• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI UMUM TENTANG HARTA BERSAMA DAN PEMBIAYAAN SECARA KREDIT

A. HARTA BERSAMA

1. Pengertian Harta Bersama

Hukum harta bersama istilah ini sering digunakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun istilah harta bersama lebih terkenal pada masyarakat dengan sebutkan harta gono-gini.1

Dalam hukum Islam, konsep harta bersama pada dasarnya adalah harta kekayaan dalam perkawinan, karena memang konsep harta bersama tidak dibahas secara khusus dalam kitab fiqih.2 Akan tetapi dalam Al-Qur’an dan Hadits ditemukan secara umum mengenai pembagian harta benda, diantaranya terdapat dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 32 yang berbunyi:

ۖ اوُبَسَتْكا اَّمِم ٌبيِصَن ِلاَجِّرلِل ۚ ٍضْعَب ٰىَلَع ْمُكَضْعَب ِهِب ُ َّاللَّ َلَّضَف اَم ا ْوَّنَمَتَت َلََو َّنِإ ۗ ِهِلْضَف ْنِم َ َّاللَّ اوُلَأْساَو ۚ َنْبَسَتْكا اَّمِم ٌبيِصَن ِءاَسِّنلِلَو ٍء ْيَش ِّلُكِب َناَك َ َّللَّ

ا

اًميِلَع

Artinya: ‘’Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’’

1 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008), h. 2.

2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), Cet. 5 h. 80-81.

Ada pun maksud dari ayat diatas bersifat umum, dan tidak ditujukan kepada suami atau isteri saja, melainkan semua laki-laki dan perempuan.

Jika seseorang berusaha dalam kehidupannya sehari-hari maka hasil usahanya itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.3

Penyebutan istilah harta bersama dalam keluarga atau harta gono-gini memang tidak ditemukan secara khusus dalam Al-Qur’an dan Hadits, karena istilah ini berasal dari hukum adat pada masyarakat yang mengenal pencampuran harta kekayaan dalam keluarga maka penamaan harta bersama menurut daerah berbeda-beda seperti: gono-gini (Jawa), guna kaya (Sunda), hareuta sihareukat (Aceh), cakkara (Bugis dan Makasar), barang perpantangan (Kalimantan), druwe gabro (Bali), dan lain sebagainya.

Menurut hukum adat, tidak semua harta benda yang dimiliki oleh suami dan isteri menjadi harta bersama, akan tetapi, yang dimaksud harta bersama adalah harta benda yang diperoleh suami isteri dari mulainya ikatan pernikahan.4

Dalam hukum adat, harta bersama merupakan salah satu bagian dari harta perkawinan. Menurut Ter Haar, harta perkawinan terbagi menjadi 4 bagian yaitu: 5

a. Harta yang diperoleh suami atau isteri dalam bentuk warisan atau hibah dari orang lain.

b. Harta yang diperoleh suami atau isteri dari diri sendiri atas jasa mereka masing-masing sebelum atau masa perkawinan.

c. Harta yang diperoleh suami atau isteri dari hasil usaha bersama dalam masa perkawinan.

3 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 62.

4 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:

Transmedia Pustaka, 2008) h.11.

5Etty Rochaeti, Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono-gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum positif, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013, h. 654.

11

d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan isteri pada waktu perkawinan.

Dalam perkembangannya, konsep harta bersama hukum adat didukung oleh para Ulama Fiqih yang mana jika berdasarkan tidak ada perintah dan larangan tersebut, menurut hukum, dapat dirumuskan dalam suatu kaidah ‘’sesuatu yang tidak ada larangan adalah boleh untuk dikerjakan’’. Dengan demikian, konsep harta bersama boleh dilakukan.6

Ismail Muhammad Syah dalam kutipannya yang diambil dari Yahya Harahap menyinggung masalah harta bersama, dia berpendapat harta bersama termasuk dalam rubu’ul mu’amalah. Walaupun dalam adat arab tidak mengenal harta bersama antara suami dan isteri, akan tetapi dibicarakan beberapa masalah tentang perkongsian yang dalam bahasa arab disebut syirkah. Karena masalah harta bersama antara suami isteri ada kaitannya dengan masalah perkongsian, maka menurut Ismail Muhammad Syah, harta bersama termasuk dalam pembahasan syirkah yang dikategorikan pada syirkah ‘abdan atau syirkah mufawwadah (perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas). 7

Para Ulama Fiqih berbeda pendapat tentang pembagian macam-macam syirkah dalam pembahasan perkongsian yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Menurut Fuqaha Mesir (mayoritas bermadzhab Syafi’i dan Maliki), membagi syirkah terdapat empat macam yaitu:

a. Syirkah Inan, yaitu syirkah terbatas dalam bentuk penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung. Sedangkan perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti salah seorang

6 Mesraini, Konsep Harta Bersama Dan Implementasinya Di Pengadilan Agama, Jurnal Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 63.

7 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. 4, h. 271-272.

mendapat hibah, hadiah atau lainnya, tidak menjadi syirkah dan tetap menjadi milik masing-masing.

b. Syirkah abdan, yaitu syirkah dalam bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan. Jasa atau pekerjaan yang dilakukan itu mungkin jasa atau pekerjaan yang sama mungkin juga jasa atau pekerjaan yang berlainan.

c. Syirkah Mufawwadhah, yaitu syirkah yang tidak berbatas dalam penggabungan harta dan usaha untuk mendapatkan untung serta meliputi pula perolehan masing-masing pihak dengan cara lain seperti seseorang mendapatkan hadiah, hibah, dan lain-lain.

d. Syirkah Wujuh, yaitu syirkah antara dua orang atau lebih dengan hanya bermodalkan kepercayaan.

Sedangkan menurut Ulama Madzhab Hanafi, seperti yang dapat disimpulkan dari kitab ‘’al-Fiqh ‘alal Madzhab al-Arba’ah’’ jilid III halaman 63-68 membagi syirkah yaitu:

a. Syirkah Milk, yaitu syirkah terhadap suatu benda atau kekayaan dengan tidak ada kesengajaan untuk mengadakan perjanjian khusus terlebih dahulu.

b. Syirkah Uqud, ialah syirkah yang timbulnya karena adanya perjanjian terlebih dahulu antara dua orang atau lebih mengenai suatu usaha.

Syirkah ini dibagi enam macam:

(1) Syirkah Mufawwadhah bil Amwal, yaitu perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan.

(2) Syirkah ‘Inan bil Amwal, yaitu perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan atau segala macam perniagaan.

(3) Syirkah Abdan Mufawwadhah, yaitu perkongsian dengan bermodal tenaga yang kemudian ada pembagian yang sama antara keuntungan atau kerugian.

13

(4) Syirkah Abdan Inan, yaitu perkongsian tenaga dengan perbedaan tenaga kerja dan upah.

(5) Syirkah Wujuh Mufawwadhah, yaitu perkongsian dengan bermodalkan tenaga saja.

(6) Syirkah Wujuh Inan, yaitu perkongsian kepercayaan tanpa syarat.

Para Ulama sepakat tentang bolehnya syirkah ‘Inan, sedangkan dalam syirkah mufawwadhah hanya Madzhab Hanafi dan Maliki yang memperbolehkan sedangkan Madzhab Syafi’i tidak memperbolehkannya.

Begitu juga dalam syirkah abdan, menurut Madzhab Syafi’i adalah tidak boleh sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Hambali adalah boleh hanya saja Imam Maliki mensyaratkan pekerjaan yang mereka lakukan adalah sama sejenisnya dan satu tempat. Dan dalam syirkah wujuh, hukumnya boleh menurut Madzhab Hanafi dan Hambali, sedangkan menurut Syafi’iyah dan Malikiyah adalah tidak boleh.

Alasan Imam Syafi’i tidak memperbolehkan syirkah mufawwadhah dikarenakan syirkah ini mengandung bermacam-macam ghurur (penipuan dan ketidak tentuan). Sedangkan alasan ketidakbolehan syirkah abdan, menurut Imam Syafi’i karena syirkah (perkongsian) hanya berlaku pada harta bukan pada tenaga. Adapun Ulama yang memperbolehkan syirkah abdan yaitu malikiyah dan hanabilah beralasan bahwa tujuan dari perkongsian antara lain adalah dalam pembagian harta bersama antara suami isteri ketika terjadi perceraian tidak ada pembagian masing-masing secara pasti misalnya, isteri 50% dan suami 50%. Namun pembagiannya bergantung pada kesepakatan antara suami dan isteri berdasarkan musyawarah atas dasar ridha.8

Jika pada pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu ‘’Harta yang diperoleh selama masa

8 Nawawi Kholil, Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Vol . 1, No. 1 21 Maret 2013, h. 7 – 8 .

perkawinan”9 dalam pasal ini dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pada pasal berikutnya 36 dan 37 mengatur tentang status harta yang dipeoleh masing-masing suami isteri dan menjelaskan pula apabila perkawinannya putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.10

Dapat disimpulkan dalam istilah Hukum Islam, dapat dikategorikan sebagai syirkah antara suami dan isteri, jika dalam konteks konvensional ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai rumah tangga bertindak mengatur ekonomi dalam rumah tangga. Adapun penjelasan menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 85 sampai 87 adalah mengenai harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri tetapi semua itu menjadi hak keduanya.11

Jika dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan mengenai pembagian harta bersama ketika terjadi kematian salah satu pasangan atau perceraian.12

Adapun mengenai konsep harta bersama menurut hukum islam, hukum adat, dan hukum positif menjelaskan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama masa perkawinan.