• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Penilaian Kerugian Keanekaragaman Hayati dan Habitat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

5.1.1. Penilaian Kerugian Kayu Bakar

Kayu bakar merupakan salah satu sumberdaya yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di lokasi penelitian untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Kayu bakar merupakan salah satu sumber energi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masyarakat di Kabupaten Sintang selain bahan bakar minyak tanah dan elpiji. Dari hasil penelitian responden pada lima kecamatan menunjukkan penggunaan kayu bakar sangat dominan (32-40%) dibanding penggunaan minyak tanah (22%) dan elpiji (5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak kebakaran hutan dan lahan menyebabkan terjadinya kehilangan sumber energi bagi penduduk di Sintang. Atau dengan kata lain, kebakaran hutan dan

lahan secara langsung akan mengakibatkan kerugian akibat hilangnya sumber kayu bakar yang selama ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Rincian

kebutuhan bahan bakar dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Kebutuhan Bahan Bakar Rumah Tangga pada Desa Sampel Kebutuhan Bahan Bakar Rumah Tangga

Kayu bakar Minyak Tanah Kayu Bakar +

Minyak Tanah Elpiji

Kecamatan Desa Jumlah (org) % Jumlah (org) % Jumlah (org) % Jumlah (org) %

Nanga Pinoh Tanjung Sari 2 20,00 2 20,00 5 50,00 1 10,00

Tanjung Paoh 3 20,00 3 20,00 8 53,33 1 6,67 Sidomulyo 12 80,00 0 0,00 2 13,33 1 6,67 Nanga Kebubu 4 40,00 3 30,00 3 30,00 0 0,00 Nanga Man 5 50,00 3 30,00 2 20,00 0 0,00 Nanga Kayan 4 40,00 2 20,00 4 40,00 0 0,00 Sintang Ladang 4 21,05 8 42,11 4 21,05 3 15,79 Tanjung Puri 4 19,05 7 33,33 5 23,81 5 23,81 Baning Kota 1 5,00 7 35,00 10 50,00 2 10,00

Belimbing Nanga Paya 8 38,10 5 23,81 8 38,10 0 0,00

Langan 3 18,75 4 25,00 8 50,00 1 6,25

UPT X Nanga Keberak 10 76,92 0 0,00 3 23,08 0 0,00

Menukung Nanga Siyai 2 11,11 3 16,67 13 72,22 0 0,00

Ella Hulu 4 23,53 4 23,53 9 52,94 0 0,00

Menukung Kota 6 40,00 1 6,67 8 53,33 0 0,00

Ketungau Hulu Sei Seria 5 50,00 1 10,00 4 40,00 0 0,00

Empura 4 40,00 3 30,00 3 30,00 0 0,00

Total 81 56 99 14

Keterangan: responden 10 - 20 orang tiap desa

Penilaian manfaat kayu bakar di Kabupaten Sintang dilakukan pada areal Taman Nasional Bukit Baka, Taman Wisata Alam Baning, HTI Finantara Intiga dan HTI Inhutani III Sintang, lahan perkebunan baik TCSDP maupun lahan masyarakat. Penilaian kayu bakar dihitung dengan membandingkan empat metode pendekatan yaitu: (a) penilaian potensi produksi kayu bakar (harga pasar), (b) pendekatan nilai produktivitas pengumpul kayu bakar dan (c) pendekatan biaya ganti upah tenaga kerja pengumpul kayu bakar, dan (d) pendekatan harga bayangan (shadow price), dengan menggunakan harga tahun 1997 dan tahun 2003. Ke empat metode digunakan untuk mencari nilai ekonomi dari dampak kebakaran pada kayu bakar yang paling menggambarkan kondisi sebenarnya.

Dari hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 19 dengan

luas akibat kebakaran hutan dan lahan menurut harga tahun 1997 yaitu rata-rata Rp. 11.830/ha sampai Rp. 56.635/ha dan meningkat menjadi Rp. 22.819/ha sampai Rp. 87.362/ha. Kerugian terbesar dialami oleh masyarakat yang tinggal sekitar Taman Nasional Bukit Baka (TNBB) dan TWA Baning. Hal ini disebabkan karena potensi kayu bakar pada kawasan ini lebih tinggi dibanding kawasan lainnya. Namun, jika dikaji menurut luas areal terbakar maka kerugian terbesar dialami oleh Inhutani III, hal dipengaruhi oleh faktor areal yang terbakar lebih luas dibandingkan kawasan lainnya. Besarnya kerugian kayu bakar akibat kebakaran secara langsung berdampak terhadap masyarakat yang biasa memanfaatkan kayu bakar baik untuk kebutuhan konsumsi maupun diperjualbelikan. Sehingga menyebabkan menurunnya pendapatan masyarakat dan disisi lain mengharuskan masyarakat mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakar baik minyak tanah maupun elpiji.

Secara umum menunjukkan bahwa dari keempat metode yang digunakan dalam menilai kerugian kayu bakar maka pendekatan penilaian kayu bakar atas dasar harga bayangan (shadow price) memberikan nilai kerugian yang lebih besar dan yang terendah adalah pendekatan produktivitas pengumpul. Hal ini berarti bahwa besarnya kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat ditentukan oleh metode pendekatan yang digunakan, dimana termasuk didalamnya adalah faktor harga, kesesuaian potensi dan biaya yang digunakan dalam pengambilan kayu bakar. Sehingga perbedaan metode penilaian akan memberikan dampak kerugian yang berbeda pada setiap kawasan yang terbakar baik kerugian persatuan luas maupun kerugian total.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi kerugian kayu bakar dari

semua areal terbakar rata-rata 7,14 m3/ha dengan kerugian terbesar di TNBB

(14,17 m3/ha) dan terendah di lahan perkebunan masyarakat (2,16 m3/ha),

sementara kerugian di TWA Baning (10,13 m3/ha), HTI Finantara Intiga (7,5

m3/ha), HTI Inhutani III (5,90 m3/ha), dan lahan perkebunan TCSDP (3 m3/ha).

Penilaian kerugian atas dasar harga pasar kecamatan rata-rata lebih rendah

dibanding pendekatan harga bayangan dan biaya ganti (Tabel 19). Hal ini

disebabkan harga kayu bakar yang rendah yaitu Rp. 3.750/m3 – Rp. 7.500/m3

(1997) dan meningkat rata-rata 94,33% (2003), dan tidak setara jika dibandingkan

dengan upah tenaga kerja yaitu rata-rata Rp. 7.500 – 9.000/hari dari kegiatan pengumpulan kayu bakar. Harga kayu bakar yang rendah juga dipengaruhi oleh sifat produk kehutanan yang umumnya tinggal mengambil dari hasil hutan tanpa harus menanam, sehingga biaya yang dihitung hanya upah tenaga kerja sehingga harga yang dihasilkan belum menggambarkan harga yang sebenarnya.

Penilaian kerugian dengan menggunakan pendekatan produksi pengumpul

kayu bakar diketahui rata-rata pengumpulan perhari 0,79 m3, jumlah hari kerja

pertahun 181 HOK, dengan jumlah pengumpul rata-rata 27 orang di setiap lokasi penelitian. Kerugian terbesar produktivitas pengumpul di TWA Baning (0,58

m3/hari) dan terendah pada lahan masyarakat dan TCSDP (0,26 m3/hari).

Kemampuan pengumpulan kayu bakar yang dikonversi ke dalam persatuan luas

rata-rata lebih rendah (5,02 m3/ha) dibanding potensi tegakan untuk kayu bakar,

sehingga secara rata-rata kerugian dengan pendekatan produktivitas lebih renah dan cenderung under value dibanding ketiga pendekatan lainnya, karena sangat tergantung pada jumlah pengumpul dan kemampuan pengumpulan kayu bakar. Sehingga pendekatan ini dapat diterapkan apabila, pengambilan kayu bakar tidak melebih potensi pemanfaatannya dan harganya mencerminkan biaya pengusahaan.

Pendekatan biaya ganti menunjukkan rata-rata kemampuan pengumpulan

kayu bakar pertahun (174 m3) dengan kerugian terbesar di areal TNBB (242

m3/thn) dan terendah di areal HTI Finantara Intiga (58 m3/thn). Komparasi antara

kemampuan pengumpulan kayu bakar pertahun dengan jumlah hari kerja dan upah tenaga kerja menunjukkan bahwa nilai kayu bakar permeter kubiknya lebih tinggi dibanding dengan pendekatan harga pasar kecuali di TWA Baning (pasar kabupaten Sintang). Sehingga dengan menggunakan metode ini maka harga kayu

bakar yang seharusnya adalah Rp. 4.624/m3 – Rp. 9.683/m3 (tahun 1997) dan pada

tahun 2003 adalah Rp. 9.634/m3 – Rp. 15.254/m3.

Penilaian kerugian kayu bakar dengan pendekatan harga bayangan (shadow price) yaitu harga free on board antara pulau di Kalimantan Barat rata-rata lebih tinggi dibanding dengan ketiga metode lainnya. Penilaian dengan menggunakan metode ini lebih tinggi karena sudah mempertimbangkan semua biaya yang dikeluarkan dalam pengambilan kayu bakar mulai dari tenaga kerja, pengepakan, dan transportasi, sehingga harga yang terbentuk diduga sudah

menggambarkan harga yang sebenarnya yaitu rata-rata Rp. 9.400/m3 (1997) dan

Rp. 14.500/m3 (2003). Jika dikaji maka harga kayu bakar pada metode ini hampir

sama dengan harga koreksi kayu bakar pada pendekatan biaya ganti hari orang kerja. Hal ini berarti bahwa harga yang terbentuk sudah mendekati biaya dalam pemanfaatan kayu bakar.

Table 19. Perbandingan Metode Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan pada Kehilangan Kayu Bakar di Kabupaten Sintang, Tahun 1997 dan 2003

Nilai Pasar Potensi KB (Rp)

Produk. Pengumpul KB (Rp)

Biaya Ganti Tenaga Kerja (Rp)

Harga Bayangan (1)

(Rp)

No Lokasi Luas

(Ha)

PerHa Total PerHa Total PerHa Total PerHa Total 70.833 16.291.667 45.025 10.355.664 107.754 24.783.306 133.167 30.628.333 1 TNBB 230 (137.417) (31.605.833) (87.348) (20.089.989) (176.136) (40.511.174) (205.417) (47.245.833) 75.938 4.518.281 140.975 8.388.000 46.821 2.785.838 95.175 5.662.913 2 TWA-Baning 59,50 (101.250) (6.024.375) (187.966) (11.184.000) (97.543) (5.803.829) (146.813) (8.735.344) 37.500 562.500 96.000 1.440.000 46.875 703.125 70.500 1.057.500 3 Finantara Intiga 15 (71.250) (1.068.750) (182.400) (2.736.000) (93.750) (1.406.250) (108.750) (1.631.250) 29.500 367.337.540 9.944 123.828.744 50.347 626.920.942 55.460 690.594.575 4 Inhutani III 12452,12 (57.230) (712.634.828) (19.292) (240.227.764) (83.911) (1.044.868.237) (85.550) (1.065.278.866) 15.000 1.140.000 68.074 5.173.648 21.603 1.641.816 28.200 2.143.200 5 TCDSP 76 (29.100) (2.211.600) (132.064) (10.036.877) (43.206) (3.283.632) (43.500) (3.306.000) 8.094 2.086.200 40.576 3.700.500 20.898 1.905.911 20.288 1.850.296 6 Kebun Masyarak at 91,2 (21.098) (1.924.111) (116.652) (10.638.660) (39.398) (3.593.111) (31.296) (2.854.180) 30.327 391.936.188 11.830 152.886.556 50.971 658.740.938 56.635 731.936.817 Nilai Kerugian 12923,82 (58.456) (755.469.497) (22.819) (294.913.290) (85.073) (1.099.466.233) (87.362) (1.129.051.473)

Keterangan: ( … angka dalam kurung ..) adalah nilai kerugian kayu bakar atas dasar harga tahun 2003 (1) Metode yang digunakan dalam penilaian selanjutnya

(2) Potensi rata-rata KB 7,14 m3/ha (2,16 – 14,17 m3/ha); harga Kec : Rp. 3750 – 7500 (1997) & naik 94,33% (2003)

(3) Produktivitas pengumpul 5,02 m3/ha (0,26 – 0,58 m3/org/hari) ; Kemampuan pengumpulan KB/thn = 58 – 242 m3/thn; Koreksi harga KB dgn Biaya Ganti (74%) = Rp. 4.624/m3 – Rp. 9.683/m3 (1997) dan tahun 2003 (Rp. 9.634/m3 – Rp. 18.254/m3

(4) Harga bayangan Antar Pulau Kayu Bakar = Rp. 9.400/m3 (1997) dan Rp. 14.500/m3 (2003)

Berdasarkan analisis dari keempat metode penilaian kerugian kayu bakar yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam memilih metode penilaian yang

paling tepat harus didasarkan kepada kriteria-kriteria sebagai berikut: (1)

kesesuaian potensi kerugian (dampak) yang hilang, (2) produktivitas pengumpulan hasil hutan harus sesuai dengan tingkat produksi optimal dan tidak eksploitatif, (3) harga dan nilai yang hilang (kerugian) harus menggambarkan nilai yang sesungguhnya karena produk hutan umumnya memiliki struktur pasar monopsonistik, (4) tingkat upah tenaga kerja pengambilan kayu bakar minimal setara dengan harga kayu bakar di pasar lokal setempat (5) ketersediaan data dan kemudahan memperoleh hasil pengukuran dampak kerugian (waktu dan dana), (6) 112

tingkat aplikasi dan kemudahan penerapan metode penilaian kerugian kayu bakar oleh pihak lain.

Dalam menghitung besarnya dampak kerugian ekonomi dari kayu bakar akibat kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sintang, alternatif pendekatan penilaian yang dipilih dalam penilaian ekonomi total kerugian kayu bakar yaitu metode pendekatan harga bayangan, karena pada metode ini telah mempertimbangkan unsur biaya (input produksi, transportasi dan pajak) sehingga harga yang terjadi di pasar ekspor atau antar pulau (harga fob) diasumsikan dapat menggambarkan kerugian kayu bakar yang sebenarnya. Sebab kayu bakar memiliki penawaran yang bersifat oligopsoni dan bahkan cenderung monopsoni (khas dari produk hasil hutan) sehingga apabila menggunakan pendekatan harga pasar kayu bakar di kecamatan belum menggambarkan harga yang sebenarnya.

Sementara pendekatan biaya ganti hari orang kerja dapat diterapkan dalam menilai kayu bakar, namun pendekatan ini relatif kurang lengkap karena belum mempertimbangkan seluruh biaya produksi (peralatan dan biaya transpor). Sedang pendekatan produktivitas dalam penilaian kayu bakar dari hasil penelitian ini relatif kurang menggambarkan nilai kayu bakar yang sebenarnya karena beberapa hal yaitu: (1) produktivitas pengumpul lebih rendah dari potensi tegakan yang ada, (2) potensi produksi ditentukan oleh kemampuan pengumpulan kayu bakar, dan (3) semakin besar jumlah pengumpul maka semakin besar pula tingkat produktivitas sehingga cenderung eksploitatif, terutama pada wilayah-wilayah yang potensi kayu bakarnya rendah. Pendekatan biaya ganti dan produktivitas hanya akan tepat digunakan apabila: (1) harga kayu bakar belum ada atau lebih rendah dari nilai kayu bakar di pasar lokal atau dari rata-rata upah tenaga kerja, (2) kemampuan pengumpulan kayu bakar oleh masyarakat tidak eksploitatif.

Atas dasar kriteria metode penilaian kerugian kayu bakar, serta kelemahan

dan kelebihan dari keempat metode tersebut, maka metode penilaian yang paling

tepat dalam menghitung hilangnya manfaat kayu bakar akibat kebakaran hutan dan lahan, secara berturut-turut adalah sebagai berikut: (1) metode penilaian harga bayangan (shadow price) kayu bakar, (2) biaya ganti hari orang kerja, (3) harga pasar kayu bakar dan (4) pendekatan produktivitas pengumpul kayu bakar.

5.1.2. Penilaian Kerugian Produksi Kayu, Tanaman Perkebunan dan Hasil