• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Data

3. Analisis Semiotik

Berikut ini akan dipaparkan analisis terhadap data penelitian, yaitu ketigabelas lagu Didi Kempot yang bertemakan kesedihan, dengan menggunakan metode semiotik menurut Roland Barthes. Pada dasarnya, kedua jenis data (verbal dan nonverbal) yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah satu kesatuan dan bersifat saling melengkapi. Meski dianalisis secara terpisah, namun satu lagu dan videoklipnya merupakan satu kesatuan yang harus dilihat secara utuh. Oleh karena itu, hasil analisis

data verbal dan nonverbal akan dipaparkan dalam satu bagian menurut judul lagunya.

Lagu-lagu yang menjadi obyek analisis menggunakan kata ganti orang pertama (aku) untuk menyebut Didi Kempot. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Didi Kempot menjadi aktor utama dalam lirik lagu maupun video klipnya. Untuk itu akan diberikan keterangan dalam analisis data bahwa „si aku‟ dalam lirik lagu maupun dalam video klip diperankan oleh Didi Kempot sendiri. Demikian juga apabila lagu tersebut diciptakan oleh Didi Kempot, maka dalam analisis data akan dituliskan keterangan bahwa Didi Kempot bertindak sebagai pencipta lagu.

1. Lagu 1.Tanjung Mas Ninggal Janji

Vokal : Didi kempot Cipt. : L. Maryanto

Lagu ini merupakan ungkapan perasaan si aku kepada kekasihnya (kowe, -mu). Diceritakan bahwa si aku pergi menghantarkan kepergian kekasihnya dan sang kekasih berjanji bahwa kepergiannya tidak akan lama. Namun, sudah bertahun-tahun sang kekasih tak kunjung datang. Meski demikian si aku masih memendan rasa rindu dan tetap menanti kedatangan sang kekasih (genapnya janji) meski sudah melebihi janji.

Pada tataran penanda konotatif, penulis lirik memakai pilihan kata (diksi) yang dapat menggambarkan apa yang dirasakan oleh si

aku. Kata „hujan‟ dan „musim kemarau‟ dipilih untuk menggambarkan suasana hati yang bagai „dilanda kemarau‟ dan „menantikan hujan‟ (bait 1 dan bait 5).

Sebagai kepulauan tropis, Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Penggunaan kata hujan dan kemarau sangat dekat dan sangat dipahami oleh semua orang Indonesia, terutama mereka yang mata pencahariannya sangat mengandalkan musim, seperti petani dan nelayan. Cuaca di musim kemarau sangat kering, panas, dan berdebu. Perbedaan suhu udara ketika siang dan malam hari dapat menjadi sangat ekstrim sehingga potensial untuk merebaknya penyakit. Beberapa daerah yang merupakan pegunungan karst, seperti Gunung Kidul, bahkan sangat „menderita‟ ketika musim kemarau tiba. Sumber-sumber air yang mengering membuat hasil tanam buruk dan berdampak bagi kesejahteraan penduduknya. Oleh karena itu, turunnya hujan sangat diharapkan agar dapat membawa kesejukan dan kesejahteraan.

Pemilihan kata hujan dan kemarau digunakan sebagai bahasa kias berupa simile (= pengungkapan dengan perbandingan eksplisit) yang tampak pada bait 1:

“Bebasan kaya ngenteni udan ing mangsa ketiga

Najan mung sedelo ora dadi ngapa

Penting isa ngademke ati”

[Seperti menanti hujan di musim kemarau Meski hanya (turun) sekejap tak menjadi masalah

Perasaan ini ditegaskan pada bait 2:

“Semono uga rasane atiku, mung tansah nunggu tekamu”

[Seperti itulah rasa hatiku Tetap menanti kedatanganmu]

Arti atau makna sesungguhnya dari bahasa kias tersebut berfungsi sebagai petanda konotatif, yaitu menggambarkan hati yang bagai dilanda „kemarau‟ (rasa sedih) dan menantikan „hujan‟ (kedatangan kekasih), yang meski hanya „turun‟ (datang) sekejap saja namun dapat „menyejukkan‟ (membawa kebahagiaan) dalam hati. Jadi, dapat diperoleh makna konotatif bahwa „rasa hati‟ si aku yang tetap menanti kedatangan kekasihnya „seperti menanti hujan di musim kemarau‟.

Dalam lagu ini, dikisahkan bahwa si aku menghantarkan kepergian sang kekasih di pelabuhan Tanjung Mas (bait 4). Pilihan kata seperti „mengahantar‟, „menanti‟, „meninggalkan‟ merupakan penanda konotatif yang menggambarkan keseharian atau kegiatan orang-orang di pelabuhan. Ada yang menanti kedatangan seseorang, menghantarkan kepergian seseorang, dan yang pergi meninggalkan orang yang menghantarkan. Pemilihan kata ini sangat lugas namun dapat menimbulkan rasa rindu dan haru yang sangat khas ketika menghantar kepergian atau menanti kedatangan seseorang. Kerinduan dan rasa haru inilah yang dirasakan si aku ketika menghantarkan kekasihnya di pelabuhan (Makna Konotatif).

Kesedihan yang dirasakan si aku juga tampak lewat raut muka, seperti mata terpejam dan dahi berkerut. Ekspresi kesedihan, seperti mata yang terpejam dan dahi berkerut, juga menjadi penanda konotatif. Mata yang memejam hingga menimbulkan kerut di dahi mengekspresikan kesedihan yang teramat dalam, seolah-olah tak kuat lagi menanggung kesedihan dalam hati (Adegan1.3).

Adegan1.2 Adegan1.3

Penulis lirik menggunakan citraan perabaan dan pemikiran. Citraan perabaan muncul ketika si aku ingin merasakan kesejukan hujan (bait 1). Rasa sejuk ketika air hujan mengenai kulit yang panas karena kemarau menimbulkan sensasi segar hingga mampu menawarkan panas yang dirasakan. Citraan pemikiran tampak ketika si aku mengenang (teringat) peristiwa di pelabuhan Tanjung mas, dimana sang kekasih pergi meninggalkannya dan tempat dimana si aku selalu menunggu kepulangan sang kekasih (bait 3 dan bait 4).

Citraan ini juga didukung ekspresi artifaktual yang ditampilkan si aku (diperankan oleh Didi Kempot sendiri). Pada Adegan1.2,

tampak bahwa si aku membawa tas ransel warna merah yang terlihat menggembung (penanda konotatif). Tas ransel semacam itu kerap

dibawa orang-orang yang hendak pergi berlayar karena lebih praktis daripada membawa koper. Tas yang terlihat menggembung menunjukkan bahwa tas tersebut berisi banyak barang seperti hendak atau telah melakukan perjalanan yang jauh. Dalam lagu ini memang dikisahkan bahwa sang kekasihlah yang pergi, namun kehadiran tas yang dibawa oleh Didi Kempot selaku model cukup dapat menghadirkan suasana bepergian.

2. Lagu 2. Stasiun Balapan

Vokal : Didi Kempot Cipt. : Didi kempot

Dikisahkan bahwa si aku, dalam lagu ini, menghantar kepergian kekasihnya di Stasiun Balapan, Solo. Si aku merasa kehilangan dan sangat sedih melepas kepergian kekasihnya hingga meneteskan air mata. Sang kekasih berjanji hanya pergi untuk sementara waktu, namun kenyataannya ia tidak kunjung pulang. Hal ini membuat si aku pun bertanya-tanya, apakah kekasihnya lupa atau memang sengaja melupakan janjinya. Meski demikian, si aku tetap berharap bahwa sang kekasih masih mengingat janjinya dan segera pulang.

Pada bait 2 disebutkan tentang apa yang dialami si aku:

“Ning stasiun balapan, rasane kaya wong

kelangan. Kowe ninggal aku.

[Di Stasiun Balapan, rasanya seperti orang yang kehilangan. Kau meninggalkan aku. Tak terasa menetes air mata di pipiku]

Kata „air mata‟ berfungsi sebagai penanda konotatif yang dipilih untuk secara tegas menggambarkan kesedihan yang dirasakan si aku ketika menghantar kepergian sang kekasih di Stasiun Balapan. Air mata memang merupakan indikator kesedihan yang paling utama, meski ada juga air mata yang disebut „air mata bahagia‟ namun pada umumnya orang berair mata (menangis) ketika dirinya merasa sedih.

Suasana perpisahan dengan sang kekasih diungkapkan dengan diksi seperti „menghantar‟, „meninggalkan‟, dan „pergi‟. Diksi tersebut merupakan penanda konotatif yang menunjukkan kegiatan di stasiun. Kata „kehilangan‟ sebagai penanda konotatif menjadi ungkapan perasaan si aku yang pergi ditinggal kekasihnya. Sedih dan kecewa dapat menggambarkan perasaan orang yang kehilangan.

Sang kekasih mengucap janji bahwa ia pasti akan kembali namun setelah bertahun-tahun sang kekasih tak kunjung pulang bahkan tanpa berkirim kabar. Kenyataan ini membuat si aku bertanya: “Lali apa pancen nglali [Lupa atau memang melupakan?]” (bait 5). Pertanyaan di atas adalah penanda konotatif yang bersifat retoris, yaitu pertanyaan yang tidak memerlukan jawaba karena sesungguhnya jawabannya sudah diketahui atau sudah terkandung dalam pertanyaan itu. Penulis lirik mencantumkan pertanyaan retoris sebagai sarana

retorika untuk memberikan efek penegasan akan apa yang dirasakan oleh si aku.

Meski sadar bahwa kekasihnya tak akan kembali dalam waktu dekat, dan mungkin juga telah melupakannya, namun si aku masih berharap kekasihnya segera pulang (bait 5). Hal ini menandakan bahwa si aku memilih untuk berpikir positif dengan meyakini bahwa sang kekasih tidak sengaja melupakan dirinya. Si aku memilih untuk mempercayai janji sang kekasih daripada menilai bahwa sang kekasih tidak bertanggung jawab dengan janjinya.

Stasiun Balapan adalah salah satu stasiun kereta api yang terdapat di kota Solo, Jawa Tengah. Keberadaan Stasiun Balapan bahkan telah menjadi ikon yang sangat melekat pada kota Solo. Setting video klip lagu ini pun adalah Stasiun Balapan sehingga mampu menjadi visualisasi suasana Stasiun Balapan:

Adegan2.1

Keempat potongan adegan di atas memperlihatkan Stasiun Balapan sebagai latar dan Didi Kempot sebagai aktor (si aku). Pada

Adegan2.1, si aku duduk bersandar di kursi peron dengan tangan kiri memegang pundak sebagai sang kekasih (diperankan oleh seorang aktor wanita). Gestur demikian memperlihatkan rasa sayang si aku pada sang kekasih, sekaligus perasaan cemas dan khawatir akan kepergian sang kekasih. Ekspresi wajahnya memperlihatkan tatapan mata yang sayu, menerawang, serta sudut-sudut bibir yang menurun. Gestur dan ekspresi wajah tersebut adalah penanda konotatif yang memperlihatkan kesedihan dan kekhawatiran yang membayangi ketika akan melepas kepergian sang kekasih.

Ekspresi serupa juga terlihat pada Adegan2.3. Tatapan mata yang menerawang seperti menunjukkan bahwa si aku sedang mengenang kepergian sang kekasih dan janji yang diucapkannya. Senada dengan hal ini, dalam lirik lagunya juga muncul citraan pemikiran yang tampak pada bait 1 dan bait 4. Citraan lainnya adalah citraan perabaan (bait 2) dimana si aku merasakan air mata yang menetes di pipinya.

3. Lagu 3. Terminal Tirtonadi

Vokal : Didi Kempot

Lagu ini menceritakan penantian si aku akan kedatangan sang kekasih. Pada suatu ketika, si aku menghantarkan kepergian sang kekasih di Terminal Tirtonadi, Solo. Sebelum pergi sang kekash berjanji bahwa ia pasti kembali. Si aku menunggu hingga bertahun-tahun namum sang kekasih tak kunjung pulang. Si aku pun merasa rindu dan berharap kekasihnya ingat untuk segera pulang.

Adegan3.1

Kenangan si aku di Terminal Tirtonadi adalah kenangan yang sangat membekas dan tidak dapat dilupakan. Hal ini terlihat dari ekspresi gestural yang ditunjukkan si aku (diperankan oleh Didi Kempotsendiri) pada Adegan3.1. Si aku berdiri di koridor terminal dengan kepala menengadah dan kedua telapak tangan tangan terbuka yang diangkat setinggi dada. Ekspresi tersebut adalah penanda konotatif yang menandakan bahwa si aku sedang mengenang peristiwa di Terminal Tirtonadi ketika menghantar kepergian sang kekasih. Mata yang terpejam, dahi berkerut, dan mulut yang membuka menunjukkan kesedihan dan kerinduan yang teramat dalam.

Cerita tentang penantian si aku didukung dengan pemilihan kata seperti pergi, menunggu, menanti, dan rindu. Si aku telah menanti

sang kekasih hingga bertahun-tahun, meski demikian si aku tetap setia menunggu kepulangan sang kekasih. Bahkan jika sang kekasih sudah lupa sekalipun, si aku tetap akan menunggu sampai sang kekasih ingat untuk segera pulang. Hal ini diungkapkan pada bait 2:

“Rasane ngitung nganti lali

Wis pirang taun anggonku ngenteni

Ngenteni sliramu, ning kene tak tunggu Nganti saelingmu”

[Rasanya menghitung hingga lupa Sudah berapa tahun aku menunggumu Menanti dirimu, di sini kutunggu Sampai seingatmu]

Masa penatian yang lama ditunjukkan pada baris pertama bait 2: “Rasane ngitung nganti lali” [Rasanya menghitung hingga lupa]. Kalimat tersebut juga merupakan penanda konotatif yang hendak mengungkapkan betapa sang kekasih telah pergi untuk waktu yang lama, sehingga si aku yang setia menunggu pun bisa sampai lupa menghitung waktu. Ungkapan tentang lamanya penantian si aku juga tampak pada bait-bait selanjutnya, seperti: “Mangsa rendeng wis

ganti ketiga, apa kowe ra krasa” [Musim hujan telah berganti kemarau, apa kau tak hirau] pada bait 3, “Wis suwe kangen sing tak rasake” [Tlah lama rindu yang kurasakan] pada bait 4.

Penantian yang tak berujung rupanya membuat si aku merasa rindu dan menderita dalam ketidakpastian. Bahkan untuk mengungkapkan kerinduannya pun si aku memakai kata ganti „ini‟, seperti dapat disimak pada bait 4: “Wis suwe kangen sing tak rasakke, rasane koyo ngene” [Tlah lama rindu yang kurasakan, rasanya seperti

ini]. Padabait 4, kata „ini‟ adalah penanda konotatif yang sarat makna. Kata „ini‟ digunakan untuk mengungkapkan perasaan yang tak terdeskripsikan akibat menanggung rindu selama menunggu kedatangan sang kekasih. Meski tak terungkap lewat kata-kata, ekspresi nonverbal si aku dapat mengungkapkan perasaan si aku:

Adegan 3.3 Adegan 3.4

Pada Adegan 3.3, tampak si aku yang menopang kepala dengan tangan kiri. Jika seseorang menunjukkan ekspresi gestural semacam ini, maka dapat diartikan bahwa orang tersebut merasakan sakit di kepala, atau memiliki beban pikiran yang berat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si aku memiliki beban pikiran yang berat dan merasa frustrasi karena kepergian sang kekasih. Rasa frustrasi itu muncul karena penantian si aku yang tidak membuahkan hasil. Sekian tahun menanti, namun sang kekasih tak kunjung pulang. Rasa rindu yang dalam diungkapkan dengan gerakan tangan kanan yang menyentuh dada, menunjukkan bahwa rasa rindunya tersimpan dalam dada (Adegan3.4).

Keseluruhan lagu ini menggunakan citraan pemikiran yang ditimbulkan oleh kenangan si aku tentang perpisahan di Terminal

Tirtonadi (bait 1). Kenangan tentang perpisahan ini membawa si aku pada kesedihan dan rasa frustrasi karena kepergian sang kekasih. Meski demikian, lagu ini juga menunjukkan nuansa ketegaran sebab si aku akan terus menunggu hingga sang kekasih ingat untuk pulang dan menemuinya.

4. Lagu 4. Sewu Kutha

Vokal : Didi Kempot

Cipt. : Didi Kempot dan Arie Wibowo

Lagu ini merupakan ungkapan kerinduan si aku terhadap sang kekasih yang telah pergi entah kemana. Si aku telah mencari sang kekasih ke berbagai tempat dan bertanya pada banyak orang, namun tidak ada yang mengetahui keberadaan kekasihnya itu. Si aku telah mencoba melupakan sang kekasih, namun si aku tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia masih mencintai kekasihnya. Si aku bahkan telah mengihlaskan sang kekasih apabila ia sudah hidup dengan layak. Meski demikian, si aku tetap berharap bisa bertemu walau hanya sekejap mata untuk menawarkan rasa rindu dalam dada.

Gambaran si aku yang mencari sang kekasih ke berbagai tempat dapat dilihat pada potongan adegan di bawah ini:

Kedua potongan adegan di atas menunjukkan si aku (diperankan oleh Didi Kempot sendiri) yang menempuh perjalanan dengan sepeda motornya ke dua tempat yang berbeda. Pertama, ke tempat dengan jalan aspal yang rata, dengan nuansa teduh oleh hijau tumbuh-tumbuhan di kanan kiri jalan. Kedua, ke tempat gersang dan berdebu, dengan jalan yang tidak rata dan berpasir.

Kedua adegan tersebut cukup mampu menjadi visualisasi tentang betapa jauh dan betapa lamanya perjalanan yang telah ditempuh si aku untuk mencari sang kekasih. Bahkan dikatakan bahwa si aku telah melewati „seribu kota‟ dan menjalani „seribu hati‟ (bait 1) demi mengetahui keberadaan sang kekasih. Visualisasi dan sarana retorika hiperbola (= pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal) yang terdapat dalam bait 1berfungsi sebagai penanda konotatif. Visualisasi dan sarana retorika hiperbola memberikan lagu ini citraan gerak yang membuat pencarian si aku, yang dikisahkan melewati seribu kota, terasa konkret.

Pencarian yang dilakukan si aku nampaknya tidak membuahkan hasil. Si aku tidak berhasil menemukan keberadaan sang

kekasih meski telah mencari ke berbagai tempat dan bertanya pada setiap orang. Si aku pun mencoba untuk melupakan sang kekasih. Untuk mengungkapkan maksud ini, pencipta lirik menggunakan bahasa kias sinekdok pars pro toto (= pengungkapan sebagian dari obyek untuk menunjukkan keseluruhan obyek). Kata „nama‟ merupakan penanda konotatif yang dipilih sebagai pengganti atas „diri‟ sang kekasih yang utuh, yaitu sosok fisiknya dan segala sesuatu yang ada dalam diri sang kekasih.

Dalam lagu ini, tidak dikisahkan alasan kepergian sang kekasih. Namun dapat ditangkap kesan bahwa sang kekasih pergi ke tempat yang jauh untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Hal ini terlihat di bait 3 baris pertama: “Umpamane kowe uwis mulyo, lilo aku

lilo” [Seandainya kau sudah berbahagia, rela aku rela]. Kata „mulyo‟

dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang berada dalam kondisi bahagia lahir dan batin. Bahagia secara lahir adalah kondisi yang „mapan‟ atau tercukupinya kebutuhan material, sedangkan bahagia secara batin adalah sensasi psikologis yang dirasakan ketika kebutuhan material telah tercukupi, yaitu merasa aman, nyaman, dan puas.

Kondisi „mulyo‟ yang dimaksud dalam lagu ini dapat dicapai dengan dua cara. Pertama, dengan mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan secara materi dan yang kedua, menikah dengan orang yang berlimpah materi. Terlepas dari apapun cara yang dipilihnya,

kepergian sang kekasih demi memperoleh kehidupan yang lebih baik telah menjauhkan si aku dari sang kekasih sehingga si aku merasa sedih dan berusaha untuk mencari sang kekasih.

Meski demikian, si aku akan merelakan sang kekasih apabila tujuannya (untuk hidup „mulyo‟) telah tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa si aku pada akhirnya memilih untuk menerima kepergian kekasihnya walaupun ada konflik batin bahwa hatinya masih mencintai dan ingin bertemu dengan kekasih yang dicintainya.

Emosi sedih yang dirasakan si aku tertangkap lewat ekspresi nonverbal seperti potongan adegan berikut:

Adegan4.1 Adegan4.3

Pada Adegan4.1, tampak penanda konotatif (ekspresi fasial si aku) berupa tatapan mata yang sayu dan menerawang seolah mengenang sosok kekasih yang telah pergi entah kemana. Sementara pada Adegan 4.3, si aku tampak berdiri dengan kepala mendongak, tangan menyentuh dada, dan bahu melengkung ke dalam. Lewat penanda konotatif yang merupakan ekspresi postural ini, si aku menunjukkan kepasrahan hati sekaligus harapan untuk dapat bertemu dengan sang kekasih meski hanya sekejap mata.

5. Lagu 5. Parangtritis

Vokal : Didi Kempot Cipt. : Didi Kempot

Sesuai dengan judulnya, lagu ini berkisah tentang pengalaman si aku bersama sang kekasih di Pantai Parangtritis. Pengalaman itu adalah pengalaman yang manis sekaligus menyedihkan karena si aku bertemu dan berpisah dengan sang kekasih di Pantai Parangtritis. Dikisahkan bahwa sang kekasih mengingkari janji yang diucapkannya dan pergi meninggalkan si aku. Suasana pantai seakan mengingatkan si aku akan sosok sang kekasih. Meskipun sang kekasih telah pergi, namun si aku tetap teringat dan menunggu kedatangan sang kekasih di tempat kenangan mereka, Pantai Parangtritis.

Pantai Parangtritis adalah pantai yang terletak di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pantai Parangtritis adalah tempat tujuan wisata yang sangat populer karena keindahan alamnya, seperti ombak yang besar dan gunung-gunung pasir di sekitar pantai yang disebut „gumuk‟. Pantai Parangtritis juga menyediakan beberapa jasa wisata seperti dokar dan layang-layang.

Didi Kempot, sebagai pencipta lagu, memanfaatkan diksi yang dapat menggambarkan perasaannya dengan tepat. Kata-kata yang berhubungan dengan alam seperti: (pantai) Parangtritis, hujan, malam, dan ombakadalah penanda konotatif yang digunakan sebagai penguat suasana melankolis. Suasana pantai dengan deburan ombak, angin, dan pasir menyodorkan sebuah perasaan khas yang mengingatkan si aku pada sang kekasih, seperti yang diungkapkan pada bait 4:

“Ombak gedhe katon ngawe-awe Nelangsa ning ati rasane

Ombak gedhe sing dadi seksine Isih kelingan tekan seprene”

[Ombak besar seperti memanggil-manggil Merana di hati rasanya

Ombak besar yang jadi saksinya Masih teringat hingga saat ini]

Dalam lagu ini, Didi Kempot sebagai pencipta lirik juga memunculkan citraan yang berbeda di setiap baitnya. Pada bait 1 muncul citraan perabaan dalam ungkapan „hati seperti diiris‟. Kalimat ini merupakan penanda konotatif yang mengandung makna konotasi yaitu hati yang terasa perih karena didera perasaan sedih dan tersakiti dirasakan seperti diiris, sebuah sensasi yang hanya bisa dirasakan oleh kulit sebagai indera perabaan. Ungkapan „hati seperti diiris‟ juga merupakan bahasa kias berupa simile (= pengungkapan dengan perbandingan eksplisit).

Citraan penglihatan muncul pada bait 2, ketika turun hujan gerimis di malam hari. Sedangkan citraan pemikiran hadir lewat kenangan si aku akan pantai Parangtritis, tempat dimana si aku

menunggu perjumpaannya kembali dengan sang kekasih (bait 3). Debur ombak Parangtritis yang seakan memanggil-manggil dan menjadi saksi cinta si aku pada sang kekasih menciptakan citraan pendengaran (bait 4). Ungkapan „suara ombak seperti memanggil -manggil‟ adalah bahasa kias personifikasi (= pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa memiliki sifat layaknya manusia), yaitu ombak yang dikiaskan bisa bersuara.

Secara keseluruhan, lagu ini memiliki kesatuan citraan alam. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan kata yang bernuansa alam serta citraan pendengaran, perabaan, penglihatan, dan citraan pemikiran yang selingkungan. Keseluruhan citraan alam ini menimbukan suasana yang sangat khas dan memperjelas apa yang ingin disampaikan oleh pencipta lagu. Romantisme alam yang hadir lewat keseluruhan citraan, membawa pada suasana melankolis yang tengah dirasakan si aku.

Selain lewat citraan, kesedihan yang dirasakan si aku juga diungkapkan lewat diksi: teringat, menangis, dan „nelangsa‟ (merana). Perasaan merana yang dirasakan dalam hati didukung dengan ekspresi gestural si aku yang mengarahkan tangan kanan ke dada seperti potongan adegan di bawah ini:

Dokumen terkait