i SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Alfonsa Maria Theoterra Yoshanti 039114019
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iii
Dedicated to:
My beloved Papi, Andreas A.Susanto
iv
v ABSTRAK
PENGALAMAN DAN EKSPRESI KESEDIHAN
Analisis Semiotik terhadap Lagu-lagu dan Video Klip Didi Kempot Alfonsa Maria Theoterra Yoshanti
Lagu-lagu campursari yang dipopulerkan oleh Didi Kempot banyak mengusung tema kisah cinta yang sedih. Kesedihan itu dikisahkan lewat lirik lagunya dan semakin ditegaskan dengan ekspresi wajah dan gerak tubuh dalam video klipnya. Pengalaman dan ekspresi kesedihan yang disajikan sedemikian rupa dalam video klip dan lagu-lagu Didi Kempot sangat kontras jika dibandingkan dengan penampilannya yang sangat maskulin. Kontradiksi ini mengacu pada tradisi maskulin dalam kehidupan sosial, dimana laki-laki dianggap tidak maskulin jika mengalami dan mengekspresikan emosi yang dianggap ‘milik’ dimensi feminin yaitu emosi sedih. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kesedihan dialami dan diekspresikan oleh laki-laki, yang dalam penelitian ini ditampilkan oleh Didi Kempot lewat lagu-lagu dan video klipnya. Selain itu, melalui penelitian ini juga dapat diketahui dinamika antara kesedihan dan maskulinitas.
Penelitian ini menggunakan lirik lagu dan video klip Didi Kempot sebagai obyek penelitian. Adapun kriterianya adalah: (1) lagu yang dipopulerkan oleh Didi Kempot, (2) memiliki tema kesedihan, (3) aransemen asli, tidak termasuk lagu-lagu pop Indonesia yang disadur dalam bahasa Jawa, maupun lagu-lagu versi remix atau house music. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis semiotik. Proses pengambilan data dilakukan dengan teknik simak dan catat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman kesedihan pada lagu-lagu Didi Kempot disebabkan karena kehilangan sang kekasih, sementara sikap terhadap kesedihan itu dapat dikatakan sebagai sikap yang pasif. Ekspresi kesedihan ditunjukkan lewat ekspresi fasial, gestural, dan postural seperti dahi berkerut, tatapan mata yang sayu, tangan menyentuh dada, dan badan yang membungkuk. Keberanian Didi Kempot dalam menyajikan pengalaman dan ekspresi kesedihan dapat dinyatakan sebagai wujud maskulinitas yang baru, yang tetap mempertahankan sifat tegar, kuat, dan percaya diri namun di sisi lain juga sensitif dan peka terhadap emosinya sendiri.
vi ABSTRAK
Lagu-lagu campursari yang dipopulerkan oleh Didi Kempot banyak mengusung tema kisah cinta yang sedih. Kesedihan itu dikisahkan lewat lirik lagunya dan semakin ditegaskan dengan ekspresi wajah dan gerak tubuh dalam video klipnya. Pengalaman dan ekspresi kesedihan yang disajikan sedemikian rupa dalam video klip dan lagu-lagu Didi Kempot sangat kontras jika dibandingkan dengan penampilannya yang sangat maskulin. Kontradiksi ini mengacu pada tradisi maskulin dalam kehidupan sosial, dimana laki-laki dianggap tidak maskulin jika mengalami dan mengekspresikan emosi yang dianggap ‘milik’ dimensi feminin yaitu emosi sedih. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kesedihan dialami dan diekspresikan oleh laki-laki, yang dalam penelitian ini ditampilkan oleh Didi Kempot lewat lagu-lagu dan video klipnya. Selain itu, melalui penelitian ini juga dapat diketahui dinamika antara kesedihan dan maskulinitas.
Penelitian ini menggunakan lirik lagu dan video klip Didi Kempot sebagai obyek penelitian. Adapun kriterianya adalah: (1) lagu yang dipopulerkan oleh Didi Kempot, (2) memiliki tema kesedihan, (3) aransemen asli, tidak termasuk lagu-lagu pop Indonesia yang disadur dalam bahasa Jawa, maupun lagu-lagu versi remix atau house music. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis semiotik. Proses pengambilan data dilakukan dengan teknik simak dan catat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman kesedihan pada lagu-lagu Didi Kempot disebabkan karena kehilangan sang kekasih, sementara sikap terhadap kesedihan itu dapat dikatakan sebagai sikap yang pasif. Ekspresi kesedihan ditunjukkan lewat ekspresi fasial, gestural, dan postural seperti dahi berkerut, tatapan mata yang sayu, tangan menyentuh dada, dan badan yang membungkuk. Keberanian Didi Kempot dalam menyajikan pengalaman dan ekspresi kesedihan dapat dinyatakan sebagai wujud maskulinitas yang baru, yang tetap mempertahankan sifat tegar, kuat, dan percaya diri namun di sisi lain juga sensitif dan peka terhadap emosinya sendiri.
vii ABSTRACT
Most of campursari songs, which are popularized by Didi Kempot perform a sad love story theme. The sadness is described by its lyric and is more confirmed by facial expression and gestures in its musical video. The experience and expression of sadness performed in the musical video is somehow in contrast to Didi Kempot masculine physical appearance. This contradiction refers to the masculine tradition in the society where man is considered not to be masculine if he experiences and express such an emotion which belongs to feminine dimension, which is, sadness. Therefore, this research is intended to find out how sadness is experienced and expressed by men, which in the research is represented by Didi Kempot through his songs and musical videos. In addition, through this research, the dynamics between sadness and masculinity is discovered as well.
The object of this research are Didi Kempot’s song lyrics and musical video. The criteria of which is: (1) it’s popularized by Didi Kempot, (2) its theme is sadness, (3) it has original arrangement, not to include Indonesian pop songs which were translated to Javanese, or its remix version or house music. This is a qualitative research with a semiotic analysis method. Data collecting process was done by refer and record technique.
The result of the research shows that the experience of sadness in Didi Kempot songs is caused by loosing someone who is loved. The attitude towards the sadness can be categorized as a passive attitude. The expression of sadness is shown by facial expression, gestures, and postures, such as frown, glaucous, touching chest with hand, and bent body. Didi Kempot’s courage in performing the experience and expression of sadness can be stated as a new form of masculinity, in which keeping the character of tough, strong, and confidence, yet sensitive to his own emotion in other way.
ix
skripsi: menulis Kata Pengantar. Penulisan skripsi ini sungguh merupakan suatu
proses pendewasaan yang pada akhirnya proses itu hanyalah awal dari berbagai proses pendewasaan selanjutnya.
Bermula dari keinginan peneliti untuk menyajikan suatu penelitian yang
berbeda, maka peneliti mengangkat tema tentang kesedihan dan maskulinitas. Peneliti juga memberanikan diri untuk menggunakan metode analisis semiotik,
yang belum pernah digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya pada Fakultas Psikologi USD.
Untuk semua pihak yang berperan dalam proses pendewasaan ini, peneliti
ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk:
1. Bapak A.Supratiknya, terima kasih banyak atas bimbingan serta pendampingan selama saya berproses, dan atas kehormatan dan kebanggaan menjadi salah satu mahasiswa bimbingan Bapak.
2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, terima kasih atas jam-jam perkuliahan inspiratif yang saya ikuti selama menjadi mahasiswa, yang membuat saya tertantang untuk lebih banyak membaca. Terima kasih atas kesediaan Bapak
menjadi salah satu penguji bagi skripsi saya.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., terima kasih atas kesabaran dan senyum yang selalu dibutuhkan para mahasiswa, dan terima kasih atas kesediaan Ibu
x
apresiasi tiada henti: Mas Muji. Mas, saatnya menentukan pilihan: Didi Kempot atau David Beckham?
6. Dua orang terhebat dalam hidup, yang kasih sayang dan pengorbanannya layak mendapat piala: kedua orangtuaku Bapak C. Teguh Dalyono dan Ibu C. Indah Retnowati.
7. Kakak dan sahabat tercinta, jam weker di waktu pagi, jaket di siang hari, dan
selimut di malam hari: my duddie dudders, AY.Adventa Pramushanti. 8. A man with a sharp and brilliant mind, my beloved Papi: Andreas A.
Susanto. Your patience and support definitely contributed many to the completion of my thesis.
9. Doa dan semangat yang selalu menyertai dari Pakdhe Romo Y.Puryanto, SCJ.
10. Kehangatan dan keceriaan yang selalu hadir setiap kita semua berkumpul: Eyang, Pakdhe-budhe, Oom-tante, dan RemAh Martowidjojo.
11. Sahabat yang lucu dan baik hati, Maria Goreti Tri Yuliasari a.k.a Gothe. Bersamanya hari-hari kuliah menjadi lebih menyenangkan, terlebih karena hadirnyaberbagai ‘suasana’. (Betapa ini sangat berarti, membagi gelisah dengan
dirimu oh kawan– PADI)
xi
14. Teman seperjuangan yang sudah dibuat repot oleh segala ketidaktahuanku
akan skripsi: Inung, Ayu, Ita. Sepertinya memang harus diadakan bimbingan ‘skripsi for dummies’ deh.
15. Ibu Maya a.k.a Haksi dan Pak Siswo atas buku-buku tentang Jawa yang menyelamatkan.
16. Teman-teman yang asik berserta gosip-gosipnya yang ciamik: Memey, Wedha, Nia. Mari kita update sekarang juga!
17. Semua pengalaman berharga, yang diberikan oleh teman-teman di Marching Band Universitas Gadjah Mada dan Marching Band UPN Veteran Yogyakarta. Sungguh sebuah kehormatan dan kenangan yang tidak akan lewat begitu saja…
18. Sang Mellophone player dengan bakat yang memukau dan selera humor yang istimewa, Sulka Wijaya. Disadari atau tidak, kau memberiku semangat sobat!
19. Pertolongan dan semangat dalam sekeping koin dari Romo Bambang Widiyatmoko, Pr yang hadir tepat pada waktunya. Sekarang saya bisa bertemu Romo dengan penuh percaya diri.
20. Terakhir, untuk Dia yang telah menuliskan segalanya. Terima kasih telah membuatku percaya akan perhatianMu yang tidak mengecewakan dan
xii
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……….. iv
HALAMAN PERNYATAAN……….. v
ABSTRAK………... vi
ABSTRACT………. vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………... viii
KATA PENGANTAR……….. ix
DAFTAR ISI……… xii
DAFTAR TABEL……… xvi
BAB I. PENDAHULUAN……….... 1
A. Latar Belakang………. 1
B. Permasalahan……… 8
C. Tujuan Penelitian……….. 9
D. Manfaat Penelitian……… 9
BAB II. TINJAUAN TEORI………. 11
A. Emosi……… 11
1. Pengertian dan Konsep Emosi……… 11
2. Pendekatan dalam Memahami Emosi……… 13
3. Fungsi Emosi………. 15
4. Pengalaman Emosi………. 17
B. Ekspresi Emosi………. 18
1. Pengertian Ekspresi Emosi………. 18
2. Ekspresi Emosi Verbal……… 19
xiii
2. Kesedihan dan Depresi………... 26
3. Ekspresi Kesedihan……… 29
D. Maskulinitas………. 29
1. Teori Perkembangan Identitas Gender………... 30
1.1Psikoanalisis………. 31
1.2Teori Perkembangan Kognitif……….. 32
1.3Teori Belajar………. 33
2. Sifat Maskulin –Feminin……….... 34
3. Emosi Maskulin –Feminin………. 35
E. Tinjauan Umum Mengenai Karakteristik Gender dan Emosi dalam Budaya Jawa……….. 36
F. Musik, Lagu, dan Lirik Lagu……….... 38
1. Musik dan Lagu……….. 38
2. Lirik Lagu………... 39
3. Lirik Lagu sebagai Puisi………. 41
G. Campursari……… 44
1. Keroncong dan Lahirnya Musik Campursari………. 44
2. Perkembangan Musik Campursari………. 46
H. Didi Kempot………. 50
1. Sejarah Hidup Didi Kempot………... 50
2. Posisi Didi Kempot dalam Penelitian………. 53
I. Semiotik……… 54
1. Tanda, Penanda, dan Petanda………. 55
2. Makna Konotasi, Makna Denotasi, dan Mitos…………... 56
xiv
C. Fokus Penelitian……… 63
D. Sumber dan Jenis Data……….. 64
E. Proses Pengambilan Data………... 65
F. Metode Analisis Data………... 66
1. Analisis Isi……….. 67
2. Analisis Semiotik……… 71
G. Keabsahan Data……… 71
1. Kredibilitas………. 71
2. Dependabilitas……… 73
BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN………. 74
A. Analisis Data……… 74
1. Lagu-lagu yang Liriknya Memperlihatkan Tema-tema Kesedihan………... 74
2. Analisi Isi……… 76
3. Analisis Semiotik……… 76
B. Hasil Analisis Data………... 120
1. Hasil Analisis Isi………. 120
2. Hasil Analisis Semiotik……….. 122
3. Ringkasan Hasil Analisis Data………... 129
C. Pembahasan……….. 131
1. Pengalaman Kesedihan dalam Lirik Lagu-lagu Didi Kempot………... 131
2. Ekspresi Kesedihan dalam Video Klip Lagu-lagu Didi Kempot………... 140
xv
C. Saran………. 163
DAFTAR PUSTAKA……… 164
xvi
Tabel1. Sifat Maskulin –Feminin……….... 35 Tabel2. Peta Tanda Roland Barthes……….. 57 Tabel3. Daftar Lagu dan Video Klip Didi Kempot……….. 65 Tabel4. Penjelasan Tabel Analisis Data Verbal……… 68-69 Tabel5. Penjelasan Tabel Analisis Data Nonverbal………. 70 Tabel6. Daftar Lagu-lagu yang Memiliki Tema Kesedihan………….. 75 Tabel7. Tema Kesedihan pada Masing-masing Lagu……… 121 Tabel8. Penanda dan Petanda Konotatif pada Masing-masing Lagu… 123-128
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Segala sesuatu yang disaksikan, dialami, dan direnungkan tentang kehidupan dapat dituangkan dalam berbagai bentuk seni, salah satunya seni musik yang termasuk di dalamnya adalah lagu. Sebuah lagu merupakan
produk karya seni yang tidak semata-mata berurusan dengan masalah estetika saja, melainkan ada nilai-nilai di dalamnya yang terkait dengan pengupayaan
suatu realitas sosial tertentu. Oleh karena itu, lagu merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk memahami suatu realitas.
Selain terdiri dari komposisi nada-nada, sebuah lagu mempunyai
wujud bahasa (verbal) dalam bentuk lirik lagu dan wujud visual (nonverbal) dalam bentuk video klip. Dengan demikian, musik dan lagu pada hakikatnya
merupakan suatu ungkapan atau ekspresi si penyanyi atau penulis lagu terhadap realita dan kehidupan di sekitarnya.
Salah satu jenis musik yang populer, terutama di wilayah Jawa
Tengah dan sekitarnya, adalah campursari. Musik jenis ini memang sangat akrab di telinga masyarakat Jawa terutama kelas menengah ke bawah. Begitu
akrab dan tenarnya sehingga musik campursari masih terdengar dimana-mana hingga kini. Maka tidaklah mengherankan jika ketika bepergian menumpang bus antarkota, singgah di warung kaki lima, atau menghadiri pesta
pernikahan, pasti akan mendengar musik campursari mengalun melalui
perangkat pemutar musik, organ tunggal, atau dibawakan langsung oleh orkes campursari.
Campursari sendiri merupakan jenis musik yang menggabungkan alat-alat musik tradisional (gamelan) dan alat-alat musik modern (keyboard,
gitar elektrik, bass, dan drum). Munculnya jenis musik campursari telah mendobrak pakem irama musik keroncong termasuk jenis-jenis seni keroncong yang di dalamnya terdapat langgam, stambul, serta keroncong asli
sendiri (Suparno, t.t.). Kata „campursari‟ sendiri diambil dari kata „campur‟ yang berarti bergabungnya beberapa alat musik, baik tradisional maupun modern, dan kata „sari‟ yang berarti penggabungan tadi menghasilkan jenis
irama khas, rancak, dan enak untuk dinikmati (Suparno, t.t.).
Salah satu generasi baru seniman campursari yang cukup fenomenal
adalah Didi Kempot. Pria kelahiran Solo, 31 Desember 1966 ini bernama asli Didi Prasetyo. Ayahnya adalah Ranto Edi Gudhel, pelawak terkenal asal
Solo, dan kakaknya adalah pelawak Mamiek Prakosa yang lebih dikenal dengan nama „Mamiek Srimulat‟.
Nama besar dan popularitas Didi Kempot tidak datang begitu saja.
Didi Kempot merintis kariernya sebagai seorang pengamen jalanan bersama teman-temannya dalam Kelompok Penyanyi Trotoar (kata „Kempot‟ di
belakang namanya adalah kependekan dari Kelompok Penyanyi Trotoar). Kehidupan jalanan yang merupakan kehidupan kelas menengah ke bawah adalah lingkungannya sehari-hari. Maka tidaklah mengherankan jika
menengah ke bawah, demikian juga dengan lirik lagunya menggunakan bahasa Jawa ngoko (Gani & Chandra, 2007).
Tema lagu yang sederhana dan nuansa musik yang khas membuat lagu-lagu Didi Kempot menjadi populer dan disukai. Didi Kempot membaurkan
semua jenis musik mulai dari keroncong, dangdut, pop, hingga slowrock. Oleh karena itu, banyak yang berpendapat bahwa jenis musik Didi Kempot lebih tepat disebut pop jawa atau congdut (keroncong dangdut) daripada campursari klasik
ala Manthous. Meski demikian, di tangan Didi Kempot musik campursari menjadi lebih disukai terutama karena menggunakan irama musik dangdut. Seperti yang
ditulis oleh Bre Redana (2002), mengenai pembauran beberapa jenis musik tersebut:
“Itu semua dimungkinkan oleh perkembangan teknologi musik, tentunya juga oleh potensi orang seperti Didi Kempot ini. Dia seakan sudah tidak ambil pusing lagi dengan persoalan teknis seperti penggunaan instrumen. Perhatian tertumpah penuh pada semangat lagu-lagunya, yakni semangat „kampungan‟, „norak‟, ‟edan-edanan‟, ‟main-main‟ ”.
Meski menyajikan tema-tema yang sederhana, lagu-lagu Didi Kempot kaya akan kode-kode sosial yang menggambarkan relasi perempuan
dan laki-laki (Gani & Chandra, 2007). Seperti dalam salah satu lagunya yang berjudul „Tangise Ati‟. Dalam lagu itu, perempuan dipandang juga sebagai sumber utama kesedihan (heartbreaker) dengan mengakhiri hubungan cinta
Sifat, peran, serta posisi laki-laki dan perempuan yang ditampilkan dalam lagu-lagu Didi Kempot menunjukkan perbedaan gender yang selama
ini dikonstruksi oleh masyarakat secara sosial maupun kultural. Istilah gender merujuk pada suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Kasiyan, 2008).
Konsep gender yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat lantas menghasilkan suatu standardisasi pelabelan laki-laki dan perempuan
dalam konteks sosial, atau dengan kata lain menghasilkan sebuah konsep mengenai stereotip gender. Stereotip gender adalah terminologi „kebiasaan‟ atau ‟kepantasan‟ perihal sifat serta perilaku laki-laki dan perempuan di
masyarakat. Artinya hal-hal apa yang „pantas‟ dan „biasa‟ dilakukan oleh perempuan dimaknai sebagai stereotip feminin. Sedangkan hal-hal yang dianggap „pantas‟ dan „biasa‟ dilakukan laki-laki dimaknai sebagai stereotip
maskulin (Kasiyan, 2008).
Stereotip maskulin yang senantiasa dilekatkan pada laki-laki
menjelma dalam serangkaian sifat yang cenderung positif, seperti: rasional, tegar, kuat, mandiri, tegas, dan dominan. Sementara itu stereotip feminin
Maskulinitas sendiri juga disebut sebagai manhood atau „kelelakian‟, dengan kata lain maskulinitas merupakan konstruksi kelelakian
terhadap laki-laki. Secara umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali,
kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak
(Barker, 2005).
Penelitian yang dilakukan Brody dan Hall (dalam Lewis (Ed), 2008)
mengenai perbedaan gender dalam hal emosi menunjukkan bahwa ada perbedaan frekuensi dalam mengalami dan mengekspresikan emosi antara laki-laki dan perempuan. Sementara Plant, dkk (2000) menemukan bahwa
beberapa emosi seperti gembira, malu, takut, dan sedih dipandang lebih sering dialami dan diekspresikan oleh perempuan (emosi feminin) sedangkan
emosi seperti bangga, marah, dan jijik adalah emosi yang lebih sering dialami dan dirasakan oleh laki-laki, atau dengan kata lain dikelompokkan dalam emosi maskulin (Aloge, 2000).
Dalam kehidupan sosial, dengan tradisi maskulin yang semacam ini, laki dianggap gagal jika mereka tidak maskulin, salah satunya jika
laki-laki berpenampilan lemah dan emosional, khususnya jika laki-laki-laki-laki mengalami emosi yang dianggap „milik‟ dimensi feminin yaitu emosi sedih.
Kesedihan, sebagai salah satu emosi, adalah perasaan yang dialami
orang lain atau lingkungan, serta jika gagal mencapai tujuan. Izard (dalam Strongman, 2003) mengemukakan bahwa kesedihan lebih merupakan suatu
pengalaman yang dapat menimbulkan keputusasaan, kesepian, dan keterpisahan. Penyebab khususnya adalah kejadian dalam hidup sehari-hari
manusia, terutama kejadian-kejadian yang melibatkan unsur kehilangan. Menurut Parrot (dalam Sloboda & Juslin, 2001), kesedihan merupakan salah satu emosi dasar (basic emotion) yang dimiliki manusia
selain cinta, marah, terkejut, dan takut. Frijda (dalam Prawitasari, 1995) mengemukakan bahwa emosi lebih merupakan pengalaman internal dan
bukan hanya sekedar kata yang dilabelkan padanya. Dengan kata lain setiap orang dapat mengalami suatu emosi tertentu, namun makna dan intensitas dari emosi itu berbeda-beda demikian juga cara atau ekspresi emosinya.
Ekspresi emosi adalah cara untuk mengkomunikasikan emosi seseorang pada orang lain lewat komunikasi verbal maupun nonverbal
(Widiyanto, 2001). Komunikasi verbal adalah komunikasi menggunakan bahasa baik bahasa lisan maupun tulis. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi menggunakan gerak tubuh dan tangan, juga melalui
ekspresi wajah.
Lirik lagu-lagu Didi Kempot banyak menunjukkan ekspresi kesedihan. Misalnya dalam salah satu lagu yang berjudul „Parangtritis‟:
rasane kepingin nangis/ yen kelingan parangtritis...atau dalam lagu „Stasiun
Balapan‟ secara jelas diungkapkan bahwa dirinya meneteskan air mata: ra
Ekspresi wajah dan gerak tubuh Didi Kempot dalam video klipnya semakin menegaskan kesedihan yang sedang dirasakannya. Dalam video
klipnya Didi Kempot sering menutup kelopak mata dan menengadahkan wajah yang menandakan kepasrahannya menghadapi peristiwa sedih yang ia
alami. Bahkan tanpa malu-malu dia pun menangis dalam salah satu video klipnya.
Apa yang disajikan Didi Kempot dalam video klip dan lagu-lagunya
sangat kontras jika dibandingkan dengan penampilan dan perawakannya yang sangat maskulin. Didi Kempot yang tampil gagah, berkulit gelap, berambut
gondrong, mengenakan jaket dan celana kulit, dan dalam salah satu video klipnya mengendarai „motor besar‟, secara keseluruhan menampilkan citra
maskulin.
Dalam banyak kasus, penelitian dan kajian yang bertemakan persoalan gender cenderung mengetengahkan topik tentang persoalan
perempuan dan dikaji berdasarkan perspektif perempuan (feminin) saja sehingga kurang didapat gambaran komparatifnya dengan gender laki-laki. Berangkat dari stereotip gender yang menggolongkan emosi sedih sebagai
emosi feminin, maka penelitian ini mencoba menghadirkan sosok laki-laki yang (sama seperti perempuan) juga mengutamakan perasaannya.
Melalui penelitian ini, permasalahan yang akan dijawab adalah bagaimanakah emosi sedih dialami dan diekspresikan oleh laki-laki, yang dalam penelitian ini ditampilkan oleh Didi Kempot lewat lagu-lagu dan video
akan ditempatkan pada konteks maskulinitas. Oleh karena itu penelitian ini juga akan menjawab pertanyaan mengenai dinamika antara kesedihan dan
maskulinitas.
Pengalaman kesedihan akan diteliti lewat lirik pada lagu-lagu Didi
Kempot (verbal ) sedangkan ekspresi kesedihan akan diamati lewat potongan adegan atau scene (nonverbal) dalam video klip Didi Kempot. Dengan demikian lirik lagu-lagu dan video klip Didi Kempot menjadi data penelitian.
Dalam penelitian ini, lirik lagu akan diperlakukan sebagai puisi. Hal ini sangat memungkinkan karena pada dasarnya penulisan lirik lagu
mengikuti kaidah-kaidah penyusunan puisi terutama dalam penggunaan kata-kata yang bersifat puitis (Pradopo, 2005).
Selain itu, penelitian ini juga mencoba menambah keragaman
penelitian psikologi dari segi metode dengan menggunakan lirik lagu dan video klip sebagai data penelitian serta menggunakan semiotik sebagai
metode analisis datanya.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang ingin dijawab lewat penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian. Pertanyaan inti dari penelitian ini adalah:
(1) bagaimana emosi sedih dialami dan diekspresikan oleh laki-laki, yang dalam penelitian ini ditampilkan Didi Kempot lewat lagu-lagu dan video klipnya, serta (2) bagaimana kaitan antara pengalaman dan ekspresi
Untuk mengetahui bagaimana pengalaman dan ekspresi kesedihan serta kaitan antara kesedihan dan maskulinitas, terdapat beberapa pertanyaan
turunan dalam penelitian ini, yaitu: (a) situasi dan tindakan apakah yang menyebabkan munculnya emosi sedih dalam diri Didi Kempot? (b)
bagaimanakah Didi Kempot menyikapi kesedihan yang dirasakannya? (c) bagaimanakah ekspresi kesedihan diungkapkan secara nonverbal lewat klip lagu-lagu Didi Kempot? (d) apa saja tanda-tanda maskulinitas yang tampak
pada video klip Didi Kempot? (e) makna apakah yang terkandung dalam tanda-tanda tersebut? dan (f) bagaimana tanda-tanda tersebut bekerja dalam
kaitannya dengan kesedihan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana emosi sedih dialami dan diekspresikan oleh laki-laki, yang dalam penelitian ini
ditampilkan oleh Didi Kempot lewat lagu-lagu dan video klipnya, serta untuk mengetahui bagaimana dinamika antara kesedihan dan maskulinitas.
D. MANFAAT PENELITIAN
Secara umum, manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu
manfaat teoritis dan praktis. 1. Manfaat teoretis
Penelitian ini dapat menjadi sebuah wacana yang meninjau pengalaman
sosial, budaya, dan psikologi. Penggunaan maskulinitas sebagai konsep terkait juga dapat memberikan sumbangan bagi teori-teori psikologi
khususnya dalam hal emosi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan alternatif cara bersikap bagi laki-laki dimana laki-laki-laki-laki tidak perlu takut dan malu untuk dapat mengalami
dan mengekspresikan kesedihannya.
Selain itu, dengan menggunakan analisis semiotik, yang tidak
BAB II TINJAUAN TEORI
A. EMOSI
1. Pengertian dan Konsep Emosi
Emosi merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, sering terdengar kata „emosi‟ diucapkan oleh hampir setiap orang pada berbagai kesempatan. Kata „emosi‟
memang akrab dengan kehidupan sehari-hari,namun penggunaannya
cenderung diartikan secara negatif. Emosi dianggap sebagai hal yang berkonotasi dengan kemarahan atau hal-hal yang merugikan orang lain, padahal emosi sangat bermanfaat dan dapat memberi warna pada
kehidupan manusia.
„Kesalahan‟ seperti di atas memang tidak bisa dihindari karena
emosi merupakan sesuatu yang sangat kompleks, sehingga emosi tidak memiliki satu pengertian yang dapat dipahami dan diterima secara universal. Salah satu upaya menyelidiki definisi emosi adalah dengan memperhatikan asal katanya atau etimologi emosi. Kata „emosi‟ berasal
dari bahasa Latin emovere, yang terdiri dari kata ‟e‟ berarti keluar dan
‟movere‟ berarti gerak. Dengan demikian secara sederhana emosi dapat
dirumuskan sebagai gerak keluar atau gerak menjauh dari-. Namun upaya ini tidak cukup menjelaskan kompleksitas emosi, sehingga mendorong
para ahli dan peneliti untuk terus berupaya merumuskan definisi dan konsep emosi.
Pada awal sejarah psikologi, William James (dalam Dayakisni, 2004) merumuskan emosi sebagai hasil dari reaksi terhadap sebuah
stimulus. Kemudian Buck (dalam Dayakisni, 2004) menyempurnakan definisi emosi sebagai perasaan mendalam yang diikuti adanya perubahan elemen kognitif maupun fisik dan mempengaruhi perilaku.
Konsep emosi lainnya juga dikemukakan oleh Sloman (t.t). Menurut Sloman, emosi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang
melibatkan seluruh aktifitas kognitif lainnya seperti memori, presepsi, evaluasi, dan pemecahan masalah. Sedangkan Kleinginna dan Kleinginna (sebagaimana dikutip oleh Sloboda & Juslin, 2001) mencoba menemukan
definisi emosi yang terdapat dalam 92 buah buku, artikel, kamus, dan sumber-sumber lain. Mereka menemukan bahwa emosi merupakan suatu
interaksi yang kompleks antara faktor subyektif dan obyektif dan dihubungkan oleh sistem saraf dan hormonal, yang dapat (a) membangkitkan pengalaman afektif, (b) menimbulkan proses kognitif, (c)
mengaktifkan penyesuaian fisiologis yang luas terhadap situasi yang menggerakkan, (d) membawa pada tingkah laku yang ekspresif, bertujuan,
dan adaptif.
Ortony, dkk (dalam Guerrero dan Andersen, 1997) mendefinisikan emosi sebagai keadaan mental spesifik yang berfokus pada afek. Dengan
behavioral. Meski demikian, menurut Scherer (dalam Guerrero dan Andersen, 1997) komponen kognitif dan behavioral termasuk dalam
komponen yang membentuk emosi selain komponen fisiologis dan faktor kesiapan aksi.
Selain definisi di atas, masih terdapat banyak sekali definisi emosi yang berbeda. Hal ini menjelaskan bahwa emosi merupakan fenomena yang sangat kompleks. Namun, semua definisi di atas memiliki kesamaan
bahwa emosi merupakan keadaan internal yang melibatkan unsur afektif, kognitf, behavioral, dan perubahan fisiologis yang kesemuanya membawa
pada tingkah laku yang ekspresif, bertujuan, dan adaptif.
2. Pendekatan dalam Memahami Emosi
Cara-cara individu dalam mengalami dan mengekspresikan emosi sangat membantu untuk merumuskan konsep emosi dan membedakannya.
Menurut Sloboda & Juslin (2001), ada beberapa pendekatan untuk memahami emosi yaitu pendekatan kategorial, pendekatan dimensional, dan pendekatan prototip.
a. Pendekatan Kategorial
Menurut pendekatan kategorial, emosi dibagi menjadi beberapa
kategori yang berbeda satu sama lain, yang disebut basic emotions (emosi-emosi dasar). Basic emotions adalah suatu konsep yang mengasumsikan bahwa terdapat beberapa emosi yang bersifat asli dan
Emosi-emosi dasar tersebut adalah gembira, marah, sedih, takut, dan jijik.
b. Pendekatan Dimensional
Jika pendekatan kategorial menitikberatkan pada karakteristik yang
membedakan emosi satu dengan yang lain, maka pendekatan dimensional mengidentifikasi emosi berdasarkan dimensi-dimensi yang dimiliki seperti aktivitas, potensi, dan valensi.
Russell (1980) dalam penelitiannya mengemukakan circumplex model yang membagi emosi ke dalam dua dimensi, yaitu valensi dan aktifasi.
Model semacam ini dianggap sebagai cara yang sederhana dan kuat untuk mengkategorikan emosi berdasarkan penilaian afeknya (menyenangkan atau tidak menyenangkan) dan reaksi fisiologisnya
(tinggi atau rendah).
Di sisi lain, pendekatan semacam ini dianggap mengaburkan
perbedaan psikologis emosi berikut aspek-aspeknya. Meski demikian, kedua pendekatan di atas, kategorial dan dimensional, cenderung bersifat saling melengkapi.
c. Pendekatan Prototip
Asumsi dasar dari pendekatan ini terletak pada bahasa yang
membentuk konsepsi dan kategorisasi informasi. Keanggotaan emosi pada suatu kategori didasarkan pada kemiripan dengan prototip lain. Sebagai contoh emosi riang dan senang lebih cocok menjadi prototip
3. Fungsi Emosi
Emosi memiliki fungsi yang sangat penting bagi individu dan
kehidupannya. Menurut Mandatu (2007) terdapat tujuh fungsi emosi, yaitu:
a. Menimbulkan respon otomatis sebagai persiapan menghadapi krisis Secara fisiologis, individu memiliki syaraf simpatetik yang merupakan bagian dari sistem syaraf otonom. Syaraf simpatetik berfungsi
menggerakkan respon otomatis dalam keadaan krisis. Misalnya, jika bertemu dengan anjing yang terlihat marah, maka reaksi emosi (takut)
akan mengaktifkan fungsi syaraf simpatetik yang menimbulkan respon menjauh atau lari untuk menghindari anjing tersebut.
b. Menyesuaikan tindakan dengan peristiwa tertentu
Emosi membantu individu untuk menggunakan respon yang tepat pada situasi tertentu. Misalnya, dalam keadaan duka individu akan
menyesuaikan tindakan dengan situasi tersebut dengan memakai pakaian hitam atau tidak bercanda tawa.
c. Memotivasi tindakan yang ditujukan untuk pencapaian tujuan tertentu
Setiap tindakan yang dilakukan individu pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini emosi dapat membuat individu
perhatian orang yang dicintai, misalnya menemani mendaki gunung padahal takut akan ketinggian.
d. Mengkomunikasikan pesan kepada orang lain
Pada saat mengalami suatu emosi, orang lain akan menangkap pesan
di balik emosi tersebut. Misalnya, jika sedang marah maka pesan yang ingin disampaikan adalah agar orang lain lebih bersikap hormat, atau ingin memukul orang yang membuat marah. Orang lain akan mengerti
meski pesan itu terkadang tidak diucapkan atau ditunjukkan secara langsung.
e. Mempererat ikatan sosial
Hubungan sosial yang terjalin tanpa melibatkan emosi membuat hubungan tersebut menjadi hambar dan kurang bermakna. Adanya
emosi positif seperti kebahagian penerimaan, kegembiraan, dan kedamaian akan membuat hubungan sosial yang terjalin semkain erat.
Emosi juga membantu dalam interaksi antarindividu khususnya tentang bagaimana sikap atau perilaku yang seharusnya ditampilakan. f. Mempengaruhi memori dan evaluasi terhadap suatu kejadian
Emosi dapat mempengaruhi memori terhadap suatu kejadian untuk kemudian mempengaruhi juga evaluasi yang diberikan terhadap
kejadian tersebut. Misalnya, respon emosional ketika dikejar anjing (detak jantung meningkat, keringat dingin, dan gemetar karena takut) memberi tahu individu untuk menghindari tempat dan situasi yang
menyenangkan dapat bertindak sebagai penguat (reinforcer) yang mengajarkan individu untuk mencari situasi yang serupa dengan
emosi menyenangkan tersebut.
g. Meningkatkan daya ingat terhadap memori tertentu
Individu akan lebih mengingat kembali kenangan-kenangan yang diliputi oleh emosi kuat, dan sebaliknya. Misalnya ketika kehilangan orang yang dicintai, peristiwa ini akan teringat dengan kuat karena
pada saat itu individu mengalami kesedihan yang amat sangat.
4. Pengalaman Emosi
Guerrero (1998) mendeskripsikan pengalaman emosi sebagai suatu keadaan mental yang spesifik dan merupakan sesuatu yang dialami di
dalam diri seseorang atau dengan kata lain bersifat intrapersonal. Pengalaman emosi timbul karena adanya reaksi internal dalam diri
seseorang terhadap suatu stimulus yang membangkitkan emosi ( emotion-eliciting stimulus).
Valensi afektif adalah komponen utama dari pengalaman emosi.
Yang dimaksud dengan valensi afektif adalah arah penilaian kognitif dari suatu situasi tertentu, apakah situasi tersebut dinilai baik atau buruk,
positif atau negatif, sehingga respon terhadap situasi tersebut bisa dikatakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Selain valensi afektif, komponen lain yang menyusun pengalaman
kognitif terhadap suatu situasi, (b) kesiapan aksi, yaitu tendensi untuk melakukan atau mencegah timbulnya perilaku, dan (c) perubahan faali,
termasuk di dalamnya perubahan detak jantung, perubahan tingkah laku, dan perubahan ekspresi fasial.
Pengalaman emosi juga merupakan pengalaman yang kaya akan makna. Emosi yang dialami seseorang merupakan perpaduan dari afek, persepsi, dan pengetahuan konseptual tentang emosi yang tergabung
dalam suatu waktu tertentu dan menciptakan suatu keadaan dimana emosi dipahami sebagai disebabkan oleh obyek atau situasi tertentu (Barrett dkk,
2007).
B. EKSPRESI EMOSI
1. Pengertian Ekspresi Emosi
Ekspresi emosi dirumuskan sebagai perubahan-perubahan yang
mendalam pada otot dan kelenjar serta pada tingkah laku yang berasosiasi dengan emosi (Chaplin, 2004). Ekspresi emosi adalah cara untuk mengkomunikasikan emosi seseorang terhadap orang lain, yang dilakukan
secara sadar maupun tidak sadar (Widiyanto, 2003).
Emosi dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk yang secara garis
besar digolongkan menjadi ekspresi verbal dan nonverbal. Ekspresi verbal diungkapkan dengan kata-kata termasuk menulis pengalaman emosi atau berbicara tentang emosi yang sedang dialami. Ekspresi nonverbal misalnya
fisiologis, gerak dan isyarat tubuh, serta tindakan-tindakan emosional (Mandatu, 2007).
2. Ekspresi Emosi Verbal
Ekspresi verbal dari emosi diungkapkan dengan simbol atau pesan verbal berupa kata-kata. Menurut Mulyana (2005), simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih.
Sedangkan komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal. Simbol-simbol tersebut dapat berupa kata-kata dan
kalimat dalam berbagai bentuk, baik tertulis maupun lisan. Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya.
Deskripsi verbal mengenai suatu emosi tertentu, dapat memberikan informasi yang cukup akurat mengenai emosi tersebut secara spesifik
Menurut Ortony (dalam Fussell (Ed.), 2002) deskripsi verbal yang biasa digunakan untuk mengekspresikan emosi adalah dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya literal. Kata-kata tersebut digunakan untuk
menamai atau melabeli suatu perasaan atau keadaan (state) tertentu sebagai sebuah emosi, misalnya perasaan yang dinamakan sebagai „takut‟, „marah‟, dan sebagainya.
Meski demikian, sulit untuk mencapai tingkat kejelasan dan kualitas emosi „takut‟ atau „marah‟ tersebut. Hal ini disebabkan karena emosi
yang ada dalam emosi tersebut (misalnya: seberapa „marah‟, atau „takut‟ yang bagaimana) sulit diungkapkan dengan bahasa literal (Kövecses,
2004). Oleh karena itu, digunakanlah bahasa metafor sebagai solusi untuk mendeskripsikan kualitas dari emosi yang ingin diekspresikan.
Menurut pandangan linguistik, metafor adalah model figuratif untuk menyebut suatu hal sebagai hal yang sama dengan yang lain, atau dengan kata lain, mengantikan suatu hal dengan hal lain yang dianggap memiliki
kualitas yang sama. Metafor tidak hanya berfungsi untuk tujuan retoris semata, melainkan dapat digunakan pula sebagai alat untuk menyampaikan
suatu konsep yang abstrak dan sulit dimengerti agar lebih mudah dipahami.
3. Ekspresi Emosi Nonverbal
Ekspresi emosi nonverbal adalah ekspresi emosi yang diungkapkan
lewat tanda-tanda nonverbal, yaitu melalui ekspresi wajah, gerakan tangan, gerak tubuh, cara berbicara, maupun nada suara. Banyak informasi, terutama suasana hati atau emosi, dapat diperoleh dari ekspresi nonverbal.
Ekman dan Friesen (1984) menyebutkan bahwa emosi dapat dipelajari melalui tanda-tanda yang terlihat di wajah. Emosi-emosi seperti
marah, sedih, takut, dan terkejut dapat dilihat melalui gerakan-gerakan otot di dahi, sekitar mata, hidung, dan mulut.
Mengenai ekspresi wajah, Prawitasari (1995) menyatakan bahwa
emosi-emosi tersebut hal yang paling tepat dilakukan adalah memperhatikan kerutan-kerutan di sekitar dahi, mata, hidung, dan mulut.
Kerutan-kerutan tersebut akan menunjukkan emosi yang dialami. Misalnya, emosi sedih akan terlihat dari mata meskipun orang tersenyum
bahkan tertawa. Ketidaksesuaian ini akan menimbulkan kebingungan dalam mengartikannya, terlebih jika pernyataan yang dikemukakan juga senjang dengan apa yang diekspresikan melalui wajah. Dalam hal ini,
ekspresi nonverbal terutama ekspresi wajah, gerak tangan, dan tubuh dinilai lebih jujur daripada pernyataan yang diungkap secara verbal.
Meski demikian, penggunaan ekspresi verbal dan nonverbal hendaknya terintegrasi dengan baik dan penilaian terhadapnya juga dilakukan secara menyeluruh dan bersama-sama. Menurut Planalp & Knie
(dalam Fussell (Ed.), 2002) memfokuskan penilaian terhadap salah satu elemen saja (misalnya ekspresi verbal) cenderung diikuti dengan
pengabaian pada elemen lain. Hal ini membuat kehalusan dan kekayaan makna dari emosi itu sendiri tidak dapat tertangkap dengan baik. 3.1. Klasifikasi Pesan Nonverbal
Rakhmat (2003) membagi pesan nonverbal menjadi tiga kelompok besar. Klasifikasi tersebut mengikuti klasifikasi yang dibuat Leathers
(1978) dengan sedikit perubahan: a. Tipe Visual
Pesan kinesik adalah pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh untuk menyampaikan makna
tertentu. Pesan kinesik terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pesan fasial (menggunakan air muka untuk
menyampaikan pesan), pesan gestural (menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan), dan pesan postural (menggunakan seluruh anggota badan).
Pesan fasial
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat
menunjukkan sepuluh kelompok makna, yaitu kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan,
pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.
Rangkuman berbagai penelitan tentang wajah menungkapkan bahwa wajah dapat mengkomunikasikan
hal-hal sebagai berikut: (1) penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, (2) minat terhadap orang lain atau
lingkungan, (3) intensitas keterlibatan dalam suatu situasi, (4) tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya
sendiri, dan (5) ada atau tidaknya pengertian.
Pesan gestural
responsif, (4) mengungkapkan perasaan negatif/positif, (5) memperhatikan/tidak memperhatikan, (6) melancarkan/
tidak reseptif, dan (7) menyetujui/menolak.
Pesan postural
Mehrabian (dalam Rakhmat, 2003) menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan oleh postur tubuh, yaitu
immediacy, power, dan responsiveness.
Immediacy adalah ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu lain. Ketika berkomunikasi, postur yang
condong ke arah lawan bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif.
Power mengungkapkan tinggi rendahnya status pada diri komunikator. Sedangkan responsiveness dikomunikasikan apabila secara emosional individu bereaksi positif maupun
negatif terhadap lingkungan. Bila postur tubuh tidak berubah, berarti individu menunjukkan sikap yang kurang
responsif. 2) Pesan proksemik
Dalam pesan proksemik, informasi atau makna tertentu disampaikan dengan menggunakan pengaturan jarak dan ruang. Pengaturan jarak dalam komunikasi dapat
Selain itu, pesan proksemik juga dapat diungkapkan dengan mengatur ruangan obyek dan rancangan interior.
3) Pesan artifaktual
Pesan artifaktual diungkapkan melalui keseluruhan
penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik yang digunakan. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, seseorang sering berperilaku dan berhubungan dengan orang lain sesuai
dengan persepsi yang dimiliki tentang tubuhnya (body image).
Pakaian dan kosmetik erat kaitannya dengan pembentukan citra diri. Pakaian yang dikenakan seseorang dapat digunakan untuk menyampaikan identitas diri. Menyampaikan identitas
diri berarti menunjukkan bagaimana perilaku orang tersebut dan bagaimana seharusnya perlakuan orang lain terhadap
dirinya. Selain itu, pakaian dapat dipakai untuk menyampaikan perasaan, status dan peranan, serta fornalitas. Sedangkan penggunaan kosmetik pada wajah dapat
mengungkapkan kesehatan, sikap yang ekspresif dan komunikatif, serta kehangatan.
b. Tipe Auditif (Paralinguistik)
Secara keseluruhan, pesan paralinguistik merupakan alat
lain. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan cara pengucapan pesan verbal. Satu pesan
verbal dapat memiliki arti yang berbeda-beda jika diucapkan dengan cara yang berbeda. Pesan paralinguistik antara lain terdiri
atas nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme.
c. Tipe Nonvisual – Nonauditif
Pesan yang termasuk dalam tipe nonvisual-nonauditif adalah pesan sentuhan dan bau-bauan (tacticle and olfactory
messages). Pesan tersebut adalah pesan yang tidak berupa kata-kata, tidak terlihat, dan tidak terdengar.
C. KESEDIHAN
1. Pengertian dan Konsep Kesedihan
Menurut sejarah evolusi, kesedihan adalah perasaan milik mamalia yang berakar pada dua hal, yaitu duka mendalam akibat terpisahnya hubungan induk dengan bayi (maternal-infant separation) dan pada saat
mengalami kekalahan dalam perkelahian. Kesedihan adalah emosi yang dirasakan ketika kehilangan sesuatu, baik obyek maupun orang lain, yang
sangat penting atau sangat berarti dalam hidup.
Ada banyak hal yang dapat menyebabkan kesedihan. Penyebab utamanya adalah kehilangan dan keterpisahan, perubahan suasana atau
yang dapat memicu munculnya perasaan sedih apabila mendengarkan musik dengan tempo yang lambat, berada di dekat orang yang mengalami
kesedihan, atau mengingat peristiwa masa lalu yang menyedihkan.
Secara biologis, kesedihan dikarenakan kurangnya produksi
seratonin dalam otak. Seratonin adalah senyawa dalam otak yang berperan sebagai transmiter atau pemancar neural dan memainkan peran dalam jadwal tidur dan emosi (Chaplin, 2004). Orang yang merasa sedih
memiliki lebih sedikit kadar seratonin dalam tubuh dibandingkan dengan orang yang sedang gembira.
2. Kesedihan dan Depresi
Kesedihan merupakan salah satu emosi yang sering dialami dalam
kehidupan manusia, maka adalah suatu hal yang wajar apabila seseorang merasa sedih. Kesedihan merupakan keadaan yang tidak permanen dan
biasanya tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Depresi adalah suatu gangguan yang ditandai dengan kesedihan mendalam, semangat yang rendah dan berkurangnya minat dalam aktivitas
sehari-hari sebagai reaksi atas stresor-stresor tertentu. Kesedihan sendiri merupakan salah satu simptom emosional depresi, dimana kesedihan yang
kompleks. Sementara itu, sedih merupakan suatu emosi tunggal (Mandatu, 2007).
Horwitz dan Wakefield (2007) membedakan antara kesedihan dalam taraf „normal‟ dan kesedihan yang telah menjurus pada gangguan
(disorder) seperti depresi. Beberapa komponen yang membedakan kesedihan normal dan depresi adalah:
a. Adanya suatu konteks yang spesifik
Yang dimaksud dengan konteks spesifik adalah respon terhadap stimulus yang secara spesifik berada pada konteks „benar/wajar‟ dan
bukan pada stimulus yang „salah/tidak wajar‟.
Stimulus yang menyebabkan kesedihan adalah rasa kehilangan. Meski demikian, peristiwa kehilangan yang menjadi pemicu
kesedihan sangat beragam. Kehilangan yang berada dalam area „wajar‟ dibagi menjadi tiga: pertama, kehilangan cinta dan kasih
sayang dalam hubungan yang melibatkan kedekatan, cinta, dan persahabatan.
Kedua, kehilangan yang berasal dari aspek hierarkis dalam
hubungan sosial, seperti kehilangan status, kekuasaan, pengaruh, harga diri dan kehormatan. Ketiga, adalah kegagalan mencapai tujuan
dan cita-cita ideal yang menjadi tujuan dalam hidup.
Ketiga jenis peristiwa kehilangan di atas tidak dapat diprediksi sebelumnyadan mampu mengancam kesejahteraan hidup karena
b. Intensitas yang proporsional
Proporsi atau besarnya intensitas kesedihan sebanding dengan
derajat kepentingan dan permanensi dari kehilangan itu sendiri. Selain faktor afektif, yang menentukan tingkat keparahan respon, terdapat
faktor kognitif yang turut menentukan besarnya intensitas kesedihan. Faktor kognitif melibatkan persepsi yang akurat atas peristiwa kehilangan. Jika seseorang memiliki persepsi yang akurat tentang
kehilangan yang dialami maka kesedihan yang dialami (sebagai respon atas peristiwa kehilangan) akan berada dalam kategori wajar.
Apabila perspesi seseorang telah terdistorsi oleh keyakinan yang sifatnya delusional maka kesedihan yang dialami adalah tidak wajar. c. Periode berlangsungnya kesedihan
Selain disebabkan karena kehilangan, kesedihan juga akan menetap seiring dengan konteks (eksternal) dan proses coping
(internal). Selama ketegangan akibat kehilangan tetap ada, maka kesedihan juga akan berlangsung dalam waktu yang lama. Namun jika kehilangan itu berhasil diatasi maka kesedihan juga akan berakhir.
Biasanya kesedihan akan bertahan lama pada konteks seperti kegagalan perkawinan, pekerjaan yang menekan, kemalangan yang
terus menerus, dan penyakit kronis. Meski demikian, periode berlangsungnya kesedihan yang „normal‟ lebih singkat atau lebih
pendek daripada kesedihan yang termasuk gangguan depresi.
3. Ekspresi Kesedihan
Kesedihan bisa dilihat dari tampilan fisik seseorang, seperti postur
tubuh dan ekspresi wajah. Tubuh yang membungkuk, air mata pada wajah disertai bibir yang mencebik, tatapan yang sayu, postur bahu merosot
(lentur ke depan), dan desahan atau nafas panjang yang dapat didengar. Penelitian mengenai tanda-tanda fisik kesedihan pertama kali dilakukan oleh Darwin pada tahun 1872. Penelitian tersebut menghasilkan
temuan bahwa tanda-tanda kesedihan tampak dari kelopak mata yang menurun; otot-otot melemah; kontraksi pada dada; bibir, pipi, dan rahang
turun; sudut-sudut mulut yang menurun; kedua ujung dalam alis mengangkat; tubuh pasif dan tidak bergerak. Sementara peneitian yang dilakukan Ekman, dkk. pada tahun 1971 memperoleh kesimpulan bahwa
kesedihan terlihat dengan jelas pada area sekitar mata.
Ekspresi sedih dapat dengan mudah dikenali. Seseorang yang
bersedih akan terlihat dari ekspresi wajah yang sendu dengan mata yang (mungkin) berkaca-kaca karena menangis. Selain itu aktivitas atau gerak tubuh menjadi lamban, kata-kata diucapkan dengan berat, menjawab
pertanyaan dengan lebih singkat, dan cenderung menjadi pasif (Mandatu, 2007).
D. MASKULINITAS
Maskulinitas sering disebut sebagai manhood atau „kelelakian‟, atau
tentang maskulin (dan begitu juga dengan feminin) dengan segala atributnya adalah hasil bentukan masyarakat berdasarkan kondisi sosial dan budaya pada
masyarakat tersebut. Oleh karena itu, terdapat perbedaan pandangan mengenai konsep maskulin pada tiap daerah dan masyarakat.
Leach (dalam Grodan, 2008) mengemukakan bahwa konsep maskulinitas dapat dipahami dalam dua bentuk. Pertama, maskulinitas dipahami sebagai suatu bentuk identitas, yaitu suatu bentuk pemahaman atas
diri yang dapat menyusun sikap dan perilaku yang bersifat personal.
Kedua, maskulinitas menjadi ideologi kultural yang menentukan
peran-peran yang dianggap pantas dan harus dapat dipenuhi oleh laki-laki (Leach, dalam Grodan, 2008). Peran dan stereotip gender berpengaruh pada terbentuknya identitas gender.
Dalam pandangan sosiologi, identitas gender meliputi keseluruhan makna yang melekat pada diri seseorang, yang didapat melalui identifikasi
terhadap peran seseorang sebagai laki-laki atau perempuan dalam masyarakat (Stets dan Burke, 2008).
Seseorang dengan identitas maskulin harus mampu menampilkan
sikap-sikap maskulin. Perilaku yang dianggap merupakan sikap-sikap maskulin antara lain sikap dominan, kompetitif, mandiri, tegar, kuat, dan rasional.
1. Teori Perkembangan Identitas Gender
Menurut Stets dan Burke (2008) terdapat tiga teori pokok untuk mengetahui tentang perkembangan maskulinitas, yaitu perkembangan
1.1 Psikoanalisis
Teori perkembangan psikoseksual berpandangan bahwa
identitas gender seseorang berkembang melalui identifikasi pada figur orangtua dengan jenis kelamin yang sama dengan anak. Anak
laki-laki belajar sifat maskulin dari figur ayah, sedangkan anak perempuan belajar sifat feminin dari figur ibu.
Identifikasi ini dilakukan pada saat anak berusia tiga tahun atau
pada masa perkembangan tahap phalic (3-6 tahun). Pada usia ini muncul ketertarikan pada figur orangtua dari jenis kelamin yang
berbeda. Ketertarikan ini menimbulkan rasa ingin tahu terhadap perbedaan bentuk tubuh laki-laki dan perempuan, atau orang dewasa dan anak-anak.
Ketertarikan ini sekaligus menimbulkan konflik berupa rasa cemburu pada figur orangtua sejenis. Namun, konflik tersebut dapat
diredam pada akhir masa phalic (6 tahun), dimana anak melepaskan hasrat terhadap figur orangtua lain jenis dan kembali mengidentifikasikan diri pada figur orangtua sejenis.
Ibu memegang peran sentral dalam perkembangan identitas gender (Chodorow, dalam Stets&Burke, 2008). Ibu cenderung lebih
Di satu sisi, ibu cenderung lebih berjarak dan jauh dengan anak laki karena berbeda jenis kelamin. Dengan demikian, anak
laki-laki akan didorong untuk lebih dekat dengan ayah. Melalui identifikasi dengan ayah inilalah anak laki-laki belajar mengenai
sifat maskulin.
1.2 Teori Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif memiliki kesamaan dengan teori
perkembangan psikoseksual. Keduanya mengakui adanya suatu periode kritis dalam tahap perkembangan yang berpengaruh pada
pembentukan identitas gender. Jika psikoseksual menekankan pada latarbelakang seksual, maka teori perkembangan kognitif menganggap periode kritis tersebut dilatarbelakangi oleh proses
kognitif.
Menurut teori ini, ada dua tahap krusial dalam perkembanagn
identitas gender:
a. Menemukan identitas gender yang pasti
Menurut teori perkembangan kognitif, pembentukan identitas
gender sudah ada sebelum tahap identifikasi dengan orangtua. Ketika anak mulai memahami sebutan “anak laki-laki” atau ”anak perempuan” yang melekat pada dirinya, maka anak mulai
Ketika anak telah mengetahui identitas gendernya, maka anak akan menggunakan identitas gendernya ketika berinteraksi
dengan orang lain. Melalui interaksi dengan lingkungan dan oranglain, maka anak akan mendapatkan pemahaman bahwa
identitas gendernya akan menetap dan tidk akan berubah.
Ketika identitas gendernya sudah terbentuk, maka dirinya akan termotivasi untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan
identitas gendernya dan menjaga konstanitas identitas gendernya.
1.3 Teori Belajar
Teori belajar menekankan arti penting lingkungan sekitar
individu dalam mencapai perkembangan identitas gender. Menurut teori ini, lingkungan sekitar anak (orangtua, guru, dan teman sebaya)
yang akan membentuk identitas gendernya.
Pengetahuan tentang identitas gender diajarkan lewat pemberian penguatan berupa „hadiah atau hukuman‟ (reward and punishment).
Pemberian penguatan secara nyata tampak pada penampilan luar, seperti pakaian, pemilihan mainan, dan sikap sehari-hari. Melalui mekanisme „hadiah dan hukuman‟, seorang anak akan mempelajari
penampilan dan tingkah laku yang layak bagi dirinya.
Perkembangan identitas gender juga dilakukan melalui
model (orang lain), karena modelling melibatkan penambahan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai
pengamatan, dan melibatkan proses kognitif (Alwisol, 2005). Seorang anak akan meniru hal-hal yang baik dari model dengan harapan akan mendapatkan „hadiah‟ seperti yang diterima model.
2. Sifat Maskulin – Feminin
Ideologi patriarki dalam masyarakat Indonesia masih tertanam dengan kuat (Gani & Chandra, 2007). Pada struktur masyarakat seperti ini
sifat-sifat maskulin dan feminin dibedakan dengan sangat jelas. Laki-laki dan perempuan dipandang sebagai kutub yang berlawanan dalam banyak atribut kepribadian, bahkan segala ciri dan sifat yang dipersepsikan
berkaitan dengan laki-laki lebih bernilai daripada ciri dan sifat yang dihubungkan dengan perempuan (Handayani, 2004).
Berkaitan dengan dimensi maskulin, laki-laki dianggap lebih kompeten, berorientasi pada prestasi, kuat, mandiri, aktif, kompetitif, dan percaya diri (Handayani, 2004). Hoftstede (2001) mengungkapkan bahwa
laki-laki diharuskan untuk menjadi asertif, kuat, dan fokus pada kesuksesan secara material. Sedangkan perempuan dituntut untuk lebih
rendah hati, lembut, dan berkonsentrasi pada kualitas hidup.
Model maskulinitas hegemonik menawarkan karakteristik maskulin „ideal‟ yang harus dimiliki oleh laki-laki, seperti agresif, kuat,
menjadi model maskulinitas yang jamak pada masyarakat patriarkis dan digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan pada masyarakat patriarkis,
dimana kedudukan pria lebih dominan sehingga kaum perempuan berada pada posisi subordinat. Hal ini menjadikan segala sifat dan
karakteristiklaki-laki (maskulin) dianggap superior, sedangkan segala sifat dan karakteristik perempuan adalah inferior. Chambers (2005) mengemukakan sifat yang tergolong maskulin dan sifat yang tergolong
feminin, antara lain:
Tabel 1. Sifat Maskulin – Feminin
Sifat Maskulin Sifat Feminin
Agresif
Kebiasaan sehari-hari yang kasar dan ceroboh
Kebutuhan yang tinggi akan rasa aman Banyak bicara
Mudah dipengaruhi
Kebiasaan sehari-hari yang rapi dan teratur
Berorientasi pada „rumah‟
Banyak bicara
Sumber: Chambers, J. (2005)
3. Emosi Maskulin – Feminin
Penelitian yang dilakukan Brody dan Hall (dalam Lewis (Ed),
2008) mengenai perbedaan gender dalam hal emosi menunjukkan bahwa ada perbedaan frekuensi dalam mengalami dan mengekspresikan emosi
lebih sering dialami dan diekspresikan oleh perempuan (emosi feminin) sedangkan emosi seperti bangga, marah, dan jijik adalah emosi yang lebih
sering dialami dan dirasakan oleh laki-laki, atau dengan kata lain dikelompokkan dalam emosi maskulin.
E. TINJAUAN UMUM MENGENAI KARAKTERISTIK GENDER DAN EMOSI DALAM BUDAYA JAWA
Budaya Jawa, yang didukung dan dihayati oleh manusia Jawa, sering diagungkan sebagai budaya yang menjunjung tinggi persamaan gender.
Laki-laki dan perempuan memiliki tempat dan porsi yang sama dalam kehidupan sosial. Namun dalam kehidupan sehari-hari, konsep paternalistik tetap hadir dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, konsep paternalistik berlaku dalam hal pembagian harta waris. Budaya Jawa mengenal konsep sepikul segendong dalam
pembagian harta waris. Dalam konsep ini, anak laki-laki memperoleh dua bagian sedangkan anak perempuan hanya memperoleh satu bagian saja. Konsep yang sama juga berlaku dalam pembagian harta gono-gini (harta
perolehan bersama) pada saat perceraian.
Meski dalam ranah publik laki-laki cenderung lebih dominan daripada
perempuan, namun menurut Handayani (2004) perempuan juga memiliki dominasi „di balik layar‟ yang sangat berpengaruh. Misalnya dalam
yang pada umumnya memegang kontrol atas keuangan dan cukup menentukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting.
Peran ibu dinilai sangat straregis mengingat keluarga adalah basis hidup yang sangat penting bagi manusia Jawa. Para ibu (perempuan) jelas
memegang peranan riil yang penting dan sangat menonjol. Mengenai kuasa dan peran perempuan, Rogers (sebagaimana dikutip oleh Handayani, 2004) menyebutkan bahwa dalam kultur Jawa dominasi laki-laki hanya berhenti
pada ideologi sedangkan dominasi perempuan adalah dominasi yang nyata dan praktis yang lebih memperlihatkan kuasa yang hidup.
Karakteristik perempuan dalam rumah tangga adalah karakteristik yang „tahan banting‟ dan mrantasi (serba bisa). Meski demikian, karakteristik ideal
perempuan Jawa juga mengutamakan sifat-sifat lemah lembut, bertutur kata
halus, sopan, dan memiliki pengendalian diri yang tinggi. Demikian halnya dengan karakteristik laki-laki Jawa pada umumnya yang sangat didominasi
oleh sifat ingin menjaga kehormatan keluarga, tenang, terkontrol, dan tidak suka berkonflik (Handayani, 2004).
Karakteristik manusia Jawa, laki-laki dan perempuan, yang demikian
cenderung mendekati sifat-sifat feminin daripada maskulin. Bahkan karakteristik laki-laki Jawa pun lebih dekat dengan ciri sifat feminin
memiliki istri (garwa), harta (bondo), kendaraan (turangga), burung sebagai binatang peliharaan (kukilo), dan senjata atau kesaktian (pusaka).
Dalam hal emosi, manusia Jawa cenderung memiliki perasaan yang peka, dalam arti cepat menangkap kata-kata terselubung atau sindiran
(Partokusumo, 2007). Meski demikian, pada umumnya manusia Jawa menghindari keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan emosi tertentu terutama emosi-emosi negatif.
Sistem nilai Jawa tidak memberi banyak peluang bagi ekspresi individual yang terbuka karena pengungkapan perasaan-perasaan dianggap
tidak sopan, memalukan, dan mengganggu ketertiban serta kehidupan pribadi orang lain (Mulder, 1983). Bagi manusia Jawa, keselarasan merupakan kunci dari kehidupan (Magnis-Suseno, 1984) sehingga jika mengalami emosi
tertentu maka ia akan berusaha mengembalikan keadaan pada suasana emosi netral sebelumnya. Pertentangan di dalam masyarakat dianggap merusak
harmoni, oleh sebab itu lebih baik mengurangi pertengkaran dan perdebatan tetapi tidak dalam posisi meninggalkan persoalan.
F. MUSIK, LAGU, DAN LIRIK LAGU 1. Musik dan Lagu
Secara etimologis, kata „musik‟ berasal dari bahasa Yunani
mousikê, yang berasal dari kata muse. Dalam bahasa Yunani kuno, kata
dikuasai oleh pada Muses, sembilan dewi keturunan Zeus pada legenda Yunani kuno.
Bernstein dan Picker (dalam Sarosa, 2002) mendefinisikan musik sebagai perpaduan antara berbagai suara yang diolah dalam suatu tempo
tertentu, memiliki nilai-nilai seni dan dapat digunakan untuk mengekspresikan ide dan perasaan pada para pendengarnya.
Hasil penelitian Sloboda (2001), menemukan bahwa musik
berkaitan erat dengan perubahan suasana hati dan dapat menghasilkan ketenangan. Misalnya, musik dapat memperbaiki suasana hati yang
diwarnai kejenuhan dan kebosanan, meningkatkan konsentrasi, memperkuat ingatan, menggugah semangat, bahkan berkaitan erat dengan perasaan-perasaan lebih mendalam seperti kesedihan dan kesepian. Oleh
karena itu musik berkaitan erat terhadap emosi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan menguatkan hasil
kajian yang dilakukan, seperti fungsi musik dalam kehidupan sehari-hari, dan musik dalam sebuah komposisi tetap akan memberikan kontribusi terhadap respons emosi walau rumit, sederhana atau sefamiliar apapun.
2. Lirik Lagu
Lagu sebagai media yang universal dan efektif, dapat menuangkan gagasan, pesan, dan ekspresi pencipta lagu kepada pendengarnya melalui lirik, komposisi musik, pemilihan instrumen musik, dan cara
ungkapan cinta, curahan hati, kemarahan, kegundahan , kekecewaan, kritik sosial, dan sebagainya. Gagasan tersebut diungkapkan melalui rangkaian
kata-kata yang disebut lirik lagu.
Lirik lagu adalah faktor dominan dalam penyampaian pesan dari
sebuah lagu hingga akhirnya dapat dinikmati oleh pendengarnya. William Moylan (dalam Krisdianto, 2008) mengungkapkan bahwa musik yang mengandung sebuah teks (lirik lagu) akan mengkomunikasikan beberapa
konsep, diantaranya cerita tentang sesuatu, kesan dan pengalaman si pengarang lagu, dan menimbulkan komentar-komentar atau opini sosial.
Makna yang terkandung dalam lirik lagu dapat bersifat implisit (tersembunyi) atau eksplisit (terbuka, jelas), abstrak, bahkan tidak dapat dipahami. Oleh karena itu, lirik lagu mampu menimbulkan banyak
persepsi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman seseorang yang berasal dari pengalaman hidup serta aspek lingkungan.
Dalam pembahasan lirik lagu, konteks menjadi salah satu hal yang penting untuk dapat memaknai lirik lagu. Susan Donley (2001), melihat adanya keterkaitan yang kuat antara lirik lagu dan realitas sosial. Ia
membagi fungsi lirik lagu menjadi tiga, yaitu fungsi literatur, fungsi dokumentasi sejarah, dan fungsi dokumentasi sosial.
melihat aspek representasi trend, motivasi, pengalaman si pencipta lirik, dan untuk siapa lirik itu dibuat.
3. Lirik Lagu sebagai Puisi
Dalam penelitian ini, peneliti memperlakukan lirik lagu sebagai puisi. Pradopo, dalam buku Pengkajian Puisi (2005) mengumpulkan beberapa definisi tentang puisi, dan menarik kesimpulan bahwa puisi
adalah salah satu jenis karya sastra yang merupakan ekspresi pikiran dan perasaan serta mampu merangsang imajinasi panca indera yang
kesemuanya itu disusun dalam bahasa yang berirama.
Puisi dikatakan memiliki beberapa unsur pembentuk seperti kesatuan susunan baris sajak (korespondensi) yang bersifat akustik,
memiliki periodisitas dari awal hingga akhir, dan menggunakan kata-kata yang bersifat puitis.
Penyusunan lirik lagu mengikuti kaidah unsur-unsur pembentuk puisi, terutama dalam menggunakan kata-kata yang bersifat puitis. Sebuah kata memiliki sifat puitis apabila mampu membangkitkan perasaan,
menarik perhatian, dan menimbulkan keharuan.
Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam cara, misalnya
dengan bentuk visual (lewat tipografi dan susunan bait), dengan bentuk bunyi (lewat persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi), dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana