• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Penilaian Kerugian Keanekaragaman Hayati dan Habitat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

5.1.2. Penilaian Kerugian Produksi Kayu, Tanaman Perkebunan dan Hasil Ikutannya

Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 yang di areal HTI Finantara Intiga (15 ha) dan HTI Inhutani III (12.452,12 ha) memberikan dampak kerusakan pada tanaman akasia mangium, pinus merkusii dan Eucalyptus sehingga menyebabnkan menurunnya produksi kayu untuk bahan baku pulp atau kayu sortimen. Sementara kebakaran di areal lahan perkebunan TCSDP (76 ha) dan perkebunan masyarakat (91,20 ha) menyebabkan hilangnya potensi produksi karet dan sawit serta hasil ikutannya dalam bentuk kayu pertukangan maupun sebagai bahan bakar untuk kegiatan rumah tangga maupun untuk industri.

Penilaian ekonomi dampak kebakaran hutan pada hilangnya manfaat kayu, tanaman perkebunan dan hasil ikutannya dilakukan dengan 2 metode penilaian yaitu: (1) penilaian biaya kerusakan dan (2) penilaian potensi produksi tanaman. Penilaian biaya kerusakan menggunakan pendekatan biaya pengadaan atau pengusahaan untuk membangun areal yang terbakar, sedangkan penilaian potensi produksi menggunakan pendekatan harga jual dari produk yang ada di kawasan yang terbakar. Hasil perhitungan nilai kerugian kayu dari HTI Inhutani dan Finantara didekati dari potensi kayu bila digunakan untuk bahan baku pulp. Sementara itu, dari areal kebun TCSDP dan kebun masyarakat, penilaian potensi produksi didekati dari hasil produksi tanaman karet (slep tebal dan slep tipis) dan hasil ikutan kayu dalam bentuk kayu pertukangan di areal perkebunan (TCSDP dan lahan masyarakat).

Hasil penilaian ekonomi dampak kebakaran terhadap potensi kayu pulp

dan produksi tanaman perkebunan harga dengan menggunakan pendekatan biaya

kerusakan berkisar antara Rp. 2.383.539 /ha pada areal HTI Inhutani III Sintang sampai dengan Rp. 2.800.000 di areal perkebunan TCSDP, dengan kerugian rata-rata sebesar Rp. 2,49 juta/ha (1997), dan nilai kerugian persatuan luas meningkat 75% menjadi Rp. 3,63 juta/ha (2003). Perbedaan nilai per hektar ini menggambarkan bahwa biaya pembangunan di areal TCSDP adalah yang tertinggi karena tanaman yang terbakar adalah tanaman menghasilkan dan kebutuhan input produksi lebih banyak sehingga biaya pemeliharaannya lebih besar. Nilai kerugian

pada setiap areal yang terbakar disajikan pada Tabel 20.

Penilaian kerugian atas dasar harga pasar dari potensi produksi

memperlihatkan bahwa kerugian ekonomi akibat kebakaran di areal HTI dan Perkebunan menurut nilai tahun 1997 yaitu berkisar antara Rp. 693.794/Ha dari lahan perkebunan masyarakat sampai dengan Rp. 7.371.571/Ha pada perkebunan TCSDP, dengan kerugian rata-rata Rp. 3,04 juta/ha dan meningkat menjadi Rp. 6,37 juta/ha pada tahun 2003. Tingginya nilai kerugian pada areal perkebunan TSCDP karena tanaman karet menghasilkan produksi (64,77 kg/bulan), sedangkan pada areal perkebunan masyarakat tanaman karet belum menghasilkan (umur 3 tahun), hal yang sama juga terjadi di areal HTI yaitu tanaman belum mencapai umur tebang sehingga produksi untuk bahan baku pulp belum optimal. Tabel 20. Nilai Kerugian Kayu dan Tanaman Karet Menurut Metode Penilaian di Areal

Terbakar Kabupaten Sintang Tahun 1997

Metode Pendekatan Yang Digunakan

Biaya Kerusakan Potensi Produksi

Areal Terbakar Luas

(ha)

Perhektar

(Rp/ha) Total (Rp)

Perhektar

(Rp/ha) Total (Rp)

HTI Finantara Intiga 15 2.392.000 *

(4.186.000 ) 35.880.000 (62.790.000) 1.330.885 (3.539.587) 19.963.271 (53.093.806)

HTI Inhutani III Sintang 12.452,12 2.383.539 *

(4.171.193) 29.680.109.000 (51.940.190.750) 2.802.954 (7.454.664) 34.902.717.348 (92.826.375.924) Perkebunan Karet TCSDP 76 2.800.000 (3.450.000) 212.800.000 (262.200.000) 7.371.517 * (13.165.358) 560.235.275 (1.000.567.219) Perkebunan Masyarakat 91,2 2.422.451 * (2.731.524) 220.927.500 (249.115.000) 693.794 (1.333.774) 63.273.998 (121.640.160) Total 12.634,32 2.499.497 (3.634.090) 30.149.716.500 (52.514.080.750) 3.049.787 (6.373.346) 35.546.189.892 (94.001.677.109) Keterangan: angka dalam kurung (…) adalah nilai kerugian menurut harga tahun 2003

* Metode terpilih dalam penilaian selanjutnya

(1) Kayu Bahan Baku Pulp HTI (Akasia dan Pinus): FI (28,32 m3) & IH3 (59,64 m3); Rp. 44.700/m3 (1997) & Rp. 125.000/m3 (2003)

(2) Potensi Kayu Pertukangan TCDSP : 36,06 – 58,92 m3/ha; Rp. 125.000/m3 (1997) & Rp. 300.000/m3 (2003)

(3) Potensi Produksi Slep Karet TCSDP = 64,77 kg/ha/bulan ≈ 700 kg/ha/thn; Rp. 1800/kg (1997) & Rp. 1.570/kg (2003)

Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa kerugian rata-rata perhektar di areal HTI (harga tahun 1997) dengan menggunakan metode biaya kerusakan tanaman mengalami kerugian rata-rata Rp. 2,38 juta/ha (Rp. 2,39 juta/ha + Rp. 3,38 juta/ha), dan jika menggunakan pendekatan produksi kayu kerugiannya sebesar Rp. 2,06 juta/ha (Rp. 1,33 juta/ha + Rp. 2,80 juta/ha). Nilai kerugian dari areal HTI lebih tinggi dibandingkan hasil perhitungan UNDP dan Kementerian

lingkungan Hidup (1998) yaitu sebesar Rp. 1,2 juta/ha, namun mendekati perhitungan Departemen Kehutanan sebesar Rp. 3 juta/ha. Perbedaan ini disebabkan karena metode pendekatan yang digunakan berbeda, UNDP dan LH mendasarkan pada potensi produksi yang mengalami penurunan 50%, sementara Departemen kehutanan menggunakan pendekatan rata-rata biaya pengusahaan bagi areal HTI. Hal ini memberikan implikasi bahwa penilaian kerugian kayu pulp akibat kebakaran pendekatan dari sisi pasar output hanya tepat jika tanaman telah menghasilkan sementara untuk tanaman yang belum menghasilkan sebaiknya menggunakan pendekatan biaya ganti pemeliharaan tanaman..

Sementara hasil perhitungan kerugian rata-rata tanaman perkebunan pada areal TCSDP dan Perkebunan Masyarakat menurut harga 1997 dengan menggunakan pendekatan biaya kerusakan tanaman yaitu Rp. 2,61 juta/ha (Rp. 2,8 juta/ha + Rp. 2,42 juta/ha) dan jika menggunanakan pendekatan produksi sebesar Rp. 4,03 juta/ha (Rp. 7,37 juta/ha + Rp. 693 ribu/ha). Hasil penilaian dengan menggunakan pendekatan produksi relatif mendekati hasil perhitungan Ruitenbeek (1998) dalam Glover dan Timothy (1999) yaitu sebesar Rp. 2,5 juta/ha, namun, lebih rendah jika dibandingkan hasil perhitungan UNDP dan KLH (1998) yaitu sebesar Rp. 6,69 juta /ha. Perbedaan ini disebabkan karena UNDP dan KLH menggunakan pendekatan produksi dengan asumsi bahwa tanaman yang terbakar adalah tanaman yang telah menghasilkan, sementara pada lokasi penelitian tidak seluruhnya adalah tanaman yang menghasilkan. Oleh sebab itu, untuk menilai kerugian pada areal terbakar maka penilaian harus didasarkan pada besarnya kerugian potensi yang sebenarnya, dalam rangka menghindari kesalahan penilaian kerugian akibat kebakatan hutan dan lahan.

Implikasi dari perbandingan metode penilaian ini menunjukkan bahwa kerugian ekonomi lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan akan berbeda nilainya tergantung metode penilaian dan asumsi yang digunakan. Nilai per Ha potensi produksi dari lahan kebun masyarakat yang rendah dipengaruhi oleh umur tanaman muda dan belum produksi. Perkebunan karet TCSDP mengalami nilai kerugian perhektar lebih tinggi dibanding lahan perkebunan masyarakat karena sudah memperhitungkan nilai kayu karet dan produksi ikutan kayu (slep karet), sementara perkebunan karet masyarakat belum menghasilkan produksi karet.

Pada areal HTI memiliki nilai kerugian kayu yang rendah perhektar karena tanaman yang terbakar adalah tanaman berumur muda (1 – 6 tahun) dan belum dapat ditebang, karena belum termasuk umur tebangan akhir (10 tahun untuk Akasia dan 20 tahun untuk Pinus) yang diperlukan sebagai bahan baku pulp maupun untuk kayu pertukangan. Kerugian ekonomi relatif berbeda jika menggunakan harga tahun 2003, nilai kerugian tertinggi terjadi dilokasi HTI

akibat peningkatan harga kayu pulp yaitu dari Rp. 47.000/m3 menjadi Rp.

125.000/m3. Sedang harga produksi tanaman perkebunan (slep karet) mengalami

penurunan dari Rp. 1800/kg menjadi Rp. 1.570/kg.

Dampak ekonomi yang terjadi di Kabupaten Sintang untuk kerugian kayu dan produksi perkebunan serta hasil ikutannya, dengan menggunakan kedua pendekatan menunjukkan bahwa total kerugian untuk setiap lokasi berbanding lurus dengan areal terbakar. Kerugian terbesar dijumpai pada areal Inhutani III Sintang karena mengalami areal terbakar yang paling luas. Hal yang sama pada pendekatan potensi produksi dimana kerugian terbesar juga dijumpai pada areal Inhutani III Sintang. Secara umum, total kerugian di Kabupaten Sintang atas dasar pendekatan biaya kerusakan tanaman untuk dampak pada kerugian kayu pulp dan tanaman perkebunan serta hasil ikutan kayu adalah Rp 30,14 milyar (1997) dan Rp. 52,51 milyar (2003), sedang atas dasar pendekatan potensi produksi nilai kerugian pada masing-masing tahun yaitu Rp. 35,54 milyar dan Rp. 94 milyar. Nilai kerugian total ini belum menggambarkan kerugian yang sebenarnya karena kawasan yang terbakar tidak seluruhnya tanaman menghasilkan, sehingga perlu ada kriteria dalam melakukan penilaian kerugian akibat kebakaran menurut fungsi setiap kawasan.

Kriteria penilaian kerugian ekonomi terhadap potensi kayu pulp dan tanaman perkebunan karet yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: (1) kesesuaian potensi kerugian (dampak) yang hilang, (2) harga dan nilai yang hilang (kerugian) harus menggambarkan nilai yang sesungguhnya, (3) ketersediaan data dan kemudahan memperoleh hasil pengukuran dampak kerugian (waktu dan dana), dan (4) tingkat kemudahan aplikasi metode penilaian kerugian ekonomi oleh pihak lain. Atas dasar kriteria tersebut, maka pendekatan penilaian ekonomi

yang paling tepat untuk nilai kerugian kayu pulp, tanaman perkebunan dan hasil ikutan kayu adalah tidak sama untuk semua daerah terbakar.

Memperhatikan kriterian penilaian di atas, maka penilaian ekonomi dampak kebakaran pada areal HTI Finantara Intiga, HTI Inhutani III Sintang dan

Perkebunan Masyarakat lebih tepat menggunakan pendekatan biaya kerusakan

tanaman dengan kerugian rata-rata Rp. 2.399.330/ha (1997) dan Rp. 3.696.239/ha (2003). Pilihan metode ini dinilai paling layak karena: (1) nilai produksi dari areal terbakar seperti kayu pulp, kayu karet dan kelapa sawit adalah tanaman muda dan belum mencapai umur produksi atau tebangan, (2) harga pasar output bahan baku pulp yang belum memasuki umu tebang lebih rnedah dari harga pasar, (3) biaya pemeliharaan lebih menggambarkan kerugian karena tanaman masih mudah dan harga kayu yang ada di areal terbakar harganya lebih rendah.

Hal yang berbeda ditunjukkan oleh penilaian pada areal TCSDP, dimana dari kedua metode yang digunakan dalam menghitung kerugian menunjukkan bahwa pendekatan produksi (karet dan kayu) lebih besar dibandingkan dengan pendekatan biaya pengusahaan tanaman. Perbedaan ini terutama disebabkan karena tanaman pada areal TCSDP telah menghasilkan slep karet dan mempunyai potensi kayu untuk bahan kayu pertukangan. Total nilai kerugian dari TCSDP yang dapat dihitung dengan pendekatan potensi produksi (harga pasar) ini lebih menggambarkan nilai kerugian akibat kebakaran dibandingkan pendekatan biaya kerusakan, sehingga metode yang paling tepat menilai kerugian ekonomi dari

terbakarnya perkebunan TCSDP adalah pendekatan pasar potensi produksi

dengan kerugian rata-rata Rp. 7,37 juta/ha (1997) dan Rp. 13,6 juta/ha (2003). Berdasarkan metode penilaian ekonomi yang paling sesuai dalam menghitung nilai kerugian kayu untuk bahan baku pulp pada areal HTI, tanaman perkebunan dan hasil ikutan kayu pada areal penelitian seluas 27, maka

pendekatan yang paling tepat adalah dengan menggunakan kombinasi dari

pendekatan biaya kerusakan tanaman dan pendekatan produksi (Tabel 20), dengan nilai kerugian atas dasar harga tahun 1997 untuk kerugian kayu (bahan baku pulp dan pertukangan) serta produksi perkebunan karet yaitu rata-rata Rp. 4,88 juta/ha dengan total kerugian Rp. 30,49 milyar. Sedang atas dasar harga

tahun 2003, nilai kerugian meningkat 72% dengan kerugian rata-rata Rp. 8,43 juta/ha dan total kerugian Rp. 53,25 milyar.

Total nilai ekonomi kerugian akan semakin besar jika diperhitungkan nilai potensial dari produksi kayu pulp dan tanaman perkebunan apabila tidak terjadi kebakaran di areal HTI dan lahan perkebunan, sehingga mencapai produksi optimal untuk ditebang maupun dipanen. Perhitungan nilai potensial (diasumsikan ada potensi produksi) belum dilakukan, sebab dalam penelitian ini kerugian yang dinilai atas dasar potensi atau nilai aktual pada saat hutan dan lahan perkebunan terbakar.

Namun, sebagai pembanding dapat dilihat bahwa dengan rata-rata

produksi kayu untuk bahan baku pulp di areal HTI yaitu 200 m3/ha (umur tebang

10 thn), maka nilai kerugian potensial (pendapatan yang hilang) pada tahun 1997 yaitu sebesar Rp. 9,4 juta/ha dan meningkat menjadi Rp. 25 juta/ha. Nilai kerugian potensial (jika tidak terbakar) jauh lebih besar dibanding kerugian aktual ketika kebakaran yaitu rata-rata Rp. 2,38 juta/ha. Sementara kerugian potensial untuk tanaman karet jika tidak terjadi kebakaran (asumsi umur produktif 10 tahun) dengan produksi rata-rata sebesar 300 kg/ha/bulan, nilai kerugian yaitu Rp. 3,24 juta/ha/thn (1997) dan menurun menjadi Rp. 2,82 juta/ha (2003) akibat penurunan harga harga karet. Nilai potensi kerugian perkebunan karet ini rata-rata 2 kali lebih besar dibanding kerugian aktual (Rp. 1,39 juta/ha dan Rp. 1,22 juta/ha). Oleh sebab itu, untuk menghindari kerugian aktual maupun potensial maka perlu dilakukan pencegahan kebakaran hutan secara dini.

Berdasarkan kerugian aktual dan potensial dari kebakaran di areal HTI dan Perkebunan terlihat bahwa kerugian yang ditimbulkan sangat besar baik pengusaha hutan, pekebun, masyarakat dan pemerintah. Kerugian yang yang terjadi seharusnya merupakan manfaat (benefit) yang berubah menjadi kerugian sosial (social cost) baik dalam bentuk kehilangan pendapatan dan menurunnya hari kerja, yang selanjutnya berdampak terhadap perekonomian wilayah karena rendahnya penyerapan tenaga kerja dan menurunnya daya beli masyarakat akibat kegagalan usaha perkebunan dan perusahaan kehutanan. Penyerapan tenaga kerja yang rendah serta menurunnya daya beli masyarakat akan meningkatkan kemiskinan terutama bagi penduduk yang memiliki ketergantungan terhadap

sumberdaya hutan dan lahan perkebunan. Hal ini sejalan dengan pendapat Swanson (1996) bahwa terjadinya kemiskinan salah satunya diakibatkan oleh kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, pembukaan lahan menggunakan api yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan kebakaran yang lebih luas harus dikenakan sangsi hukum maupun denda yang tinggi agar menimbulkan ’efek jera’ terhadap perusahaan maupun masyarakat yang menimbulkan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pembakaran lahan.