• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Etika dan Moral

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah,

istilah “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah yang mejadi latar

belakang begi terbentuknya istilah „etika‟ yang oleh filsuf Yunani besar

Aristoteles (384-322 s.M) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat moral. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etika membedakan tiga arti: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Baik dan buruk dalam arti etis seperti dimaksudkan memainkan peran dalam kehidupan setiap manusia. Etika dibagi atas tiga pendekatan yaitu:

a. Etika deskriptif

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak, adat istiadat. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, kebudayaan, subkultur dan sebagainya, karena etika ini hanya melukiskan dan ia tidak memberikan penilaian.

Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang yang berkaitan dengan masalah moral. Disini ahli bersangkutan tidak bertindak pada penonton netral seperti etika deskriptif, tetapi ia melibatkan diri dalam

mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Etika normatif

meninggalakan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya atas norma.

c. Metaetika

Awalan meta dalam bahasa Yunani berarti „melebihi‟, „melampaui‟.

Metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Dipandang dari

segi tata bahasa.40

Etika juga termasuk filsafat, tetapi ia memiliki kedudukan tersendiri. Etika selalu

dikaitan dengan filsafat moral atau filsafat yang dikaitan dengan moralitas41

2.4.2 Moral

Kata yang cukup dekat dengan „etika‟ adalah „moral‟ kata terkhir ini

berasal dari bahas latin mos (jamak mores) yang berarti juga kebiasaan, adat.

Dalam bahasa Inggris dan bahasa yang lain termasuk bahasa Indonesia mores

masih dipakai dengan arti yang sama. Moralitas (dari kata Latin moralis)

mempunyai arti yang pada dasanya sama dengan „moral‟. Moralitas adalah sifat

moral atau keseluruhan asas dan nilai yang bekenaan dengan baik dan buruk.

Nilai moral mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 42

1. Berkaitan dengan tanggung jawab

40

K Bertens. 2007. Etika. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hal 4-19.

41

Ibid. Hal 27

42

Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Tapi hal yang sama dapat dikatakan juga tentang nilai-nilai lain. Yang khusus menandai nilai moral ialah bahwa nilai ini beraitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Manusia sendiri yang membuat tingkah lakunya menjadi baik dan buruk dari sudut moral karena itu dikatakan bahwa manusia sendiri yang menjadi nilai moralnya.

2. Berkaitan dengan hati nurani

Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam undangan atau imbauan. Tetapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih

mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan „imbauan‟

dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini yang

menimbulkan „suara‟ dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan menuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.

3. Mewajibkan

Nilai-nilai moral mewajibkan kita karena kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini berlaku bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak megakui nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia. Tetapi mungkin beberapa orang memilih beberapa nilai moral dan menolak nilai moral lainnya. Dengan cara lain dapat dikatakan juga bahwa kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini menyangkut pribadi manusia sebagai keseluruhan, sebagai totalitas, karena kewajiban moral tidak datang dari luar, tidak ditentukan oleh instasi lain tetapi berakar pada dalam kemanusiaan tu sendiri.

4. Bersifat formal

Kita merealisasikan nilai-nilai moral dengan mengikut sertakan nilai-nilai

lain dalam suatu tingkah laku moral. Nilai moral tidak memiliki „isi‟ tersendiri.

Tidak ada nilai moral yang „murni‟ terlepas dari nilai-nilai lain.

2.5 Gaya Hidup

Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang

di dalam fashion, mobil, hiburan, dan rekreasi, bacaan, dan hal-hal yang lainnya.

Gaya meunjukan pakaian dan gaya hidup digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian.

Dari sudut pandang antropologi/sosiologi perkotaan, konsep gaya hidup

umumnya digunakan, “to describe the way of living of grups of people forming a cultural unity in one way or another” (Nas & v.d Sande) Dalam pemahaman Nas

dan v.d Sande, gaya hidup menunjuk pada frame of reference (kerangka acuan)

yang di pakai seseorang dalam tingkah laku. Dua aspek yang ditekankan disini adalah bahwa individu berusaha membuat seluruh aspek hidupnya berhubungan dalam suatu pola tertentu, dengan mengatur strategi bagaimana ia ingin dipresepsi oleh orang lain. Aspek yang lain, yaitu strategi komunikasi, penting karena mencerminkan bahwa pada dasarnya individu memiliki kebebasan untuk mengatur cara hidupnya.

Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan meunjukan citra seseorang. Gaya hidup seseorang ditunjukan dalam variasi

keputusan cita rasanya.43

2.5.1 Hedonisme

Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme ini. Maka tidak mengherankan, jika pandangan ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas

pertanyaan “apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab:

kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan

keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Sebagai sebuah ideologi dalam filsafat etika, hedonisme merupakan paham yang menyatakan bahwa sesuatu itu dianggap baik, jika dapat memuaskan keinginan manusia dan mendatangkan kesenangan.

Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam dimana manusia

menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari

ketidaksenangan. Hedonisme adalah pandangan yang menyamakan “baik secara

moral” dengan “kesenangan”. Tendensi hedonistis terutama nampak pada filsafat

moral Inggris, John Locke (1632-1704) menandaskan:

Kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, sebaliknya kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan atau meningkatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurasi kesenangan apa saja dalam diri kita.

43

Alex Sobur. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya Offset. Hal 167-169

Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk yang lain. Hedonisme merupakan etika implisit yang mungkin tanpa

disadari dianut oleh banyak individu. Kini esensi filosofis dari hedonisme lebih

mengarah pada pemikiran liberal seperti kesenangan berpesta, atau memiliki benda mewah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya persamaan persepsi mengenai apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Sikap hedonis menurut pengamatan Teuku Jacob (1988) identik dengan hidup enak dan berfoya-foya tanpa memperdulikan lagi akibat-akibat pada masa depan yang menggejala sebagai sikap hidup yang memuja kenikmatan dan kebahagiaan dari sisi materi saja. Lebih jauh Jacob mengatakan bahwa sikap hedonistik yang identik dengan hidup dalam kesenangan tersebut berpangkal pada ketidak pastiaan. Kenyataan bisa berbalik kapan saja secara tiba-tiba. Oleh karena itu para hedonis berfikir bahwa hari ini adalah segala-galanya. Hedonisme diperkirakan disebabkan karena

rasa terancam, kemudian berbalik menjadi ancaman.44

Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 S.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu terbukti karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain

44

Jurnal Konsep Hedonisme Epikuros dan Situasi Indonesia Masa Kini. Dra. Sri Sudarsih, M. Hum.Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

lagi, Sebaliknya, ia selalu manjauhkan diri dari ketidaksenangan. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain dari pada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus itulah kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Sebab, hal-hal terakhir ini hanyalah ingatan akan atau antisipasi atas kesenangan. Yang baik dalam arti yang sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini. Jika kita melihat pandangan Aristippos ini sebagai keseluruhan, perlu kita simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan individual. Akan tetapi, ada batas untuk mencari kesenangan. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri.

Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270

S.M). Epikuros melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan hidup manusia.

Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan. Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Ia juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kesenangan, ia memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.

Konsep keutamaan Epikurous adalah kebijaksanaan dalam menyikapi hidup dimana orang bijak akan hidup sedemikian rupa hingga ia sehat dan tenang jiwanya, serta ketenangan dimana kenikmatan sesungguhnya dicapai dengan

ketenangan badan,pikiran, dan jiwa, lebih jauh ia juga membahas tiga masalah yang menanggu ketenangan. Pertama ketakutan akan dewa-dewa, kedua ketakutan akan kematian dan ketiga ketakutan akan masa depan dan nasib. Epikurous menganggap ketakutan tersebut tidak berdasar karena hal-hal macam itu sudah

pasti. 45

Dalam hedonisme terkandung kebenaran mendalam, manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Psikologi modern khususnya psikologi yang memanfaatkan psikoanalisis Sigmund Freud memperlihatkan bahwa kecendruangan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tidak sadar. Seringkali manusia mencari kesenangan tanpa diketahuinya. Tidak bisa disangkal keinginan akan kesenangan merupakan dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Namun kesenangan saja tidak cukup untuk manjamin sifat etis suatu perbuatan.

Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan, mereka berfikir sesuatu adalah baik karena disenangi. Jika dipikirkan secara konsekuen, hedonis mengandung suatu egoisme. Karena hanya memperhatikan kesenangan dirinya saja. Yang di maksud egoisme di sini adalah egosime etis atau egoisme yang menyatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat suatu

yang lain daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri.46

Kritik berat dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan yang sampai pada menyetarakan kesenanagan dengan

45

Jurnal Konsep Hedonisme Epikuros dan Situasi Indonesia Masa Kini. Dra. Sri Sudarsih, M. Hum.Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

46

moralitas yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja namun pada kenyataannya kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan. Keberatan lainnya jika dipikirkan

secara konsekuen, hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya

mementingkan kepentingan dirinya saja dimana ia berfikir tidak memiliki kewajiban moral membuat sesuatu yang lain selain apa yang terbaik bagi diri saya sendiri.

Pada dasarnya, kebahagiaan adalah tujuan yang dicari oleh kodrat manusia. Kebahagiaan etis berangkat dari kemampuan manusia untuk merealisasikan bakat dan kesenangan diri.

Dokumen terkait