• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLIGAMI MENURUT FIQH DAN HUKUM DI INDONESIA

B. Poligami Menurut Hukum Positif

3. Syarat dan prosedur Poligami

Banyak kritikan mengenai poligami dalam Islam. Syarat adanya persetujuan dari istri tentang poligami terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Syarat ini justru memberatkan bagi laki-laki (suami) yang ingin melakukan poligami. Akibat dari itu banyak laki-laki yang berpoligami secara diam-diam tanpa mendapatkan

38 Reza Fitra Ardhian dkk, “Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama,” Privat Law Volume III, Nomor 2 (2015) h.102-103

39 Wulaning Tyas Warni dkk, “Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Paningkiran dan Desa Sepat Kec. Sumberjaya Kab. Majalengka),” Diponegoro Law Journal Volume 7, Nomor 4, (2018) h.432-434

persetujuan dari istrinya, karena mereka menganggap bahwa poligami boleh dalam hukum Islam asal sanggup berlaku adil.

Persyaratan untuk dapat melakukan poligami secara global sama di antara perspektif fikih Syafi‘īyyah dan hukum positif tetapi ada penambahan syarat pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, salah satunya adanya persetujuan istri, dan ini dijadikan sebagai syarat bagi dibolehkan melakukan poligami, dalam hukum positif. Dalam Pasal 59 disebutkan, bahwa dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Syarat poligami dalam fikih Syafi’īyyah yakni berkemampuan untuk menanggung nafkah istri-istri dan keluarganya, karena suami berkewajiban menanggung nafkah istri-istrinya baik lahir maupun bathin. Nafkah lahir yang dimaksudkan di sini ialah berupa makanan dan minuman, pakaian, kediaman dan perobatan. Nafkah bathin adalah pelayanan atau pemenuhan nafsu biologis sang istri. Termasuk syarat poligami dalam fikih Syafi’īyyah adalah memiliki kemampuan berlaku adil terhadap para istri dan keluarga, adil di sini meliputi adil dalam menyediakan tempat tinggal, pakaian, makanan dan adil dalam giliran bermalam. Dalam fikih Syafi’īyyah tidak didapati syarat adanya persetujuan istri untuk berpoligami, akan tetapi dibolehkan menambah syarat wadh’i dalam hal memelihara maksud syarak selama syarat tersebut tidak merubah ketentuan- ketentuan syarak. Syarat adanya persetujuan istri untuk berpoligami hanya terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi hukum Islam. Syarat adanya persetujuan istri untuk berpoligami sebagaimana yang terdapat dalam hukum positif menurut metodologi ushul fikih Syafi’īyyah sama sekali tidak memberi pengaruh apapun terhadap hukum bolehnya berpoligami, maka poligami boleh dilakukan tanpa harus meminta

persetujuan terlebih dahulu kepada istri sebelumnya.40

b. Prosedur Poligami

Mengenai prosedur poligami, KHI telah mengatur prosedur atau tata cara poligami terdalam dalam pasal 56 yang menyebutkan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pengajuan permohonan yang dimaksud dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Jika permohonan pengajuan tersebut dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam Bab perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan agama maka tidak mempunyai kekuatan hukum.

Di indonesia pada dasarnya menganut sistem monogami, akan tetapi bagi seorang suami (yang beragama Islam) jika karena keadaan yang darurat hendak beristri lebih dari satu dapat diizinkan atau diperbolehkan dan diharuskan untuk mengajukan izin poligami di pengadilan agama, kebolehan ini tentunya juga dengan ketentuan alasan yang diajukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana tercantum pada pasal 57 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama hanya member izin kepada Seorang Suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat

40 Riyandi. S, “Syarat Adanya Persetujuan Istri Untuk Berpoligami (Analisis Ushul Fikih Syafi‘iyyah Terhadap Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974),” Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume 15, Nomor 1 (2015) h112.-140

cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain itu, dalam pasal 58 ayat (1) KHI disebutkan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan istri, dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Mengenai persetujuan istri, dalam ayat (2) dengan mengacu kepada ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang pengadilan agama.

Namun, persetujuan istri dalam pasal 58 ayat (1) di atas diperlukan bagi seorang suami apabilan istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari satu (Pasal 43 PP No.9 Tahun 1975). Jadi pada dasarnya, pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Kemudian pada pasal 59 KHI dijelaskan bahwa dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang

pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap

penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.41

Dalam perspektif metodelogis pengaturan ketentuan hukum mengenai poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan izin istri atau

istri-istri, dimaksudkan untuk merealisasikan kemaslahatan.Yaitu

terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan, rumah tangga, yang kekal

dan abadi yang di ridhai Allah SWT.42

Syarat dan prosedur untuk berpoligami memang tidak mudah. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Bagi suami (laki-laki) yang ingin poligami harus memahami betul syarat dan ketentuannya. Jika berpoligami tidak dapat berlaku adil dan hanya menimbulkan perkara, lebih baik beristri satu saja.

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Hak dan kewajiban suami istri diatur secara tuntas dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan dalam satu bab yaitu bab VI yang materinya secara esensial telah sejalan dengan yang digariskan

dalam kitab-kitab fiqh.43 Seperti halnya tertuang dalam pasal 30 yang

menyebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pada pasal 31-34 dijelaskan bahwa ada persamaan hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, dan suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Kemudian dijelaskan juga bahwa dalam hak istri terdapat

41 Kompilasi Hukum Islam

42 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h.144.

43 Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia: antara fiqh munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2006) h.164.

kewajiban suami dan dalam hak suami terdapat kewajiban istri. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

C. Tinjauan Umum Tentang Kebutuhan Biologis Laki-Laki dan

Dokumen terkait