• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Semiotika

2.3.3 Analisis Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama; eksponen penerapan stukturalisme dan semiotika pada studi sastra.

Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Terdapat lima kode yang ditinjau Barthes adalah

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca

untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif yang menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Perlu dicatat bahwa Barthes

menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengokodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses.

4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Artinya semua tes yang bersifat naratif. Secara teoritis, Barthes memandang bahwa setiap lakuan dapat dikomodifikasikan.

5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.

Dalam setiap esainya, Barthes seperti dipaparkan Cobley & Jansz (1999:44), membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukan bahwa konotasi yang terkadung dalam mitodologi-mitodologi tersebut biasanya merupakan hasil kontruksi yang cermat.

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan kearifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas sitem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke dua

ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies secara tegas

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya.36

Barthes menulis:

Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system. If the extension is one of content, the primary sign (E1 R1 C1) become the expression of a secondary sign system:

Dengan begitu primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign

adalah satu dari connotative semoitics. Konsep connotative inilah yang menjadi

kunci penting dari model Roland Barthes.

Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama

merupakan hubungan antara signifer (ekspresi) dan signified (content) di dalam

sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi

yaitu makna paling nyata dari tanda (sign).

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk meunjukan signifikasi tahap ke dua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi memiliki makna yang subjektif, dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda pada sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagimana cara menggambarkannya.

Konotasi berkerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja

melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek tentang realitas atau gelaja alam. Mitos merupakan

36

prosuk kelas sosial yang sudah mempunyai sesuatu dominasi. Mitos adalah suatu

wahana dimana ideologi terbentuk.37

Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, Tetapi melalui anggapan yang berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak

hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam „gosip‟ kemudian ia dibuktikan

dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu

terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos.38 Sesungguhnya kehidupan

manusia, dan dengan sendirinya hubungan antarmanusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita menyukai atau membencinya. Dengan demikian mitos akan menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya lewat persentuhan diri kita dengan hal tertentu tadi, kita dapat mengetahui kebenaran ataukah kesalahan dari mitos tadi. Persentuhan ini mungkin dapat memperkuat mitos itu, atau mungkin pula dapat meniadakannya. Ini selanjutnya akan memungkinkan kita berbeda anggapan dari yang terdapat dalam satu mitos yang pernah kita hidupi, meskipun ia tidak selalu mengambil arah demikian. Namun yang pasti, perkenalan dengan sesuatu akan dapat saja menghasilkan mitos-mitos baru, yang berbeda dari mitos yang ada

sebelumnya, mungkin bahkan menentangnya.39

37

Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2013. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktisi Bagi Penelitian Dan Skripsi Komunikasi. Jakarta. Mitra Wacana Media. Hal 21-22

38

Umar Junus. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta. Sinar Harapan. Hal 74.

39

Alex Sobur. 2006. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana. Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung. PT Remaja Rosdakarya Offset. Hal 130.

2.4 Etika dan Moral

Dokumen terkait