alqur’an Surat Al-Baqarah Ayat 286:

اَهَع ۡس ُو الاِا ا سۡفَن ُهّٰللا ُف ِلَكُي َلا

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.

Majelis sependapat dengan M.Quraish Shihab dan selanjutnya mengambil pendapat tersebut dalam buku tafsir Al-Mishbah, volume 1, halaman 751. Terkait dengan ayat tersebut yang berpedapat bahwa tugas-tugas yang dibebankan Allah SWT kepada manusia adalah tugas yang lapang, mudah dilaksanakan, bahkan setiap orang yang mengalamai kesulitan dalam pelaksanaan satu tugas, oleh satu dan lain faktor, kesulitan tersebut melahirkan kemudahan yang dibenarkan walau sebelumnya tidak dibenarkan.

Dalam hukum, kewajiban suami dalam memberi nafkah kepada isterinya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 80 Ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, adalah disesuaikan dengan kemampuan/penghasilannya, oleh karena itu kewajiban isteri dalam melayani suami termasuk dalam melayani berhubungan badan (hubungan sex) juga sesuai dengan kemampuan isteri. Disini tidak terbukti Termohon tidak dapat sama sekali melayani hubungan badan (hubungan sex) kepada Pemohon, Termohon hanya tidak dapat melayani keinginan Pemohon untuk melakukan hubungan badan setiap hari. Berdasarkan fakta persidangan, Termohon sebagai seorang ibu rumah tangga disamping menjalankan sendiri seluruh tugasnya (tanpa ada pembantu) sebagai

ibu rumah tangga, juga mempunyai pekerjaan sambilan yang hasilnya untuk menopang kebutuhan rumah tangganya dengan Pemohon. Sebagai akibat dari kondisi di atas adalah wajar dan manusiawi kalau kondisi fisik Termohon tidak mendukung untuk dapat melayani keinginan Pemohon dalam melakukan hubungan sex setiap hari.

Berdasarkan pertimbangan di atas, majelis berpendapat tidak terbukti Termohon tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berdasarkan pertimbangan di atas Pemohon tidak berhasil membuktikan bahwa Termohon tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau Termohon mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan, atau Termohon tidak dapat melahirkan keturunan, yang

merupakan syarat alternatif permohonan izin Poligami.74 Sesuai dengan

ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan, untuk dapat mengajukan permohonan beristeri lebih dari satu orang (poligami) harus dipenuhi syarat-syarat:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Penghasilan Pemohon lebih kurang sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan, sementara itu saat ini berdasarkan keterangan Pemohon dan Termohon serta keterangan saksi-saksi beban tanggung jawab nafkah yang menjadi tanggungan Pemohon selaku suami adalah disamping Termohon selaku isteri juga dua orang anaknya, calon isteri kedua Pemohon sebagaimana dalil permohonan Pemohon, pengakuan Termohon dan keterangan dari calon

isteri kedua Pemohon, mempunyai seorang anak bernama XXX, yang masih membutuhkan biaya, sehingga nantinya disamping nafkah isterinya yang kedua, nafkah anak tersebut juga menjadi beban tanggung jawab Pemohon selaku suami. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) untuk seorang lajang di wilayah Kabupaten Tuban tahun 2018 adalah sebesar Rp 2.650.000 (dua juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan, mengacu kepada pertimbangan di atas, telah dapat dikalkulasi berapa biaya yang diperlukan untuk dapat hidup layak sebuah rumah tangga yang terdiri dari seorang suami, dua orang isteri dan tiga orang anak, di Kabupaten Tuban.

Berdasarkan pertimbangan diatas, majelis hakim berpendapat Pemohon belum mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka sebagaimana yang di syaratkan oleh Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan syarat komulatif permohonan izin Poligami. Serta tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor I Tahun1974 tentang Perkawinan dan menurut Hukum Islam sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, maka pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri, kecuali dalam kondisi tertentu seorang laki-laki diperbolehkan untuk memiliki lebih dari seorang isteri. Kondisi tertentu yang membolehkan seorang laki-laki beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud di atas antara lain adalah karena dalam perkawinan tersebut terdapat halangan untuk dapat mewujudkan syarat standar kebahagian hidup berumah tangga (bagi suami isteri), misalnya isteri tidak dapat sama sekali melayani hubungan badan (hubungan sex), isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Melakukan perkawinan poligami dengan kondisi dimana isteri masih mampu melayani hubungan badan (hubungan sex), isteri dapat melahirkan keturunan dan kemampuan ekonomi Pemohon seperti diuraikan di atas patut

dikhawatirkan akan gagal mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah dan bahkan akan menimbulkan ketidak harmonisan hubungan antara Pemohon dan Termohon, antara Pemohon dan isteri kedua Pemohon, antara Termohon dengan Isteri kedua Pemohon dan antara Pemohon dengan anak-anaknya akibat dari terbaginya perhatian, kasih sayang dan nafkah yang diberikan oleh Pemohon. Menghindari kemungkinan adanya kerusakan harus lebih didahulukan daripada kemungkinan memperoleh kebaikan, sesuai dengan kaidah fiqhiyah dalam kitab Ashbah Wan Nadhaair halaman 62 yang berbunyi :

ِحِلاَصَملا ِبْلَج ىَلَع ٌدَقُم ِدِساَفَملا ُء ْرَد

Artinya : “Menolak kemafsadatan itu adalah lebih utama dari pada menarik kemaslahatan”.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka meskipun Termohon menyatakan tidak keberatan apabila Pemohon berpoligami, Pemohon juga telah menyatakan sanggup berlaku adil, namun oleh karena syarat komulatif yaitu kemampuan ekonomi Pemohon tidak terpenuhi, dan syarat alternatif poligami sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terpenuhi, majelis hakim berpendapat Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang untuk Poligami, oleh karena itu maka permohonan Pemohon untuk berpoligami sebagaimana tercantum dalam petitum nomor dua harus ditolak.

Petitum nomor tiga. Oleh karena petitum nomor dua ditolak, maka petitum nomor tiga ini tidak perlu lagi dipertimbangkan karena tidak ada urgensinya. Petitum nomor empat. Oleh karena perkara ini perkara dalam bidang perkawinan maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka segala biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon, mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam yang bersangkutan.

Dokumen terkait