• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

L. merupakan ukuran maksimal yang dapat dicapai dalam habitat bivalvia –k merupakan pertumbuhan konstan yang menunjukan telah tercapai

2.6 Biologi Reproduksi Tiram .1 Organ reproduksi pada tiram

Alat reproduksi merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup suatu organisme, jika organ reproduksi pada organisme tidak baik, maka keseimbangan organisme tersebut di alam dapat mengalami gangguan. Secara keseluruhan hewan mempunyai dua jenis kelamin yaitu jantan yang mengeluarkan cairan sperma untuk berkembang biak dan betina yang mengeluarkan sel telur untuk bereproduksi. Tiram bersifat dioecius yang berarti mempunyai dua organ seksual yang terpisah. Tiram pada individu yang sama dapat bersifat jantan, dapat bersifat betina ataupun pada kondisi yang sama dapat bersifat jantan-betina. Oleh sebab itu tiram merupakan hewan yang bersifat hermaprodit, yaitu hewan yang mempunyai dua jenis kelamin.

Terdapat bermacam-macam hermaprodit yang ada pada hewan:

1. Hermaprodit singroni yaitu bila di dalam gonad suatu individu terdapat dua sel kelamin jantan dan betina dan matang bersamaan.

2. Hermaprodit protandi yaitu di dalam tubuh suatu organisme akan berubah dari satu jenis kelamin ke kelamin yang lain akibat proses diferensiasi, yaitu dari jenis kelamin jantan menjadi kelamin betina. Hermaprodit ini dapat dipengaruhi oleh kondisi nutrisi di alam. Tiram kebanyakan bersifat hermaprodit protandi.

3. Hermaprodit protogini yaitu diferensiasi dari jenis kelamin betina ke kelamin jantan.

Pada tiram ketiga macam hermaprodit tersebut dapat di alami. Pada masa pertumbuhan awal, umumnya tiram akan memiliki organ seksual jantan. Setelah pemijahan pertama, jika kondisi lingkungan mendukung tiram tersebut dapat berubah menjadi tiram betina. Pada beberapa kondisi tiram juga dapat bersifat hermaprodit protogini.

2.6.2 Rasio Seksualitas Tiram

Berdasarkan penjelasan di materi sebelumnya bahwa tiram bersifat dioecious, yaitu organisme jantan dan betina merupakan organisme yang terpisah, sehingga reproduksi dilakukan secara seksual. Tiram daging umumnya memulai hidup dengan jenis kelamin jantan, kemudian berubah menjadi betina jika lingkungan perairan kondusif, dan dapat kembali lagi menjadi jantan. Fenomena ini disebut dengan hermafrodit protandi.

Pada masa pemijahan pertama, sebagian besar individu muda adalah jantan. Setelah masa pemijahan kedua, jumlah individu dalam populasi total untuk tiap jenis kelamin hampir setara.

Protandri (pergantian jenis kelamin) terjadi diantara masa pemijahan. Hermafrodit fungsional (baik pada jantan maupun betina) dapat ditemukan pula pada tiram dewasa, namun hanya sekitar kurang dari 1% dari seluruh populasi tiram dewasa, tetapi dapat ditemukan hampir 99% pada seluruh area populasi tiram.

Rasio seksual setelah masa pemijahan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dan stress fisiologis pada tiram. Tiram daging yang hidup di lingkungan perairan kurang

baik atau mengalami jejas fisik cenderung tidak akan berkembang menjadi betina, sebab untuk menjadi tiram betina dibutuhkan energi lebih pada proses perkembangan gonad.

Lingkungan dan kondisi fisiologis yang tidak mendukung dapat membatasi jumlah energi yang dapat disimpan untuk perkembangan gonad betina.

Siklus seksual dimulai dengan pemijahan yang dipengaruhi oleh suhu perairan.

Gametogenesis serta maturasi ovum dan sperma mengikuti peningkatan temperatur, karena temperatur mampu menstimulasi terjadinya pemijahan. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi masa pemijahan adalah salinitas, umumnya lebih dari 10 ppt. Fitoplankton juga dapat menstimulasi tiram daging untuk memijah melalui induksi kimiawi. Pada kondisi normal, pelepasan simultan dari sperma dan ovum ke air memegang peranan penting dalam kesuksesan reproduksi tiram. Adanya sperma dan ovum tersebut akan menstimulasi tiram daging lain untuk ikut memijah karena munculnya respon hormonal.

Tiram betina membutuhkan stimulasi yang lebih kuat dari sperma jantan untuk memastikan bahwa ovum tidak dilepaskan pada saat tidak adanya sperma. Fertilisasi terjadi jika ovum dibuahi oleh sperma yang sudah dilepaskan ke air.

2.6.3 Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahapan tertentu pada perkembangan gonad sebelum dan sesudah pemijahan (Effendie, 1979). Proses ini akan memberikan gambaran perubahan telur dari segi bentuk, ukuran maupun warna. Perkembangan gonad akan semakin matang menjelang terjadinya pemijahan, dan sebagian besar hasil metabolisme dan nutrisi yang diperoleh tertuju pada perkembangna gonad. Penilaian tingkat kematangan gonad penting utuk mengetahui perbandingan organisme yang bereproduksi atau tidak, serta dapat mengetahui kapan terjadinya pemijahan pada suatu organisme.

Terdapat enam tahapan perkembangan Gonad menurut Mikolsky (1969) dan Fajar (1999), yaitu sebagai berikut :

a. Tingkat 1 : Tahap muda (immature), gonad berukuran sangat kecil, organisme belum memasuki masa untuk bereproduksi.

b. Tingkat 2A : Tahap istirahat (resting stage), gonad belum berubah, telur belum dapat dideteksi atau dibedakan tanpa alat, produk seksual belum berkembang.

c. Tingkat 2B : Tahap proses pematangan, secara kasat mata telur sudah dapat dibedakan, terdapat peningkatan laju pertumbuhan dan peningkatan berat gonad secara cepat.

d. Tingkat 3 : Tahap maturasi (mature), gonad mencapai berat maksimum dan produk seksual telah matur/matang, telur siap dikeluarkan untuk pemijahan.

e. Tingkat 4 : Tahap reproduksi (spawning/reproduction), produk seksual yang sudah matur akan dilepaskan, berat gonad akan menurun seiring pemijahan terjadi hingga selesai.

f. Tahap 5 : Kondisi salin (spent condition), pemijahan telah selesai, ovum dalam gonad hanya terisi telur sisi, testis berisi sperma sisa.

2.6.4 Indeks Kematangan Gonad

Indeks kematangan gonad adalah gambaran perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif. Indeks kematangan gonad dinilai berdasarkan perbandingan berat gonad dengan berat tubuh keseluruhan dinyatakan dalam persentase, sehingga perubahan nilai indeks kematangan gonad berhubungan erat dengan tahapan perkembangan telur.

Pertumbuhan ukuran gonad dan diameter telur didalamnya akan membuat gonad semakin bertambah berat dan mencapai batas maksimum saat pemijahan terjadi (Effendie, 1997).

Perhitungan IKG berdasarkan formula Gaughan dan Mitchell (2000) :

IKG = Wg x 100% (2.5)

Wt

Dimana:

IKG = indeks kematangan gonad (%);

Wg = berat gonad (gram);

Wt = berat tubuh (gram).

2.6.5 Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur yang matang sebelum dilepaskan pada masa pemijahan, disebut juga sebagai fekunditas individu atau fekunditas mutlak. Sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur persatuan panjang atau berat. Besarnya fekunditas dipengaruhi oleh umur serta panjang atau berat tubuh organisme. Ukuran tubuh betina

dapat digunakan dalam memperkitakan potensi telur yang dapat dihasilkan oleh organisme tersebut (Chondar, 1977).

Menurut Effendie (1997), karena penyusutan panjang relatif lebih kecil daripada berat yang dapat berkurang dengan mudah, fekunditas lebih erat dihubungkan dengan panjang daripada berat.

Perhitungan fekunditas dapat dilakukan menggunakan rumus metode gravimetrik (Andy dan Omar, 20015) sebagai berikut :

F = Bg x Fs (2.6)

Bs

Dimana:

F = jumlah telur total (butir);

Bg = berat gonad total;

Bs = berat gonad sebagian;

Fs = jumlah telur sebagian gonad (butir).

Selain fekunditas mutlak dan relatif, terdapat fekunditas populasi yang merupakan jumlah semua telur dari fekunditas mutlak betina yang akan mengalami pemijahan, atau dengan kata lain adalah semua telur yang dilepaskan dalam satu kali musim pemijahan (Bagenal 1978) (Effendie, 1997). Fekunditas populasi dapat diperkirakan berdasarkan persebaran umur dan jumlah masing-masing anggota yang telah diketahui. Penilaian fekunditas dan indeks kematangan gonad menjadi salah satu aspek penting dalam bidang biologi perikanan karena berkaitan erat dengan dinamika populasi, produksi, dan pola rekruitmen suatu organisme.

2.6.6 Dismorfisme Seksual

Dismorfisme seksual adalah perbedaan karakteristik antara jantan dan betina dalam satu spesies selain organ seksualnya. Perbedaan karakteristik dapat berupa warna, bentuk, ukuran, struktur. Perbedaan ini juga dapat berupa fisiologis maupun sikap.

2.6.7 Rasio Seksual

Rasio seksual adalah perbandingan jantan dan betina dalam suatu populasi. Rasio seksual dapat bervariasi pada populasi yang berbeda-beda. Rasio seksual dapat dihitung menggunakan rumus Adenike (2003) sebagai berikut :

Rasio seksual = Jumlah jantan/ jumlah betina (2.7)