• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang bertanda tangan di bawah ini: : Elliani Fikriyah NIM : : Syariah dan Hukum Program Studi : Hukum Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Yang bertanda tangan di bawah ini: : Elliani Fikriyah NIM : : Syariah dan Hukum Program Studi : Hukum Keluarga"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Elliani Fikriyah

NIM : 11150440000137

Fakultas : Syariah dan Hukum Program Studi : Hukum Keluarga

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlalu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Desember 2019

ELLIANI FIKRIYAH 11150440000137

(5)

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak Dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح h} ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan zet

ر R Er

ز Z Zet

(6)

v

س S Es

ش Sy es dan ye

ص s} es dengan garis bawah

ض d} de dengan garis bawah

ط t} te dengan garis bawah

ظ z} zet dengan garis bawah

ع ‘ koma terbalik diatas hadap

kanan

غ Gh ge dan ha

ف F Ef

ق Q Qo

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه H Ha

ء ‘ Apostrop

ي Y Ya

(7)

vi b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

_____ َ______ = a اَى = a>

_____ ِ______ = i يِى = i>

_____ ُ______ = u وُى = u>

c. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

ي َأ __ = ai ) = al لا(

و َأ __ = aw )شلا( = al-sh

( لاو

) = wa al-

d. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.

Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.

Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah e. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

(8)

vii

Kata Arab Alih Aksara

ةعيرش syarî ‘ah

ةيم لاسلإا ةعيرشلا al- syarî ‘ah al-islâmiyyah به اذملا ةنراقم Muqâranat al-madzâhib

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkandalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miringatau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-namayang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepadaKamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

No Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur’a>n Alquran

2 Al-H}adi>th Hadis

3 Sunnah Sunah

4 Nas{ Nas

5 Tafsi>r Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

(9)

viii ABSTRAK

Elliani Fikriyah, NIM 11150440000137 KEDUDUKAN HARTA BERSAMA YANG MASIH BERSTATUS PINJAMAN KREDIT (Studi Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr Samapai Dengan Nomor 59 PK/Ag/2018). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440H H/ 2019 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam penetapan dan pembagian harta bersama pada putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr dan 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg lalu bagaimana jika hasil putusan tersebut ditinjau dari perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, dan bagaimana perbandingan pertimbangan hakim tingkat pertama sampai tingkat peninjauan kembali dalam hal penetapan dan bagian harta bersama.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang- undangan, serta tulisan-tulisan para sarjana yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

Hasil penelitian ini menunjukan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertimbangan hakim putusan Nomor 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg, berpendapat objek sengketa rumah tersebut dibeli pada masa kedua pihak berperkara Penggugat dan Tergugat terikat dalam perkawinan yang sah, sehingga dengan demikian rumah tersebut adalah harta bersama antara Penggugat/Pembanding dan Tergugat/Ternbanding menurut ketentuan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” Dalam jo Pasal 1 huruf Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Karena objek sengketa masih dalam pinjaman kredit KPR, maka kedua pihak Penggugat dan Tergugat berkewajiban untuk melunasi hutang tersebut sampi lunas, jika sudah lunas baru bisa pembagian masing-masing separuh dari harta bersama tersebut. Jika dibandingkan pertimbangan hakim Tingkat Pertama sampai dengan Tingkat Peninjauan Kembali, maka terlihat bahwa Tingkat Banding lebih jelas dari segi kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan dalam penetapan dan pembagiannya. Sedangkan hakim Tingkat Pertama, Tingkat Kasasi, Tingkat Peninjauan Kembali kurang melihat ketentuan-ketentuan dari segi yang lain hanya melihat dari satu peraturan yang terkait pada bentuk dari objek sengekata yg masih dalam anggunan pada Bank tersebut.

Kata Kunci : Harta Bersama, Pinjaman Kredit, Putusan Hakim.

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A.

Daftar Pustaka : 1958 s.d 2019 M.

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas segala nikmat, ma’unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul “Kedudukan Harta Bersama Yang Masih Status Kredit (Studi Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr Sampai dengan Nomor 59 PK/Ag/2018). Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan S1 ini, sehingga bisa memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari bahwa skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan.

Perlu diketahui bahwa selama penulis masih di bangku perkuliahan sampai pada tahap akhir ini yakni penulisan skripsi, penulis mendapatkan banyak pendidikan, arahan, bantuan, masukan, serta dukungan yang luar biasa dari para pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Mesraini, M.Ag., dan Chairil Hadi, S.HI., M.H., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, atas jasa-jasa beliau berdualah yang

(11)

x

membuat penulis bersemangat untuk menjadi mahasiswa yang unggul dan bermanfaat, selalu mendukung penulis di tengah-tengah kesibukannya serta memotivasi penulis untuk secepatnya memyelesaikan penyusunan skripsi ini.

4. Hj. Rosdiana, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang tak kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian skripsi penulis.

5. Dr. Hj. Azizah, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang selalu membimbing penulis dengan penuh kesabaran di tengah kesibukan yang beliau hadapi, memberikan arahan serta masukan yang sangat positif untuk perumusan dan penyusunan skripsi ini, sehingga merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis karena telah dibimbing oleh orang hebat seperti beliau.

6. Yang teristemewa saya ucapkan untuk keluarga saya Ayahanda tercinta Endang Sutirjat, Ibu sayang Lilis Suryani dan yang senantiasa selalu memberikan dukungan yang tiada hentinya untuk penulis dan selalu mendoakan penulis dengan setulus hati. Terimakasih banyak yang sebesar-besarnya.

7. Kepada abang Achmad Fikri dan istri, kakak Kaesha, dan teh Icha yang selalu menyemangati penulis dan mengingatkan penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya khususnya dukungan untuk pembuatan skripsi ini.

8. Kepada para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik penulis dan memberikan keilmuannya sehingga skripsi ini dapat tuntas.

9. Kepada keluarga Besar Babah H. Lathif, uwa-uwa, tante, om, dan sepupu terima kasih atas doa dan semangat yang selalu diberi.

10. Kepada sahabat-sahabat Alumni Al-Hikmah Cirebon Angkatan 11 yang selalu menghibur dikala sedih dan selalu member energi positif.

(12)

xi

11. Kepada sahabat-sahabat Alumni Husnul Khotimah Kuningan Angkatan 18, saya sangat bangga menjadi bagian dari kalian, terima kasih.

12. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan semasa kuliah dan skripsian wiwi, puput, isti, illa, omeh, mba utap, syahra, dan vania masih banyak lagi teman Hukum Keluarga 2015.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa mereka, kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak, aamiin. Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak manfaat bagi para pembaca walaupun masih banyak kekurangan dan belum sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-Showab.

Jakarta, 23 Desember 2019

Elliani Fikriyah Penulis

(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

ABSTRAK………….. ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI………. ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TEORI UMUM TENTANG HARTA BERSAMA DAN PEMBIAYAAN SECARA KREDIT ... 9

A. Harta Bersama ... 9

1. Pengertian Harta Bersama ... 9

2. Dasar Hukum Harta Bersama ... 14

3. Tata Cara Pembagian Harta Bersama ... 17

4. Penyelesaian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan... 18

B. Pembiayaan Secara Kredit ... 20

1. Pengertian Kredit ... 20

2. Dasar Hukum Kredit ... 23

(14)

xiii

3. Ketentuan Sistem Kredit ... 24

4. Faktor-Faktor Jual Beli Sistem Kredit ... 26

C. Review Studi Terdahulu ... 27

BAB III STUDI PUTUSAN PENGADILAN DALAM HARTA BERSAMA YANG BERSTATUS KREDIT ... 30

A. Deskripsi Putusan Perkara Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA. Ckr ... 30

B. Deskripsi Putusan Perkara Nomor 0028/Pdt.G/2017/PTA. Bdg ... 45

C. Deskripsi Putusan Perkara Nomor 521 K/Ag/2017 ... 48

D. Deskripsi Putusan Perkara Nomor 59 PK/Ag/2018 ... 50

BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 0265/Pdt.G/2016/PA SAMPAI NOMOR 59 PK/AG/2018 DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 52

A. Analisis Perbandingan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr, 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg, 521 K/Ag/2017, 59 PK/Ag/2018………... ... 52

B. Analisis pertimbangan hukum pada putusan mengenai harta bersama yang masih pinjaman kredit perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam………... 58

BAB V PENUTUP… ... 66

A. Kesimpulan... ... 66

B. Saran………. ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam setiap perkawinan memiliki tujuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.1Namun ada banyak sekali faktor yang memicu keretakan rumah tangga yang mana menimbulkan konsekuensi hukum dari hubungan antara suami dan isteri. Akibat hukum yang terjadi misalnya adalah hak asuh anak (hadhanah), nafkah ‘idah, mut’ah, nafkah anak dan isteri, dan juga harta bersama.2

Dalam Hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam mempunyai perbedaan ini menyangkut tentang ada tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang membentuk harta bersama, pola pengelolahan harta bersama dan pembagian karena perceraian. Dalam Hukum Islam, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami dan isteri selama mereka diikat oleh ikatan perkawinan, atau dengan kata lain disebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami dan isteri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibedakan. Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat (32), bahwa bagi

1 Manan Abdul, “ Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia”, ( Jakarta:

Kencana, 2008), hlm. 1.

2 M. Beni Kurniawan, “ Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran Kontribusi Suami Isteri Dalam Perkawinan” , Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 April 2018: hlm. 42

(16)

semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita dari apa yang mereka usahakan pula.3

Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1975 tentang perkawinan pada Pasal 35 ayat (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dan pada Pasal 36 (1) bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, dan dijelaskan pula pada Pasal 37 bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing.4

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, harta bersama dijelaskan pada Pasal 97, yaitu: Duda atau Janda cerai hidup masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.5

Pada pembahasan sebelumnya mengenai harta bersama, dalam penulisan ini penulis menemukan ada permasalahan akibat era global saat ini dimana adanya harta bersama yang objeknya suatu benda yang tidak bisa dicairkan atau dibagi secara mudah yaitu pinjaman hutang (kredit) yang mana masalah ini penulis menemukan pada putusan tingkat Nomor 0025/Pdt.G/2016/PA.Ckr sampai pada pemeriksaan peninjauan kembali putusan Nomor 59 PK/Ag/2018.

Pada putusan Nomor 0025/Pdt.G/2016/PA.Ckr yang mengajukan adalah mantan istri dalam gugatannya memuat penetapan dan pembagian harta bersama yaitu sebidang tanah, kendaraan roda dua, dan kendaraan roda empat, dimana sebidang tanah dan kendaraan roda empat yang masih berstatus pinjaman hutang (kredit) pada putusan ini hakim menimbang bahwa yang menjadi harta bersama yaitu hanya kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua,

3 Djoko Prakoso, “Azas-Azas Perkawinan di Indonesia’’, ( Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm. 166.

4 Asro Sostroadmojo & A. Wasit Aulawi, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta: Bulan Bintang:1975), hlm 135

5 Satria Effendi, “Problematika Hukum Keluarga Kontemporer”, (Jakarta:

Kencana, 2004, Cetak Kedua), hlm. 56.

(17)

3

sedangkan sebidang tanah tidak termasuk harta bersama, karena sebidang tanah ini dibeli dengan uang hasil jual rumah yang dulu pernah ditempatkan dengan mantan istri (cerai mati) tapi hal itu tidak terbukti maka hakim berpendapat berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 90K/Ag/2003 Tanggal 11 November 2004, tentang harta bersama: objek sengketa yang tidak dapat dibuktikan harus dinyatakan ditolak, sementara objek sengketa yang obcuur libel harus dinyatakan tidak diterima, karena sangat berkaitan dengan harta bersama antara tergugat dengan mantan istri (cerai mati).

Adapun dalam putusan Nomor 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg dengan sama isi gugatannya dan penggugat dalam tingkat pertama mengajukan kembali pada tingkat banding dan yang ditetapkan pada putusan Nomor 002/Pdt.G/2017/PTA.Bdg yang mana pada amar putusan bahwasanya harta bersama berupa sebidang tanah, kendaraan roda empat, dan kendaraan roda dua sebagai harta bersama ditetapkan sebagai harta bersama dan dibagikan secara seperdua karna hakim berpendapat menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35, Kompilasi Hukum Islam Pasal 97, dan hakim berpendapat itu merupakan utang bersama dimana mantan isteri dan suami wajib membayarnya.

Jika dalam putusan kasasi Nomor 521 K/Ag/2017 pada amar putusannya menolak permohonan kasasi, akan tetapi memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang menyatakan tidak menerima gugatan atas objek berupa tanah dan bangunan yang menjadi pokok perkara, begitu pula dalam tingkat Peninjaun Kembali Nomor Putusan 59 PK/Ag/2018 menolak permohonan objek perkara tanah dan bangunan tersebut.

Dari uraian diatas penulis sangat yakin bahwa masalah ini harus menjadi kajian yang penting pada masyarakat, dimana kegiatan pinjaman hutang (kredit) sangatlah sering digunakan, tapi masyarakat

(18)

tidak mengetahui bagaimana cara penyelesaian pada objek sengketa yang masih berstatus pinjaman kredit.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 pada bagian Hukum Keluarga tentang harta bersama: jika pada harta bersama objek sengketanya masih memuat pinjaman hutang (kredit) maka putusan tersebut harus tidak dapat diterima.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul KEDUDUKAN HARTA BERSAMA YANG MASIH STATUS KREDIT (Studi Putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr Sampai Putusan Nomor 59 PK/Ag/2018).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah a. Identifikasi Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka dapat disebutkan identifikasi masalah di bawah ini yang akan di jelaskan lebih lanjut yaitu:

1. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut Fiqih?

2. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam?

3. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut Undang- Undang Perkawinan?

4. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)?

5. Bagaimana pinjaman hutang secara kredit menurut fiqih?

6. Bagaimana pinjaman hutang secara kredit menurut Kompilasi Hukum Islam?

7. Bagaimana pinjaman kredit menurut peraturan yang ada di Indonesia?

(19)

5

8. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penyelesaian harta bersama tingkat pertama pada putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr?

9. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penyelesian harta bersama tingkat banding pada putusan Nomor 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg?

10. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penyelesaian harta bersama tingkat kasasi pada putusan Nomor 521 K/Ag/2017?

11. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penyelesaian harta bersama tingkat peninjauan kembali pada putusan Nomor 59 PK/Ag/2018?

b. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan putusan pengadilan agama terkait masalah harta bersama pada putusan tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali yang ada pada Pengadilan Agama di Indonesia, maka penulis disini membatasi dan berfokus pada putusan tingkat pertama dan tingkat banding.

c. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada identifikasi dan pembatasan masalah diatas, selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan pertimbangan hakim dalam penyelesaian harta bersama pada putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr, 0028/Pdt.G/2017/PTA.Bdg, 521 K/Ag/2017, 59 PK/Ag/2018?

2. Analisis pertimbangan hukum harta bersama yang masih berstatus kredit menurut Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam?

(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian antara lain adalah:

a. Untuk mengetahui pembagian harta bersama bentuk pinjaman kredit menurut Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim mengenai harta bersama bentuk kredit pada putusan Nomor 0256/Pdt.G/2016/PA.Ckr sampai Nomor 59 PK/Ag/2018 2. Kegunaan penelitian ini antara lain adalah:

a. Agar dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya penyesuaian permasalahan-permasalahan Hukum Islam kontemporer yang sedang dihadapi umat Islam.

b. Menambah pengetahuan penulis tentang hukum harta bersama dan sebagai wacana bagi pembaca.

D. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah penelitian ini, maka diperlukan suatu metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas secara jelas. Terdapat beberapa metode yang penulis gunakan antara lain:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah suatu penelitian normatif dilakukan dengan mempelajari, data skunder berupa buku-buku, jurnal hukum, perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang ada, dan dilakukan dengan menganalisa penetapan perkara dari beberapa penetapan.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan Permasalahan ini adalah pendekatan kualitatif yuridis normatif yaitu metode ini ditujukan dan di lakukan pada praktik pelaksanaan hukum. Terhadap teori Hukum islam, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang yang

(21)

7

tertulis serta praktiknya serta dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu sebagai berikut:

a. Data Primer

Sumber data primer yaitu bahan hukum, yang mengikat sumber data primer yang digunakan adalah berupa putusan Pengadilan Agama.

b. Data Sekunder

Data yang dapat mendukung dan melengkapi data primer. Data sekunder data yang didukung oleh buku, artikel, Undang-Undang, serta peraturan- peraturan lain yang berkaitan dengan penelitian.

4. Pengumpulan Data

Seluruh data yang telah didapatkan oleh penulis yang diperoleh dari hasil analisis putusan dan keperpustakaan, kemudian diseleksi dan di susun setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu usaha menghimpun data berdasarkan kategori tertentu.

5. Teknis Analisis Data

Data yang sudah diperoleh dan diuraikan dihubungkan sedemikian rupa sehingga agar menjadi sistematis, dalam menjawab permasalahan yang ada dan telah dirumuskan data-data yang ada dianalisis dan untuk dijadikan sadar pijakan dalam menyeselaikan, dan bisa dapat memberikan jawaban atas persoalan yang telah diteliti yaitu kedudukan harta bersama dalam bentuk pinjaman kredit studi putusan, dan bagaimana hakim memutuskan perkara tersebut.

(22)

6. Teknis Penulisan

Metode penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarief Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama: Pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang mana meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah dengan ada batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode pendekatan yang memuat kerangka teori dan metode penelitian dan sistematika penulisan dari pembahasan ini sebagai pengantar untuk membaca agar mengetahui hal apa yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Bab kedua: Kajian pustaka pembahasan materi mengenai Harta bersama dan pinjaman kredit menurut Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam dan review studi terdahulu.

Bab ketiga: Pembahasannya mendeskripsikan pada putusan Pengadilan Agama Tingkat Pertama sampai dengan Putusan Tingkat Peninjaun Kembali.

Bab keempat: Bab ini merupakan bahasan utama dalam skripsi ini, yaitu menganalisis pertimbangan Hakim pada putusan mengenai perkara pada kedudukan harta bersama yang masih berstatus pinjaman kredit.

Bab kelima: Bab ini merupakan akhir dari penelitian ini, terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

(23)

9 BAB II

TEORI UMUM TENTANG HARTA BERSAMA DAN PEMBIAYAAN SECARA KREDIT

A. HARTA BERSAMA

1. Pengertian Harta Bersama

Hukum harta bersama istilah ini sering digunakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun istilah harta bersama lebih terkenal pada masyarakat dengan sebutkan harta gono-gini.1

Dalam hukum Islam, konsep harta bersama pada dasarnya adalah harta kekayaan dalam perkawinan, karena memang konsep harta bersama tidak dibahas secara khusus dalam kitab fiqih.2 Akan tetapi dalam Al- Qur’an dan Hadits ditemukan secara umum mengenai pembagian harta benda, diantaranya terdapat dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 32 yang berbunyi:

ۖ اوُبَسَتْكا اَّمِم ٌبيِصَن ِلاَجِّرلِل ۚ ٍضْعَب ٰىَلَع ْمُكَضْعَب ِهِب ُ َّاللَّ َلَّضَف اَم ا ْوَّنَمَتَت َلََو َّنِإ ۗ ِهِلْضَف ْنِم َ َّاللَّ اوُلَأْساَو ۚ َنْبَسَتْكا اَّمِم ٌبيِصَن ِءاَسِّنلِلَو ٍء ْيَش ِّلُكِب َناَك َ َّللَّ

ا

اًميِلَع

Artinya: ‘’Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’’

1 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008), h. 2.

2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), Cet. 5 h. 80-81.

(24)

Ada pun maksud dari ayat diatas bersifat umum, dan tidak ditujukan kepada suami atau isteri saja, melainkan semua laki-laki dan perempuan.

Jika seseorang berusaha dalam kehidupannya sehari-hari maka hasil usahanya itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.3

Penyebutan istilah harta bersama dalam keluarga atau harta gono-gini memang tidak ditemukan secara khusus dalam Al-Qur’an dan Hadits, karena istilah ini berasal dari hukum adat pada masyarakat yang mengenal pencampuran harta kekayaan dalam keluarga maka penamaan harta bersama menurut daerah berbeda-beda seperti: gono-gini (Jawa), guna kaya (Sunda), hareuta sihareukat (Aceh), cakkara (Bugis dan Makasar), barang perpantangan (Kalimantan), druwe gabro (Bali), dan lain sebagainya.

Menurut hukum adat, tidak semua harta benda yang dimiliki oleh suami dan isteri menjadi harta bersama, akan tetapi, yang dimaksud harta bersama adalah harta benda yang diperoleh suami isteri dari mulainya ikatan pernikahan.4

Dalam hukum adat, harta bersama merupakan salah satu bagian dari harta perkawinan. Menurut Ter Haar, harta perkawinan terbagi menjadi 4 bagian yaitu: 5

a. Harta yang diperoleh suami atau isteri dalam bentuk warisan atau hibah dari orang lain.

b. Harta yang diperoleh suami atau isteri dari diri sendiri atas jasa mereka masing-masing sebelum atau masa perkawinan.

c. Harta yang diperoleh suami atau isteri dari hasil usaha bersama dalam masa perkawinan.

3 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 62.

4 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008) h.11.

5Etty Rochaeti, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono-gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum positif, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013, h. 654.

(25)

11

d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan isteri pada waktu perkawinan.

Dalam perkembangannya, konsep harta bersama hukum adat didukung oleh para Ulama Fiqih yang mana jika berdasarkan tidak ada perintah dan larangan tersebut, menurut hukum, dapat dirumuskan dalam suatu kaidah ‘’sesuatu yang tidak ada larangan adalah boleh untuk dikerjakan’’. Dengan demikian, konsep harta bersama boleh dilakukan.6

Ismail Muhammad Syah dalam kutipannya yang diambil dari Yahya Harahap menyinggung masalah harta bersama, dia berpendapat harta bersama termasuk dalam rubu’ul mu’amalah. Walaupun dalam adat arab tidak mengenal harta bersama antara suami dan isteri, akan tetapi dibicarakan beberapa masalah tentang perkongsian yang dalam bahasa arab disebut syirkah. Karena masalah harta bersama antara suami isteri ada kaitannya dengan masalah perkongsian, maka menurut Ismail Muhammad Syah, harta bersama termasuk dalam pembahasan syirkah yang dikategorikan pada syirkah ‘abdan atau syirkah mufawwadah (perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas). 7

Para Ulama Fiqih berbeda pendapat tentang pembagian macam- macam syirkah dalam pembahasan perkongsian yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Menurut Fuqaha Mesir (mayoritas bermadzhab Syafi’i dan Maliki), membagi syirkah terdapat empat macam yaitu:

a. Syirkah Inan, yaitu syirkah terbatas dalam bentuk penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung. Sedangkan perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti salah seorang

6 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 63.

7 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 271-272.

(26)

mendapat hibah, hadiah atau lainnya, tidak menjadi syirkah dan tetap menjadi milik masing-masing.

b. Syirkah abdan, yaitu syirkah dalam bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan. Jasa atau pekerjaan yang dilakukan itu mungkin jasa atau pekerjaan yang sama mungkin juga jasa atau pekerjaan yang berlainan.

c. Syirkah Mufawwadhah, yaitu syirkah yang tidak berbatas dalam penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung serta meliputi pula perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti seseorang mendapatkan hadiah, hibah, dan lain-lain.

d. Syirkah Wujuh, yaitu syirkah antara dua orang atau lebih dengan hanya bermodalkan kepercayaan.

Sedangkan menurut Ulama Madzhab Hanafi, seperti yang dapat disimpulkan dari kitab ‘’al-Fiqh ‘alal Madzhab al-Arba’ah’’ jilid III halaman 63-68 membagi syirkah yaitu:

a. Syirkah Milk, yaitu syirkah terhadap suatu benda atau kekayaan dengan tidak ada kesengajaan untuk mengadakan perjanjian khusus terlebih dahulu.

b. Syirkah Uqud, ialah syirkah yang timbulnya karena adanya perjanjian terlebih dahulu antara dua orang atau lebih mengenai suatu usaha.

Syirkah ini dibagi enam macam:

(1) Syirkah Mufawwadhah bil Amwal, yaitu perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan.

(2) Syirkah ‘Inan bil Amwal, yaitu perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan atau segala macam perniagaan.

(3) Syirkah Abdan Mufawwadhah, yaitu perkongsian dengan bermodal tenaga yang kemudian ada pembagian yang sama antara keuntungan atau kerugian.

(27)

13

(4) Syirkah Abdan Inan, yaitu perkongsian tenaga dengan perbedaan tenaga kerja dan upah.

(5) Syirkah Wujuh Mufawwadhah, yaitu perkongsian dengan bermodalkan tenaga saja.

(6) Syirkah Wujuh Inan, yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat.

Para Ulama sepakat tentang bolehnya syirkah ‘Inan, sedangkan dalam syirkah mufawwadhah hanya Madzhab Hanafi dan Maliki yang memperbolehkan sedangkan Madzhab Syafi’i tidak memperbolehkannya.

Begitu juga dalam syirkah abdan, menurut Madzhab Syafi’i adalah tidak boleh sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Hambali adalah boleh hanya saja Imam Maliki mensyaratkan pekerjaan yang mereka lakukan adalah sama sejenisnya dan satu tempat. Dan dalam syirkah wujuh, hukumnya boleh menurut Madzhab Hanafi dan Hambali, sedangkan menurut Syafi’iyah dan Malikiyah adalah tidak boleh.

Alasan Imam Syafi’i tidak memperbolehkan syirkah mufawwadhah dikarenakan syirkah ini mengandung bermacam-macam ghurur (penipuan dan ketidak tentuan). Sedangkan alasan ketidakbolehan syirkah abdan, menurut Imam Syafi’i karena syirkah (perkongsian) hanya berlaku pada harta bukan pada tenaga. Adapun Ulama yang memperbolehkan syirkah abdan yaitu malikiyah dan hanabilah beralasan bahwa tujuan dari perkongsian antara lain adalah dalam pembagian harta bersama antara suami isteri ketika terjadi perceraian tidak ada pembagian masing-masing secara pasti misalnya, isteri 50% dan suami 50%. Namun pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan isteri berdasarkan musyawarah atas dasar ridha.8

Jika pada pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu ‘’Harta yang diperoleh selama masa

8 Nawawi Kholil, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang- undangan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Vol . 1, No. 1 21 Maret 2013, h. 7 – 8 .

(28)

perkawinan”9 dalam pasal ini dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pada pasal berikutnya 36 dan 37 mengatur tentang status harta yang dipeoleh masing-masing suami isteri dan menjelaskan pula apabila perkawinannya putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.10

Dapat disimpulkan dalam istilah Hukum Islam, dapat dikategorikan sebagai syirkah antara suami dan isteri, jika dalam konteks konvensional ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai rumah tangga bertindak mengatur ekonomi dalam rumah tangga. Adapun penjelasan menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 85 sampai 87 adalah mengenai harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri tetapi semua itu menjadi hak keduanya.11

Jika dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan mengenai pembagian harta bersama ketika terjadi kematian salah satu pasangan atau perceraian.12

Adapun mengenai konsep harta bersama menurut hukum islam, hukum adat, dan hukum positif menjelaskan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama masa perkawinan.

2. Dasar Hukum Harta Bersama

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan isteri. Konsep harta bersama pada awalnyanya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia, dan

9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab VII pasal 35 Ayat (1).

10 Syahrani Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung, PT.

Alumni, 2013), Cet. Kedua, h. 91.

11 Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) Cet. Keempat, h. 200-202.

12Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 118.

(29)

15

kemudian konsep ini didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.13

Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang- Undang dan Peraturan berikut :

a. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan harta bersama terdapat dalam 3 pasal, yaitu dalam pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Selanjutnya dalam pasal 36 ayat (1) menjelaskan kewenangan hak kepemilikan harta bersama, yang mana suami atau isteri dapat bertindak dalam harta bersama atas persetujuan para pihak. Dan pada pasal 37 yang menyatakan bahwa bila perkawinannya putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Artinya bahwa harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan bukanlah harta bersama, melainkan harta bawaan yang berasal dari hibah atau warisan.14

b. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab VI pasal 119-138 pada khususnya, dan salah satunya yaitu pada pasal 119 disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri’’.15

c. Dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dari pasal 85 sampai dengan pasal 97. Beberapa diantara pasalnya ialah sebagai berikut :16

- Pasal 85

13 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta : Visimedia, 2003), h.8

14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2007), Ed. 1, Cet. 2, h.184.

15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bab VI pasal 119.

16 Inpres No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam.

(30)

d. Dalam pasal 85 disebutkan, “ Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.’’ Di pasal ini Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan, meskipun hartanya sudah bersatu, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan, baik suami maupun isteri.

- Pasal 97

Dalam pasal 97 disinggung permasalahan mengenai pembagian harta bersama yaitu disebutkan, “ Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan’’.

Jika dalam hukum islam tidak ada yang membahas secara khusus mengenai konsep harta bersama, akan tetapi sejauh ini hanya ditemukan beberapa ayat-ayat dan salah satu nya yaitu Surat An-Nisa (4) ayat 32 dimana dijelaskan masalah harta benda secara umum.17 Karena dalam hukum islam, konsep harta bersama suami isteri dibahas terlebih dahulu tentang macam-macam syirkah (perkongsian) yang mana sudah dijelaskan diawal oleh penulis, ada yang mengatakan harta bersama dalam perkawinan itu digolongkan dalam bentuk syirkah abdan dan syirkah mufawadhah.

Bentuk syirkah abdan, yaitu dalam prakteknya ketika suami isteri sama-sama mereka berkerja mencari nafkah, dan penghasilan dari pekerjaan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, tabungan untuk masa depan, dan tabungan untuk pendidikan anak-anak. Hanya saja pekerjaan meraka tidak sama karena dilihat dari fisik kemampuan laki-laki dan perempuan. Jika dalam bentuk syirkah mufawadhah merupakan perkongsian yang tidak terbatas, jadi apa saja yang dihasilkan selama masa perkawinan itu adalah

17 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 62.

(31)

17

harta bersama kecuali yang suami isteri terima sebelumnya seperti hibah dan warisan. 18

Dalam hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika hubungan perkawinan terputus akibat kematian atau perceraian, memang tidak ada keseragaman dalam hukum adat mengnai pembagian harta bersama. Namun yang menjadi utama ialah bahwa pembagian harta bersama secara umum yang diterima oleh masyarakat ialah masing-masing suami isteri mendapatkan separuh dari harta bersama.19

3. Tata Cara Pembagian Harta Bersama

Pembahasan mengenai tata cara pembagian harta bersama, sudah dijelaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan yang mana bahwa diatur menurut hukumnya masing-masing. 20 Maksudnya jika suami isteri beragama islam, maka pembagian harta bersamanya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Sedangkan jika suami isteri beragama non muslim, maka pembagian harta bersamanya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat. 21

Ketentuan pembagian harta bersama sangat penting, agar suami isteri tau bagaimana pembagian harta dalam perkawinan jika nanti adanya perceraian atau salah satu dari mereka meninggal dunia. 22

18 Zuldarsyah Benny, Analisis Harta Bersama dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Rahasia Bank (Perbankan Syariah), Jurnah FH UI : 2013, h. 5 – 6

19 Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 121

20 Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 121.

21 M. Beni Kurniawan, Pembagian Harta Bersama Ditinjau dari Besaran Kontribusi Suami Isteri Dalam Perkawinan, Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 1 April 2018, h.

45.

22 Siah Khosyi’ah, Keadilan Distributif Atas Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Bagi Keluarga Muslim Di Indonesia, Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. XI No. 1 Juni 2017, h. 41.

(32)

Dalam Hukum Islam tidak disebutkan secara spesifik mengenai pembagian harta bersama, namun para pakar Hukum Islam menganalogikan harta bersama dengan konsep syirkah yang mana jika terjadi perkara, maka pembagiannya secara As- Shulhu (perdamaian) dan musyawarah kekeluargaan untuk mencari keadilan.23

Dengan demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 96 yaitu

“Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama’’ dan terdapat juga dalam Pasal 97

“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.’’24 Maksud dari Pasal tersebut lebih melihat pembagian yang adil bagi suami isteri dengan membagi dua sama besar, terlepas dari siapa yang mengusahakan harta bersama tersebut dan menghindari perselisihan diantara mereka. 25

Jika diamati dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak ditentukan berapa bagian masing-masing harta bersama antara suami isteri ketika terjadi perceraian, namun hanya mengindikasikan ketika terjadi perceraian maka suami isteri berhak untuk memperoleh harta bersama sesuai dengan variasi hukum masing- masing.26

4. Penyelesaian Harta Bersama Akibat Putusnya Perkawinan

Ketika akibat putusnya perkawinan, maka muncul berbagai permasalahan salah satu permasalahannya adalah perebutan harta bersama antara suami isteri. Harta bersama antara suami isteri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan telah berakhir atau putus.

23 Kholil Nawawi, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang- Undangan di Indonesia, Jurnal Ilmu Syariah Vol. 1 No. 21 Mei 2013, h. 15

24 Inpres, No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97.

25 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No. 1 Januari 2012, h. 60.

26 Muhammad Isna Wahyudi, Majalah Hukum Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), No. 356 Juli 2015, h. 121.

(33)

19

Hubungan perkawinan dapat terputus karena akibat kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.27

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 88 dijelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.28

Dalam permasalahan harta bersama akibat perceraian antara suami isteri yang beragama islam penyelesaiannya dapat mengajukan perkara sengketa harta bersama di Pengadilan Agama wilayah tempat tinggal tergugat, sedangkan bagi yg non muslim, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tinggal tergugat.29

Dalam Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan yang salah satunya adalah penyelesaian harta bersama.30

Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berisi: “Pemohonan pengasuhan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan secara bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.” Yang ditegaskan pula dalam Pasal 86 ayat (1) adalah: “Gugatan pengasuhan anak, nafkah

27 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Cet.

3, h. 36.

28 Bernadus Negara, Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama Setelah Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Lex Crimen Vol. V No. 7 September 2016, h. 52.

29 Etty Rochaeti, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono-Gini) Dalam Perkawinan menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013, h. 657.

30 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Di Indeonesia Pasca Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 52.

(34)

anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.”31

Penjelasan dalam Pasal tersebut adalah memperbolehkan penggabungan sekaligus gugatan perceraian dengan gugatan harta bersama, karena hal tersebut bertujuan tercapainya salah satu asas peradilan yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Pasal tersebut memberikan pilihan kepada Penggugat, apakah dia ingin menggabungkan gugatan perceraian dengan gugatan harta bersama atau menggugatnya secara masing-masing setelah perkara perceraiannya selesai dan mempunyai kekuatan hukum tetap.32

B. Pembiayaan Secara Kredit 1. Pengertian Kredit

Pembiayaan dalam jual beli mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dari segi metodenya maupun dari segi praktik pelaksanaannya sehingga kondisi tersebut membuka suatu peluang terjadinya sistem jual beli secara kredit. Maka kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan, berdasarkan kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mana berkewajiban kepada pihak peminjam untuk melaksanakan pembayaraan hutang tersebut.33

Menurut Hukum Islam kredit dikenal dengan pembiayaan yaitu menyediakan uang atau tagihan berdasarkan pesetujuan atau kesepakatan antara perusahaan dengan pihak lain, yang mewajibkan

31 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

32 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 268.

33 https://www.finansialku.com/definisi-kredit/amp/2017, Diakses pada Tanggal 1 Desember 2019, Pukul 23.03 WIB.

(35)

21

pihak lain mengembalikan pembiayaan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil.34

Dalam bukunya Sahruwardi K Lubis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kredit adalah suatu pembelian yang dilakukan terhadap sesuatu barang yang pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati kedua belah pihak yaitu antara penjual ataupun pembeli.35

Adapun menurut Al-Amien Ahmed mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan jual beli secara kredit (bai’ at-taghsith) merupakan menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal dari pada pembayaran cash.36

Adapun menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yaitu “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”37

Para Ulama menyebutkan beberapa point penting yang berkenaan dengan jual beli, yaitu sebagai berikut:38

a. Dalam jual beli ini penjual tidak diperbolehkan membuat kesepakatan tertulis didalam akad dengan pembeli bahwa ia sebagai penjual berhak mendapat tambahan harga yang terpisah dari harga barang yang ada, dimana harga tambahan itu akan

34 Ahmad Gozali, Serba-Serbi Kredit Syariah: Jangan Ada Bunga Diantara Kita, (Jakarta: PT. Elex Media Koputindo, 2005), h. 18.

35 Sahruwardi K Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h.142.

36 Al-Amien Ahmed, Jual Beli Kredit, Bagaimana Hukumnya? (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 5.

37 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

38 Aida Rachman, Jual Beli Emas Secara Kredit Menurut Perspektif Islam Kontemporer, Skripsi Studi Muamalah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, h. 21.

(36)

berkaitan erat dengan waktu pembayaran. Baik tambahan harga itu sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

b. Apabila orang yang berhutang (pembeli) terlambat membayar cicilan dari waktu yang telah ditentukan, maka tidak boleh mengharuskan untuk membayar tambahan dari hutang yang sudah ada, baik dengan syarat yang sudah ada ataupun tanpa syarat karena hal itu termasuk riba yang diharamkan.

c. Penjual tidak berhak menarik kepemilikan barang dari tangan pembeli setelah terjadi jual beli, namun penjual dibolehkan member syarat kepada pembeli untuk menggadaikan barang kepadanya untuk menjamin haknya dalam melunasi cicilan- cicilan yang tertunda.

d. Boleh memberi tambahan harga pada barang yang pembayarannya ditunda dari barang yang dibayar secara cash.

e. Diharamkan bagi orang yang berhutang untuk menunda-nunda kewajibannya membayar cicilan, walaupun demikian syariat tidak membolehkan penjual untuk member syarat kepada pembeli agar membayar ganti rugi jika pembeli terlambat menunaikan kewajibannya (pembayaraan cicilan).

Berdasarkan uraian diatas tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli kredit adalah membeli suatu barang yang diberikan kepercayaan untuk membayar secara mengangsur atau secara cicilan dalam jangka waktu yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, dimana boleh member tambahan harga pada barang yang pembayarannya ditunda dari barang yang dibayar secara langsung (cash). Akan tetapi diharamkan bagi orang yang berhutang untuk menunda-nunda kewajibannya dalam membayar cicilan tersebut. 39

39 Aida Rachman, Jual Beli Emas Secara Kredit Menurut Perspektif Islam Kontemporer, Skripsi Studi Muamalah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, h. 22.

(37)

23

2. Dasar Hukum Kredit.

Pembiayaan secara kerdit merupakan menjual sesuatu dengan cara tunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu. 40

Dalam Surat Al- Baqarah ayat 282. Membahas bertransaksi secara tidak tunai dengan waktu yang ditentukan maka untuk ditulis agar tidak terjadi keluapaan, sebagai berikut:41

ۚ ُهوُبُتْكاَف ىً مَسُم ٍلَجَأ ٰىَلِإ ٍنْيَدِب ْمُتْنَياَدَت اَذِإ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأ اَي

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah untuk kamu menuliskannya.”

Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok- pokok Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjaman-meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan. 42

Adapun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 ayat 36, pembiayaan secara kredit disebut Qard yang mana merupakan penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjaman yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.43

40 http://adh-dhuhaa-bjaacks.blogspot.co.id/2012/05/kredit-menurut-fikih.

Diakses Tanggal 10 Oktober 2019 pukul 00.24 WIB.

41 Departemen RI, Al-Qur’an dan Jadwid, Jakarta: Sygma Press, 2010, h. 82.

42 Thomas Suyatno, H.A. Chalik, Made Sukada, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Edisi ke-4, h. 13.

43 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 ayat 36.

(38)

Penjelasan mengenai pembiayaan kredit diatas dapat disimpulkan bahwa kredit merupakan penyediaan pinjaman yang disepakati oleh pihak bank (kreditur) dan peminjam (debitur) dimana pihak peminjam harus melunasi utangnya setelah jangka waktu yang telah ditentukan dengan pemberian bunga. Didalam kredit terdapat unsure-unsur yang mengikat antara kreditur dengan debitur untuk mendapatkan suatu kepercayaan.44

3. Ketentuan Sistem Kredit

Dalam kehidupan perekonomian yang modern, lembaga bank memegang peranan yang sangat penting dalam sistem pembiayaan secara kredit. Oleh karena bank selalu diikutsertakan dalam menentukan kebijakan dibidang moneter, pengawasan devisa, penetapan, dan lain-lain. Hal ini antara lain disebabkan usaha pokok bank merupakan memberikan kredit, dan kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam segala bidang kehidupan, khususnya dibidang ekonomi.45

Adapun jika adanya suatu permohonan dari pihak nasabah, bank biasanya melakukan evakuasi dan menganalisis untuk memastikan bahwa kredit maupun bunga dapat dibayar sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Adapun prinsip-prinsip kredit yaitu: 46

a. Character (watak)

Karakter merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar harus dapat dipercaya.

b. Capacity (kemampuan)

44 http://www.fisansialsyariah.com/konsep-islam-jualbeli/2016, Diakses Tanggal 10 Oktober 2019 Pukul 00.58 WIB.

45 Aida Rachman, Jual Beli Emas Secara Kredit Menurut Perspektif Islam Kontemporer, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, 2016, h. 22.

46 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2012), Cet. Ke- 11, h. 136-138.

(39)

25

Capacity merupakan penilaian untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam melunasi kewajibannya dalam pembiayaan secara kredit.

c. Capital (modal)

Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, maka pada prinsip capital tidak hanya melihat besar kecilnya modal yang dimiliki oleh calon debitur tetapi juga bagaimana distribusi modal itu ditempatkan.

d. Condition (keadaan)

Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi atau proyek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik. Sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.

e. Collateral (jaminan)

Collateral merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang berupa fisik ataupun nofisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah pembiayaan kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahan dan kesempurnaannya.

Selanjutnya hal ini tidak bertentangan dengan rukun dan syarat sah jual beli menurut jumhur ulama, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi karena unsure kerelaan itu merupakan unsure hati yang sulit dilihat sehingga tidak terlihat, maka diperlukannya indikasi yang menunjukan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi tersebut. 47

Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli yaitu:

a. Ada yang berakad (penjual dan Pembeli) b. Ada sighat (ijab kabul)

47 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2012), Edisi 1, Cet.ke-2, h. 71.

(40)

c. Ada barang yang dibeli

d. Ada nilai tukar penggati barang

Adapun syarat sah jual beli sebagai berikut:48 a. Saling rela antara kedua belah pihak

b. Orang yang dibolehkan melakukan akad telah balig dan berakal c. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimilki sebelumnya oleh

kedua belah pihak

d. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam Agama e. Objek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan f. Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad g. Harga harus jelas saat transaksi.

Kemudian penulis berpendapat, oleh karena pemberian kredit dimaksud untuk memperoleh keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika bank merasa yakin bahwa nasabah yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Dari faktor kemampuan dan kemauan tersebut ada unsure keamanan (safety) dan sekaligus unsur keuntungan (profitability) dari suatu sistem kredit.49 4. Faktor-Faktor Jual Beli Secara Kredit

Kebanyakan masyarakat yang melakukan transaksi pembelian barang dengan sistem kredit yang berpenghasilan menengah kebawah, walaupun ada masyarakat tingkat ekonominya golongan menengah keatas melakukan transaksi pembelian barang dengan sistem kredit tersebut. 50

48 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), Edisi pertama, Cet. 1, h. 104.

49 Thomas Suyanto, H.A. Chalik Sukada, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Edisi ke-4, h. 14.

50 Rahmawati, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kredit Bermasalah Pemilikan Rumah (KPR) Pada Bank Sultra Cabang Utama Kendari, Skripsi Jurusan Administrasi Bisnis, 2019, h. 6

(41)

27

Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab terjadinya masyarakat yang melakukan transaksi tersebut yaitu:

a. Kebutuhan

Seseorang konsumen akan merasakan kebutuhan untuk membeli suatu produk atau jasa pada situasi “shortage” (kebutuhan yang timbul karena konsumen tidak memiliki produk atau jasa tertentu) maupun situasi “unfulfilled desire” (kebutuhan yang timbul karena ketidakpuasan pelanggan terhadap produk atau jasa saat ini).51 b. Kebiasaan

Kebiasaan disini membahas tentang tingkah laku manusia, sehingga perilaku konsumen ditentukan oleh kebudayaan yang tercermin pada tata cara kehidupan, kebiasaan, dan tradisi.

Kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang- ulang tanpa adanya unsure paksaan.52 Kebiasaan adalah pola perilaku atau perbuatan yang dipelajari dan ditandai dengan penampilan yang telah bagus dan berlangsung secara otomatis.53 Kebiasaan masyarakat bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat yang lain, karena merupakan cara efektif dan efisien dalam memberikan perubahan. Masyarakat yang melakukan dngan menggunakan sistem kredit memberikan suatu kemanfaatan, maka masyarakat yang lainnya pun ikut, sehingga menjadi suatu kebiasaan.

C. Review Studi Terdahulu

Dari hasil penulusuran pada karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan sengketa harta bersama, ternyata memiliki sejumlah bahasan yang berbeda. Baik itu secara tematik serta objek kajian yang diteliti.

Adapun kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya.

51 Fandy Tjiptono, Pemasaran Jasa, (Jawa Timur: Banyumedia Publishing, 2005), Edisi pertama, h. 10.

52 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka).

53 Frank J Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, (Yogyakarta: Kamisius, 1998), h. 134.

Referensi

Dokumen terkait

• Untuk menjamin kesinambungan pelayanan, maka perlu ditetapkan kebijakan dan prosedur pemulangan pasien dan tindak lanjut maupun rujukan yang perlu dilakukan pada

Penurunan kolesterol juga terjadi pada kelompok 5 menunjukkan bahwa ekstrak daun teh hijau dosis 100 mg/kgBB memiliki pengaruh yang paling besar dalam menurunkan

Sifat ini berkaitan dengan sifat tahan aus (wear resistance) yaitu ketahanan material terhadap penggoresan atau pengikisan. Berdasarkan ilmu perhitungan kekuatan bahan,

L’étre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia; sifatnya melebar (extensif) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif kuat (r = 0,566) dan bermakna p = 0,001 (p<0,05) antara indeks PAR dan ICON dalam mengukur tingkat keberhasilan

Ilmu Kedokteran Jiwa juga sebagai guru, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing, memberikan pengetahuan, dorongan, masukan-masukan yang sangat berharga

Bapak dan Ibu Staff TU Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PemerintahanUniversitas Muhammadiyah Malangyang telah meluangkan banyak waktu dalam memberikan bantuan

jika class C3 pada package P1 mempunyai instance dari C1 bernama c1, maka x dapat diakses c1 karena C3 dan C1 berada pada package yang sama.. jika class C4 pada package P2