• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Penilaian Kerugian Keanekaragaman Hayati dan Habitat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

5.1.7. Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pelepasan Karbon Ke Udara

Kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dalam bentuk peningkatan jumlah kandungan karbon maupun partikel debu di udara. Peningkatan pelepasan karbon ke udara dalam jumlah besar akibat kebakaran akan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan perubahan iklim mikro setempat, maupun perubahan iklim global akibat meningkatnya gas rumah kaca (GRK) apabila skala kebakaran meliputi daerah yang sangat luas. Tingginya konsentrasi karbon di udara disebabkan kebakaran hutan dan lahan akan mengakibatkan kematian vegetasi. Kematian vegetasi dan tanaman menyebabkan hilangnya fungsi sebagai penyerap karbon maupun sebagai penghasil oksigen.

Perhitungan nilai ekonomi kerugian pelepasan karbon ke udara dalam penelitian ini menggunakan 2 pendekatan yaitu: (1) Pendugaan biomas dan kandungan karbon dari setiap pohon (kayu atau tanaman perkebunan) yang di lepas akibat kebakaran, yaitu dengan metode tidak langsung atau persamaan allometrik; dan (2) transfer benefit pelepasan karbon. Persamaan allometrik didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya antara lain Brown (1997),

Tampubolon et al. (2001), Soekisman & Mawardi (2001) dan Hendra (2002).

Sementara pendekatan transfer benefit emisi pelepasan karbon akibat kebakaran hutan dan lahan didasarkan dampak emisi karbon 27,21 ton/ha dengan harga karbon US$10/ton (Ruitenbeek dalam Glover dan Timothy, 1999).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kerugian terbesar dari pelepasan karbon perhektar akibat kebakaran di areal TNBB dan TWA berasal dari kebakaran vegetasi tingkat pohon, kemudian diikuti vegetasi tingkat tiang dan pancang. Sehingga makin banyak vegetasi pohon yang terbakar akan meningkatkan emisi karbon di udara. Pelepasan karbon menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon diudara (sink carbon) sehingga ketersediaan karbon tetap tinggi dan akan berpengaruh terhadap iklim.

Pendugaan potensi karbon yang hilang akibat kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan persamaan Allometrik diketahui fungsi penyerapan karbon pada areal kawasan konservasi TNBB dan TWA (184,73 – 344,20 ton C/ha) lebih tinggi dibandingkan kehilangan fungsi serapan karbon pada areal HTI (4,04 –

8,36 ton C/ha), dan lahan perkebunan (1,90 – 7,16 ton C/ha) (Tabel 25). Potensi

serapan karbon di TNBB dan TWA Baning relatif lebih tinggi dibandingkan pendekatan transfer benefit hasil penelitian Brown (1997) untuk hutan alam di Indonesia yaitu rata-rata 266,5 ton C/ha, dan jika dibandingkan dengan penelitian Rosalina (2001) pada kawasan formasi hutan pengunungan dataran rendah di propinsi Jambi berada pada interval kandungan karbon 259 ton C/ha - 464 ton C/ha. Sementara kehilangan fungsi penyerapan karbon di areal terbakar HTI dan lahan perkebunan ternyata lebih rendah dibanding metode pendekatan transfer benefit penyerapan karbon pada areal HTI sebesar 21,12 – 23,23 ton C/ha (Hendra, 2003) maupun pada lahan perkebunan yaitu 38,25 – 38,65 ton C/ha (Tampubolon et al. 2001).

Perbedaan tingkat penyerapan karbon baik pada hutan alam, areal HTI dan lahan perkebunan dipengaruhi oleh struktur vegetasi, jenis dan jumlah pohon persatuan luas, umur tanaman, tinggi dan diameter tanaman, serta kondisi biofisik lahan. Sehingga kebakaran hutan dan lahan pada areal dengan jumlah pohon banyak, umur tanaman tua, dan tersedia unsur hara dalam tanah bagi pertumbuhan tanaman maka semakin besar kerugian fungsi penyerapan karbon persatuan luas.

Selain kehilangan fungsi penyerapan karbon, kebakaran hutan dan lahan di lokasi penelitian juga dapat memberikan dampak terhadap lingkungan dalam

bentuk pelepasan karbon ke udara (emisi CO2). Dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa kebakaran hutan dan lahan di lokasi penelitian termasuk kategori sangat berat (<25% tanaman yang hidup) sehingga jumlah karbon dalam tanaman yang hilang sama dengan jumlah pelepasan karbon di udara akibat kebakaran.

Potensi pelepasan karbon di kawasan hutan pelestarian (TNBB dan TWA Baning) lebih tinggi dibanding dengan pendekatan transfer benefit sebesar 27,21 ton C/ha (Ruitenbeek dalam Glover dan Timothy, 1999). Rendahnya nilai pelepasan karbon dengan menggunakan pendekatan transfer benefit karena dasar perhitungan yang digunakan adalah rata-rata dari seluruh hutan dan lahan yang terbakar pada tahun 1997, sehingga nilai yang dihasilkan lebih rendah dari hasil penelitian di areal TNBB dan TWA Baning.

Tabel 25. Nilai Kerugian Ekonomi Hilangnya Fungsi Penyerapan/Pelepasan Karbon Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Sintang

Metode Perhitungan Penyerapan Karbon

Nilai Kandungan Karbon * Transfer benefit Lokasi kebakaran

Luas Terbakar

(ha) Perhektar

(ton/ha) Kerugian (Rp/Ha) Total Kerugian (Rp)

PerHa (ton/ha)

Kerugian

(Rp/Ha) Total Kerugian (Rp) TN Bukit Baka-Raya 230 344,20 19.619.473 4.512.478.734 266,5 15.190.500 3.493.815.000

(29.257.108) (6.729.134.955) (22.652.500) (5.210.075.000) TWA Baning 59,5 184,73 10.529.501 626.505.290 266,5 15.190.500 903.834.750

(15.701.887) (934.262.275) (22.652.500) (1.347.823.750) HTI Finantara Intiga 15 4,04 230.201 3.453.020 23,23 1.324.110 19.861.650

(343.283) (5.149.241) (1.974.550) (29.618.250) Inhutani III 12452,12 8,36 476.291 5.930.833.589 21,12 1.203.840 14.990.360.141 (710.259) (8.844.225.528) (1.795.200) (22.354.045.824) TCSDP 76 7,16 408.238 31.026.086 38,65 2.203.050 167.431.800 (608.776) (46.266.971) (3.285.250) (249.679.000) Lahan Masyarakat 91,2 1,90 108.428 9.888.626 38,25 2.180.250 198.838.800 (161.691) (14.746.197) (3.251.250) (296.514.000) Kerugian tahun 1997 12923,82 859.977 11.114.185.347 - 1.530.054 19.774.142.141 Kerugian tahun 2003 (1.282.422) (16.573.785.167) 2.281.659 (29.487.755.824)

Metode Perhitungan Pelepasan Karbon Menggunakan Pendekatan Transfer benefit (Ruitenbeek dalam Glover dan Timothy, 1999)

Jumlah Pelepasan Karbon sebanyak 27,21 ton akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997. Nilai kerugian Rp. 1.550.970/ha dengan total kerugian Rp. 20,04 milyar rupiah (harga tahun 1997) dan Rp. 2.312.850/ha dengan total nilai Rp. 29,89 milyar (tahun 2003).

Sumber: Lampiran 4 sampai dengan Lampiran 9

Keterangan : * Pilihan metode yang digunakan dalam penilaian selanjutnya

(1) Pendugaan Biomas Tanaman Karet menggunakan persamaan Ln (B) = -9.25665 + 1.527727 ln (dbh) + 3.306899 ln (T) (Tampubolon et al. 2001)

(2) Kandungan Karbon 50% dari Biomas (Brown, 1997)

(3) Pendugaan karbon perhektar tanaman sawit 10.33 ton/ha, konversi dari kandungan karbon 31 ton/ha, umur 10 thn, jarak tanam 7 x 5 meter (300 phn/ha) (Soekisman dan Mawardi, 2001) (4) Pendugaan penyerapan karbon pada kawasan hutan alam di Indonesia dengan metode transfer benefit sebesar 266,5 ton C/ha (Brown, 1997).

(5) Pendugaan penyerapan karbon pada kawasan hutan tanaman dengan metode transfer benefit hasil penelitian Hendra (2002)

(6) Harga karbon tahun 1997 = Rp. 57.000/ton (US$10/ton, Rp. 5700/US$); dan harga karbon tahun 2003 = Rp. 85.000/ton (US$10/ton, Rp. 8500/US$)

Hasil perhitungan total nilai kerugian ekonomi fungsi penyerapan karbon dengan pendekatan nilai kandungan karbon (Allometrik) yaitu sebesar Rp. 11,11 milyar atau rata-rata kerugian perhektar yaitu Rp. 859.977/ha. Sementara nilai kerugian karbon dengan metode transfer benefit ternyata lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 19,74 milyar atau rata-rata Rp. 1.530.054/ha (tahun 1997) dan nilai kerugian secara rata-rata meningkat sebesar 40,12% pada tahun 2003 dengan nilai kerugian perhektar yaitu Rp. 1,28 juta/ha (persamaan Allometrik) dan Rp. 2,28 juta/ha (transfer benefit). Perbedaan nilai perhitungan disebabkan dasar potensi yang digunakan pada pendekatan transfer benefit rata-rata lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, karena adanya perbedaan umur tanaman, jenis tanah dan kesuburan tanah. Sehingga dalam melakukan penilaian hilangnya fungsi penyerapan karbon harus disesuaikan dengan kondisi lapang agar tidak terjadi kesalahan perhitungan.

Dari total kerugian penyerapan karbon sebesar Rp. 11,11 milyar, kerugian terbesar dialami oleh kawasan hutan dengan fungsi HTI yaitu (53,39%), namun kerugian tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan prosentase luas areal HTI yang terbakar (96,47%). Sementara kontribusi kerugian ekonomi dari kawasan hutan konservasi dan pelestarian alam yaitu taman nasional dan hutan wisata (46,24%) lebih tinggi dibanding prosentase luas kebakaran (2,24%), sedangkan kontribusi kerugian ekonomi perkebunan (0,37%) lebih rendah dibanding luas areal terbakar (1,29%). Adanya perbedaan persentase antara luas terbakar dengan kerugian ekonominya menunjukkan produktivitas suatu lahan yaitu semakin besar persentase kerugian ekonominya dibanding persentase luas terbakar maka produktivitas pada lahan tersebut lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dengan kemampuan penyerapan karbon pada kawasan hutan TNBB persatuan luas lebih tinggi dibandingkan kawasan hutan produksi (HTI) dan lahan perkebunan karet (masyarakat dan TCSDP).

Berdasarkan kerugian pelepasan karbon akibat kebakaran hutan dan lahan perhektar dari areal TNBB, TWA, HTI dan lahan perkebunan atas dasar nilai tahun 1997 yaitu Rp. 859.977/ha dan Rp. 1.530.054/ha menunjukan lebih rendah jika dibandingkan hasil perhitungan Ruitenbeek dalam Glover and Timothy (1999) sebesar Rp. 1,55 juta/ha, maupun hasil perhitungan UNDP dan

Kementerian LH (1998) sebesar Rp. 7,7 juta/ha. Perbedaan hasil perhitungan dipengaruhi oleh metode penilaian dan asumsi yang digunakan terutama jumlah kandungan karbon dan harga karbon per ton yang digunakan dalam penilaian, selain itu, nilai kerugian dari hasil penelitian ini adalah merupakan rata-rata dari seluruh areal terbakar. Namun, jika dianalisis secara parsial menunjukkan bahwa kerugian rata-rata pada areal TNBB dan TWA Baning ternyata lebih tinggi dibanding kedua hasil perhitungan tersebut.

Dari hasil penelitian ini menujukkan pula bahwa kerugian lingkungan akibat pelepasan karbon dengan dengan pendekatan potensi pelepasan yaitu sebesar 27,21 ton C/ha dengan total kerugian sebesar Rp. 20,04 milyar atau rata-rata Rp. 1,55 juta/ha (tahun 1997) dan meningkat 49,12% pada tahun 2003 dengan

nilai kerugian Rp. 29,89 milyar atau Rp. 2,31 juta/ha (Tabel 25). Nilai kerugian

pelepasan karbon ini diduga belum menggambarkan kerugian yang sebenarnya, sebab tingkat pelepasan karbon pada setiap tipe hutan dan lahan yang terbakar diasumsikan sama jumlahnya dalam pelepasan karbon. Oleh sebab itu, pendekatan ini hanya digunakan sebagai pembanding dalam menghitung besarnya kerugian lingkungan.

Atas dasar kerusakan lingkungan akibat kebakaran sehingga fungsi

penyerapan karbon oleh tanaman tidak berjalan dan meningkatnya emisi CO2

melalui pelepasan karbon pada tanaman terbakar maka total kerugian ekonomi seluruhnya pada tahun 1997 diperkirakan sebesar Rp. 31,15 milyar (Rp. 2,41 juta/ha) dan mengalami peningkatan pada tahun 2003 yaitu Rp. 46,46 milyar (3,59 juta/ha). Sehingga untuk mengembalikan fungsi hutan dan lahan dalam penyerapan karbon seperti keadaan semula (suksesi) dengan asumsi umur daur tanaman 25 tahun maka diperlukan biaya rehabilitasi sebesar Rp. 96.437/ha/thn (1997) dan Rp. 143.811/ha/thn. Biaya rehabilitasi ini seharusnya merupakan manfaat jika tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Evaluasi terhadap kedua metode pendekatan dalam menilai kerugian hilangnya fungsi penyerapan dan pelepasan karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sintang diketahui masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan didalam penerapannya. Kelebihan dari metode persamaan Allometrik yaitu: (1) pendugaan didasarkan pada potensi C untuk setiap jenis tanaman dan

potensi biomasnya, (2) kemudahan dalam penerapannya, (3) biaya relatif murah; sedang kelemahannya yaitu : (1) nilai C yang dihasilkan masih sangat kasar tanpa melalui proses uji laboratorium, (2) kondisi bifisik yang berbeda akan menghasilkan nilai kandungan C berbeda. Sementara untuk pendekatan transfer benefit, kelebihannya yaitu: (1) mudah diterapkan dan biayanya sangat murah, sedang kelemahannya : (1) pendugaan karbon kemungkinan bias karena kondisi biofisik tidak sama, (2) ketergantungan tinggi terhadap hasil penelitian sebelumnya, dan (3) pendugaan nilai karbon mungkin over estimated atau under estimate dari yang seharusnya.

Atas dasar kriteria kelebihan dan kelemahan dari kedua metode penilaian tersebut, maka pendekatan penilaian ekonomi kerusakan lingkungan (penyerapan dan pelepasan karbon) akibat kebakaran hutan dan lahan yang layak diterapkan adalah metode persamaan Allometrik dan pilihan kedua adalah pendekatan transfer benefit (selama asumsi kesamaan kondisi biofisik lahan terpenuhi). Oleh sebab itu, dalam perhitungan selanjutnya, nilai kerugian ekonomi akibat hilangnya fungsi penyerapan karbon menggunakan pendekatan Allometrik dengan rata-rata kerugian perhektar dari seluruh areal terbakar sebesar Rp. 859.977/ha (1997) dan kerugian pada tahun 2003 sebesar Rp. 1,28 juta/ha.

5.1.8. Penilaian Kerugian Keanekaragaman Flora Fauna dan Habitat