• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Analisis Sistem dan Permodelan

Dalam menghadapi masalah yang kompleks, banyak faktor harus pertimbangkan dalam usaha memenuhi kelengkapan interaksi dan analisis multidisiplin hubungan sebab akibat. Suatu sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen fisik yang saling berinteraksi dan ditunjukkan oleh adanya unit fungsi dan batas yang jelas (Muhammadi et al. 2001). Dalam terminologi ini, suatu sistem dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari bahan-bahan yang saling berinteraksi dan berproses secara bersama-sama dalam bentuk suatu fungsi.

Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Sistem adalah setiap fenomena struktural maupun fungsional yang memiliki paling sedikit dua komponen yang

bersaling berinteraksi (Eriyatno, 2003).

Analisis sistem dapat didefinisikan secara langsung sebagai aplikasi metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah dari suatu sistem yang kompleks. Dalam tataran ini Suratmo (2002) mendefinisikan sistem analisis adalah kajian untuk memahami ciri, prilaku atau cara kerja dari interaksi fungsional antar berbagai komponen yang ada di alam. Untuk menyederhanakan interaksi antar komponen lingkungan yang begitu kompleks maka perlu disusun suatu model. Model adalah abstraksi dari suatu realitas yang menggambarkan bentuk interaksi dan perilaku dari unsur-unsur penting terhadap suatu masalah atau obyek yang dikaji (Grant et al. 1997).

Analisis sistem adalah suatu studi tentang suatu sistem atau sifat-sifat umum dari suatu sistem. Oleh sebab itu, analisis suatu persoalan seyogyanya memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Kompleks, menunjukkan adanya interaksi elemen yang cukup rumit, (2) Dinamis, unsur-unsurnya berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) Probabilistik, yaitu perlu fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 2003). Sementara menurut Jakeman et al. (1993) bahwa analisis suatu sistem harus dapat menggambarkan: (1) kompleksitas sistem dan unsur-unsurnya, (2) aproksimasi perilaku komponen sistem menurut waktu, (3) kapasitas prediksi model menyelesaikan suatu persoalan. Aplikasi dari analisis sistem dalam menyelesaikan masalah pengelolaan ekologi dan sumberdaya alam harus mencakup 4 tahapan fundamental yaitu: (1) formulasi model konseptual, (2) spesifikasi model kuantitatif, (3) evolusi model dan (4) penggunaan model.

Selanjutnya menurut Grant et al. (1997) secara umum ada enam proses yang penting diperhatikan dalam menyusun suatu model konseptual terhadap suatu masalah, yaitu: (1) menetapkan tujuan model, (2) batas sistem yang dikaji harus jelas, (3) kategori unsur-unsur dalam sistem yang dianalisis, (4) identifikasi hubungan antar unsur komponen, (5) menggambarkan model konseptual, (6) menjelaskan pola yang diharapkan dari prilaku model. Kategori komponen dalam suatu sistem ada tujuh yaitu: (1) parameter keadaan (state variable), (2) parameter pembangkit (driving variable), (3) konstanta (constan), (4) auxiliary variable,(5) transfer material (material transfer), (6) transfer informasi (information transfer),

dan (7) sumber dan penggunaan (source and sink). 2.8. Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan kayu dan non kayu maupun yang sifatnya non-use value dapat dinilai ekonomi totalnya dengan menggunakan berbagai pendekatan penilaian ekonomi. Menurut Pearce dan Moran (1994), penilaian manfaat langsung menurut harga pasar atau produktivitas terhadap sumberdaya hutan seperti nilai kayu, buah dan lateks yaitu sekitar US$ 6.280/ha atau Rp 13.627.600/ha (IDR= Rp 2.170).

Peneliti lain sebagaimana dikemukakan dalam Pearce dan Moran (1994), antara lain Watson (1988) menduga produksi hutan di Malaysia sebesar US$ 2.445/ha atau Rp. 4.136.940/ha (IDR= Rp. 1.629) dibanding US$ 217/ha (Rp 367.164/ha) untuk pertanian intensif. Kramer et.al (1993) menduga nilai kayu bakar kebutuhan rumah tangga sekitar Taman Nasional Mantadia di Madagaskar sebesar US$ 39/tahun atau Rp. 81.744/thn (IDR= Rp 2.096). Gutierrez dan Pearce (1992), menduga nilai ekonomi hutan Amazone Brasil dengan pendekatan

willingess to pay sebesar US$ 199/tahun atau Rp. 405.363/tahun (IDR= Rp

2.037), total nilai ekonomi US$ 91 billion (Rp. 185 trilyun) dengan nilai guna langsung US$ 15 milyar ( Rp. 30 trilyun), kegunaan tidak langsung US$ 46 milyar (Rp. 93 trilyun) dan nilai keberadaan sebesar US$ 30 milyar (Rp. 61 trilyun).

Hasil penelitian lain yang dikemukakan dalam Pearce dan Moran (1994) yaitu penilaian total ekonomi hutan di Meksiko dengan luas 51,5 juta hektar (Pearce et al., 1993) terdiri atas nilai manfaat untuk wisata US$ 31,2 juta atau Rp. 67 milyar (IDR= Rp. 2.096), nilai karbon (C) sebesar US$ 3.788,3 juta (Rp. 7,9 trilyun), perlindungan daerah aliran sungai (DAS) US$ 2,3 juta (Rp. 4,8 milyar), nilai pilihan US$ 331,7 juta (Rp. 695 milyar) dan nilai eksistensi US$ 60,2 juta (Rp. 126 milyar). Sementara Ruitenbeek (1989) dengan pendekatan net present value (NPV) menduga nilai manfaat hutan Korup di Kamerun yaitu perlindungan banjir US$ 23/ha atau Rp. 39.606/ha (IDR= Rp. 1.722), pengendali erosi US$ 8/ha (Rp. 13.776/ha), tanaman obat US$ 7/ha (Rp. 12.054) dan untuk wisata US$ 19/ha (Rp. 32.718/ha). Pearce (1990) dan Schneider (1992), menduga nilai karbon hutan tropis antara US$ 1.300 sampai US$ 5.700/ha/tahun atau sekitar Rp. 2,4 juta/thn sampai Rp. 10,5 juta/thn.

Menurut Swanson (1996), proyeksi pendugaan kehilangan biodiversitas dari beberapa hasil penelitian adalah sangat besar, yang ditunjukkan bahwa pada tingkat tertentu kehilangan hutan sebesar 5% sampai 9% akan menyebabkan kehilangan biodiversitas sebesar 15% sampai 50%. Demikian pula dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan nilai sumberdaya non kayu juga bernilai tinggi sebagaimana dikemukakan oleh McNeely (1992) bahwa pada tahun 1990 nilai produk non kayu dari hutan di Indonesia sebagai sumber devisa yaitu US$ 200 juta atau Rp. 369 milyar (IDR= Rp. 1.849).

Sebagai pembanding antara nilai sumberdaya kayu dan non kayu, Myers (1988) dalam McNeely (1992) menyimpulkan bahwa sebuah kawasan hutan seluas 500 km2 di Brazil dan pengelolaannya efektif dapat menghasilkan tanaman pangan dan tanaman obat dengan nilai sedikitnya US$ 10 juta/thn (Rp. 16,9 milyar/thn) atau kurang lebih US$ 200/ha (Rp. 338.400/ha), sedang pembukaan hutan untuk kegiatan komersial nilainya hanya US$ 150 perhektar (Rp. 253.800/ha) dengan nilai IDR = Rp. 1.692 (tahun 1998). Hasil penelitian menggunakan pendekatan penilaian atas dasar penggunaan produktif dari sumberdaya hutan. Namun, tidak dijelaskan secara rinci metode perhitungannya.

Sementara hasil studi yang dilakukan oleh Kramer dan Mercer (1997) dengan menggunakan contingent valuation method di Amerika Serikat terhadap perlindungan hutan hujan tropik, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata responden bersedia membayar US$ 21 - US$ 31 per rumah tangga atau sekitar Rp. 62.055 - Rp. 91.605 (IDR=Rp. 2.955) untuk melindungi 5% hutan hujan tropik.

Hasil penelitian penilaian ekonomi total hutan produksi di Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB (1999) menunjukkan bahwa nilai total hutan produksi pada lahan kering Rp. 49 juta/ha/thn dan di lahan basah Rp. 79 juta/ha/thn. Pada lahan kering, nilai guna langsung Rp. 2,21 juta/ha/thn, nilai guna tidak langsung Rp. 11,21 juta/ha/thn, nilai pilihan Rp. 1.631/ha/thn, dan nilai keberadaan Rp. 35,7 juta/ha/thn. Sementara untuk lahan basah, nilai guna langsung Rp. 1,18 juta/ha/thn, nilai guna tidak langsung Rp. 40,7 juta/ha/thn, nilai pilihan Rp. 1.681/ha/thn, dan nilai keberadaan Rp. 37,8 juta/ha/thn.

Penelitian secara makro nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 dengan perkiraan luas kebakaran 5 juta hektar

yang dilakukan oleh EEPSEA bekerjasama dengan WWF Indonesia diperkirakan sebesar US$ 4.469,5 juta atau sekitar Rp. 11 trilyun (IDR=Rp. 2500), meliputi kerugian yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Metode perhitungan yang digunakan antara lain: pendekatan produksi, nilai pasar, biaya kerusakan tanaman, pendapatan yang hilang, dose respons, biaya pengobatan akibat penduduk sakit dan transfer benefit. Dari hasil penelitian ini diketahui pula besarnya kerugian ekonomi Indonesia sehubungan dengan kebakaran dan asap yang dialami pada periode Agustus – Desember 1997 sebesar US$ 3.799,9 juta (85%) atau sekitar Rp. 9,4 trilyun. Sedang negara lain sebesar 669.6 juta dollar (15%) atau setara dengan Rp. 1,6 trilyun.

Nilai kerugian dirinci menurut dampak kebakaran hutan dan lahan sebesar US$ 3073.4 juta (Rp. 7,6 trilyun) serta dampak asap kebakaran sebesar US$ 1.396,1 juta (Rp. 3,4 trilyun). Bentuk kerugian kebakaran hutan meliputi nilai: kayu US$ 493,7 juta (Rp. 1,2 trilyun), pertanian US$ 470,4 juta (Rp. 1,1 trilyun), manfaat langsung hutan US$ 705 juta (Rp. 1,8 trilyun), manfaat hutan tidak langsung US$ 1.077,1 (Rp. 2,6 trilyun), biodiversity US$ 30 juta (Rp. 75 milyar), biaya pemadaman api US$ 25,1 juta (Rp. 62 milyar), dan pelepasan Carbon US$ 272,1 juta (Rp. 680 milyar). Kerugian yang berhubungan dengan adanya asap kebakaran hutan dan lahan, terdiri atas: menurunnya kesehatan dalam jangka pendek US$ 940,8 juta (Rp. 2,7 trilyun), kerugian dari sektor wisata US$ 256,2 juta (Rp. 757 milyar), dan kerugian lainnya US$ 199,1 juta (Rp. 588 milyar).

Sementara perhitungan kerugian nasional akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 yang dilakukan oleh UNDP dan KLH (1998) dengan menggunakan luas kebakaran 383.870 ha, kerugian Rp. 5,96 trilyun atau rata-rata Rp. 15,55 juta/ha, terdiri atas kerugian perkebunan dan tanaman pangan, kehutanan, biaya kesehatan, transmigrasi, transportasi, pariwisata, dan biaya pemadaman. Kerugian terbesar hilangnya fungsi perosot karbon Rp. 2,03 trilyun. Secara umum metode penilaian yang digunakan ada tiga jenis pendekatan penilaian yaitu: pendekatan pasar atau produktivitas, biaya kerugian dan transfer

benefit dari hasil perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) dan perhitungan