• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mengenai Harta Bersama yang Masih Pinjaman Kredit Perspektif Fiqih dan Bersama yang Masih Pinjaman Kredit Perspektif Fiqih dan

PERSPEKTIF FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

B. Analisis Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mengenai Harta Bersama yang Masih Pinjaman Kredit Perspektif Fiqih dan Bersama yang Masih Pinjaman Kredit Perspektif Fiqih dan

Kompilasi Hukum Islam

Setelah penulis membaca perkara pada putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr, dapat dipahami bahwa masalah yang disengketakan antara pihak Penggugat dan Tergugat ialah mengenai penetapan objek harta bersama. Menurut Penggugat harta bersama berupa 1 unit mobil masih dalam kewajiban cicilan sampai 2015 dan bangunan

rumah yang masih pinjaman kredit (KPR) yang belum dibagi oleh Tergugat setelah perceraian, dan meminta Majelis Hakim untuk mengabulkan permohonan penetapan dan pembagian masing-masing mendapatkan separuh bagian dari harta bersama sesuai dengan ketentuan.

Sedangkan Tergugat, menolak sebagian gugatan Penggugat karena menganggap kurang pihak dan tidak ada kepentingan hukum, masing-masing pihak telah mengemukakan alasannya dan membuktikan dalilnya baik melalui bukti tertulis ataupun saksi di muka Majelis Hakim. Para pihak sudah melalu proses persidangan sampai putusan tersebut dibacakan.

Seperti yang telah dibahas di bab sebelumnya mengenai penetapan, tata cara pembagian harta bersama dan penyelesaiannya, jika dalam pertimbangan hakim yang disebut harta bersama berdasarkan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu “Harta yang diperoleh selama perkawinan”.14 dalam pasal ini dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Pada pasal berikutnya 36 dan 37 mengatur tentang status harta yang diperoleh masing-masing suami isteri dan menjelaskan pula apabila perkawinannya putusa karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.15

Adapun tata cara pembagian dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, apabila janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak setengah dari harta bersama tersebut.16Hakekatnya sudah menjelaskan fleksibilitas dalam pembagian harta bersama dalam kasus-kasus tertentu, seperti misalnya suami isteri melakukan perjanjian perkawinan dalam pembagian harta bersama sesuai kesepakatan para pihak yang dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan. Akan tetapi secara umum,

14 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab VII pasal 35 ayat (1).

15 Syahrani Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT Alumni, 2013), Cet. Kedua, h. 91.

16 Inpres No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, pasal 97.

60

pada dasarnya pembagian harta bersama adalah masing-masing suami isteri mendapatkan separuh dari harta bersama sepanjang tidak ada kasus-kasus tertentu yang mengandung unsur untuk mengubahnya.17

Adapun Ulama berpendapat mengenai pembagian konsep harta bersama merupakan syirkah abdan, Malikiyah dan Hanabilah beralasan bahwa tujuan dari perkongsian antara lain adalah dalam pembagian harta bersama antara suami isteri ketika terjadi perceraian tidak ada pembagian masing-masing secara pasti misalnya, isteri 50% dan suami 50%. Namun pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan isteri berdasarkan musyawarah atas dasar ridha.18

Pada perkara tersebut yang menjadi objek sengketanya masih dalam pinjaman kredit (KPR), Majelis Hakim berpendapat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum. dalam bukunya Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Karena menurutnya harta benda selama masa perkawinan disebut harta bersama, itu bisa berbentuk benda berwujud berupa benda bergerak atau benda tidak berwujud berupa hutang piutang bersama yang menjadi kewajiban.19

Dalam konsep harta bersama, Hukum Adat didukung oleh Para Ulama Fiqih Klasik yang mana jika berdasarkan tidak ada perintah dan larangan tersebut, menurut hukum, dapat dirumuskan dalam suatu kaidah ‘’sesuatu yang tidak ada larangan adalah boleh untuk dikerjakan’’. Dengan demikian, konsep harta bersama boleh dilakukan.20

Berkenaan dengan penerapan hukum dalam menetapkan dan pembagian harta bersama pada Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr,

17 Siah Khosyi’ah, Keadilan Distribusi Asas Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Bagi Keluarga Muslim Di Indonesia, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XI No.1, Juni 2017, h. 41.

18 Nawawi Kholil, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Vol . 1, No. 1 21 Maret 2013, h. 7 – 8 .

19 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. 3, h. 128.

20 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 63.

Majelis Hakim menimbang bahwa objek sengketa tersebut sangat berkaitan dengan harta bersama Tergugat dengan Almarhum mantan isteri pertama. Oleh karenanya Majelis Hakim mengabaikan pendapat sebelumnya.

Pertimbangan Majelis Hakim pada objek sengeketa, untuk melihat dalam pasal 96 Kompilasi Hukum Islam bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.21

Mengenai pertimbangan hukum dalam perkara ini, terhadap Penggugat dan Tergugat tidak adanya kepastian hukum terhadap objek sengketa berupa rumah tersebut. Padahal dari pendapat Majelis Hakim merujuk pada studi ilmiah itu sudah menjelaskan adanya keadilan terhadap kedua pihak yang berperkara.

Pada akhirnya, pada Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr menetapkan bahwa objek sengketa berupa rumah yang terletak di daerah Kabupaten Bekasi tidak dapat diterima, setelah membaca putusan tersebut Penggugat merasa tidak puas akhirnya mengajukan banding.

Kemudian setelah penulis membaca perkara pada Putusan Nomor 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg, dalam putusan ini melainkan yang menjadi pokok perkara ialah objek sengketa berupa rumah yang terletak di daerah Kabupaten Bekasi yang masih dalam pinjaman kredit (KPR) pada Bank.

Menurut pasal 91 Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengatur bahwa harta bersama meliputi benda berwujud atau tidak berwujud termasuk hak dan kewajiban. Berdasarkan aturan tersebut maka harta bersama tidak hanya barang-barang yang menimbulkan hak dan piutang dari pihak ketiga. Namun kewajiban dalam harta kekayaan seperti kredit di bank termasuk sebagai harta bersama.22

21 Inpres No.1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96.

22 Achmad Kardiansyah, Harta Bersama Sebagai Objek Sengketa Jaminan Hak Tanggunggan, Tesis Studi Magister Kenotarisan, 19 April 2008, h. 15.

62

Ketika terjadinya perceraian, maka kredit terhadap rumah termasuk dalam harta bersama yang pembagiannya harus diselesaikan. Walaupun selama perkawinan cicilannya dibayarkan oleh salah satu pihak, namun karena termasuk harta bersama maka terdapat bagian suami yang tetap harus diperhitungkan.23

Dalam ketentuan untuk melakukan pembiayaan secara kredit pun harus ada kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah, adapun nasabah tersebut adalah pasangan suami isteri berarti sebelumnya mereka memilki kesepakatan untuk membeli objek sengketa itu dengan pembiayaan secara kredit, menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yaitu “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.24

Berdasarkan prakteknya terdapat beberapa pilihan penyelesaian yang dapat dilakukan dalam membagi harta bersama yang masih dalam pinjaman kredit:

1. Setelah perceraian, kredit terhadap objek harta bersama tetap dilanjutkan. Sisa cicilan yang masih berlangsung ditanggung bersama antara mantan suami isteri dengan besaran pembayaraan yang seimbang berdasarkan kesepakatan para pihak. Ketika objek harta bersama telah dilunasi dan dilakukan jual beli, hasil penjualan dibagi sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak.

2. Memberikan kompensasi kepada pihak yang tidak berkenan untuk melanjutkan cicilan kredit. Dengan konsekuensi hukum objek tersebut menjadi hak milik dari pihak yang meneruskan pembayaaran kredit atas objek itu.

23 https://kantorpengacara.co/penyelesaian-kredit-properti-ketika-terjadi-perceraian/2017. Diakses tanggal 5 Desember 2019, pukul 22.30 WIB.

24 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang perbankan.

3. Melakukan pengalihan kredit (over credit) atas objek tersebut kepada pihak ketiga dan uang yang diperoleh dari pengalihan kredit tersebut dibagi antar mantan pasangan suami isteri. Uang yang diperoleh dari pengalihan kredit tersebut dianggap sebagai harta bersama sebagai pengganti dari objek sebelumnya.

Setelah membandingkan pertimbangan hakim dari tingkat pertama sampai dengan peninjauan kembali yang sudah diuraikan diatas, maka selanjutnya akan menganalisis perbedaan pandangan hakim tersebut berdasarkan hukum positif, hukum islam, dan kompilasi hukum islam.

Dalam penegakan prinsip kepastian hukum, hukum positif dalam bentuk Undang-Undang dianggap sebagai sumber formil berdasarkan asumsi pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dikatakan bahwa Undang-Undang dianggap sudah baik, tidak punya kekurangan, mampu mengakomodasikan kepentingan dan bisa menampung rasa keadilan karena telah dibuat berlandaskan syarat dan tujuan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.25

Setelah terbitnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang diberlakukan pada tanggal 28 Desember tahun 1989, Hukum Islam menjadi Hukum Acara Peradilan Agama (hukum materil) sesuai Pasal 54 bahwa “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.26

Adapun ketentuan Pasal 1 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim diberikan ruang kebebasan dalam menerapkan rasa

25 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2015), Edisi 1, Cet ke 1, h. 6.

26 Sulaikin Lubis, Wismar, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke 3, h. 87.

64

keadilan bagi masyarakat, sebagaimana bahwa:27“Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi tersenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Ruang kebebasan hakim meliputi kebebasan dalam mengadili, berekspresi, kebebasan dari campur tangan atau intervensi dari pihak manapun, menggali nilai-nilai hukum, termasuk kebebasan menyimpangi ketentuan hukum tertulis jika dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan.28 Hal ini merupakan tujuan agar putusan hakim tercapai asas keadilan yang memberikan jalan keluar, efisien dan stabilitas.

Dalam hal mengadili, hakim harus memperhatikan tiga tujuan hukum yang integrative dalam pertimbangannya, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Menurut Jeremy Bentham, pasti aka nada suatu keadaan dimana tujuan-tujuan hukum itu saling kontradiksi dan mempunyai potensi untuk saling bertentangan, maka dalam memutuskan suatu kasus, harus dipilih mana tujuan yang diutamakan.29

Dalam putusan tingkat banding Nomor 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg mengenai penetapan dan pembagian harta bersama, terlihat jelas sangat integratif dari pertimbangannya melihat dari sisi kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan.

Sementara Majelis Hakim tingkat pertama, kasasi dan peninjauan kembali, menganggap bahwa penetapan dan pembagian harta bersama yang seharusnya dilihat dari yuridis sesuai ketentuan Undang-Undang.

27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab 1, Pasal 1 ayat (1).

28 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2015), Edisi 1, Cet. 1, h. 3.

29 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:

Prenada Media Group, 2015), Edisi 1, Cet. 1, h. 4.

Jika dilihat dari segi hukum positif, menurut penulis, pertimbangan hakim tingkat pertama, kasasi, dan peninjauan kembali yang lebih bisa menjamin kepastian hukum dan bisa menjamin keadilan formil saja. Sehingga menurut penulis, pertimbangan hakim tingkat banding lebih terlihat penerapan teori Hukum Islam dan kompilasi Hukum Islam.

66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dalam sengketa mengenai harta bersama yang telah penulis paparkan dalam penelitian skripsi ini memiliki dinamika pertimbangan hakim yang berbeda-beda, mulai dari Putusan Tingkat Pertama Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr sampai dengan Putusan Tingkat Peninjauan Kembali Nomor 59 PK/Ag/2018. Setelah penulis analisis melalui perspektif Fiqih dan Hukum Islam, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perbandingan pertimbangan pada putusan:

(a) Tingkat Pertama : Perbandingan pertimbangan hakim pada putusan mengenai objek sengketa harta dibagi menjadi dua: yaitu rumah dan mobil. Pada putusan tingkat pertama pada amar putus menetapkan mobil menjadi harta bersama karena mobil sudah jelas didapatkan selama Penggugat dan Tergugat masa perkawinan, objek tersebut mudah untuk dijual dan masa angsurannya pun jangka pendek. Sedangkan rumah gugatannya tidak dapat diterima berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa objek sengketa yang tidak jelas, maka gugatannya tidak diterima.

Gugatannya tidak diterima karena objek tersebut sangat terkaitan dengan harta bersama Tergugat dengan Almarhum isteri pertama.

(b) Tingkat Banding : Pada amar putusan mengenai objek sengketa harta bersama berupa mobil dan rumah, kedua nya ditetapkan sebagai harta bersama. Pertimbangan hukumnya berdasarkan Undang-Undang tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Studi Akademik. Bahwa dua objek tersebut didapatkan pada masa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat, dua objek tersebut masih pinjaman kredit maka yang berperkara berkewajiban untuk membayar atau melunasi hutang di Bank.

Setelah lunas maka baru bisa dibagikan separuh masing-masing Penggugat dan Tergugat.

(c) Tingkat Kasasi : pada amar putusan menolak kasasi, tapi memperbaiki putusan tingkat banding mengenai objek sengketa rumah tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai harta bersama melainkan objek sengketa tersebut bukan sepenuhnya milik Penggugat atau Tergugat, karena masih dalam pinjaman ke Bank.

(d) Tingkat Peninjauan Kembali : permohonan ini ditolak karena tidak ditemukan ada kekeliruan Hakim dalam penyelesaian sengketa tersebut. Berarti penyelesaian sengketa selesai pada tingkat kasasi.

2. Penerapan Fiqih dan Kompilasi mengenai harta bersama yang masih pinjaman kredit pada putusan

Harta bersama berasal dari masyarakat yang mana mulai diatur dalam Hukum Adat mengenai harta bersama itu apa, pembagian, dan penyebab harta bersama itu ada. Dalam perkembangannya konsep harta bersama dari adat itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam menurut Ulama Fiqih Klasik yang mana jika berdasarkan tidak ada perintah dan larangan tersebut. Jadi menurut hukumnya, dapat dirumuskan dalam kaidah “sesuatu yang tidak ada larangan adalah boleh untuk dikerjakan” dengan demikian konsep harta bersama dibolehkan menurut para Ulama Fiqih.

Dalam hukum islam, konsep harta bersama dikategorikan sebagai syirkah yang mana berkaitan dengan Fiqih Muamalah berarti perkongsian merupakan pembagian hasil berdasarkan materi atau jasa.

Dengan demikian baru ada peraturan-peraturan dan ketentuan yang mengatur hal tersebut, salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang mana KHI merupakan kumpulan bahan-bahan hukum yang terdapat uraian-uraian hukum islam. Pada pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam mengenai harta bersama dalam perkawinan ialah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Adapun fenomena dalam masyarakat timbul aktivitas pembiayaan yang mudah dan terjangkau yaitu pembayaaran secara kredit, karena jual beli adalah kegiatan yang ada di masyarakat. Maka metode maupun prakteknya pelaksaannya itu sangatlah terkenal pada masyarakat.

Maka dengan perkembangan tersebut, konsep harta bersama menjadi masalah penting ketika objek sengketa tersebut masih dalam pinjaman kredit pada Bank. Berdasarkan Hukum Islam kredit dikenal dengan pembiayaan yaitu menyediakan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak lain mengembalikan pembiayaan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil. Untuk dasar hukum mengenai bertransaksi secara tidak tunai dengan waktu yang ditentukan maka untuk ditulis agar tidak terjadi kelupaan (Q.S. Al-Baqarah ayat 282).

Jadi, harta bersama yang masih pinjaman kredit tersebut merupakan harta bersama yang mana mantan suami isteri berkewajiban

68

untuk melunasi hutang teresbut, karena didapatkannya harta bersama tersebut karena ada kesepakatan antara suami isteri pada masa perkawinan.

B. Saran

1. Hendaknya hakim mempertimbangkan suatu masalah itu perhatikan tiga tujuan hukum yang integrative, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Agar menyelesaikan polmetik harta bersama berdasarkan kesepakatan atau musyawarah para pihak yang bersengketa dan menemukan solusi terbaik sehingga lebih bisa menjamin keadilan untuk semuanya.

2. Pemerintah sudah mengeluarkan suatu aturan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 pada bagian Hukum Keluarga tentang Harta bersama : jika pada harta bersama objek sengketannya masih memuat pinjaman hutang, maka gugatan tersebut harus tidak dapat diterima. Maka tinggal disosialisasikan pada masyarakat untuk mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban dalam perkawinan, terutama menyangkut harta bersama agar tidak terjadi sengketa.