• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

3. Maskulinitas dan Kesedihan

Maskulinitas sering disebut sebagai manhood atau „kelelakian‟, atau dengan kata lain merupakan konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Konsep tentang maskulin (dan feminin) dengan segala atributnya adalah hasil bentukan masyarakat berdasarkan kondisi sosial dan budaya pada masyarakat tersebut. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pandangan mengenai konsep maskulin pada tiap daerah dan masyarakat.

Menurut Leach (dalam Grodan, 2008), maskulinitas dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu sebagai identitas dan sebagai ideologi. Sebagai identitas, maskulinitas berakar pada perbedaan aktual antara laki-laki dan perempuan yang membentuk suatu pemahaman atas diri dan menyusun sikap atau perilaku yang bersifat personal. Pemahaman maskulinitas sebagai identitas merujuk pada pendekatan sifat (traits) dimana seseorang memiliki sifat atau kepribadian tertentu yang diasosiasikan pada laki-laki.

Sedangkan maskulinitas sebagai ideologi menitikberatkan pada pendekatan normatif, dimana maskulinitas dipandang sebagai gender ideal bagi laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial. Ideologi maskulin mengharuskan laki-laki memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki oleh perempuan.

Maskulinitas sebagai konstruksi sosial berbeda-beda pada setiap kelompok, kelas sosial, ras, etnisitas, bahkan pada setiap zamannya. Menurut Darwin (2005), budaya Jawa juga memiliki definisi atau standar maskulinitas tersendiri. Dalam kebudayaan Jawa, laki-laki akan dikatakan sukses jika berhasil memiliki istri (garwa), harta (bondo), kendaraan (turangga), burung sebagai binatang peliharaan (kukilo), dan senjata atau kesaktian (pusaka).

Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan antar laki-laki, dan kerja keras (Barker, 2005). Seseorang dengan identitas maskulin harus mampu menampilkan apa yang dianggap sebagai sifat-sifat maskulin, antara lain sifat dominan, percaya diri, kuat, tegas, mandiri, kompetitif dan rasional.

Dalam penelitian ini, Didi Kempot sebagai pencipta lagu, penyanyi, dan aktor utama dalam setiap video klipnya, menunjukkan beberapa karakteristik maskulin yang tampak pada penampilan fisiknya. Didi Kempot memiliki perawakan yang gagah, badan berotot, berkulit gelap dan berambut gondrong. Penampilan fisik yang demikian

merupakan penanda maskulinitas yang mencitrakan seorang laki-laki yang kuat, jantan, dinamis, dan percaya diri – sifat-sifat yang dalam konvensi makna selama ini diidentikkan dengan sifat lelaki.

Selain penampilan fisik, maskulinitas Didi Kempot juga nampak dari pakaian yang dikenakan. Dalam penelitian ini, pakaian sebagai penanda maskulinitas terekam dalam ekspresi artifaktual. Ekspresi artifaktual sebagai salah satu komponen ekspresi nonverbal, diungkapkan melalui keseluruhan penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Pakaian yang dikenakan seseorang dapat digunakan untuk menyampaikan identitas diri yang berarti menunjukkan bagaimana perilaku orang tersebut dan bagaimana seharusnya perlakuan orang lain terhadap dirinya. Selain itu pakaian dapat dipakai untuk menyampaikan perasaan, status dan peranan, serta fornalitas.

Pada dasarnya, pakaian merupakan indikator yang tepat dalam menyatakan kepribadian dan gaya hidup orang yang mengenakannya (Sobur, 2004). Dalam video klipnya, Didi Kempot sering menggunakan pakaian berwarna hitam dengan berbagai model, seperti jaket kulit hitam, kaos singlet hitam, celana hitam, topi kupluk hitam, dan sebagainya.

Pakaian seperti jaket, celana, dan sepatu kulit dengan model seperti yang dikenakan Didi Kempot dalam video klipnya, adalah model pakaian yang sangat „laki-laki‟. Kekuatan dan kelenturan bahan kulit seakan melambangkan kekuatan dan kelenturan laki-laki. Kaos singlet yang memperlihatkan otot-otot lengan yang besar semakin mempertegas

maskulinitas Didi Kempot. Warna hitam memberikan kesan misterius namun berwibawa, sebuah kesan yang mampu membangkitkan aura maskulin dimana laki-laki dipandang sebagai sosok yang misterius dan berwibawa.

Dalam salah satu video klipnya (Lagu 4. Sewu Kutha), Didi Kempot mengenakan celana kulit, kaos model singlet berwarna hitan, kacamata hitam, dengan rambut panjangnya yang tergerai ditiup angin, menaiki „motor besar‟, di jalan yang berdebu dan gersang, seperti yang terlihat pada potongan adegan di bawah ini:

Mengenai citra maskulin yang ditampilkan pada kedua potongan adegan di atas, Willis (dalam Barker, 2006) melihat bahwa perpaduan antara motor, derum, pengendara yang sedang melaju mengekspresikan budaya, nilai-nilai, dan identitas para motorbikeboys. Kesolidan, kecekatan, resiko, dan kekuatan motor itu sendiri cocok dengan sifat dunia para bikeboys yang konkrit dan aman. Masih menurut Willis, akselerasi sepeda motor yang ganas dan agresifitas suara keras knalpot melambangkan asertivitas maskulin.

Mengacu pada pendapat Willis, sifat-sifat seperti yang diasosiasikan dengan sepeda motor adalah sifat-sifat maskulin, yaitu

kesolidan, kecekatan, resiko, kekuatan, dan agresifitas. Citra semacam inilah yang mencoba ditampilkan oleh Didi Kempot dalam kedua adegan di atas.

Selain lewat pakaian dan „motor besar‟yang dikenakan, rokok juga menjadi penanda maskulinitas lain yang digunakan Didi Kempot dalam video klipnya. Dalam kehidupan sehari-hari, rokok memang ditempatkan sebagai simbol maskulinitas karena budaya merokok sendiri pada awalnya memang dikhususkan untuk pria. Namun bangsa Indonesia sendiri tidak mengenal budaya menghisap tembakau dengan cara dibakar (merokok), tetapi dengan cara dikunyah dicampur daun sirih (menyirih). Uniknya kegiatan menyirih tersebut tidak hanya dilakukan oleh pria namun juga dilakukan dilakukan oleh wanita di Indonesia.

Rokok membawa citra jantan, pemberani, dan macho. Sifat-sifat ”khusus pria” tersebut selanjutnya melekat pada rokok itu sendiri. Jika ditinjau dari karakteristik morfologisnya, rokok mewakili bentuk ‟phalus‟ yang identik dengan milik pria. Oleh karena itu, disadari maupun tidak, produk rokok memang membawa nilai-nilai kelelakian sejak awalnya (Suwardikun, 2006).

Citra dan sifat-sifat maskulin yang ditampilkan Didi Kempot lewat penampilannya sangat berbeda dengan pengalaman dan ekspresi kesedihan yang ditampilkan dalam lagunya. Pengalaman kesedihan dalam lagu-lagu Didi Kempot dialami dengan cara yang tidak agresif atau kasar melainkan dengan dengan penuh penghayatan, lembut, dan sensitif. Bahkan Dalam lagu-lagunya, Didi Kempot tidak mencoba untuk menyembunyikan kesedihannya melainkan mengekspresikan dengan apa adanya.

Dalam budaya barat, yang disepakati pula dalam budaya timur, laki-laki tidak seharusnya menunjukkan atau mengekspresikan emosinya, terutama kesedihan dan ketakutan. Emosi seperti sedih dan takut hendaknya diubah ke dalam bentuk emosi lain, misalnya marah, sebagai bentuk emosi yang dirasa lebih pantas dan bisa diterima bagi laki-laki (Power, 2001).

Hal ini tidak bisa lepas dari stereotip gender yang tumbuh subur di masyarakat. Brody dan Hall (dalam Lewis (Ed), 2008), mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa stereotip yang menempatkan perempuan lebih emosional daripada laki-laki berlaku di banyak kebudayaan yang berbeda. Meski demikian, stereotip yang berlaku cenderung menitikberatkan pada ekspresi emosi daripada pengalaman emosi.

Pengalaman emosi memang sesuatu yang bersifat personal sebagai respon atas stimulus yang membangkitkan emosi. Respon atas stimulus pembangkit emosi ini berbeda-beda pada setiap orang, tergantung pada

makna apa yang diberikan terhadap stimulus tersebut. Pemberian makna ini berlangsung secara pribadi, sehingga stimulus yang sama belum tentu akan menghasilkan emosi yang sama.

Dalam lagu-lagunya, kesedihan yang dikisahkan sedang dialami oleh Didi Kempot, sebagai seorang laki-laki dengan citra maskulin, adalah pengalaman emosi yang jamak sekaligus unik. Disebut jamak karena penyebab pengalaman kesedihan itu adalah penyebab pengalaman sedih yang „umum‟ dirasakan oleh seorang laki-laki (maupun perempuan). Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman kesedihan yang disebabkan kehilangan orang yang dicintai.

Didi Kempot (sebagai aktor – „si aku‟) mengalami kesedihan karena ditinggalkan oleh sang kekasih. Kesedihan dalam hubungan antara „si aku‟ dengan sang kekasih terutama muncul karena sang kekasih tidak menepati janji, melupakan, dan menyakiti hati „si aku‟. Tempat-tempat yang membangkitkan kenangannya dan sang kekasih juga membuat „si aku‟ bersedih.

Kehilangan (loss) adalah penyebab utama atau inti dari pengalaman kesedihan (Banyan, 2003). Kehilangan itu sendiri ada bermacam-macam, jenis kehilangan yang paling menimbulkan kesedihan adalah kehilangan suatu hubungan yang dekat, intim, dan personal terhadap seseorang. Orang tersebut bisa jadi merupakan teman, kekasih, orangtua, maupun kerabat. Kedua, adalah kehilangan yang dirasakan ketika gagal mencapai tujuan

atau ambisi tertentu. Termasuk di dalamnya adalah kehilangan status atau posisi yang sifatnya hierarkial (Lewis (Ed), 2008).

Meski demikian, keseluruhan pengalaman kesedihan adalah unik walaupun situasi atau stimulus yang menyebabkan kesedihan (preseden) itu sama. Hal yang unik dari pengalaman kesedihan „si aku‟ adalah reaksi atau respon (anteseden) yang dilakukan terhadap kesedihan yang dirasakannya.

Ketika sang kekasih meninggalkannya, tentu saja „si aku‟ merasa sedih dan rindu. Namun setelah menyadari bahwa akhirnya sang kekasih tak akan kembali dan telah melupakan janjinya, atau mendapati cinta sang kekasih yang telah berubah, „si aku‟ tetap menanti kedatangan sang kekasih dengan setia. Si aku masih memendam rasa rindu dan berharap untuk bisa bertemu dengan sang kekasih yang telah meninggalkannya.

Tipe respon seperti di atas merupakan tipe respon yang cenderung pasif. Dikatakan pasif karena tidak melibatkan suatu aksi yang nyata untuk, setidaknya, mengatasi kesedihan yang dirasakan, namun „si aku‟ tetap berkubang dalam kesedihan itu dengan terus menanti dan berharap bahwa sang kekasih akan kembali dan ingat akan janji-janji yang telah diucapkannya.

Levant (dalam Worell (Ed), 2002) mengemukakan bahwa laki-laki akan cenderung mengingkari, memendam, atau mengalihkan emosi yang dirasakannya sementara perempuan akan lebih didukung untuk mengungkapkan emosinya. Namun, „si aku‟ sebagai laki-laki tidak

mengingkari, memendam, bahkan mengalihkan kesedihan yang dirasakannya tapi justru menerima bahkan menikmati kesedihan yang dirasakannya.

Ekspresi wajah (fasial) yang ditampilkan „si aku‟ pun turut mendukung dan memperjelas kesedihan yang dialaminya. Untuk mengekspreikan kesedihannya, „si aku‟ (dalam video klipnya diperankan oleh Didi Kempot sendiri) memejamkan mata atau memandang dengan tatapan sayu atau menerawang disertai kerutan di area dahi. Sedangkan di area sekitar mulut tampak sudut-sudut bibir menurun dan bibir mencebik.

Selain ekspresi fasial, ekspresi gestural seperti tangan yang menyentuh dada, menopang dahi, kepala menunduk dan telungkup juga menunjukkan kesedihan. Sedangkan ekspresi postural yang menggambarkan kesedihan adalah bahu yang melentur ke depan dan badan yang membungkuk.

Bahkan Didi Kempot, dalam video klipnya, tanpa malu-malu mengekspresikan kesedihan dengan menangis. Selama ini menangis selalu menjadi bentuk ungkapan kesedihan yang mendalam. Namun, hal ini sangat kontradiktif dari nilai sifat-sifat maskulin seperti pemberani, tidak boleh menangis (cengeng), dan tidak boleh bersikap pengecut.

Didi Kempot dengan kemampuannya mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi dalam lagu-lagunya seakan mematahkan asumsi yang berkembang selama ini bahwa laki-laki relatif tidak „familiar‟ dan kesulitan dalam mengidentifikasi serta mengekspresikan emosinya sendiri.

Cara Didi Kempot mengalami dan mengekspresikan kesedihan dalam lagu-lagunya, tidaklah melalui cara yang agresif atau kasar, tidak pula berpura-pura tegar dan kuat. Didi Kempot mengekspresikan kesedihan dengan bahasa yang lembut, sensitif, dan penuh metafora. Didi Kempot dengan apa adanya berani menerima dan mengalami kesedihan, yaitu emosi yang menurut Plant (2000) merupakan emosi yang masuk dalam kategori feminin. Hal ini membuktikan bahwa emosi sedih beserta pengalaman dan eskpresinya tidak hanya milik dimensi feminin saja.

Namun hal ini tidak berarti bahwa dengan mengalami dan mengekspresikan kesedihan, Didi Kempot menjadi kurang maskulin. Didi Kempot justru memunculkan suatu perspektif yang unik dimana seorang laki-laki mampu mengalami dan mengekspresikan kesedihannya.

4. Didi Kempot: Citra Maskulin yang Menjual Kesedihan

Melalui keseluruhan lagu dan video klipnya, Didi Kempot mencoba untuk – menurut istilah Planalp (dalam Guerrero, 1998) – mengkomunikasikan suatu pengalaman dan ekspresi kesedihan pada orang lain, yang dalam hal ini adalah audience atau para penikmat lagu-lagu Didi Kempot. Dengan demikian komunikasi yang terjalin antara Didi Kempot dan para penikmat lagu-lagunya berada pada ranah komunikasi massa.

Komunikasi massa dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan yang ditujukan pada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen,

dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Jalaluddin, 2003).

Dalam kerangka komunikasi, istilah „massa‟ sendiri merujuk pada jumlah atau kuantitas kecepatan dan derajat pada sistem, produk, dan

audience yang menerima pesan tersebut (Dimbleby, 1998). Disinilah letak perbedaan komunikasi massa dan komunikasi interpersonal, dimana perbedaan tersebut terletak pada pengendalian arus informasi, umpan balik (feedback), stimulasi alat indera, dan proporsi unsur isi dan hubungan.

Istilah media massa biasanya merujuk pada penyebaran informasi melalui buku, surat kabar, majalah, film, radio, program-program televisi, CD, DVD, dan sebagainya. Definisi ini sebenarnya sama dengan membedakakan saluran (channel) yang digunakan yakni cetak seperti buku, majalah, surat kabar, dan elektronik seperti radio , televisi, dan film (Straubhaar dan LaRose, 2002). Menurut McQuail (1993) fungsi utama media massa pertama-tama adalah sebagai pemberi informasi kepada masyarakat umum. Fungsi lainnya adalah pemberi identitas, sebagai sarana interaksi dan integrasi sosial, dan sebagai sarana hiburan.

Pengalaman dan ekspresi kesedihan yang disajikan Didi Kempot dalam lagu-lagu dan video klipnya tidak bisa dilepaskan dari unsur hiburan (entertainment). Fakta bahwa Didi Kempot menciptakan lagu-lagunya untuk tujuan komersial dan demi memenuhi selera pasar tidak bisa diingkari. Dengan demikian, pengalaman dan eskpresi kesedihan yang disajikan Didi Kempot dalam lagu-lagunya ditujukan sebagai hiburan

untuk para penikmat lagunya. Dengan demikian, Didi Kempot adalah citra maskulin yang tidak saja mengalami kesedihan namun juga menjual kesedihan.

Meskipun pengalaman dan ekspresi kesedihan Didi Kempot tidaklah otentik dan dikomunikasikan demi kepentingan komersial, namun lagu-lagu Didi Kempot yang bertemakan kesedihan mampu mempengaruhi suasana hati penikmatnya dan menularkan keyakinan persuasif yang mungkin saja akan diwujudkan menjadi tindakan nyata.

Zillmann (dalam Bryant (Ed), 2003) mengemukakan bahwa media hiburan memiliki tujuan utama untuk mengatur dan memanipulasi emosi

audience. Sementara Vorderer (dalam Bryant (Ed), 2003) mengemukakan bahwa hakikat media hiburan adalah menghadirkan kesempatan bagi para penggunanya untuk merasa senang, gembira, dan tercerahkan, atau dengan kata lain membuat para penggunanya terhibur. Hal ini terasa kontradiktif dengan tema-tema kesedihan yang ditawarkan lagu-lagu Didi Kempot sebagai sebuah hiburan.

Penelitian yang dilakukan Vorderer terhadap 150 respondennya menghasilkan temuan bahwa 40% responden senang mempertahankan kesedihan yang mereka rasakan dengan cara mendengarkan lagu-lagu bertema sedih yang memiliki kesamaan dengan situasi sedih yang mereka alami.

Menurut Vorderer, motivasi dasar untuk mempertahankan kesedihan adalah kemampuan untuk menerima kesedihan dan penderitaan

sebagai manifestasi dari perasaan „hidup‟ yang kompleks, bahkan sejenis perasaan senasib dengan orang lain yang menderita kesedihan karena hal yang sama. Orang yang mengalami kesedihan karena patah hati mungkin akan semakin menderita ketika mendengarkan sebuah lagu cinta, namun pada saat yang sama ia juga mendapatkan dukungan emosional (emotional support) dari lagu tersebut berupa perasaan senasib sepenanggungan dengan orang lain yang merasakan hal yang sama. Dalam hal ini orang tersebut adalah sang penyanyi itu sendiri sebagai orang yang membawakan atau menyanyikan lagu tersebut.

Sebuah lagu merupakan media komunikasi massa yang tidak semata-mata berurusan dengan masalah komersial dan estetika saja, melainkan ada nilai-nilai di dalamnya yang terkait dengan pengupayaan suatu realitas sosial tertentu. Oleh karena itu, lagu merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk memahami suatu realita.

Melalui lagu-lagunya, Didi Kempot mencoba mengkonstruksikan suatu relaitas baru yang berbeda dari konstruksi sosial selama ini. Didi Kempot, melalui lagu-lagunya, menampilkan citra maskulin yang berani mengalami dan mengekspresikan kesedihannya. Senada dengan hal ini, Levant (dalam Worell (Ed), 2002) mengemukakan pendapatnya tentang apa yang disebut dengan „the new masculinities‟.

Menurut pendapat Levant, laki-laki dengan citra maskulin yang baru akan mengkombinasikan baik sifat-sifat maskulin lama (old traits) maupun sifat-sifat maskulin baru (new traits). Laki-laki dengan sifat

maskulin baru ini akan menjadi sosok laki-laki yang tegar, kuat, dan percaya diri namun juga sensitif dan peka terhadap emosinya sendiri. Apresiasi yang lebih besar terhadap kehidupan emosi akan membuat laki-laki lebih terbuka untuk mengekspresikan emosinya baik verbal maupun nonverbal. Dengan demikian, kehidupan emosi mereka menjadi lebih kaya dan bermakna.

Lagu-lagu Didi Kempot yang bertemakan kesedihan telah melahirkan konstruksi sosial baru (atau dalam bahasa musik adalah „genre‟ baru) yang mampu menggugah kesadaran psikologis penikmat lagu-lagunya (massa). Didi Kempot mampu menarik para penikmatnya dengan sesuatu yang lain, yakni kemampuan Didi Kempot dalam memahami psikologi massa. Hal ini diperlihatkan lewat kekuatan lagu-lagunya yang mampu membawa penikmatnya dalam pengalaman kesedihan yang diciptakannya.

Selain emosi yang ikut terbawa, lewat lagu-lagu tersebut keinginan atau kesadaran untuk menolak konstruksi maskulin yang lama pun telah dibawa ke permukaan. Secara gamblang Didi Kempot memperlihatkan keberaniannya dalam mengalami dan mengekspresikan kesedihan sebagai wujud maskulinitas yang baru menggantikan konstruksi sosial lama yang dirasa tidak relevan lagi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti menarik beberapa kesimpulan terkait dengan hasil penelitian. Pertama, peristiwa atau situasi yang menyebabkan munculnya emosi sedih adalah peristiwa kehilangan, yaitu kehilangan orang yang dicintai (sang kekasih). Kesedihan dalam hubungan antara „si aku‟ dengan sang kekasih terutama muncul karena sang kekasih tidak menepati janji, melupakan, dan menyakiti hati „si aku‟, serta kenangan akan tempat-tempat khusus yang pernah dikunjungi si aku dan sang kekasih.

Kedua, sikap atau respon terhadap kesedihan yang dialami „si aku‟ adalah respon yang pasif, yaitu tetap menerima, menanti, dan berharap sang kekasih segera pulang dan mengingat janji-janjinya. Meski demikian, sebagai laki-laki „si aku‟ tidak mengingkari, memendam, bahkan mengalihkan kesedihan tetapi justru menerima kesedihan dengan apa adanya dan tanpa malu-malu serta mengekspresikan kesedihannya dengan bahasa yang lembut, sensitif, dan penuh metafora.

Ketiga, ekspresi kesedihan ditunjukkan lewat ekspresi fasial, gestural, dan postural. Ekspresi fasial kesedihan ditunjukkan dengan tatapan sayu dan menerawang disertai kerutan di area dahi. Sedangkan di area sekitar mulut tampak sudut-sudut bibir menurun dan bibir mencebik. Ekspresi gestural

ditunjukkan lewat tangan yang menyentuh dada, tangan menopang dahi, kepala menunduk dan telungkup. Sedangkan ekspresi postural yang menggambarkan kesedihan berupa bahu yang melentur ke depan dan badan yang membungkuk.

Keempat, bahwa pengalaman dan ekspresi kesedihan dalam lagu-lagu Didi Kempot bukanlah pengalaman otentik Didi Kempot sebagai seorang individu, melainkan sebuah hiburan (entertainment) dan dibuat demi memenuhi selera pasar (audience). Meski demikian, pengalaman dan ekspresi kesedihan itu tetap mengacu pada pengalaman dan ekspresi kesedihan dalam kehidupan sosial sejauh direpresentasikan oleh Didi Kempot.

Kesimpulan di atas membawa pada kesimpulan yang Kelima, yaitu pengalaman dan ekspresi kesedihan yang ada dalam lagu-lagu Didi Kempot membuktikan bahwa emosi sedih mampu dialami dan diekspresikan oleh laki-laki. Dengan demikian emosi sedih tidak hanya milik dimensi feminin saja.

Terkait dengan kesimpulan di atas, kesimpulan yang Keenam adalah bahwa keberanian Didi Kempot dalam menyajikan pengalaman dan ekspresi kesedihan pada lagu-lagunya dapat dinyatakan sebagai wujud maskulinitas yang baru, yaitu maskulinitas yang tetap mempertahankan sifat tegar, kuat, dan percaya diri namun di sisi lain juga sensitif dan peka terhadap emosinya sendiri.

B. KETERBATASAN PENELITIAN

Sebagai karya tulis ilmiah, penelitian ini memiliki batasan area penelitian. Tema penelitian ini adalah mengenai emosi, yaitu pengalaman dan ekspresi kesedihan. Penelitian ini mencoba untuk tidak berhenti sebatas pendeskripsian hasil, maka dalam bagian pembahasan peneliti memasukkan maskulinitas sebagai konsep terkait untuk membingkai pengalaman dan ekspresi kesedihan yang menjadi hasil penelitian.

Peneliti juga menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain adalah keterbatasan akses peneliti terhadap teori mengenai kesedihan dan maskulinitas. Literatur mengenai emosi terutama yang berbicara mengenai kesedihan cukup sulit ditemui. Dari beberapa literatur yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti, kebanyakan berbicara mengenai emosi marah (anger), malu (shame), gembira (happy) dan cinta (love). Sedangkan mengenai maskulinitas, banyak literatur yang tidak menjadikan maskulinitas sebagai fokus utama. Kebanyakan literatur yang berhasil dikumpulkan peneliti adalah literatur tentang feminitas yang hanya menjadikan maskulinitas sebagai salah satu unsur pelengkap literatur.

Keterbatasan yang kedua ada pada obyek penelitian, yaitu lagu-lagu dan video klip Didi Kempot. Peneliti mengalami kesulitan untuk mendapatkan semua album dan single (lagu lepas) Didi Kempot. Hal ini dikarenakan Didi Kempot memiliki banyak single yang tidak terdokumentasikan dengan baik. Peneliti hanya mendapatkan dokumentasi rekaman dalam bentuk VCD yang

beredar tahun 2000 ke atas, sementara rekaman tahun 2000 ke bawah sudah tidak beredar lagi di pasaran. Oleh karena itu, peneliti mengalami kesulitan membuat daftar album dan single Didi Kempot secara lengkap dan urut.

Selain kedua hal di atas, peneliti juga menyadari keterbatasan dalam hal metode analisis data. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan metode semiotik. Mengenai hal ini, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa pemahaman peneliti mengenai semiotik sebagai metode penelitian masih dalam taraf permukaan. Peneliti memperoleh pemahaman mengenai semiotik

Dokumen terkait