• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN UMUM

5.2 Analisis Pertumbuhan

Hasil analisis morfometrik tiram menunjukkan bahwa perbedaan lokasi dapat menyebabkan variasi karakter morfologi tiram pada spesies yang sama. Hal ini kemungkinan terjadi akibat lingkungan hidup tiram yang berbeda. Perbedaan faktor lingkungan kemungkinan memberikan kontribusi signifikan terhadap bentuk karakter morfologi meliputi panjang, lebar, dan tinggi. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Wu et al. (2013) bahwa tiram yang dikoleksi dari tempat berbeda memiliki karakter morfologi yang berbeda karena faktor fisika, biologi dan kimia mempengaruhi rasio pertumbuhan dan panambahan bobot daging tiram. Menurut Amaral dan Simone (2014), variasi morfologi tiram terjadi akibat tingginya variasi intra-spesifik yang menyebabkan kesulitan dalam proses identifikasi. Selain itu dikarenakan sifat hidupnya yang mendiami dasar perairan (benthos) memungkinkan tiram terpapar bahan pencemar sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhannya akibat energi tiram banyak dihabiskan untuk beradaptasi.

Tiram bersifat menetap pada media keras di dasar perairan, sehingga pertumbuhan dan kesuburan tiram tergantung keberadaan sumber makanan yang tersedia pada sekitar perairan. Tiram yang hidup pada lingkungan yang subur maka akan mudah membentuk cangkang, sehingga ukuran cangkang akan berbeda dengan tiram yang hidup di lingkungan nutrisi yang minim. Nutrisi yang cukup akan menghasilkan tiram terlihat lebih besar dan tebal berbanding dengan tiram yang hidup di lingkungan yang tidak subur.

Menurut Melo et al. (2010) keadaan lingkungan berperan besar terhadap pembentukan cangkang tiram. Adapun faktor lingkungan tersebut meliputi iklim, sumber makanan, suhu, arus, kuantitas bahan pencemar dan salinitas perairan (Wu et al., 2013; Ferreira et al., 2006; Amaral dan Simone, 2014).

berpasir. Organisme benthos sangat bergantung pada jenis dari substrat tempat perlekatannya untuk tumbuh dan berkembang. Substrat jenis pasir memiliki kelebihan karena dapat memudahkan biota untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sedangkan substrat lumpur cenderung memiliki kandungan oksigen yang lebih sedikit sehingga mengharuskan organisme beradaptasi dengan kondisi tersebut. Menurut Vercaeemer et al (2006), tiram daging Ostrea dan Crassostrea dapat tumbuh optimal pada substrat pasir berlempungm kerikil, dan bebatuan, sehingga substrat pada kedua lokasi penelitian ini sesuai untuk habitat tiram yang kondusif. Suhu di kedua lokasi penelitian cenderung stabil dengan suhu rata-rata pada Tibang adalah 31,30C dan Ulee Lheue 28,10C.

Kisaran suhu pada kedua lokasi penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan tiram daging. Crassostrea dapat hidup dengan baik pada suhu perairan berkisar antara 50C – 350C (Nehring, 2006). Suhu optimum untuk pertumbuhan tiram daging adalah 110C – 340C, sehingga suhu perairan pada Tibang dan Ulee Lheue masuk dalam kategori suhu optimum pertumbuhan tiram daging.

Tingkat keasaman (pH) air laut pada perairan Tibang dan Ulee Lheue yaitu 7,7 dan 7,6. Adanya pasokan air tawar yang masuk ke kedua perairan ini menyebabkan nilai pH yang cukup stabil. Menurut Yonvitner (2001), hampir selurut biota perairan bersifat sensitif terhadap perubahan pH yang terjadi. Umumnya biota akuatik dapat hidup optimal pada pH yang berkisar antara 7,0 hingga 8,5. Tiram daging dapat hidup pada perairan dengan pH antara 6,8 – 9,25 (Diederich, 2006). Kisaran pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan peningkatan angka kematian atau abnormalitas pertumbuhan pada tiram. Nilai salinitas terukur lebih tinggi pada perairan Tibang karna lokasi penelitian ini berhubungan langsung dengan laut lepas. Salinitas pada Ulee Lheue, salinitas lebih rendah dapat disebabkan adanya aliran air masuk dari sungai. Menurut Nybakken (1992), penambahan air tawar yang mengalir dan masuk ke perairan laut dapat menurunkan salinitas dari perairan laut. Salinitas mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, dan daya ketahanan hidup makrozoobenthos. Secara umum perairan Tibang dan Ulee Lheu masih memiliki salinitas dalam kisaran toleransi tiram daging.

mempengaruhi laju pemijahan pada tiram daging. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan, yaitu pemijahan tertinggi didapatkan pada bulan Agustus dan seiring dengan salinitas perairan yang didapatkan lebih tinggi daripada bulan-bulan lainnya.

Kandungan bahan organik dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan oksigen terlarut menjadi rendah. Sisa bahan organik seperti kotoran hewan atau kotoran manusia dan sampah-sampah yang ada di perairan akan mengalami pembusukan oleh organisme sapovor yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air, sehingga semakin banyak bahan organik yang mengalami pembusukan akan semakin menurunkan oksigen yang terlarut dalam air. Kadar rata-rata DO pada lokasi Tibang adalah 4,1 mg/l dan lokasi Ulee Lheue 3,3 mg/l, dimana kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian Ulee Lheue lebih rendah daripada Tibang. Hal ini dapat disebabkan karena perairan Ulee Lheue merupakan perairan yang digunakan pula sebagai stasiun berlabuhnya kapal-kapal perikanan dan tempat pengisian bahan bakar kapal.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, baku mutu oksigen terlarut bagi biota perairan adalah lebih dari 5 mg/l, sehingga pada kedua perairan lokasi penelitian Tibang dan Ulee Lheue memiliki kadar DO yang lebih rendah dari baku mutu yang seharusnya. Aktivitas perkapalan di perairan dapat menyebabkan konsentrasi bahan organik lebih tinggi di kedua perairan tersebut. Menurut Effendie (2003), kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, salinitas, aliran atau turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen juga dapat dipengaruhi oleh limbah yang masuk ke perairan, pergerakan massa air, serta aktivitas fotosintesis dan respirasi.

Hasil analisis univariate menunjukkan PT, L dan T tiram yang dikoleksi dari Gampong Tibang nilainya lebih tinggi berbanding dengan tiram yang dikoleksi dari Gampong Ulee Lheue. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran tiram dari Gampong Tibang lebih besar berbanding dengan tiram dari Gampong Ulee Lheue. Variasi morfologi yang terjadi kemungkinan terdapat perbedaan keadaan lingkungan yang terjadi pada 2 lokasi tempat observasi penelitian. Selain faktor perbedaan jenis tiram (Batista et al., 2008),

(Wang et al., 2004). Selanjutnya faktor genetik juga menunjukkan kekhususan terhadap jenis dan habitat tiram yang berlainan jenis (Lam dan Morton, 2003).

Menurut Hoellein dan Zarnoch (2014) mengemukakan bahwa tiram dilingkungan perairan berfungsi sebagai filtrasi, bioremediasi dan berperan terhadap proses siklus nitrogen. Selanjutnya bahan anorganik yang terdapat diperairan dapat menjadi residu yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram serta berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya (Sarong et al., 2015). Penelitian sebelumnya oleh Langdon et al. (2016) tentang efek bocornya minyak ke perairan fenomena Deepwater Horizon, USA bahwa menyebabkan dampak buruk signifikan terhadap pertumbuhan dan rekruitmen tiram (Crassostrea virginica) akibat tersuspensinya minyak di dalam perairan.

Hasil senada juga ditunjukkan pada uji DFA, dimana karakter morfologi tiram pada lokasi yang sama akan berkumpul pada satu kelompok yang sama dikarenakan kemiripan karakter yang tinggi. Adapun tiram dari lokasi yang berbeda terdiskriminasikan terpisah dengan tiram dari lokasi yang lain. Walaupun terdapat variasi morfologi sehingga membentuk klaster yang berbeda, namun tiram pada lokasi Gampong Tibang dan Gampong Ulee Lheue terlihat saling berdekatan di scatter plot DFA. Hasil penelitian sebelumnya oleh Grizzle et al. (2016) tentang pertumbuhan, variasi morfometrik dan jenis makanan pada Crassostrea Virginica di New Hampshire, USA menyebutkan bahwa terjadinya variasi morfometrik disebabkan oleh musim, konsentrasi nutrient, konsentrasi carbon dan nitrogen dalam perairan. Dapat disimpulkan bahwa spesies tiram pada lokasi Gampong Tibang dan Gampong Ulee Lheue adalah spesies yang sama.

Analisis pertumbuhan tiram di perairan Tibang dan Ulee Lheue Kota Banda Aceh menunjukkan nilai b rerata 1.81 dan 1.97 (alometrik negatif) yaitu penambahan bobot tiram tidak secepat penambahan panjang tiram. Hal ini juga sejalan dengan hasil yang didapatkan dari setiap jenis kelamin, pada jantan, betina, maupun hermafrodit. Dari penelitian ini didapatkan Crassostrea gigas pada perairan Tibang dan Ulee Lheue memiliki laju penambahan panjang yang lebih cepat daripada penambahan berat dagingnya, sehingga tiram terkesan kurus. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang

dan pertumbuhan cenderung tidak seimbang. Menurut Bacher dan Gangnery (2006), alokasi energi terbesar pada tiram digunakan untuk pertumbuhan terutama pembesaran cangkang, disamping untuk reproduksi.

Pertumbuhan adalah meningkatnya ukuran panjang dan bobot atau berat dari tiram. Kastoro (1992) menyatakan pertumbuhan pada bivalvia terjadi paling dominan pada bagian cangkang, sehingga pertumbuhan diinterpretasikan sebagai pertambahan panjang cangkang dilanjutkan dengan pertambahan bobot tubuh. Menurut Kang et al., (2003) pertumbuhan somatik tidak meningkat signifikan pada masa memijah karena adanya pengalihan energi pada organ lainnya, terutama untuk kematangan gonad. Setelah masa pemijahan, berat daging atau bobot tiram akan kembali meningkat seiring dengan penurunan indeks kematangan gonad (Effendie, 1979).

Tiram yang didapatkan dari kedua lokasi sebagian besar pada fase TKG 4 yaitu sedang dalam masa pemijahan. Hal ini yang dapat menyebabkan tiram cenderung kurus karena energi diutamakan untuk kematangan gonad selama proses pemijahan berlangsung. Penelitian Octavina (2014) juga mendapatkan pertumbuhan tiram yang cenderung kurus di Kuala Gigieng Aceh Besar umumnya terjadi pada tiarm yang berada pada fase TKG 3 dan TKG 4. Pada dua lokasi penelitian tersebut nilai b tidak terlihat perbedaan signifikan, sehingga sampel hasil observasi terlihat relatif sama secara visual.

Berdasarkan nilai b yang relatif sama pada dua lokasi penelitian menunjukkan keadaan habitat yang relatif homogen. Selanjutnya Arredondo et al. (2016) menyebutkan bahwa nilai b dengan selisih nilai berdekatan menunjukkan bahwa keadaan 2 lokasi yang berbeda terdapat kesamaan dalam hal sumber makanan bagi organisme yang diteliti. Menurut Froese (2006) bahwa faktor lingkungan yang homogen akan mengindikasikan pertumbuhan hewan sejenis terjadi simililaritas tinggi.

Adapun nilai faktor kondisi Fulton’s (K) menunjukkan rerata pada lokasi Tibang (5.03) relatif sama berbanding Ulee Lheue (5.06). Walaupun terdapat perbedaan nilai rerata K, namun tidak berbeda signifikan. Berdasarkan nilai K di dua lokasi penelitian menunjukkan keadaan lingkungan yang stabil (>1.6) (Morton dan Routledge, 2006).

menyebutkan bahwa keadaan perairan stabil mengindikasikan sumber makanan yang tersedia bagi organisme yang diteliti. Nilai faktor kondisi berat relatif (Wr) rerata menunjukkan lokasi Ulee Lheue (103.83) lebih tinggi berbanding dengan Tibang (102.30). Hasil ini menunjukkan perairan Ulee Lheue lebih stabil berbanding Tibang, namun nilai Wr kedua lokasi menunjukkan keadaan yang stabil (>100). Menurut Muchlisin et al. (2015) nilai Wr yang stabil mengindikasikan bahwa perairan masih mampu menaungi kehidupan organisme yang diteliti. Selain itu sumber makanan menjadi faktor penting terhadap keberlangsungan hidup organisme perairan (Zubia et al., 2014).

Walaupun nilai rerata b tiram pada 2 lokasi menunjukkan pertumbuhan negatif, namun lingkungan masih dalam keadaan stabil yang dibuktikan dengan nilai K dan Wr.

Hal ini kemungkinan dikarenakan sumber makanan tersedia, namun tidak mampu mencukupi kebutuhan nutrisi tiram. Selanjutnya hal tersebut kemungkinan juga terjadi karena faktor fisika kimia perairan yang cenderung buruk, sehingga mempengaruhi sistem fisiologi tiram dan menghabiskan banyak energi untuk proses berdaptasi. Faktor fisika kimia dapat disebabkan oleh pemanasan global, sedimentasi dan pencemaran. Hasil penelitian sebelumnya oleh Sarong et al. (2015) di Sungai Lamnyong Banda Aceh dan Astuti et al. (2016) di pesisir Krueng Raya Aceh Besar menunjukkan bahwa tiram di lokasi telah tercemar logam berat, sehingga faktor pencemaran berkontribusi terhadap rendahnya nilai b tiram.

Dinamika populasi merupakan perubahan baik penambahan maupun pengurangan individu tersebut dalam suatu lingkungan. Penambahan dapat terjadi karena pemijahan dan migrasi dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain. Menurut Efendi (1997) penambahan baru organisme ke dalam suatu lingkungan di sebut dengan rekruetrmen.

Rekrutmen sangat tergantung pada organisme yang siap memijah. Pengurangan organisme di sebabkan oleh mortalitas, baik mortalitas akibat penangkapan maupun mortalitas alami. Hasil pengukuran Tiram yang tertangkap di dua lokasi penelitian ditemukan ukuran yang dominan tertangkap adalah 40-50 mm. Di perkirakan tiram yang tertangkap berumur 1 tahun. Pertumbuhan tiram memiliki laju tercepat pada 3 bulan

makanan. Ketersediaan sumber makanan pada lokasi penelitian sangat mendukung untuk pertumbuhan tiram pada lokasi tersebut. Pada kedua lokasi naungan lingkungan cukup baik sehingga ukuran tiram yang tertangkap juga cukup besar.

Hasil analisis dinamika populasi menunjukkan tiram di dua lokasi penelitian (Tibang dan Ulee Lheue) telah di eksploitasi berlebihan, dimana berdasarkan nilai E

0.82year-1 menjelaskan kematian tiram akibat aktivitas penangkapan mencapai 82% atau

melebihi nilai batas lestari yaitu 50%. Selain itu hasil analisis menunjukkan dominasi tiram tertangkap yaitu pada ukuran panjang kelas 40-50 mm. Hal ini sesuai dengan hasil analisis panjang optimum penangkapan (Lopt) yaitu ditemukan pada ukuran 45.72 mm.

Dengan demikian berdasarkan ukuran tiram yang dominan tertangkap di estimasikan berumur 1 tahun. Namun secara keseluruhan 1800 sampel tiram yang tertangkap diestimasikan berumur 2-3 tahun. Pemijahan tiram pada perairan tropis dapat terjadi sepanjang tahun ( Bat et al 1978; Almaeda et al ,1999 ; Barber 1996 ). Namun dari hasil penelitian pada dua lokasi tersebut di temukan rekruetmen tiram terjadi pada bulan Juni dan Agustus. Namun puncak rekruetmen di temukan pada bulan Agustus. Salah satu faktor eksternal lingkungan yang sangat berpengaruh dalam proses gametogenesis pada Bivalvia adalah suhu. Pada bulan Agustus suhu perairan penelitian sangat panas, di karenakan puncak musim kemarau di Kota Banda Aceh, sedangkan faktor lingkungan yang lain masih layak untuk pertumbuhan dan pemijahan tiram di dua lokasi tersebut.

Kematian alami yang terjadi pada tiram pada lokasi penelitian umumnya akibat perusakan habitat saat penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Penangkapan oleh nelayan dapat meningkatkan risiko kerusakan pada koloni tiram jika proses panen dilakukan pada tiram yang belum layak diambil, sehingga turut mempengaruhi kestabilan subtrat tempat perlekatan. Sedangkan kondisi perairan baik fisik, kimia dan biologi pada kedua lokasi penelitian masih sangat layak untuk kehidupan tiram.